Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Body shaming adalah peristiwa yang dirasakan seseorang ketika

dilihat kekurangan sebagai sesuatu hal yang tidak baik oleh orang lain dari

postur tubuhnya. Body shaming termasuk bullying secara verbal dengan

membully tubuh seseorang serta bukti yang menunjukkan bahwa

perlakuan body shaming dapat menimbulkan penilaian diri sendiri yang

buruk (Doleza ,2016). Body shaming adalah perilaku dengan tujuan

mempermalukan dengan berkomentar tubuh orang lain secara negatif

terhadap tubuh atau fisik orang lain. Body shaming juga dapat dikatakan

sebagai perbuatan mengkritik pada bentuk, ukuran, dan penampilan orang

lain (Chaplin, J.F 2005).

Body shaming sendiri yaitu ejekan untuk orang yang memiliki

penampilan fisik atau tubuh yang dinilai cukup berbeda dari masyarakat

pada umumnya dan memiliki tubuh yang tidak proposional. Contoh body

shaming sendiri yaitu seperti mengejek gendut, hitam, pesek, kurus, pipi

tembam, mata sipit ataupun mata yang besar. Body shaming sering

dilakukan pada era jaman modern ini, meskipun tidak secara kontak fisik

tetapi melalui secara verbal atau melalui kata-kata. Body shaming itu

sendiri merupakan suatu kritikan atau komentar yang bersifat negatif dan

memberi dampak kepada korban. Komentar itu diberikan baik untuk diri

sendiri ataupun orang lain (Honigam & Castle, 2007).

1
Sisi lain dengan adanya body shaming, turut memunculkan istilah

body positivity, yang merupakan bentuk apresiasi manusia terhadap bentuk

tubuh yang dimilikinya serta bagaimana mereka menerima bentuk tubuh

dengan apa adanya. Dari pengertian tersebut hingga kini menjadi sebuah

gerakan sosial yang mendorong agar semua orang untuk memiliki

penilaian yang positif mengenai tubuh mereka, dan menerima bentuk

tubuh mereka sendiri dan juga tubuh orang lain tanpa adanya pandangan

untuk menghakimi seseorang.

Penelitian yang dilakukan (Duarte, 2017) dari 114 wanita dengan

diagnosis Binge Eating Disorse (BED) atau gangguan makan 78% peserta

menjawab dari rasa malu pada tubuh dapat memberikan efek negatif

sehingga cenderung untuk mengikuti apa yang orang lain sampaikan

terkait dengan kondisi tubuh, perilaku makan tidak teratur yang

dipengaruhi oleh sejauh mana pengalaman rasa malu dialami sehingga

dapat menyebabkan rasa tidak percaya diri, tidak menarik, tidak layak

dalam kelompok sosial dan 22% menjawab biasa saja ketika ada yang

mengejek mereka dan menganggap itu sebagai motivasi bagi mereka untuk

menjadikan tubuhnya menjadi lebih proporsional.

Dampak dari perbuatan body shaming yaitu tindakan dengan cara

menilai fisik seseorang. Segala bentuk penghinaan yang dilakukan

dimedia sosial termasuk dalam tindakan pidana (Geofani, 2019). Pelaku

body Shaming di sosial media dapat dijerat dengan Undang-undang

Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, Pasal 27 Ayat

3, sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016. (Damanik,

2
2018) memaparkan dinamika psikologis yang mengalami body shaming

bahwa individu yang mengalami body shaming akan lebih memerhatikan

tubuh dan menjadikan tubuh mereka sebagai objek (self-objectification)

yang akan berdampak pada munculnya rasa cemas dan malu (Dolezal,

2015).

Menurut (KPAI, 2019) sebanyak 68% kasus body shaming setiap

tahunnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2015

jumlah kasus body shaming sebanyak 206 kemudian terus meningkat

menjadi 966 kasus pada tahun 2018. Sepanjang tahun 2018 polisi dapat

menyelesaikan kasus body shaming sebanyak 374 kasus dari 966 kasus

yang ada, sisanya hingga saat ini kasus tersebut belum dapat terselesaikan.

Menurut penelitian Lamont (2018) body shaming dapat menyebabkan

seseorang lebih sering mengalami infeksi serta mengalami gejala

penyakit yang lebih banyak, selain itu sering mengalami sakit diare dan

sakit kepala. Rasa malu yang menyebabkan kesehatan fisik menjadi

menurun.

Penelitian tentang dampak body shaming oleh (Lamont, 2018)

dilakukan dengan memberi survey pada 300 perempuan. Hasil yang

didapatkan sebanyak 80% korban memiliki kondisi fisik yang semakin

menurun, 10% mengalami depresi, dan sisanya tidak memiliki efek yang

signifikan. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Dalley, 2019), penelitian

yang melibatkan 237 wanita gemuk korban fat shaming, menemukan

hubungan antara body shaming dan ide bunuh diri. Penelitian tersebut

mengungkap risiko korban melakukan bunuh diri meningkat 21 kali.

3
Adapun risiko percobaan bunuh diri sebesar 12%. Menurut (Dalley,

2019) selain risiko bunuh diri, wanita yang telah mengalami body

shaming juga memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan

wanita yang tidak mengalami body shaming. Menurut (Adhichandra,

2019) menguatkan pendapat diatas bahwa mengalami body shaming akan

menyebabkan individu mengalami depresi.

Hal ini karena body shaming dapat membuat individu menjadi

insecure sehingga menjadi depresi. Individu yang telah mendapatkan

body shaming akan mengalami depresi, ketika seorang telah mengalami

depresi secara otomatis kebahagiaannya ikut menurun pula karena

perlakuan perundungan berupa body shaming yang banyak dialami para

remaja atau wanita mereka melakukan apa saja untuk menjaga agar

memiliki tampilan fisik sesuai yang menjadi standar masyarakat atau agar

tidak menjadi bahan ejekan dan tidak menjadi objek perundungan

masyarakat.

Salah satu efek dari body shaming yaitu munculnya gangguan-

gangguan pola makan seperti anoreksia maupun bulimia (gangguan makan

yang ditandai dengan kecenderungan untuk memuntahkan kembali

makanan yang telah dimakannya) yang banyak dialami remaja pun tidak

jauh karena perlakuan perundungan berupa body shaming yang banyak

dialami para remaja. Mereka melakukan apa saja untuk menjaga agar

memiliki tampilan fisik sesuai yang menjadi standar masyarakat atau agar

tidak menjadi bahan ejekan dan tidak menjadi objek perundungan

masyarakat.

4
Dalam perilaku body shaming yaitu seperti kajian psikologi,

korban body shaming mengalami perasaan malu akan salah satu bentuk

bagian tubuh ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak

sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu (Damanik, 2018). Selain

itu, gejala psikologis yang dialami korban menurut penelitian psikologis

adalah depresi, kecemasan, gangguan makan, sosiopati subklinis, dan

harga diri yang rendah (Chairani, 2018). Dalam beberapa kasus efek dari

body shaming banyak wanita yang mengalami depresi dan melakukan hal

ekstrem untuk memperbaiki fisiknya.

Body shaming sering terjadi pada remaja. Remaja adalah masa

transisi dari anak-anak menjadi dewasa, transisi tersebut diawali pada usia

12 tahun dan berakhir pada usia awal 20-an tahun (Papalia, 2014). Masa

remaja, anak-anak akan mengalami perubahan yang terlihat secara fisik

(akibat pubertas) dan psikologis (Widiasti, 2016). Pubertas dianggap

remaja sebagai periode yang cukup sulit, pubertas dapat mempengaruhi

keadaan fisik dan psikologis remaja pada masa selanjutnya (Yunalia,

2017). Sering terjadi teman sebaya menjadikan penampilan fisik sebagai

bahan ejekan terhadap individu yang ada di dalam kelompoknya. Pada

masa ini remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman

daripada bersama keluarga (Santrock, 2007).

Pada masa remaja seseorang remaja mulai memahami aspek

dirinya, hal tersebut dapat digunakan untuk mengetahui self esteem (harga

diri) yang dimiliki apakah bersifat positif atau negatif. Body shaming

cenderung berdampak pada remaja karena pada saat masa pubertas

5
seorang remaja sangat memikirkan penampilannya. Seorang remaja akan

lebih sering memastikan penampilannya sudah baik dengan berkaca

didepan cermin dan akan lebih khawatir dengan make up dan baju yang

akan digunakan (Dolezal, 2015). Body shaming berdampak bagi

kehidupan sehari-hari yang membuat self esteem menurun sehingga mulai

tidak percaya diri dihadapan orang lain (Brennan, Lalonde & Bain, 2010)

Self esteem seseorang dapat menjadi negatif ketika menerima komentar

negatif seperti body shaming. Peristiwa negatif dalam hidup dapat

membuat self esteem yang dimilikinya menjadi negatif (Baron, R.A &

Byrne, D, 2004).

