Anda di halaman 1dari 31

HUBUNGAN ANTARA BODY SHAMING DENGAN KEPERCAYAAN

DIRI PADA MAHASISWA/I YANG MENGALAMI CYBERBULLYING DI

KOTA BANDA ACEH

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Oleh

NAMA : HAYATUL NISA


NIM : 160901038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penilaian rasa puas akan tubuh dan penampilannya sendiri dengan
rasa percaya diri yang kita miliki kerap menjadi suatu permasalahan yang
sangat menarik untuk dibahas. Kemajuan teknologi pada era ini
menghadirkan kemudahan dalam mengakses informasi dari berbagai
media, baik melalui televisi, hingga melalui perangkat canggih seperti
smartphone. Hal ini kemudian juga berdampak pada penyebaran nilai-nilai
yang dengan mudah dapat memengaruhi perspektif dan sikap masyarakat
terhadap sesuatu, termasuk standarisasi tubuh ideal, baik bagi laki-laki
maupun perempuan.
Tubuh ideal, dalam hal ini penampilan fisik telah menjadi salah satu
nilai utama bagi setiap individu, terutama bagi kaum perempuan. Bahkan
sejak zaman dahulu para perempuan diberbagai negara telah memiliki
standar kecantikannya masing-masing. Misalnya, tubuh ramping dengan
bahu sempit menjadi standar kecantikan tersendiri bagi para wanita, Mesir
Kuno: tubuh seksi dengan bentuk tubuh yang tegap seperti laki-laki dan
kulit yang terang bagi wanita Yunani Kuno: tubuh ramping, berkulit putih,
bola mata besar dan kaki yang kecil bagi wanita pada masa Dinasti Han;
atau payudara yang besar, kulit putih, bokong besar dan rambut ikal pada
masa Italian Renaissance (liputan6.com). Untuk memenuhi standar
kecantikan tersebut, para perempuan pada masa itu bahkan rela melakukan
berbagai “ritual” agar menjadi cantik di lingkungan sosialnya.
Dari masa ke masa, istilah tubuh sering dikaitkan dengan
perempuan. Namun seiring perkembangan zaman, laki-laki juga mulai
memperhatikan penampilan tubuhnya. Pergeseran ini dilatar belakangi
oleh tekanan yang didapat dari lingkungan untuk memiliki tubuh ideal,
yaitu tubuh atletis, maskulin, dan berotot yang dianggap sebagai salah satu
cara untuk menampilkan kekuatan dan kelaki-lakian sehingga membawa

1
laki-laki kepada perhatian terhadap penampilan tubuh agar memiliki citra
tubuh positif. Standar ideal tersebut kemudian membentuk citra tubuh
pada masyarakat, sehingga menuntun kita agar memiliki tubuh yang ideal,
sekaligus menjadi korban dari gambaran tubuh ideal yang seringkali tidak
realistis
Namun seiring perkembangan zaman, laki-laki juga mulai
memerhatikan penampilan tubuhnya. Pergeseran ini dilatar belakangi oleh
tekanan yang didapat dari lingkungan untuk memiliki tubuh ideal, yaitu
tubuh atletis, maskulin, dan berotot yang dianggap sebagai salah satu cara
untuk menampilkan kekuatan dan kelaki-lakian sehingga membawa laki-
laki kepada perhatian terhadap penampilan tubuh agar memiliki citra tubuh
positif (Frangky, 2012).
Saat ini bagi sebagian besar negara terutama negara maju dan
berkembang, termasuk di Indonesia, standar bentuk tubuh ideal adalah
tubuh yang memiliki keserasian antara berat dan tinggi badan. Ini dapat
dilihat misalnya pada iklan televisi, media cetak maupun elektronik yang
kebanyakan menampilkan laki-laki dengan tubuh atletis yang berotot
sertawanita langsing dan putih, para model catwalk dan peserta kontes
kecantikan dengan tubuh tinggi semampai, bahkan banyak perusahaan
yang saat ini memasukkan penampilan menarik dan tubuh proporsional
sebagai salah satu kriteria bagi para calon karyawannya. Implikasi yang
ditimbulkan kondisi ini yaitu tingginya usaha laki-laki dan perempuan
untuk menjadi ideal sesuai dengan system gender, yaitu big is masculine
dan thin is beautiful (Tom dkk dalam Frangky, 2012).
Disadari atau tidak manusia akan selalu menilai perasaan dirinya
sendiri. Di dalam menilai dirinya sendiri, bangga, puas dan bahagia akan
muncul apabila orang tersebut memberitahukan penilaian terhadap dirinya
akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari lebih jauh diungkapkan. Orang
akan menggunakan ukuran yang objektif sebagai dasar penilaiannya.
Selama ada penilaian untuk melakukan hal itu jika kemungkinan itu tidak

