Anda di halaman 1dari 6

PEMICU SELF HARM PADA REMAJA

Fifti Imro’atur Rosyidah (202210440211018)

Dalam tahapan perkembangan manusia, terdapat masa remaja yang merupakan masa
peralihan atau transisi. Masa tersebut memicu timbulnya stress, karena individu dituntut
untuk beradaptasi dengan banyaknya perubahan yang terjadi, baik perubahan dalam dirinya
maupun perubahan diluar dirinya atau lingkungannya. Dengan banyaknya perubahan yang
terjadi pada diri individu tersebut, masa ini dipandang sebagai masa yang penuh konflik,
menurut Sigmund Freud dalam buku Theories of Developmental.
WHO memberikan batasan usia remaja adalah 12 – 24 tahun (WHO. 2019). Dalam
panjangnya masa remaja tersebut, ada perubahan pada diri individu yang terjadi dengan
sangat pesat, yaitu pada masa dewasa awal. Perubahan secara fisik maupun psikis dari masa
anak-anak ke masa remaja bisa jadi membuat shok individu maupun lingkungan sekitar.
Orangtua sendiri terkadangan mengalami kebingungan dalam menghadapi perubahan yang
terjadi pada anaknya. Disuatu ketika si anak diperlakukan seperti masa anak-anak, namun
disuatu katika dituntut karena sudah dewasa. Masa remaja adalah waktu meningkatnya
perbedaan diantara anak muda mayoritas, yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan
menjadikannya produktif, dan minoritas yang akan dihadapkan pada masalah besar (Offer,
1987; Offer & Schonert-Reichl, 1992).
Masa ini diawali ketika individu mengalami pubertas atau kematangan seksual
dengan ditandai oleh perubahan atau peralihan baik dalam aspek hormonal, aspek kognitif,
aspek fisik, maupun aspek psikososial (Santrock, 2009). Secara fisik, pada masa ini terjadi
perubahan yang fantastis tahun pertama. Adanya kematangan hormone reproduksi
menjadikan individu, baik laki-laki maupun perempuan mengalami perubahan fisik. Hal ini
ditandai dengan adanya pubertas, sebuah proses yang mengarah pada kematangan seksual
atau fertilitas kemampuan untuk bereproduksi. Waktu yang pasti untuk terjadinya ledakan
aktivitas hormonal tidak sama pada setiap individu.
Dalam perkembangan psikososialnya, menurut Erikson (1968) tugas utama masa
remaja adalah memecahkan “krisis idengtitas Vs kebingungan identitas ( identitas Vs
kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri
yang utuh dan memahami petran nilai dalam masyarakat. Remaja tidak membentuk identitas
mereka dengan meniru oranglain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi
dengan memodivikasi dan menyintesis identivikasi lebih awal kedalam “ struktur psikologi
baru yang lebih besar” (Kroger, 1993 hal 3).
Individu yang mengalami kegagalan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan
melalui tugas-tugas perkembangan remaja yang dihadapi, kecenderungan akan mengalami
tekanan atau stress. Ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalahnya menimbulkan
emosi negatif dan efek negative dan ketika emosi negative tidak terkendali, remaja sering kali
cenderung melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri, seperti melukai diri,
mengkonsumsi narkoba, melakukan penyimpangan sosial, dan lain sebagianya (Latipun &
Notosoedirdjo, 2014; Jans dkk, 2012).

Perilaku melukai diri sendiri atau self-harm atau self-injury tersebut merupakan suatu
bentuk perilaku yang dilakukan untuk mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit secara
emosional dengan cara menyakiti dan merugikan diri sendiri tanpa bermaksud untuk
melakukan bunuh diri (Jenny, 2016; Klonsky dkk., 2011). Definisi lain menyatakan bahwa
Non-Suicidal Self-Injury (NSSI) didefinisikan sebagai perilaku melukai diri sendiri yang
disengaja, yang dapat menyebabkan pendarahan, memar, dan rasa sakit yang ditujukan untuk
menyebabkan kerusakan tubuh yang ringan tanpa disertai niat untuk bunuh diri (American
Psychiatric Association, 2013).

Bentuk perilaku self-harm yang paling sering dilakukan adalah mengiris atau
menyayat kulit menggunakan silet atau benda tajam lainnya. Perilaku ini biasa diistilahkan
dengan self-cutting. Selain itu, self-harm juga terjadi dalam bentuk membakar tubuh,
memukul diri, mengorek bekas luka, menjambak rambut, juga mengonsumsi zat- zat beracun
(Tang, et al., 2016). Bentuk lainnya berdasarkan kuesioner self-harm inventory (SHI) hasil
konsensus ahli di antaranya overdosis, membenturkan kepala dengan sengaja, mengonsumsi
alkohol berlebihan, mencakar tubuh, tidak mengobati luka, sengaja membuat kondisi
penyakit medis memburuk, memilih bersetubuh dengan siapa saja, memposisikan diri pada
hubungan yang ditolak, menyalahgunakan resep pengobatan, menjauhkan diri dari Tuhan
sebagai hukuman, terlibat hubungan yang menyiksa pasangannya secara emosional/psikis,
terlibat hubungan yang menyiksa pasangan secara seksual, keluar dari pekerjaan secara
sengaja, melakukan percobaan bunuh diri, dan menyiksa diri dengan pemikiran yang
mengalahkan diri sendiri (Randy Sansone et al., 2011).