Pada umumnya pembentukan konsep diri terjadi pada usia remaja

(Hurlock, 2012). Pada masa remaja merupakan masa pembentukan konsep

diri atau jati diri. Menurut (Alwisol, 2014) Tugas pada masa remaja adalah

memecahkan identitas versus krisis identitas. Masa remaja juga merupakan

masa dimana seseorang menjadi mudah terpengaruh. Lingkungan menjadi

salah satu pengaruh terbesar dalam pembentukan konsep diri seseorang

(Hurlock,2012). Perkataan dan ucapan yang diberikan lingkungan juga

menjadi salah satu pengaruh terbentuknya konsep diri (Hurlock, 2012).

Konsep diri merupakan gambaran diri seseorang tentang

bagaimana dirinya secara signifikan ditentukan oleh apa yang dipikirkan

dan dipersepsi orang lain mengenai dirinya (Cooley, J.F & Claudia, J.R,

2016). Hal tersebut yang menyebabkan terbentuknya konsep diri individu

termasuk cara melihat penampilan dirinya secara fisik. Bahwa tiga proses

utama dalam hubungan interpersonal yang paling memainkan peranan

6
penting yaitu penilaian terhadap refleksi diri, timbal balik pada

penampilan fisik, dan perbandingan sosial (Dunn, S.T & Gokee, J.L,

2002).

Konsep diri yang terdapat pada remaja memang cenderung normal

meskipun dapat berubah. Pada area yang di sekeliling lingkungan akan

sangat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri pada remaja. Bila

individu di lingkungan positif maka akan menghasilkan konsep diri remaja

yang positif, dan sebaliknya jika individu berada di lingkungan negatif

maka akan menghasilkan konsep diri remaja yang negatif. Oleh karena itu,

konsep diri pada setiap individu merupakan suatu keutuhan atau

keselarasan yang akan terus berubah dan banyak dipengaruhi oleh banyak

faktor. Konsep diri sangat mempengaruhi remaja dalam pencarian

identitasnya. Remaja akan sering melakukan aktivitas seperti interaksi

sosial dengan teman sebayanya, dengan teman di atas usianya dan teman

di bawah usianya (SEJIWA, 2008).

Remaja dipengaruhi banyak faktor saat mulai membentuk konsep

diri pada dirinya, contoh seperti faktor internal yang meliputi: fisik dan

emosional sedangkan faktor eksternal meliputi keluarga dan lingkungan.

Konsep diri pada korban body shaming cenderung tidak mampu

mempertahankan diri sendiri karena lemah terhadap faktor internal dan

faktor eksternal (Argiati, 2010). Hal tersebut membuat pelaku atau seorang

yang merasa memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih mudah dan

sering menyakiti dan mengomentari korban secara terus menerus

(SEJIWA, 2008).

7
Remaja yang memiliki konsep diri positif akan memiliki dorongan

mandiri lebih baik, dapat mengenal serta memahami dirinya sendiri

sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi. Menurut

(Rakhmat, 2007) menyatakan bahwa remaja yang memiliki konsep diri

positif akan mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik, memiliki

keyakinan pada kemampuannya mengatasi persoalan, merasa sama dengan

orang lain, serta sanggup menerima dirinya sendiri. Sedangkan remaja

yang memiliki konsep diri negatif akan memandang dan meyakini bahwa

dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten,

gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik

terhadap hidupnya sendiri (Saifullah, 2016).

Konsep diri dapat mempengaruhi seseorang dalam membentuk

dirinya sendiri saat berinteraksi sosial kepada orang lain. Konsep diri pada

remaja awal terbentuk melalui beberapa proses, pembentukan konsep diri.

Seseorang yang mendapat masalah di tengah-tengah prosesnya

membentuk konsep diri dan tidak dapat melalui proses tersebut dengan

baik, maka ia dapat dikatakan memiliki kecenderungan menjadi korban

body shaming. Karena seseorang yang memiliki kecenderungan menjadi

korban body shaming biasanya memiliki konsep diri yang negatif. Konsep

diri negatif yang dimiliki oleh remaja yang kurang memiliki kepercayaan

diri, rendah diri dan sering menarik diri dari interaksi sosial di sekitarnya.

Sedangkan remaja yang dalam proses pembentukan konsep dirinya

terdapat masalah di tengah-tengah prosesnya namun ia dapat

8
menyelesaikan dan keluar dari masalah tersebut maka remaja tersebut akan

terhindar menjadi korban body shaming.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMA 4

Tanjungpinang Kepulauan Riau pada tanggal 08 April dengan media

google form dengan jumlah responden 10 siswa. Usia dalam penelitian ini

14- 18 tahun, didapatkan hasil 7 diantara 10 siswa pernah mengalami

tindakan body shaming yang dilakukan orang lain. Dari 7 siswa tersebut

mengalami body shaming sehingga konsep diri mereka menjadi rendah

dan merasa tidak percaya diri. Sebanyak 9 dari 10 respoden dialami oleh

siswi perempuan dan 1 laki-laki diantaranya berjenis kelamin laki-laki.

Sebanyak 5 dari 10 responden merasa tidak percaya diri dan sebanyak 5

responden merasa percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti

"Hubungan Kejadian Body Shaming dengan Konsep Diri Pada Remaja Di

SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan Kejadian Body

Shaming dengan Konsep Diri pada Remaja di SMA 4 Tanjungpinang

Kepulauan Riau?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

9
Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui

hubungan kejadian body shaming dengan konsep diri pada remaja di

SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan

usia.

b. Mengetahui distribusi kejadian body shaming pada remaja di SMA

4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

c. Mengetahui distribusi konsep diri pada remaja di SMA 4 Tanjung

Pinang Kepulauan Riau.

d. Menganalisis hubungan kejadian body shaming dengan konsep diri

pada remaja di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada berbagai pihak.

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat aplikasi

a. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perawat

untuk lebih mengetahui konsep diri dengan remaja yang

mengalami perlakuan body shaming.

b. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai salah satu acuan

untuk mengetahui konsep diri dengan remaja yang mengalami

perlakuan body shaming.

10
c. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan manfaat sebagai pengalaman

langsung bagi peneliti untuk menetapkan langkah-langkah metode

penelitian dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

masukan atau acuan dalam pengembangan penelitian berikutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Konsep Body Shaming

a. Pengertian Body Shaming

Perlakuan body shaming adalah pengalaman yang dialami

seseorang ketika kekurangan dipandang sebagai sesuatu yang

negatif oleh orang lain dari bentuk tubuhnya. Perlakuan body

shaming termasuk bullying secara verbal dengan membully badan

seseorang (Dolezal, 2015)

Menurut (Damanik, 2018) body shaming adalah penilaian

individu terhadap tubuhnya yang memperlihatkan perasaan kalau

tubuhnya memalukan yang diakibatkan komentar orang lain

tersebut dengan membandingkan wujud tubuhnya sendiri dengan

orang lain. Body shaming yaitu penghinaan bentuk fisik orang lain

yang tidak sesuai dengan standart ideal. Misalnya kita sering

11
melakukan atau mendengarkan ejekan terhadap orang gemuk

disamakan dengan hewan seperti gajah, jika kurus disamakan

dengan tiang. Meski dengan nada bercanda tetap dinamakan body

shaming (Widiasti, 2016).

b. Sejarah Body Shaming

Hingga saat ini masih belum jelas kapan tepatnya tindakan

body shaming terjadi pertama kali, namun perlakuan body shaming

ini diyakini bermula dari adanya kultur penindasan atau bullying

ditengah kehidupan masyarakat serta campur tangan media yang

membangun paradigma mengenai standar kecantikan. Awal mula

bisa terjadinya body shaming terjadi karena adanya kegiatan dalam

pengenalan kartu pos berfigur "wanita gemuk" pada awal tahun

sekitar 1900-an diAmerika Serikat yang banyak dibeli hanya

sebagai sebuah bahan olokan (Farrell, 2016).

c. Jenis - jenis Body shaming

1) Fat Shaming

Fat shaming merupakan istilah untuk tindakan

mempermalukan tubuh orang-orang yang dianggap besar atau

gemuk. Penghinaan tubuh atau fisik kepada orang-orang yang

dikategorikan bertubuh besar ini berasal dari pemikiran

konseptual bahwa hanya tubuh ramping dan kurus yang paling

12
terlihat baik dan berkesan yang dimana tubuh, yang terlihat

lebih besar justru berkesan buruk karena memiliki penampilan

yang terkesan rakus dan tidak menjaga kesehatan. Orang

gemuk pada umumnya memiliki ciri penampilan yang

menonjolkan berat badan yang berlebihan seperti adanya

lipatan pada leher, pinggang, perut buncit serta anggota-

anggota tubuh lainnya yang terlihat bengkak dan hal tersebut

sering dipandang menjijikan.