2
ada maka, pada umumnya orang akan menggunakan kesan penilaian dari
orang lain sebagai ukuran dalam memandang dirinya.
Standar ideal tersebut kemudian membentuk citra tubuh pada
masyarakat, khususnya para remaja. Citra tubuh atau body image adalah
persepsi diri terhadap dirinya sendiri di mata orang lain dan anggapan
tentang diri sendiri untuk terlihat pantas di lingkungan sekitarnya (Sa’diyah,
2015). Namun, ketika standar dan penilaian sulit dicapai maka akan dapat
menimbulkan perasaan tidak puas terhadap kondisi diri sendiri dan menurunkan
rasa percaya diri.
Body shaming atau mengomentari kekurangan fisik orang lain tanpa
disadari sering dilakukan orang-orang. Meski bukan kontak fisik yang
merugikan, namun body shaming sudah termasuk jenis perundungan secara
verbal atau lewat kata-kata. Bahkan dalam komunikasi sehari-hari tidak jarang
terselip kalimat candaan yang berujung pada body shaming. Perilaku body
shaming dapat menjadikan seseorang semakin merasa tidak aman dan tidak
nyaman terhadap penampilan fisiknya dan mulai menutup diri baik terhadap
lingkungan maupun orang-orang.
Body shaming sedang marak terjadi di dunia saat ini dan fenomena ini
bukanlah fenomena yang baru. Sejak dulu fenomena ini sudah dialami oleh
masyarakat di belahan bumi barat (Dolezal, 2015). Berdasarkan data yang
diperoleh 90% dari 5053 perempuan merasa tidak bahagia akan tubuhnya
sedangkan 34% pria mengatakan bahwa tidak puas dengan bentuk tubuhnya
(Gallivan, 2014). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa body shaming lebih
banyak dialami oleh perempuan.
Body Shaming adalah bentuk dari tindakan mengomentari fisik,
penampilan, atau citra diri seseorang. Body shaming saat ini sudah menjadi isu
nyata yang hampir dialami semua orang, apapun bentuk tubuh yang dimilikinya.
Sudah bukan rahasia umum lagi jika seseorang begitu memperhatikan bentuk
tubuhnya hingga melahirkan suatu body-image yang positif atau malah negatif.
Menurut kamus psikologi (Chaplin, 2005) citra tubuh atau biasa disebut body
image adalah ide seseorang mengenai penampilannya di hadapan orang (bagi)
orang lain. Body image ini tentu sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri
masing-masing orang. Lantas, apa jadinya jika sebagian dari kita masih

3
melakukan body shaming? Bahkan, body shaming ini jarang kita sadari.
Ironisnya, beberapa dari kita menganggap bahwa body shaming hanyalah sebuah
candaan belaka.

“kok banyak berjerawat ya sekarang”.


“kok kamu gendut banget sekarang. Makanya diet”.
“Kamu kurus banget. Kamu kalau agak gemukan dikit pasti cakep”.
“Pendek banget sih jadi cewek.”
“kamu kok laki-laki pendek banget”.
Kata-kata diatas mungkin mempunyai maksud untuk bercanda atau
memuji. Padahal, tidak semua orang dapat menerima perkataan seperti apa
yang kita harapkan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik bagi
orang lain. Begitupun dengan body shaming, mereka yang menerima body
shaming bisa saja sakit hati, tidak percaya diri atau mengalami gangguan
makan seperti bulimia dan anoreksia nervosa, depresi karena kata-kata
yang kita anggap hanya candaan saja dan bisa lebih parah yaitu bunuh diri.
Sebagian besar dari kita hanya menggetahui body shaming yang
dilakukan secara langung atau bertemu langsung dengan target (sebutan
untuk seorang korban) body shaming menggunakan kontak fisik maupun
verbal. Namun sekarang ini, body shaming tidak hanya terjadi dikehidupan
nyata saja, body shaming sekarang juga terjadi di dunia internet atau
cyber. Body shaming atau yang terjadi di internet atau cyber dijuluki
dengan cyberbullying.
Cyberbullying sama dengan body shaming yang terjadi pada
umumnya, yaitu sama-sama mengintimidasi ataupun mengganggu orang
yang lemah, cyberbullying ini pada umumnya banyak terjadi dimedia
sosial. Perbedaan antara Cyberbullying dengan body shaming adalah
tempat di mana seorang pembully atau mobbing (julukan untuk satu
kelompok pem-bully) melakukan intimidasi, ancaman, pelecehan, dll
terhadap target. Cyberbullying adalah kejadian ketika seorang anak atau
remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau dipermalukan oleh anak atau
remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler.