Perilaku self-harm tersebut dilakukan oleh remaja sebagai salah satu bentuk cara
mengatasi masalah yang dihadapinya. Jika remaja tidak memiliki strategi atau tidak bisa
mengatasi masalah, id (keinginan atau kesenangan) yang tidak terpenuhi dapat dimediasi
melalui ego dengan perilaku yang merugikan diri sendiri dan dalam kasus yang serius,
beberapa sampai melakukan percobaan untuk bunuh diri (Bryan, Bryan, Ray-Sannerud,
Etienne, & Morrow, 2014).
Maidah (2013) juga menemukan bahwa perilaku melukai diri merupakan bentuk
penyaluran emosi negatif akibat dari rasa sakit psikis yang dirasakan oleh pelakunya yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa situasi yang dirasa mendukung dalam melukai
diri adalah kesepian dan merasa mendapat diskriminasi dari lingkungan serta perasaan tidak
dianggap. Penelitian Marshall dan Yazdani (1999) terhadap beberapa wanita Asia yang
melukai dirinya sendiri menunjukkan bahwa mereka melukai dirinya sebagai tanda bahwa
tubuh tersebut dimiliki oleh mereka, bukan milik keluarganya. Mereka melakukan itu untuk
menunjukkan rasa kesal karena diharuskan untuk memenuhi harapan keluarga agar keluarga
dapat dipandang secara positif dalam masyarakat karena di Asia, kebanyakan individu hidup
dengan keluarga sebagai fokus utamanya.
Individu yang melukai diri biasanya merahasiakan perilaku melukai diri yang mereka
lakukan karena mereka malu dan takut atas anggapan orang lain yang akan menilai mereka
bodoh serta takut orang- orang di sekitarnya akan menjauhi mereka (Maidah, 2013). Sampai
saat ini pun banyak orang awam yang berpikiran bahwa perilaku melukai diri sendiri merupa-
kan perilaku yang manipulatif dan hanya dilakukan untuk mencari perhatian (Clarke dan
Whittaker, 1999).
Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku melukai diri terdiri dari faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal dari perilaku melukai diri terkait dengan pola asuh otoriter,
seperti yang disampaikan dalam studi Burešová et al. (2015a) bahwa pola asuh yang otoriter
dan peraturan yang terlalu strict memicu munculnya perilaku melukai-diri. Selain itu,
disorganisasi juga turut menyebabkan munculnya perilaku melukai-diri. Hal ini didukung
studi Larsen (2009) dan Lieberman (2004), bahwa salah satu dari berbagai kondisi keluarga
yang memengaruhi pola asuh turut menyebabkan si anak berperilaku melukai-diri perceraian.
Sementara itu, faktor internal dari perilaku melukai-diri adalah kebutuhan atau kecenderungan
neurotik, sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian Burešová et al. (2015b). Bagi
Horney (1950), perilaku melukai diri adalah ekspresi kebencian diri yang dilakukan oleh
orang-orang yang neurotik. Berdasarkan penelitian ini, sesuai dengan pendapat Horney
(dalam Feist dan Feist, 2016a), kebutuhan neurotik yang terkait dengan perilaku melukai diri
adalah kebutuhan neurotik akan kasih sayang atau penerimaan sosial (informan pertama), dan
kebutuhan neurotik akan gengsi (harga diri) atau penghargaan sosial.
Remaja lebih sering merasa kesepian ketika merasa ditolak, terasing dan tidak mampu
memiliki peran dalam lingkungannya (Rice, 1993). Berdasarkan hasil penelitian Pretty
(dalam Kristiani, 2007) terhadap 234 remaja berusia 13-18 tahun di Australia ditemukan
bahwa sense of community dan social support mempengaruhi tingkat kesepian pada remaja.
Keinginan remaja untuk menjadi bagian dalam sebuah komunitas sosial dan mendapatkan
dukungan dari lingkungan sosial- nya apabila tidak terpenuhi akan mempengaruhi tingginya
tingkat kesepian pasa remaja.
Ketika remaja merasakan kesepian, ia juga akan merasa bahwa ia sendirian dan tidak
memiliki seseorang untuk berbagi atau membantunya mencari jalan keluar atas masalahnya.
Oleh karenanya, ia kemudian mencari jalan lain untuk membantu mengeluarkan emosinya
yang terpendam. Salah satu jalan untuk mengeluarkan emosi tersebut adalah dengan melukai
diri (Marshall dan Yazdani, 1999; Ramli, 2010; dan Maidah, 2013) agar ia dapat merasa puas
setelah menghukum dirinya. Perilaku melukai diri mungkin akan terjadi setelah seseorang
memiliki keinginan untuk melakukannya. Selain itu, karena beberapa faktor, misalnya takut
dengan anggapan orang lain atau faktor budaya dan agama, ada juga beberapa yang
mungkin tidak benar-benar melukai dirinya; melainkan hanya mencari kepuasan dengan
hanya membayangkan atau memiliki keinginan untuk melukai dirinya sebagai jalan untuk
mengeluarkan emosi.
Peran lingkungan terutama keluarga memberikan peran yang sangat penting dalam
mencegah maupun menangani permasalahan melukai diri pada remaja. Adanya komunikasi
yang baik antara orangtua dengan anak sejak dini dapat menjadi jalan keluar untuk
menghindari terjadinya self-harm Selain itu, dukungan sosial dari orang-orang terdekat
seperti sahabat, teman, guru maupun masyarakat dapat membantu individu menghindari
perilaku self-harm. Lingkungan sekolah maupun masyarakat turut berperan dalam mengatasi
perilaku self harm. Hal tersebut menjadikan invidu merasa berharga dan dibutuhkan
kehadirannya diantara mereka. Cara-cara mengkatarsiskan emosi negative yang muncul pada
diri remaja dapat dilakukan lebih terarah dengan bantuan orang-orang disekitarnya yang
memberikan dukungan positif.
Menumbuhkan self talk yang positif dan membangun coping yang kuat juga dapat
menghindari remaja dari perilaku melukai diri. Self talk yang positif dapat memberikan
insight untuk berpikir secara logis sehingga ego dapat mengatasi id.
Referensi