2) Thin Shaming

Thin shaming adalah kebalikan dari istilah fat shaming

yaitu istilah untuk tindakan mempermalukan tubuh orang kurus

atau yang berkekurangan berat badan yang memiliki dampak

negatif yang sama. Terkadang tubuh kurus merupakan sebuah

keturunan atau gen yang telah dimiliki seseorang pada

keluarganya secara turun temurun dan tidak dapat diubah.

Meskipun perlakuan thin shaming lebih sedikit temuannya

daripada body shaming namun tetap saja hal tersebut tidaklah

benar dan tidak dapat diterima.

Stigma yang melekat pada masyarakat mengenai orang

bertubuh kurus adalah orang-orang lemah yang malas tidak

mau makan dan berpenyakitan yang tentu saja semua hal

tersebut tidak sepenuhnya benar. Banyak dari korban thin

shaming yang sering dipermalukan karena ukuran tubuh

dewasanya dianggap kecil dan kurus terkadang dianggap tidak

13
sesuai dengan standar lalu timbul adanya paksaan-paksaan

untuk mengonsumsi suplemen penambah berat badan dalam

mengatasi tampilan yang terlihat lusuh tidak berdaya (Brewis

& Bruening, 2018).

Ada juga beberapa kasus temuan yang terjadi pada korban

thin shaming yang merupakan pengidap penyakit kelainan

gangguan makan atau eating disorder dan tidak lain hal

tersebut terjadi awalnya karena mental yang terganggu

mengenai konsep berat tubuh yang berkelebihan berat badan.

Pada kasus korban thin shaming seseorang mengalami penyakit

gangguan makanan (eating disorder) yang dapat dipastikan

bahwa sebelumnya korban telah mengalami tindakan body

shaming yang berujung gangguan pada kesehatan mentalnya.

3) Short Shaming

Short shaming merupakan tindakan menggoda atau

meremehkan seseorang karena penampilan atau bentuk

tubuhnya yang cenderung lebih pendek dari biasanya. Tindakan

ini sebagai bentuk diskriminasi yang mendapat impunitas yang

tidak dimiliki rasisme.

4) Rambut Tubuh / Tubuh berbulu

Adalah bentuk body shaming dengan menghina seseorang

yang dianggap memiliki rambut yang berlebihan terhadap

tubuh seseorang, seperti dilengan ataupun di kaki. Terlebih

pada perempuan akan dianggap tidak menarik jika ditubuhnya

14
memiliki rambut atau bulu yang tumbuh pada fisiknya. Bentuk

body shaming ini muncul akibat adanya stigma bahwa yang

berbulu atau memiliki bulu dibadan adalah seorang laki-laki

semata maka dapat muncul anggapan bahwa jika hal tersebut

dimiliki oleh seorang perempuan maka dianggap sesuatu yang

aneh dan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh

kebanyakan orang.

5) Warna Kulit

Bentuk body shaming dengan mengomentari warna kulit

juga sering terjadi. Misalnya seperti warna kulit yang terlalu

pucat atau terlalu gelap. Warna kulit disini merupakan hal yang

cukup sensitif karena seperti yang diketahui bersama berapa

banyak suku yang mendiami wilayah Indonesia saat ini dengan

berbagai perbedaan fisik khususnya warna kulit yang dimiliki

juga tidak akan sama. Stigma atau anggapan yang muncul

ditengah masyarakat dimana penggiringan opini dari media

elektronik atau sosial bahwa warna kulit yang ideal adalah

putih, maka pemilik warna kulit yang gelap kerap meneria

perilaku body shaming.

d. Ciri – Ciri Body Shaming

Vargas (2015) memaparkan tiga ciri-ciri yakni:

15
1) Mengkritik orang lain didepan mereka.

Misalnya, mengatakan kulit orang lain lebih gelap sehingga

perlu melakukan perawatan.

2) Mengkritik penampilan orang lain tanpa sepengetahuan

mereka. Misalnya membicarakan penampilan teman yang

terlihat tidak pantas dengan orang lain.

3) Menganggap tubuhnya paling gemuk.

Padahal kenyataannya tidak secara tidak langsung

atau tidak sadar sering membanding-bandingkan tubuh

sendiri dengan orang lain. Sekurus apapun wanita, biasanya

ia akan selalu merasa paling gemuk diantara teman-

temannya.

4) Menyuruh orang lain untuk olahraga

Mungkin mengira bahwa hanya sekedar

memberikan informasi penting yang patut dicoba oleh

orang lain, padahal bisa jadi orang tersebut malah

tersinggung dan menganggap anda menyuruhnya olahraga

karena tubuhnya gemuk.

5) Senang membandingkan tubuh orang lain

Menganggap tubuh sendiri paling ideal diantara

orang lain. Ini bukan berarti baik karena rasa percaya diri

anda sedang meningkat, tapi justru tanda body shaming

yang harus dihindari. Secara tidak sadar kita sedang

membandingkan tubuh diri sendiri dengan orang lain yang

16
bertubuh gemuk atau kurus daripada kita. Apalagi sampai

menganggap diri kita telah sukses menjalani hidup sehat

sedangkan yang lain tidak.

6) Menghakimi Cara Diet Seseorang

Biarkan ketika orang lain ingin berpakaian,

berkelakuan atau makan, merupakan hak dan kebebasan

mereka. Terlepas jika perbuatan dan perilaku itu baik atau

tidak untuk mereka sendiri. Bagi anda hal tersebut bukan

tempatnya untuk memutuskan apakah orang yang gemuk

harus makan karbohidrat dan lemak yang rendah.

7) Mengomentari makanan orang lain

Mengatakan bahwa makanan orang lain yang

mereka konsumsi merupakan makanan yang mengandung

kalori tinggi dan lemak yang bisa membuat berat badan

naik (Safitri, 2018).

e. Penyebab dari Body shaming

Menurut Pengamat Sosial Ketua Program Studi Vokasi

Komunikasi UI Dr. Devie Rahmawati (dalam Rachmah, 2019),

secara umum ada beberapa sebab kenapa body shaming terjadi

yaitu kultur patron klien, patriaki, kurangnya pengetahuan body

shaming merupakan perilaku yang salah, serta post kolonial,

sebagai berikut:

1) Kultur Patron

17
Kultur patron yang berarti orang yang diatas atau orang

yang mempunyai harta lebih atau tenar, memiliki kekuasaan

untuk bisa melakukan apapun termasuk melakukan tindakan

body shaming.

2) Patriaki

Patriaki yakni ketika perempuan cenderung menjadi objek

dari lelucon terkait bentuk tubuhnya seperti, bentuk tubuh yang

gendut, kurus, dan berkulit hitam.

3) Kurangnya pengetahuan

Minimnya pengetahuan tentang body shaming yang

merupakan tindakan atau perilaku yang salah dan buruk,

menjadi penyebab lainnya karena dari kebanyakan orang

banyak yang tidak mengetahui apa itu body shaming.

4) Post Kolonial

Post kolonial yang merupakan virus dimana orang

Indonesia selalu melihat sesuatu yang kebarat-baratan seperti

berkulit putih, berbadan tinggi, hidung mancung, bertubuh

ideal itu sempurna, sedangkan yang berkulit hitam, berbadan

pendek, hidung pesek, bertubuh gemuk itu merupakan hal yang

buruk.

5) Masalah psikis atau pernah menjadi korban

Faktor keluarga dan masa lalu berperan dalam membentuk

perilaku seseorang. Korban body shaming sebelumnya

berpotensi besar menjadi pelaku dimasa depan.