4
Cyberbullying dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18
tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Apabila salah satu pihak
yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus
yang terjadi akan dikategorikan sebagai cybercrime atau cyberstalking
(sering juga disebut cyber harassment) (Potret-Online.Com, 12 Agustus
2013).
Cyberbullying lebih mudah dilakukan dari pada kekerasan
konvensional karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang
lain yang menjadi targetnya. Korban yang terkena cyberbullying juga
jarang yang melaporkan kepada pihak yang berwajib, sehingga banyak
orang tua yang tidak mengetahui bahwa anak-anak mereka terkena
bullying di dalam dunia maya. Para peneliti melakukan analisis terhadap
4.500 remaja, dan anak-anak menyatakan memiliki tingkat depresi yang
lebih tinggi dari kelompok lain yang hanya dipukuli atau diejek.
(inet.detik.com, 24 september 2010).
Seperti yang baru-baru ini terjadi di korea selatan, meninggalnya
salah satu mantan girls group korea selatan yang bernama sulli, sebelum
meninggal sulli banyak mendapatkan komentar tentang tubuhnya, dimana
ia di salah satu acara televisi korea audien pada acara tersebut mengatakan
bahwa badan sulli terlalu gemuk karena lengannya terlihat sangat berisi.
Tak hanya secara langsung, sulli juga mendapatkan kritikan dari sosial
media yaitu instagram. Disana ia banyak mendapatkan komentar-komentar
negatif sehingga menimbulkan depresi yang berkepanjangan dan akhirnya
melakukan bunuh diri pada tanggal 14 oktober 2019. Sebelum bunuh diri
sulli juga menderita sindrom populatitas ekstrim, gangguan panik dan juga
fobia sosial (cnbcindonesia.com, 2019). Dapat kita bayangkan bagaimana
body shiming secara langsung maupun dari media sosial (cyberbullying)
memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan seseorang.
Di indonesia sendiri ada beberapa public figur pernah melaporkan
dirinya mengalami body shaming dari para netizen dari unggahan video
mereka di media sosial sebut saja audy item, via vallen, prili latuconsina,

5
dan masih banyak artis lain yang mengalami hal serupa. Mereka yang
mengalami body shaming biasanya seputar fat shaming, tentu bentuk
tubuh yang dianggap terlalu gemuk atau besar. Atau penampilan fisik lain
yang dianggap tidak sesempurna seperti bayangan netizen.
Melihat banyaknya efek negatif yang ditimbulkan dari body
shaming, pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap pelaku body
shaming. Penghinaan yang dilakukan melalui media sosial merupakan
tindak pidana yang pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) jo.
Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Sayangnya meski memiliki jeratan hukum yang pasti, namun
pelaku body shaming tidak pernah berhenti melakukan penghinaan,
apalagi jika korban yang dihina atau dikomentari bukan dari kalangan
orang terkenal. Kebiasaan netizen semakin menjadi karena sikap diam
yang diambil oleh korban. Banyak korban body shaming yang tidak
menanggapi komentar buruk yang ditujukan kepada mereka, akibatnya
perilaku pelaku body shaming semakin menjadi-jadi.
Beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa cyberbullying
sudah banyak terjadi dibeberapa negara termasuk Indonesia. Namun, anak-
anak yang menerima cyberbullying di Indonesia hampir tidak ada yang
menceritakan hal tersebut ke orang tua atau melaporkannya kepihak yang
berwajib.
Berdasarkan uraian diatas mengenai body shaming yang telah
diungkapkan oleh para ahli, pengaruh kepercayaan diri pada individu yang
mengalami cyberbullying, maka peneliti ingin mengajukan proposal
penelitian dengan judul “Hubungan Antara Body Shaming Dengan
Kepercayaan Diri Pada Mahasiswa/I yang Mengalami Cyberbullying
di Kota Banda Aceh”

6
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan antara body shaming dengan kepercayaan diri
pada mahasiswa/i yang mengalami cyberbullying di kota banda aceh?
2. Apakah tidak ada hubungan antara body shaming dengan kepercayaan
diri pada mahasiswa/i yang mengalami cyberbullying di kota banda
aceh?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan body shaming dengan
kepercayaan diri pada mahasiswa/i yang mengalami cyberbullying di kota
Banda Aceh.
( rumusan dan tujuan harus sama ) dan pada rumusan ini seperti hipotesis !
hipotesis nya tidak ada?

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi
khususnya mengenai hubungan body shaming dengan kepercayan
diri pada mahasiswa/i yang mengalami cyberbullying.
b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk
memberikan masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih
lanjut mengenai body shaming .
2. Manfaat Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bagi
masyarakat khususnya masiswa/i dan pembaca mengenai hubungan
body shaming dengan kepercayaan diri seseorang yang mengalami
cyberbullying sehingga dapat lebih hati-hati agar terhindar dari perilaku
body shaming.