Feist, J., & Feist, G.J. (2016a). Teori Kepribadian: Buku 1 (Edisi 7). Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika. Feist, J., & Feist, G.J. (2016b). Teori Kepribadian: Buku 2 (Edisi 7).
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Freud, S. (1974). The ego and the id. In J. Strachey (Ed. & Trans.). The standard edition of
the complete psychological works of Sigmund Freud. London: The Hogarth Press. (Original
work published 1923).

Harefa, Ivana Elza and Suci Gita Mawarni. 2019. “Komunikasi Interpersonal (Self Talk)
Sebagai Pencegahan Self- Harm Pada Remaja.” Prosiding Seminar Nasional 2019:
Pengembangan Karakter Dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 (September):173–78.

Hidayati, Diana Savitri and Elda Nabiela Muthia. 2016. “Kesepian Dan Keinginan Melukai
Diri Sendiri Remaja.” Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi 2(2):185–98.

Hurlock, Elizabeth.B, Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang


kehidupan (edisi kelima), (Jakarta: Erlangga,1993)

Latipun, & Notosoedirdjo, M. (2014). Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.

Lubis, Irma Rosalinda. 2020. “Gambaran Kesepian Pada Remaja Pelaku Self-Harm.” Jurnal
Penelitian Dan Pengukuran Psikologi 9(April):14–21.

Mainmain.id.2020.”Maraknya Perilaku Self Harm Pada Remaja Masa Kini. Retrieved


(https://www.mainmain.id/r/5226/maraknya- perilaku-self-harm-pada-remaja-masa-kini-1).
Soesilo, Dhiemas Ardhya. n.d. “SELF INJURY PADA REMAJA KESEPIAN DAN
KEINGINAN MELUKAI DIRI SENDIRI.”

Papalia, Diane E., et. Al. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana,
2008.

Ridha Afrianti. 2020. “Intensi Melukai Diri Remaja Ditinjau Berdasarkan Pola Komunikasi
Orang Tua.” Mediapsi 6(1):37–47.
Wibisono, B. K (2016). Kajian literatur tentang pola asuh dan karakteristik kepribadian
sebagai faktor penyebab perilaku melukai diri pada remaja. Prosiding Seminar Nasional
Psikologi: Empowering Self. ISBN 978-602-1145- 30-2. Diunduh dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_979
041186656.pdf
Wibisono, B. K. 2016. “Kajian Literatur Tentang Pola Asuh Dan Karakteristik Kepribadian
Sebagai Faktor Penyebab Perilaku Melukai Diri Pada Remaja.” Prosiding Seminar Nasional
Psikologi 2016: “Empowering Self” 103–11.

Wibisono, Bernadus Khrisma. 2018. “Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Melukai-Diri Pada


Remaja Perempuan.” Calyptra 7(2):1–12

Anda mungkin juga menyukai