18
f. Dampak Body Shaming

Menurut Pratiwi (2019), efek psikologis yang terjadi pada para

korban body shaming sangatlah luas dan berbahaya, obyektifikasi

mengenai penampilan tubuh terhadap korban memiliki

konsekuensi psikologis tertentu berupa:

1) Tidak percaya diri

Ketidakpercayaan diri berlebihan yang dialami seseorang

secara sering dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Akibat

ejekan orang lain tentang bentuk tubuh dan penampilan, akan

memunculkan pikiran yang negatif sehingga menjadikan

gangguan kecemasan. Orang yang tidak percaya diri dapat

menimbulkan berbagai dampak buruk lainnya, seperti tidak

puas dengan penampilannya, tidak bersyukur mengenai bentuk

tubuhnya, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain

serta dapat juga melakukan berbagai tindakan untuk mengubah

bentuk tubuhnya menjadi lebih sempurna.

2) Resiko depresi

Seseorang yang mengalami tindakan body shaming dengan

mempermalukan dirinya sendiri secara fisik, dapat

mengakibatkan tidak dapat menghargai penampilannya

sehingga muncul pandangan buruk terhadap dirinya sendiri

yang berpotensi besar mengakibatkan depresi. Depresi

merupakan perasaan sedih dan hilang minat yang menetap.

3) Melakukan hal ekstrem untuk memperbaik dirinya

19
Dengan adanya ejekan dari orang lain secara terus-menerus,

akan membuat seseorang tidak bahagia dengan bentuk

tubuhnya sendiri sehingga berusaha melakukan segala macam

cara untuk mengubah dirinya. Seseorang bisa menjadi

anoreksia, dimana mereka akan membiarkan diri menjadi

kelaparan dengan cara diet ketat untuk menurukan berat

badannya. Selain itu juga bisa menjadi bulimia, dimana mereka

akan makan dengan porsi berlebih kemudian diikuti dengan

pembersihan diri dari makanan yang dimakannya. Anoreksia

dan bulimia dapat menyebabkan seseorang mengalami

dehidrasi, konstipasi, dan kekurangan gizi.

4) Bunuh diri.

Gangguan kecemasan yang dialami seseorang akibat dari

tindakan body shaming dapat mengarah pada depresi. Depresi

sendiri merupakan perasaan sedih dan hilang minat yang

menetap. Apabila seseorang merasa sedih selama berhari-hari

sampai berminggu-minggu makan dapat diidentifikasikan

menderita depresi berat. Selain itu juga gejala depresi lainnya

adalah sulit konsentrasi, merasa kosong, putus asa, tidak

semangat, serta adanya kegelisahan berlebih yang berujung

pada bunuh diri karena depresi yang berat dan berlarut-larut.

5) Gangguan Makan

20
Merasa tidak puas pada bentuk tubuh sering kali seseorang

menjadikan hal yang selalu salah dalam hal memandang bentuk

tubuhnya. Seseorang yang menilai tubuhnya dan merasa tidak

sesuai dengan bentuk tubuh ideal cenderung akan melakukan

berbagai cara agar tubuhnya ideal dengan melakukan diet untuk

menurunkan berat badan atau sebaliknya mengkonsumsi

berbagai makanan tanpa harus memperhatikan risikonya itu

sendiri. Dengan cara menaikkan berat badan, diharapkan

dirinya bisa diterima dilingkungannya untuk menghindari body

shaming. Namun, disamping itu tindakan mengubah bentuk

tubuh menyebabkan seseorang hanya berfokus pada keinginan

untuk mengubah bentuk tubuhnya tanpa memperhatikan efek

dari diet tersebut bagi kesehatannya.

g. Cara Mengatasi Tindakan Body Shaming

1) Usahakan untuk menutupi kekurangan dengan menonjolkan

sisi yang bersifat positif.

Salah satu hal penting yang patut dihindari dalam

menghadapi tindakan body shaming adalah dengan berusaha

menutupi kekurangan dengan menonjolkan kelebihan yang

dimiliki. misalnya, anda memiliki bentuk tubuh yang pendek,

maka usahakan untuk menutupi dengan menggunakan pakaian

yang panjang atau lebih pantas.

2) Hiraukan setiap ejekan orang lain

21
Cara menghadapi body shaming lainnya dengan tidak

menghiraukan atau tidak mengacuhkan setiap ejekan atau

cibiran dari orang lain, dengan cara membalasnya dengan kata-

kata positif dan mampu bersikap masa bodoh. Anggap saja

orang yang mengejek atau mencibir merasa iri dan merasa

cemburu atas kelebihan yang dimiliki.

3) Bergaul dengan orang yang berbeda

Usahakan tidak terlihat takut dan malu atas omongan orang

lain mengenai diri kita sendiri, maka sebaiknya kita mulai

mencari dan bergaul dengan orang yang memiliki perbedaan

dengan kita. Cobalah untuk membuka diri dengan mencoba

bergaul dengan orang yang layak dijadikan teman baru. Hal ini

akan mudah beradaptasi dan melupakan tentang kekurangan

diri kita, karena lingkungan yang menerima kita apa adanya.

4) Memiliki perspektif mengenai arti kesempurnaan

Dalam menghadapi tindakan body shaming selanjutnya

adalah dengan memiliki penilaian dan perspektif mengenai

kesempurnaan dengan versi berbeda dengan orang lain, jangan

karena memiliki fisik yang berbeda, beranggapan bahwa kita

tidak sempurna. Buka wawasan mengenai arti kesempurnaan.

5) Berpikir positif dengan kekurangan yang dimiliki

Setiap kekurangan yang dimiliki jangan dijadikan sebagai

penghalang untuk menikmati hidup. Ingat hidup itu hanya

sekali, jadi pikirkan hal lain yang lebih menyenangkan. Jangan

22
hanya karena cibiran dan ejekan orang lain kita mudah

menyerah, setiap yang diciptakan Tuhan memiliki sisi

kebaikan. Begitupun kita harus berpikir positif atas apa yang

dimiliki, jadikan kekurangan sebagai penyemangat hidup untuk

mencapai yang lebih baik.

6) Cintai diri sendiri

Jika kita tidak menghargai diri kita sendiri, maka orang lain

pun tentu tidak akan menghargainya. Oleh sebab itu cintailah

diri kita sendiri selayaknya. Manjakan diri sendiri untuk

mendapatkan hal-hal yang baik. Jangan biarkan kekurangan

kita menjadi penghalang untuk merasakan kebahagiaan.

7) Sibukkan dengan hal yang bermanfaat

Salah satu hal yang kita bisa lakukan dalam mengisi hari-

hari dengan mengisi kesibukkan dengan berbagai kegiatan

yang bermanfaat. Ada banyak cara untuk membuat kita

menikmati waktu, seperti mengikuti kursus, bergabung dengan

komunitas, mengikuti kegiatan didalam kampus dan banyak

lagi tentunya.

2. Konsep Remaja

a. Pengertian Remaja

Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa

anak menuju masa dewasa yang berperilaku sesuai dengan tumbuh

kembang usia remaja, diperlukan konsep diri yang merupakan

23
aspek penting dalam diri seseorang terutama remaja dalam

berinteraksi dengan lingkungannya (Agustiani, 2009). Masa

remaja, berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun

bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.

Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

usia 12-13 tahun sampai dengan 17-18 tahun adalah remaja awal,

dan usia 17-18 tahun sampai dengan 21-22 tahun adalah remaja

akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu

dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan

bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya. Pada usia ini,

umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah

(Asrori, 2016).

b. Tahapan remaja

Menurut Sarwono (2011), ada tiga tahap perkembangan remaja,

yaitu:

1) Remaja awal (early adolescence) usia 11-13 tahun.

Pada tahap ini akan ada perubahan-perubahan yang terjadi

pada tubuhnya. Remaja mengembangkan pikiran-pikiran baru,

cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara

24
erotis. Remaja awal sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh

orang dewasa. Remaja ingin bebas dan mulai berfikir abstrak.

2) Remaja Madya (middle adolescence) 14-16 tahun.

Pada tahap ini remaja membutuhkan teman-teman.

Remaja merasa senang jika banyak teman yang

menyukainya. Ada kecenderungan “narsistik”, yaitu

mencintai diri sendiri, menyukai teman-teman yang

mempunyai sifat yang sama pada dirinya. Remaja

cenderung berada dalam kondisi kebingungan karena tidak

tahu harus memilih yang mana. Pada fase ini mulai timbul

keinginan untuk berkencan dengan lawan jenis dan

berkhayal tentang aktivitas seksual sehingga remaja mulai

mencoba aktivitas-aktivitas seksual yang mereka inginkan.