7
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Sumi Lestari (2019) dengan judul
“Bullying or Body Shaming? Young Women in Patient Body Dysmorphic
Disorder”. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan peneliti
terletak pada, variabel x dan lokasi penelitian. Berdasarkan hasil
penelitian mengenai Bullying or Body Shaming? Young Women in Patient
Body Dysmorphic Disorder dengan menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan kasuistik dengan subjek wanita muda berusia 15-25
tahun.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan
menunjukkan bahwa pada semua informan korban maupun pelaku body
shaming memiliki emosi-emosi negatif pasca body shaming seperti, rasa
malu, marah, tidak percaya diri, kesal, dan lain sebagainya.
Penelitian yang dilakukan Rina Kundredan Sefti Rompas (2018)
berjudul "Hubungan Bullying Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja Di
Smp Negeri 10 Manado". Perbedaan dengan penelitian yang diteliti oleh
peneliti terletak pada variabel, lokasi penelitian dan metode metode
analisis yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan uji statistik chi square diperoleh nilai (p value =
0,000 < 0,05). Kesimpulan ialah ada hubungan antara bullying dengan
kepercayaan diri pada remaja di SMP Negeri 10 Manado.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Febrianti, Hartana (2014)
menunjukkan bahwa sebanyak 77% mahasiswa UI pernah terlibat dalam
cyberbullying. Mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan, berusia 20-
25 tahun dan menggunakan internet 21-42 jam per minggu lebih banyak
terlibat cyberbullying baik sebagai pelaku maupun korban.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Mira Marleni Pande Dan
Ivan Th.J.Weismann (2016) berjudul “Pengaruh Cyberbullying di Media
Sosial terhadap perilaku reaktif sebagai pelaku maupun sebagai korban

8
cyberbullying pada siswa kristen SMP Nasional Makassar”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh cyberbullying terhadap perilaku
reaktif sebagai pelaku sekaligus sebagai korban cyberbullying pada siswa.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan
menggunakan metode survei dengan mengambil sampel sebanyak 40
orang dari SMP Nasional Kota Makassar. Siswa yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII sampai kelas IX karena tanggap
terhadap teknologi dan pada masa ini terjadi perubahan secara fisik dan
psikis yang membawa siswa pada suatu fase yang disebut masa transisi,
labil, mencari identitas dan mencari public figure. Hasil dari penelitian ini
adalah terbuktinya hipotesis bahwa ada pengaruh antara perilaku pelaku
cyberbullying dengan perilaku reaktif siswa Kristen korban cyberbullying
dengan signifikansi 0,037< 0, 05. Dengan demikian jelas bahwa bila
makin tinggi perilaku reaktif pelaku maka makin tinggi pula perilaku
reaktif korban. Semakin rendah perilaku reaktif pelaku maka makin rendah
pula perilaku reaktif korban cyberbullying.
Penelitian dari Risana Rachmatan dan Shella Rizky Ayunizar (2017)
yang berjudul “CYBERBULLYING PADA REMAJA SMA DI BANDA
ACEH”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku
cyberbullying ditinjau dari jenis kelamin pada remaja di kota Banda Aceh.
Sampel pada penelitian ini sebanyak 364 siswa SMA yang terdiri dari 182
siswa laki-laki dan 182 siswa perempuan. Sampel dalam penelitian ini
diambil menggunakan metode probability sampling dengan teknik Multi-
Stage Cluster dan Nonpropotionate Stratified Random Sampling. Alat
ukur yang digunakan adalah Student Needs Assessment Survey (SNAS)
diajukan oleh Willard (2007). Hasil analisa menggunakan Mann-Whitney
U yang menunjukkan nilai Z sebesar 0,627 (p=0,474). Hasil penelitian
menyatakan tidak terdapat perbedaan perilaku cyberbullying antara remaja
laki-laki dan remaja perempuan di Banda Aceh. Dengan demikian jelas
bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama
untuk melakukan cyberbullying.

9
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Body Shaming
1. Pengertian Body Shaming
Menurut Michael Lewis (2011) rasa malu adalah hasil aktivitas
kognitif yang kompleks: evaluasi tindakan individu mengenai standar,
aturan, tujuan serta evaluasi global dari diri mereka dan dari orang lain
sedangkan rasa bersalah merupakan emosi yang dihasilkan ketika
individu mengevaluasi perilaku mereka gagal tetapi berfokus pada
perilaku spesifik diri atau tindakan diri yang mengarah pada
kegagalan.
Body shame merupakan perasaan malu akan salah satu bentuk
bagian tubuh ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri
tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu (Frederickson,
1998 Dalam Damanik , 2018).
Menurut Honigam dan Castle (2004), body image adalah
gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya,
dan bagaimana seseorang mempersepsikan danmemberikan penilaian
atas yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk
tubuhnya sendiri, dan atas penilaian orang lain terhadapa dirinya.

2. Jenis-Jenis Body Shaming


Body shame terdiri dari dua jenis yaitu acute body shame dan
chronic body shame yang dikemukakan oleh Damanik, 2018 :
a. Acute Body shame
Acute Body shame lebih berhubungan dengan aspek perilaku
dari tubuh, seperti pergerakan atau tingkah laku. Istilah ini biasa
dikenal dengan embarrassment, tipe body shame yang biasanya
terjadi pada persiapan yang tak diduga atau tidak direncanakan.

10
Jenis body shame ini terjadi pada kasus seperti kejadian yang
terjadi dalam interaksi sosial seperti sebuah presentasi diri yang
mengalami kegagapan, gagal atau tidak sesuai dengan tingkah laku
yang diharapkan, muncul sebagai hasil dari pelanggaran perilaku,
penampilan atau pertunjukan, atau kehilangan kontrol sementara
dan tidak terduga atas suatu tubuh atau fungsi tubuh. Body
shameacuteini merupakan rasa malu yang wajar terjadi dalam
interaksi sosial bahkan rasa malu ini dibutuhkan dalam interaksi
sosial.
b. Chronic body shame
Jenis kedua dari body shame muncul disebabkan oleh bentuk
permanen dan terus menerus dari sebuah penampilan atau tubuh,
seperti berat badan, tinggi dan warna kulit. Selain itu, body shame
ini juga dapat muncul karena stigma atau cacat seperti bekas luka
atau kelumpuhan. Selain penampilan, chronic body shame
berhubungan dengan fungsi tubuh dan kecemasan yang biasa
dialami seperti tentang jerawat, penyakit, hal buang air besar,
penuaan dan sebagainya. Tambahan, body shame ini dapat muncul
pada saat gagap ataupun canggung yang kronis. Apapun yang
menginduksinya, body shame jenis ini akan muncul secara
menahun dan berulang-ulang pada suatu kesadaran dan membawa
rasa sakit yang berulang dan mungkin konstan. Body shame kronis
menekan dan menyakiti. Body shame ini dapat menuntun
pengurangan pengalaman tubuh yang konstan mempengaruhi harga
diri dan nilai diri (self-esteem dan self-worth).

3. Dimensi Body Shaming


Cash (2002) mengemukakan ada lima dimensi dalam
pengukuran body image, yaitu :
a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan) Evaluasi penampilan
yaitu penilaian penampilan secara keseluruhan tubuh.

11
b. Appearance orientation (orientasi penampilan) Orientasi
penampilan yaitu pandangan yang mendasar tentang penampilan
diri.
c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh)
Kepuasaan terhadap bagian tubuh, yaitu mengukur kepuasaan
individu terhadap bagian tubuh secara spesifik secara keseluruhan
dari atas sampai bawah
d. Overweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk)
Kecemasan menjadi gemuk yaitu kewaspadaan individu terhadap
bertambahnya berat badan, dan akan membatasi pola makan.
e. Self-classified weight (Pengkategorian ukuran tubuh)
Pengkategorian ukuran tubuh, yaitu pengklasifikasikan golongan
tubuh, dari kurus sampai gemuk. Berdasarkan penjelasan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi body image sebagai
berikut : Appearance evaluation, Appearance orientation, Body
area satisfaction, Overweight preoccupation, Self-classified
weight.

4. Ciri-ciri Body Shaming


Adapun ciri-ciri perilaku body shaming, diantaranya (Vargas, 2015):
a. Mengkritik
penampilan sendiri, melalui penilaian atau perbandingan dengan
orang lain (seperti: "Saya sangat jelek dibandingkan dia." "Lihatlah
betapa luas bahuku.").
b. Mengkritik penampilan orang lain di depan mereka, (seperti:
"Dengan paha itu, Anda tidak akan pernah mendapatkan teman
kencan.").
c. Mengkritik penampilan orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
(seperti: "Apakah Anda melihat apa yang dia kenakan hari ini?
Tidak menyanjung."Paling tidak Anda tidak terlihat seperti dia!").

12
B. Kepercayaan Diri
1. Pengertian kepercayaan Diri
Percaya diri merupakan bagian dari alam bawah sadar yang hanya
terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat emosional dan perasaan (Aryani,
dkk., 2009). Percaya diri adalah keberanian yang datang dari kepastian
tentang kemampuan, nilai-nilai, dan tujuan kita (Goleman, 2001).
Anthony (dalam Ruwaida, dkk., 2006) menyatakan bahwa kepercayaan
diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat menerima
kenyataan, mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki
kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta
mencapai segala sesuatu yang diinginkan.
Menurut Lauster (dalam Yulianto dan Nashori, 2006)
kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup. Kepercayaan diri
adalah salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan akan
kemampuan diri seseorang sehingga tidak terpengaruh oleh orang lain
dan dapat bertindak sesuai kehendak, gembira, cukup toleransidan
bertanggung jawab.
Adapun menurut Yulita Rintyastini dan Suzy Yulia (2005: 132)
mendefinisikan kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu
untuk merasa memiliki kompetensi, mampu, yakin, dan percaya bahwa
dirinya bisa mengembangakan penilaian positif terhadap diri sendiri
ataupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Adanya
kepercayaan diri yang memadai individu akan mudah menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan yang baru, memiliki pegangan hidup yang
kuat, dan mampu mengembangkan potensinya, tanpa kepercayaan diri
individu tidak dapat mengambil keputusan, melainkan individu akan
merasa ragu dengan apa yang dikerjakannya.
Anthony (M. Nur Gufron dan Rini Risnawita, 2010: 34)
berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap pada diri
seseorang yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan
kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian, dan mempunyai