3) Remaja akhir (late adolesence) 17-20 tahun.

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode

dewasa yang ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu:

a) Minat makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan

orang-orang dalam pengalaman-pengalaman yang baru.

c) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah

lagi.

25
d) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri

sendiri).

e) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya

(private self) dan publik.

c. Tugas – tugas perkembangan pada remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha

untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara

dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja, adalah:

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok

yang berlawanan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang

sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota

masyarakat.

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa

dan orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang

diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

26
10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga (Asrori, 2016).

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini sangat berkaitan

dengan perkembangan kognitifnya, salah satunya yaitu fase

operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan

sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-

tugas perkembangan itu dengan baik. Agar dapat memenuhi

dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan itu dengan baik.

Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas

perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja.

Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai dengan perkembangan

kognitifnya (Asrori, 2016).

d. Karakteristik umum perkembangan remaja

Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri,

oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity) (Bischoff,

2013). Ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara

masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa.

Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi

melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka

diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat

27
menunjukkan sikap dewasa. Oleh karena itu, ada sejumlah sikap

yang sering ditunjukkan oleh remaja yaitu sebagai berikut:

1) Kegelisahan

Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai

banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak

diwujudkan di masa depan. Namun, sesungguhnya remaja

belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk

mewujudkan semua itu. Serangkali angan-angan dan

keinginannya jauh lebih besar dibandingkan dengan

kemampuannya. Setelah itu, di satu pihak mereka ingin

mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah

pengetahuan, tetapi di pihak lain mereka merasa belum mampu

melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani

mengambil tindakan mencari pengalaman langsung dari

sumbernya. Tarik-menarik antara angan-angan yang tinggi

dengan kemampuannya yang masih belum memadai

mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

2) Pertentangan

Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja

berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari

orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri.

Oleh karena itu, pada umumnya remaja sering mengalami

kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara

mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu

28
menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari

orang tua kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri

remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja

sesungguhnya belum begitu berani mengambil risiko dari

tindakan meninggalkan lingkungan keluarganya yang jelas

aman bagi dirinya. Tambahan pula keinginan melepaskan diri

itu belum disertai dengan kesanggupan untuk berdiri sendiri

tanpa bantuan orang tua dalam soal keuangan. Akibatnya,

pertentangan yang sering terjadi itu akan menimbulkan

kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang

lain.

3) Mengkhayal

Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya

tersalurkan. Biasanya hambatan dari segi keuangan atau biaya.

Sebab, menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan

membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja

hanya memperoleh uang dari pemberian orang tuanya.

Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan,

bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi.

Khayalan remaja putra biasanya berkisar pada soal prestasi dan

29
jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan

romantika hidup. Khayalan ini tidak selamanya bersifat negatif.

Sebab khayalan ini kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang

bersifat konstruktif, misalnya timbul ide-ide tertentu yang dapat

direalisasikan.

4) Aktivitas Berkelompok

Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak

dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala, dan yang

sering terjadi adalah tidak tersedianya biaya. Adanya

bermacam-macam larangan dari orang tua seringkali

melemahkan atau bahkan mematahkan semangat para remaja.

Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya

setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk

melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan suatu

kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat

diatasi bersama-sama (Singgih DS, 2014).

5) Keinginan Mencoba Segala Sesuatu

Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang

tinggi (high curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu

yang tinggi, remaja cenderung ingin bertualang menjelajah

segala sesuatu, dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah

dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti

orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan

apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya, tidak

30
jarang sembunyi-sembunyi, pria mencoba merokok karena

sering melihat orang dewasa melakukannya. Seolah-olah dalam

hati kecilnya berkata bahwa remaja ingin membuktikan kalau

sebenarnya dirinya mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh

orang dewasa.

Remaja putri seringkali mencoba memakai kosmetik baru,

meskipun sekolah melarangnya. Oleh karena itu, yang amat

penting bagi remaja adalah memberikan bimbingan agar rasa

ingin tahunya yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-

kegiatan yang positif, kreatif, dan produktif, misalnya ingin

menjelajah alam sekitar untuk kepentingan penyelidikan atau

ekspedisi. Jika keinginan semacam itu mendapat bimbingan

dan penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreativitas

remaja yang sangat bermanfaat, seperti kemampuan membuat

alat-alat elektronika untuk kepentingan komunikasi,

menghasilkan temuan ilmiah remaja yang bermutu,

menghasilkan temuan ilmiah yang berbobot, menghasilkan

kolaborasi musik dengan teman-temannya, dan sebagainya.

Jika tidak, dikhawatirkan dapat menjurus kepada kegiatan atau

perilaku negatif, misalnya: mencoba narkoba, minum-minuman

keras, penyalahgunaan obat, atau perilaku seks pranikah yang

berakibat terjadinya kehamilan (Soerjono&Soekanto, 2015).

3. Konsep Diri

31
a. Pengertian Konsep Diri.

Konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks dari

keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap,

perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari

individu tersebut. Konsep diri seseorang mula-mula terbentuk dari

perasaan yang diterima dan diinginkan kehadiran oleh keluarganya

melalui perlakuan yang berulang-ulang dan setelah menghadapi

sikap-sikap tertentu dari ayah, ibu, kakak dan adik ataupun

oranglain di lingkup kehidupannya, akan berkembanglah konsep

diri seseorang (Pemily & Desmita, 2014).

b. Ciri-ciri Konsep Diri

Menurut Darsita (2016), konsep diri (self concept) yaitu

pikiran atau persepsi seseorang tentang dirinya sendiri, yang akan

menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi tingkah

lakunya.

Para pendidik harus sadar akan dampak self concept dan

self esteem terhadap tingkah laku siswa dan prestasinya. Adapun

ciri-ciri dari konsep diri (self concept) sebagai berikut:

1) Terorganisasikan Seorang individu mengumpulkan banyak

informasi yang dipakai untuk membentuk persepsi tentang

dirinya sendiri. Untuk sampai pada gambaran umum tentang

dirinya, seseorang menggunakan informasi ke dalam kategori-

kategori yang lebih luas dan banyak.

32
2) Multifaset Individu mengkategorikan persepsi diri itu dalam

beberapa wilayah (area) misalnya pada social acceptance,

physical attractiveness, athletic ability dan academic ability.

3) Stabil

Umumnya konsep diri (self concept) itu stabil. Perlu diingat

jika area konsep diri (self concept) bisa berubah.

a) Tersusun secara hirarkis.

b) Berkembang konsep diri (self concept) berkembang sesuai

dengan umur dan pengaruh lingkungannya.

c) Evaluatif Individu tidak hanya membentuk deskripsi

dirinya pada situasi yang istimewa, tetapi juga mengadakan

penilaian terhadap dirinya sendiri. Beberapa siswa percaya

bahwa mereka adalah siswa yang suskes, sementara siswa

yang lain merasa bahwa tidak layak dan merasa rendah jika

dibandingkan dengan temannya. Coopersmith

menggolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan self

concept yang positif dan negatif. Dengan demikian

berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-

ciri konsep diri dibagi menjadi tiga bagian. Pertama,

terorganisasikan. Kedua, multifaset. Ketiga, stabil. Ketiga

ciri tersebut dapat menjadi faktor penting yang dapat

mempengaruhi tingkah lakunya.

c. Ruang lingkup Konsep diri

33
Menurut Darsita (2016), ada lima ruang lingkup konsep diri

yaitu:

1) Gambaran diri (citra tubuh)

Citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakinan dan

pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap

tubuhnya, yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan,

makna dan obyek yang kontak secara terus menerus (anting,

make up, pakaian, kursi roda) baik masa lalu maupun sekarang.

a) Stresor yang terjadi pada citra tubuh.

1) Perubahan ukuran tubuh: penurunan berat badan.

2) Perubahan bentuk tubuh: tindakan invasif (operasi,

daerah pemasangan infus).

3) Perubahan struktur: sama dengan perubahan bentuk

disertai dengan pemasangan alat di dalam tubuh.

4) Perubahan fungsi: berbagai penyakit yang dapat

merubah sistem tubuh.