13
kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang
diinginkan. Pada dasarnya setiap individu memiliki kelebihan yang ada
pada dirinya. Keyakinan yang tertanam dapat menjadi acuan sebagai
motivasi dari dalam diri untuk dapat mendorong individu berpikir dan
melakukan tindakan dalam mencapai tujuan hidupnya.
Menurut Lumpkin (2005: 82-83) Kepercayaan diri merupakan
suatu konsep yang menarik. Rasa percaya membuat memiliki beberapa
hal yang meliputi integritas diri, wawasan pengetahuan, keberanian,
sudut pandang yangluas, dan harga diri yang positif. Kepercayaan diri
membantu individu yang tidak hanya sekedar melakukan hal yang
diinginkannya dan yang harus dikerjakan, melainkan mengetahui apa
yang harus dikerjakan.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud kepercayaan diri
adalah kondisi mental atau psikologis dari seseorang yang member
keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu
tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif,
kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri


Menurut Lauster (M. Nur Gufron dan Rini Risnawita, 2010: 36)
menyebutkan bahwa aspek-aspek kepercayaan diri yaitu:
a. Keyakinan akan kemampuan diri, yaitu sikap positif individu tentang
dirirnya yang mencakup segala potensi yang ada dalam diri sehingga
ia mampu melakukan sesuatu yang diinginkan dan mengerti apa
yang harus dilakukannya.
b. Optimis, yaitu sikap positif yang dimiliki individu yang
berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang dirinya dan
kemampuan yang dimilikinya.
c. Obyektif, yaitu individu yang mampu memandang permasalahan
yang sesuai dengan kebenaran, yang bukan menurut kebenaran
pribadi atau pendapatnya sendiri.

14
d. Bertanggung jawab, yaitu bersedia menanggung segala sesuatu yang
telah menjadi konsekuensi atas apa yang telah diperbuatnya.
e. Rasional dan Realistis, yaitu memandang dan menganalisa masalah
dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan
sesuai dengan kenyataan.

3. Ciri-ciri Individu yang Percaya Diri


Menurut Derry Iswidharmanja dan Jubile Enterprise (2014: 48-
49) ciri-ciri orang yang percaya diri antara lain:
a. Bertanggung jawab terhadap keputusan yang telah dibuat sendiri.
b. Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
c. Pegangan hidup yang cukup kuat, mampu mengembangkan
motivasi.
d. Mau bekerja keras untuk mencapai kemajuan.
e. Yakin atas peran yang dihadapinya.
f. Berani bertindak dan mengambil setiap kesempatan yang
dihadapinya.
g. Menerima diri secara realistik.
h. Menghargai diri secara positif.
i. Yakin atas kemampuannya sendiri dan tidak terpengaruh oleh orang
lain.
j. Optimis, tenang dan tidak mudah cemas.
k. Mengerti akan kekurangan orang lain.

4. Ciri-ciri Individu yang Tidak Percaya Diri


Menurut Yulita Rintyastini dan Suzy Yulia (2005: 135) orang
yang kurang percaya diri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Minder
Individu yang kurang percaya diri selalu merasa kurang dari
orang lain karena ia merasa tidak yakin akan kemampuan yang
dimilikinya dan menganggap orang lain lebih baik darinya.

15
b. Kesepian
Individu yang kurang percaya diri seringkali menolak
beraktivitas bersama orang lain oleh karena itu ia sering merasa
kesepian, ia lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah dengan
aktivitasnya sendiri.
c. Terasing
Individu yang kurang percaya diri memiliki berbagai sikap dan
anggapan bahwa dirinya berbeda, lebih rendah dari orang lain, atau
sulit untuk melakukan hal seperti yang dilakukan orang lain sehingga
membuat orang yang kurang percaya diri merasa terasing dari orang
di sekitarnya.
d. Stres
Individu yang kurang percaya diri merasa dirinya selalu
memiliki kekurangan dan memandang orang lain penuh dengan
kelebihan sehingga penilaian tersebut membuatnya sering merasa
tertekan.
e. Gugup dan sering salah dalam mengambil keputusan
Individu yang kurang percaya diri memiliki berbagai anggapan
dan penilaian pribadi yang keliru seringkali membuat individu yang
kurang memiliki kepercayaan diri menjadi salah dalam bertingkah
atau mengambil keputusan

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri


Kepercayaan diri mempunyai beberapa faktor. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri menurut M. Nur
Gufron dan Rini Risnawita S (2010:37) yaitu:
a. Konsep Diri
Terbentuknya kepercayaan diri pada diri individu diawali
dengan perkembangan konsep yang diperoleh dalam pergaulan dalam
kelompok. Hasil interaksi akan menghasilkan konsep diri. Semakin

16
baik konsep diri yang dimiliki semakin tinggi pula kepercayaan
dirinya.
b. Harga diri
Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang
positif. Harga diri adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri
sendiri. Menurut Santoso (dalam M. Nur Gufron dan Rini Risnawita
S, 2010:37) tingkat harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan diri seseorang.
c. Pengalaman
Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri
pada individu, sebaliknya, pengalaman juga dapat menjadi faktor
menurunnya rasa percaya diri pada individu. Anthony (dalam M. Nur
Gufron dan Rini Risnawita S, 2010:37) mengemukakan bahwa
pengalaman masa lalu adalah hal terpenting untuk mengembangkan
kepribadian sehat.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan individu akan berpengaruh terhadap tingkat
kepercayaan diri. Tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan
individu tersebut tergantung dan berada di bawah kekuasaan orang
lain yang lebih pandai, sebaliknya individu yang mempunyai
pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri
yang lebih jika dibandingkan yang berpendidikan rendah.

C. Cyberbullying
1. Pengertian Cyberbullying
Cyberbullying merupakan bentuk perilaku agresi yang melibatkan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti ponsel, kamera
video, e-mail, dan halaman web untuk menulis atau mengirim
melecehkan atau pesan memalukan untuk orang lain (Ybarra &
Mitchell, 2004). Menurut Bulton dan Underwood (dalam Lindenberg,
Veenstra, Verhulst & Winter, 2005) bullying adalah perilaku agresi

17
yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan niat menyakiti atau
mengganggu orang lain secara fisik, verbal maupun psikologis. Olweus
dan Pepler (dalam Shariff, 2005) membedakan bullying menjadi dua
bentuk yaitu overt dan covert. Overt bullying melibatkan agresi fisik,
seperti memukul, menendang, mendorong, dan menyentuh seksual. Hal
ini dapat disertai dengan covert bullying, yaitu korban dikeluarkan dari
kelompok sebaya, digunjing, diancam dan diganggu. Covert bullying
bersifat random atau diskriminatif. Perilaku mencakup pelecehan verbal
yang menggabungkan rasial, penghinaan seksual, atau homophobic.
Froeschle dkk (2008) mendefinisikan cyberbullying sebagai sesuatu
yang melibatkan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi
seperti e-mail, ponsel, pesan teks, instant messaging (IM) dan website,
dengan sengaja, berulang-ulang mengganggu korbannya.
Belsey, Berson & Feron (dalam Dilmac, 2009) mengartikan
cyberbullying sebagai perilaku individu atau kelompok yang
menggunakan teknologi elektronik dengan tujuan untuk melakukan
pelecehan atau mengirimkan pesan kejam dengan sengaja. Definisi lain
mengenai cyberbullying menurut Willard (2007) adalah perilaku kejam
kepada orang lain dengan mengirim hal yang berbahaya atau terlibat
dalam bentuk lain dari kekejaman sosial yang menggunakan internet
atau teknologi digital lainnya. Bentuk kegiatan tersebut berupa
pelecehan secara langsung dan tidak langsung yang memiliki tujuan
untuk merusak reputasi atau mengganggu hubungan dari yang
ditargetkan atau terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial
menggunakan internet atau teknologi digital lainnya. Dalam hal ini
Willard (2007) juga menjelaskan bahwa frekuensi menentukan
seseorang dikatakan menjadi pelaku cyberbullying. Kowalski dan
Limber (2012) menyatakan cyberbullying merupakan perilaku bullying
yang dilakukan melalui email, instant messaging, dalam sebuah chat
room, website, atau melalui pesan digital atau gambar yang dikirim dari
telepon seluler. Motivasi pelaku cyberbullying juga beragam, ada yang

18
melakukannya karena ingin balas dendam untuk temannya, mencari
kekuasaan, membalas perbuatan orang yang menyakitinya di dunia
nyata, atau ingin menyakiti orang lain. Namun, ada juga yang tidak
sengaja (Aftab, 2008 dalam Fegenbush & Olivier, 2009).

2. Aspek-aspek Cyberbullying
Aspek Cyberbullying Ada beberapa aspek - aspek cyberbullying
menurut Willard (2007), yaitu:
a. Flamming
Perkelahian secara online dengan bahasa kasar, frontal, serta vulgar.
Perlakuan ini biasanya dilakukan di dalam chat group di media
sosial seperti mengirimkan gambar-gambar yang dimaksudkan untuk
menghina orang yang dituju.
b. Impersonation
Berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan konten yang
membuat korban mendapat kesulitan atau membahayakan untuk
merusak reputasi atau persahabatan orang tersebut.
c. Harassment
Merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-kata tidak
sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa gangguan yang
dikirimkan melalui email, sms, maupun pesan teks, di jejaring sosial
secara terus menerus.
d. Denigration
Mengirimkan pesan yang tidak benar tentang seseorang yang
bertujuan untuk merusak reputasi atau persahabatan.
e. Outing dan Trickery
Menggali informasi pribadi atau rahasia milik orang lain yang
sifatnya memalukan, mengambil gambar-gambar pribadi orang lain,
dan menyebarkannya secara online.
f. Exclusion
Sengaja berbuat kejam terhadap seseorang dalam kelompok online.