5) Keterbatasan gerak: makan, melakukan kegiatan.

b) Tanda dan gejala gangguan citra tubuh

1) Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang

berubah

2) Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi

3) Menolak penjelasan perubahan tubuh

4) Preakupasi dengan bagian tubuh yang hilang

5) Persepsi negatif terhadap tubuh

34
6) Mengungkapkan keputusaaan

7) Mengungkapkan ketakutan

2) Ideal Diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana

seseorang harus berperilaku berdasarkan standar dan tujuan,

keinginan atau nilai pribadi tertentu. Standar ideal diri dapat

berhubungan dengan tipe yang diinginkan atau sejumlah

aspirasi, cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial

(keluarga, budaya).

Gangguan ideal diri adalah ideal diri yang terlalu tinggi,

sukar dicapai dan tidak realitis ideal diri yang samar dan tidak

jelas serta cenderung menuntut.

Ada faktor yang mempengaruhi ideal diri:

a) Kecenderungan individu menempatkan diri pada batas

kemampuannya.

b) Faktor tubuh akan mempengaruhi individu menetapkan

ideal diri kemudian standar ini ditetapkan dengan standar

kelompok teman.

c) Ambisi dan keinginan untuk melebih dan berhasil,

kebutuhan yang realitas keinginan untuk menghindari

kegagalan, perasaan cemas, rendah diri.

3) Harga diri

35
Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri

dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal

diri. Pencapaian ideal diri atau cita-cita atau harapan langsung

menghasilkan perasaan yang berharga, jika individu sukses

maka cenderung harga diri tinggi.

4) Peran Diri

Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang

diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat.

Posisi dimasyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran,

stress peran terdiri dari konflik peran, peran tidak jelas, peran

yang terlalu banyak.

Sikap peran terdiri dari:

a) Konflik peran yang dialami jika peran yang diminta konflik

dengan sistem individu atau dua peran yang konflik satu

sama lain.

b) Peran yang tidak jelas: terjadi jika individu diberi peran

yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang

diharapkan. Peran yang tidak sesuai terjadi jika individu

dalam proses transisi merubah nilai dan sikap, misalnya

seseorang yang masuk ke dalam suatu profesi dimana

terjadi konflik antara nilai individu dan profesi. Peran

36
berlebih jika seseorang individu menerima banyak peran

misal sebagai istri, ibu, perawat, mahasiswa dituntut

melakukan banyak hal terjadi tidak terjadi waktu untuk

menyelesaikan.

5) Identitas Diri

Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang

bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sitesa

dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat

akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan

tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan yang

berharga, kemampuan dan pengguasaan diri seseorang yang

mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya.

d. Dimensi Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella dalam Gufron dan

Risnawita (2013) mengemukakan bahwa ada 3 dimensi konsep

diri, yaitu:

1) Pengetahuan

Dimensi Pertama dari konsep diri adalah apa yang kita

ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari “siapa saya”

yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri

tersebut pada gilirannya akan membentuk citra diri.

37
2) Harapan

Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan

atau diri yang dicita-citakan dimasa depan. Ketika kita

mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya,

pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan

lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita dimasa

mendatang. Singkatnya kita mempunyai pengharapan bagi diri

kita sendiri. Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal)

atau diri yang dicita-citakan.

3) Penilaian

Dimensi ketiga dari konsep diri, adalah penilaian kita

terhadap diri kita sendiri. Penilaian diri sendiri merupakan

pandangan kita tentang harga atau kewajaran kita sebagai

pribadi. Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang

disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita

menyukai diri sendiri.

e. Faktor – Faktor Konsep Diri

Pembentukan konsep diri seseorang tidak jauh dari

interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya. Bagaimana orang

lain mempersepsikan kita juga ikut mempengaruhi konsep diri

yang diyakininya (Papalia, 2014). William (2014) mengatakan

bahwa sumber pokok informasi untuk konsep diri seseorang adalah

interaksinya dengan orang lain.

38
Calhoun & Acocella, (2013) mengatakan bahwa terdapat

empat faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri

seseorang, yaitu orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan juga

proses belajar. Berikut adalah penjelasannya.

1) Orang tua

Orang tua merupakan kontak sosial paling awal dan paling

kuat yang kita alami. Karenanya, apa yang dikomunikasikan

oleh orang tua pada anak akan lebih melekat daripada informasi

lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orang tualah yang

memberikan kita arus informasi yang konstan tentang diri kita.

Dan pada akhirnya orang tua kitalah yang mengajarkan

bagaimana menilai kita sendiri. Bagaimanapun perlakuan orang

tua terhadap anak, anak akan menduga bahwa ia memang

pantas diperlakukan seperti itu. Calhoun & Acocella, (2013)

menambahkan bahwa perasaan nilai diri sebagai orang berasal

dari nilai yang diberikan orang tua kepada anak. Penilaian

inilah yang akan berlangsung terus sepanjang hidup seseorang.

2) Kawan Sebaya

Kelompok kawan sebaya anak menempati kedudukan

kedua setelah orang tuanya dalam hal mempengaruhi konsep

dirinya. Selain membutuhkan cinta dan perhatian dari orang

tuanya, seorang individu konsep dirinya akan terganggu. Selain

permasalahan penerimaan atau penolakan, permainan peran

39
dalam kelompok teman sebayanya juga dapat mempunyai

pengaruh pada pandangannya terhadap dirinya sendiri.

3) Masyarakat

Pada awalnya, seorang anak cenderung tidak terlalu

mementingkan hal-hal yang ada pada dirinya (seperti ras,

agama, norma, dll). Namun masyarakatlah yang biasanya

menganggap penting fakta-fakta semacam itu. akhirnya

penilaian dari masyarakat tersebut sampai kepada anak dan

masuk ke dalam konsep-diri mereka. Sama seperti orang tua

dan teman sebaya, masyarakat terkadang memberitahu individu

bagaimana mereka harus bertindak dan mendefinisikan diri

mereka, dan individu tersebut cenderung memasukkan harapan-

harapan orang lain ke dalam konsep diri mereka dan

melaksanakan harapan tersebut.

4) Proses Belajar

Konsep diri seseorang adalah hasil belajar mereka.

Kegiatan belajar ini tentu berlangsung terus tiap hari, biasanya

tanpa kita sadari. Belajar di sini dapat didefinisikan sebagai

perubahan psikologis yang relatife permanen yang terjadi

dalam diri ktia sebagai akibat dari pengalaman. Sebagai contoh,

seorang laki-laki yang memiliki penampilan fisik juga akan

membutuhkan penerimaan dari teman-teman sebayanya. Ketika

seorang anak tidak mendapatkan penerimaan tersebut, maka

40
pendek dan diberi julukan oleh teman-temannya akan

menyadari bahwa sifat pendek bukanlah sifat yang dihargai

g. Jenis - jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (2013), dalam perkembangannya

konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Konsep diri positif

Konsep diri yang positif menunjukkan adanya penerimaan

diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal

dirinya dengan baik sekali. Konsep diri positif bersifat stabil

dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif akan

memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-

macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap

dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa

adanya. Individu yang mempunyai konsep diri positif akan

merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu

tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai,

mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap

bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

2) Konsep diri negatif

a) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar

tidak teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan, dan

keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu

41
siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang

dihargai dalam kehidupannya.

b) Pandangan terhadap dirinya sendiri terlalu stabil dan

teratur. Hal ini dapat terjadi karena individu dididik dengan

cara yang keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak

mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat

hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang

tepat.

h. Karakteristik Konsep Diri Remaja

Ketika anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka

mengalami perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan

sejumlah aspek dalam diri mereka. Santrok dalam Desmita (2014)

menyebutkan bahwa sejumlah karakteristik penting perkembangan

konsep diri pada masa remaja, yaitu:

1) Abstract and idealistic.

Pada masa remaja dan anak-anak mungkin baru akan

membuat gambaran tentang diri mereka dengan kata-kata yang

abstrak dan idealistik. Gambaran tentang konsep diri yang

abstrak, misalnya, remaja sudah bisa memutuskan suatu

keputusan dengan sendirinya. Sedangkan deskripsi idealistik

dari konsep diri remaja yang dapat dilihat adalah seperti remaja

memiliki perasaan peduli dan dapat menilai tubuhnya sendiri.

Meskipun tidak semua remaja menggambarkan diri mereka

dengan cara yang idealis, namun sebagian besar remaja

42
membedakan antara diri mereka yang sebenarnya dengan diri

yang di idamankan.

2) Differentiated

Konsep diri remaja bisa menjadi semakin terdiferensiasi.

Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja lebih

mungkin untuk menggambarkan dirinya sesuai dengan konteks

atau situasi yang semakin terdiferensiasi.

3) Contradictions within the self

Setelah remaja mendeferensiasikan dirinya ke dalam

sejumlah peran dan dalam konteks yang berbeda-beda, maka

muncul kontradiksi antara diri-diri yang terdeferensiasi ini.

4) The Fluctiating Self

Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya

memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas

waktu yang tidak mengejutkan. Diri remaja akan terus

memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja

berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh,

dan biasanya tidak terjadi hingga masa remaja akhir, bahkan

hingga masa dewasa awal.

5) Real and Ideal, True and False Selves

Munculnya kemampuan remaja untuk mengkonstruksikan

diri ideal mereka di samping diri yang sebenarnya.

43
Kemampuan utnuk menyadari adanya perbedaan antara diri

yang nyata dengan diri yang ideal menunjukkan adanya

peningkatan kemampuan kognitif dan adanya perbedaan yang

terlalu jauh antara diri yang nyata dengan diri ideal

menunjukkan ketidakmampuan remaja untuk menyesuaikan

diri.

6) Social Comparison

Remaja lebih sering menggunakan social comparison

(perbandingan social) untuk mengevaluasi diri mereka sendiri.

Namun, kesediaan remaja untuk mengevaluasi diri mereka

cenderungmenurun pada masa remaja karena menurut mereka

perbandingan sosial itu tidaklah diinginkan.

7) Self-Conscious

Remaja lebih sadar akan dirinya dibandingkan dengan

anak-anak dan lebih memikirkan tentang pemahaman diri

mereka.

8) Self-protective

Remaja juga memiliki mekanisme untuk melindungi dan

mengembangkan dirinya. Dalam upaya melindungi dirinya,

remaja cenderung menolak adanya karakteristik negatif dalam

diri mereka.

9) Unconscious

44
Konsep diri remaja melibatkan adanya pengenalan bahwa

komponen yang tidak disadari termasuk dalam dirinya, sama

seperti komponen yang disadari. Pengenalan seperti ini tidak

muncul hingga masa remaja akhir. Artinya, remaja yang lebih

tua, yakin akan adanya aspek-aspek tertentu dari pengalaman

mental dari mereka yang berada di luar kesadaran atau kontrol

mereka dibandingkan dengan remaja yang lebih muda.

10) Self-integration

Terutama pada masa remaja akhir, konsep diri menjadi

lebih terintegrasi, dimana bagian yang berbeda-beda dari diri

secara sistematik menjadi satu kesatuan. Remaja yang lebih

tua, lebih mampu mendeteksi adanya ketidak konsistenan.

45
E. Kerangka Teori

Body shaming

Dampak body shaming


1. Tidak percaya diri Remaja Konsep diri
2. Depresi
3. Ekstream
memperbaiki diri
4. Bunuh diri
5. Gangguan makan - Positif
- Negatif

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Bagan 2.1 Kerangka Teori

46
F. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi

hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya,

atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang

diteliti (Notoatmojo, 2018). Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas

agar dikomukasikan dan membentuk teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti).

Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil

penemuan dengan teori (Nursalam,2017).

Berdasarkan kerangka teori yang ada maka kerangka konseptual

yang dilakukan sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Body shaming Konsep Diri

Bagan 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian tentang Hubungan


Body shaming dengan konsep diri remaja di SMA 4 Tanjungpinang
Kepulauan Riau

47
G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Biasanya hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua

variabel, variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2018).

Berdasarkan kerangka konsep penelitian maka hipotesis penelitian ini adalah

ada Hubungan body shaming dengan konsep diri pada remaja di SMA 4

Tanjungpinang Kepulauan Riau.

48
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif,

dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional adalah

penelitian yang mengukur variabel bebas dan variabel terikat secara

stimultan atau dalam satu waktu yang bersama (Notoatmodjo, 2018).

H. Waktu dan Penelitian

1. Waktu Penelitian

a. Tahap persiapan

Tahap persiapan dilakukan pada bulan Februari sampai

April 2021. Kegiatan pada tahap ini adalah pengajuan judul, studi

awal, studi pendahuluan, pengambilan data dan penyusunan

proposal.

b. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan akan dilaksanakan pada bulan Mei

2021. Kegiatan yang dilakukan adalah mengurus surat izin

validitas dan reabilitas, membuat surat izin penelitian, pembagian

responden berdasarkan tingkatan dan responden mengisi lembar

kuesioner, setelah data terkumpul akan dilakukan analisis dan

dilanjutkan tahap penyusunan skripsi pada bulan Juli 2021.

49
c. Tahap penyusunan laporan

Tahap penyusunan laporan dilakukan mulai bulan Juli

sampai Agustus 2021. Pada tahap ini yang dilakukan adalah

pengolahan data dan menyusun laporan hasil penelitian.

2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau.

I. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek yang akan diteliti. Objek

tersebut dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda

mati lainnya (Notoatmodjo, 2018). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh siswa remaja di SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau

2021. Jumlah populasi pada penelitian ini berjumlah 1126 orang siswa.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang mewakili seluruh populasi yang diteliti,

sehingga peneliti hanya mengambil sebagian dari populasi tersebut

untuk dilakukan penelitian. Sampel dalam penelitian ini diambil

menggunakan teknik sampling stratified random sampling atau

pengambilan sampel secara acak stratifikasi. Peneliti mengindentifikasi

atau mempertimbangkan strata yang terdapat dalam populasi,

kemudian sampel diambil dari masing-masing strata secara acak atau

random.

50
Stratified random sampling digunakan jika suatu populasi terdiri

dari untit yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda atau

heterogen (Notoatmodjo, 2018).

Menentukan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus Slovin. Untuk tingkat presisi yang ditetapkan dalam penentuan

sampel adalah 5%.

Rumus Slovin untuk menentukan sampel adalah sebagai berikut:

N
n=
1+ N (e)2

Keterangan:

n = Ukuran sampel/jumlah responden

N = Ukuran populasi

E = Kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan

sampel yang dapat ditolerir, kemudian dikuadratkan.

JUMLAH SISWA
JUMLAH JUMLAH
KELAS JUMLAH
ROMBEL TOTAL
L P

X MIPA 6 114 112 226


363
X IPS 4 72 65 137

XI MIPA 6 96 134 230


391
XI IPS 5 94 67 161

XII MIPA 5 100 93 193


372
XII IPS 5 87 92 179

JUMLAH 31 563 563   1126

Tabel 3.1 daftar jumlah siswa SMA 4 Tanjupinang 2021/2022

51
Maka untuk mengetahui sampel penelitian, dengan

perhitungan sebagai berikut:

1126
n =
1+ 1126(0.05)2

1126
n = = 295,1 disesuaikan oleh peneliti menjadi 296
3 ,815

responden.

Maka jumlah sampel sebanyak 296 responden. Pada

penelitian ini sampel diambil dari populasi yang memenuhi kriteria

sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang harus dipenuhi setiap

anggota populasi untuk dapat diambil menjadi sampel

(Notoatmodjo, 2018). Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

1) Siswa dan siswi SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau

2) Berusia 14-18 tahun

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah karakteristik anggota populasi yang

tidak dapat dijadikan sampel. Kriteria ekslusi pada penelitian ini

adalah :

1) Bukan siswa dan siswi SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan Riau

2) Siswa dan siswi tidak bersedia untuk dilakukan penelitian

52
3) Siswa dan siswi tidak mengisi kuesioner secara benar

J. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari

orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasai tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2018). Variabel dalam penelitian kuantitatif

dibagi menjadi dua yaitu, variabel yang mempengaruhi disebut juga

variabel penyebab, variabel bebas atau independent variabel (X) dan

variabel yang dipengaruhi disebut juga variabel akibat, terikat, atau

dependent variabel (Y).

Variabel yang terdapat dalam penelitian ini yaitu:

a. Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi

adalah body shaming (X).

b. Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi yaitu

konsep diri (Y).

2. Definisi operasional

Definisi operasional adalah merupakan ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel diamati/diteliti yang perlu diberi atasan.

Manfaat dari definisi operasional ini untuk mengarahkan pada

pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang

bersangkutan serta pengembangan terhadap variabel-variabel yang

53
bersangkutan serta pengembangan instrumen (alat ukur)

(Notoatmodjo, 2018).

Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

operasional
1 Variabel Pengalaman Kuesioner Terdiri Apabila skor Ordinal
independe seseorang yang dari 2 menjawab pernah
n body menerima pertanyaan maka ≥ 2.
shaming perlakuan terkait Jika, skor
seperti dihina pengalama menjawab tidak,
atau n maka ≤ 2.
dikomentari responden
tubuh, yang dengan
menimbulkan pilihan
perasaan seperti jawaban
marah/kesal dan Ya atau
tersinggung. Tidak
Jawaban
ya dengan
skor 1
Jawaban
tidak
dengan
skor 2
2 Variabel Penilaian Kuesioner Terdiri dari -Positif bila Ordinal
dependen seseorang 14 skor > 43
konsep diri mengenai pernyataan -Negatif bila
dirinya dengan skor ≤ 43
sendiri,meliputi pilihan
dari gambaran jawaban :
diri(citra -Sangat
tubuh), ideal sesuai (SS)
diri, harga diberi skor =
diri,peran diri 4
dan identitas -Sesuai (S)
diri. diberi skor =
3
-Tidak
sesuai (TS)
diberi skor =

54
2
-Sangat
tidak sesuai
(STS) diberi
skor = 1

K. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh penulis sendiri. Rangkaian

kegiatan selama penelitian yang sebagai berikut:

1. Membuat surat izin pengambilan data di SMA 4 Tanjungpinang

Kepulauan Riau.

2. Meminta jumlah data responden di SMA 4 Tanjungpinang Kepulauan

Riau.

3. Membuat jadwal penelitian.

4. Melakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner.

5. Melakukan jadwal penelitian

6. Penyusunan proposal penelitian.

7. Menentukan jadwal penelitian

8. Responden mengisi kuesioner

L. Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah

dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah alat ukur yang

digunakan untuk pengumpulan data berupa pertanyaan (Notoadmodjo,

2018). Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan kepada

responden untuk dijawab. Ada dua kuesioner yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini, yaitu kuesioner body shaming dan konsep diri.

55
Kuesioner konsep diri ini menggunakan skala likert yang terdiri

dari 4 alternatif jawaban yaitu, sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai

(TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Yang terdiri 15 penyataan yang

diajukan kepada responden dengan skor Sangat Sesuai 4, Sesuai 3, Tidak

Sesuai 2, dan Sangat Tidak Sesuai 1.

Kuesioner body shaming ini menggunakan skala guttman yang

terdiri dari 2 pertanyaan dengan pilihan ya atau tidak, jawaban ya dengan

skor 1 dan jawaban tidak dengan skor 0.

M. Uji Validitas Dan Reliabilitas

1. Uji validitas

Validitas adalah syarat mutlak bagi alat ukur untuk dapat

digunakan dalam pengukuran agar memperoleh hasil penelitian yang

akurat. Responden untuk uji instrumen diambil dari populasi yang

sama dengan subjek penelitian sehingga diasumsikan memiliki

karakteristik yang sama tetapi responden yang dipilih adalah

responden yang tidak terlihat dalam penelitian (Darma, 2011). Kriteria

perhitungan dilakukan dengan membandingkan r hitung dan r tabel.

Apabila r hitung lebih besar dari r tabel maka dinyatakan valid.

Sebaliknya apabila r hitung lebih kecil dari r tabel maka instrument

dinyatakn tidak valid.

Uji validitas ini dilakukan pada 30 responden dimana nilai r tabel

dengan taraf signifikan (α 5%) adalah 0,361. Apabila r hitung ≥ r tabel

(0,361) dinyatakan valid, sedangkan apabila koefesien r hitung < 0,361

56
dinyatakan tidak valid.

Penelitian melakukan uji validitas sebanyak 1 kali terhadap 30

responden. Dalam pengujian dari 2 pernyataan mengenai body

shaming didapatkan hasil sebanyak 2 penyataan yang valid. Sedangkan

untuk pernyataan konsep diri sebanyak 14 pernyataan yang valid dan 1

pernyataan yang tidak valid.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmojo,

2018). Reliabilitas adalah keamanan hasil pengukuran atau

pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup jadi diukur dan diamati

berkali-kali dalam waktu yang sama (Nursalam, 2011). Untuk menguji

reliabilitas instrument dengan menggunakan teknik alpha cronbach

dengan rumus koefisisen alpha cronbach. Kriteria instrument

dikatakan reliabel, apabila nilai yang didapat dalam proses pengujian

dengan uji statistic alpha cronbach > 0,60.

Setelah dilakukan uji valid instrumen body shaming didapatkan

nilai cronbach alpha (0,193) dan konsep diri didapatkan nilai

cronbach alpha (0,885). Artinya instrumen di nyatakan reliable

(>0,60)

N. Teknik analisa Data

1. Prosedur Pengolahan Data

Setelah mengumpulkan data, maka dilakukan pengolahan data

dengan komputerisasi dengan langkah-langkah data antara lain:

57
a. Editing

Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isian formulir atau kuesioner tersebut. Pada penelitian ini, peneliti

telah melakukan tahap editing (penyuntingan) dengan cara

mengecek kuesioner terlebih dahulu. Kuesioner yang

dikembalikan oleh responden diperiksa kelengkapan pengisisan

terutama identitas responden dan kesalahan dalam mengisi

kuesioner.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya

dilakukan coding atau mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data, angka, atau bilangan. Peneliti memberi tanda pada

masing-masing jawaban dengan angka kemudian dimasukkan

dalam tabel agar pembacaan lebih mudah.

c. Data Entry

Mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembaran kode atau

kartu kode dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Scoring

Data yang diolah telah dimasukkan dan diberikan penilaian angka

masing-masing sehingga data tersebut dapat dianalisa.

e. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden

selesai masukkan, perlu dicek kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

58
ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi.

2. Teknik analisa data

a. Analisa Univariat

Uji univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan karakteristik (Notoatadmojo, 2018). Pada

penelitian ini analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan

karakteristik (usia dan jenis kelamin), yang menggunakan data

kategorik disajikan dalam bentuk jumlah dan presentase.

b. Uji bivariat

Uji bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2018). Pada

penelitian ini guna untuk mengetahui hubungan body shaming

terhadap konsep diri. Rumus yang digunakan dalam uji bivariat ini

adalah korelasi Rank Spearman (Spearman Rho). Korelasi Rank

Spearman (Spearman Rho) digunakan untuk mengukur tingkat

atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal

(Hidayat, 2014).

O. Pertimbangan Etik

Pada penelitian ini, peneliti memperhatikan prinsip-prinsip dasar

penelitian , yaitu beneficience, respect for human dignity, dan justice. Ada

beberapa hal yang harus dipertimbangan oleh peneliti terkait etik peneliti

antar lain:

1. Prinsip manfaat

59
a. Bebas dari penderitaan : penelitian ini tidak mengakibatkan

penderitaan pada subjek. Pada peneliti ini penulis tidak melakukan

tindakan pada responden hanya menyebarkan angket.

b. Bebas dari eksploitasi : harus dihindari dari hal yang tidak

menguntungkan subjek dan informasi yang diberikan tidak untuk

merugukan subjek dalam bentuk apapun. Penulis hanya

memberikan informasi terkait penelitian dan tidak memberikan

informasi di luar topik penelitian.

c. Risiko (benefit rasio) : berhati-hati dalam mempertimbangkan

rasio dan keuntungan yang akan berakibat fatal pada setiap subjek.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect for human dignity)

a. Right to self determination : subjek harus dilakukan secara

manusiawi, mempunyai hak untuk memutuskan untuk bersedia

atau tidak terjadi responden.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan

(right to full disclosure) : memberikan penjelasan yang terperinci

serta bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi. Penulis

bertanggung jawab jika ada sesuatu terjadi pada responden saat

penelitian.

c. Informed concert : subjek harus mendapatkan informasi secara

lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan,

mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak. Penulis

memberikan informasi terkait penelitian secara lengkap kepada

60
responden dan tidak memaksa responden untuk berpartisipasi pada

penelitian ini.

3. Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair

treatment) : subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum,

selama dan sesudah penelitian. Pada prinsip inipenulisan tidak

membedakan responden penelitian pada setiap tingkat kelas.

b. Hak dijaga kerahasiaanya (right to privacy) : subjek mempunyai

hak untuk meminta data yang diberikan harus dirahasiakan, untuk

itu perlu tanpa nama (anonymity) dan rahasia (confidentiality).

Penulis tidak mencantumkan nama responden, tetapi hanya

menuliskan nomor kode atau nama inisial pada lembar

pengumpulan data. Informasi yang telah dikumpulkan akan dijaga

kerahasiaannya oleh penulis, hanya hanya data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil.

61

Anda mungkin juga menyukai