19
g. Cyberstalking
Mengganggu dan mencemarkan nama baik orang lain secara intens,
dan membuat korbannya ketakutan

3. Faktor-faktor yang mempengaaruhi Cyberbullying


Cyberbullying merupakan masalah yang umum terjadi di era
globalisasi saat ini. Dan berikut faktor-faktor yang menjadi penyebab
cyberbullying, antara lain:
a. Traditional bullying
Riebel, Jager dan Fischer (2009) menunjukkan adanya
hubungan antara bullying dalam kehidupan nyata dengan dunia maya
(cyberspace). Maka dimungkinkan bahwa bullying yang dimulai di
dunia nyata menjalar ke dunia maya. Hal ini berarti dunia maya
memberikan lahan bagi para bullies untuk menghina orang lain.
b. Penggunaan Internet
Survei di Indonesia menyatakan peningkatan pengguna
internet pada 2007 jumlah pengguna internet 20 juta orang, lalu
meningkat menjadi 25 juta pada 2008, 30 juta pada 2009, 42 juta
pada 2010, 55 juta pada 2011, hingga mencapai 63 juta tahun 2012
(Yusuf, 2012). Peningkatan frekuensi penggunaan teknologi dari
tahun ke tahun, seharusnya dapat memprediksi tindakan
cyberbullying.
Faktor yang berkaitan dengan penggunaan internet pada
remaja ini dijelaskan oleh Subrahmanyan dan Greenfield (2008)
yaitu berasal dari pemantauan dari orang tua dan penggunaan
komunikasi online.
c. Interaksi orang tua dan anak
Connell & Wellborn (1991) mengatakan orang tua termasuk ke
dalam variabel konteks sosial yaitu structure, autonomy support, dan
involvement. Peranan orangtua dalam mengawasi aktivitas anak
dalam berinteraksi di internet merupakan. faktor yang cukup

20
berpengaruh pada kecenderungan anak untuk terlibat dalam
cyberbullying. Rendahnya relasi antara Orangtua dengan anak
menjadikan anak lebih rentan terlibat perilaku cyberbullying atau
online harrasment, kemudian fakta yang ada menyatakan bahwa
remaja dengan ikatan emosional rendah dengan pengasuhnya dua
kali memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan melalui
media online dibandingkan dengan remaja yang memiliki ikatan
emosi yang kuat ( Ybarra & Mitchell, dalam Mason, 2008). Peran
aktif orang tua juga dibutuhkan dalam kegiatan online maupun
offline anaknya ( Willard, dalam Mason, 2008).
Maka dapat dijelaskan bahwa peran orang tua memiliki
dampak terhadap perkembangan remaja kedepannya, salah satu
bentuk interaksi tersebut adalah dukungan otonomi yang diberikan
kepada remaja, sehingga dengan begitu akan membuat remaja
mampu untuk mandiri dan mengambil keputusan yang bijak dengan
berbagai konsekuensinya.

d. Strain
Strain adalah suatu kondisi ketegangan psikis yang
ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang
menghasilkan afek negatif (terutama rasa marah dan frustasi) yang
mengarah pada kenakalan (Agnew, 1992).
Teori strain menitikberatkan pada hubungan yang negatif
dengan orang lain, hubungan dimana seseorang tidak diperlakukan
sebagaimana dirinya ingin diperlakukan.
Cyberbullying dapat terjadi karena ingin mengurangi
ketegangan, membalaskan dendam, atau meringankan emosi negatif
terutama ketika pelaku bullying tidak memiliki kemampuan dan
sumber-sumber untuk mengatasi peristiwa penuh stres karena
dukungan sosial dan kontrol dirinya rendah (Agnew, 1992).

21
4. Dampak Cyberbullying
Efek negatif dari cyberbullying tidak hanya dirasakan oleh korban.
Pelaku cyberbulllying juga mengalami penurunan harga diri (Brewer &
Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010). Pelaku kemungkinan
mengalami implikasi jangka panjang antara lain peningkatan sikap
antisosial, kekerasan atau perilaku kriminal pada masa dewasa (Patchin
& Hinduja: Kulig dkk dalam Notar dkk, 2013).

D. Hubungan Body shaming dengan Kepercayaan Diri Pada


Mahasiswa/I Yang Mengalami Cyberbullying
Body Shame sedang marak terjadi di dunia saat ini dan fenomena ini
bukanlah fenomena yang baru. Sejak dulu fenomen ini sudah dialami oleh
masyarakat di belahan bumi barat (Dolezal, 2015). Data yang diperoleh
dari sebuah survei majalah BLISS menunjukkan 90% remaja dari 5053
tidak bahagia dengan bentuk tubuhnya. Hanya 19% yang memang
mengalami kelebihan berat badan, 67% berpikir bahwa mereka perlu
menurunkan berat badan, serta 64% sedang menjalani diet (“90% teend
unhappy, 2016).
Saat ini body shaming bergeser dari dunia nyata ke ruang maya
(Cyberbulliying). Orang dengan mudah mengomentari penamilan fisik
orang lain. Anonimitas menjadi alasan kuat mereka berani melakukan
komentar sarkas tanpa takut identitasnya diketahui. Beragam komentar
diberikan pelaku body shaming mulai dari penampilan fisik, fat shaming,
wajah, kulit tubuh, hidung dan semua yang melekat pada anggota tubuh.
Di Indonesia pelaku body shaming semakin meningkat, seiring
dengan peningkatan jumlah pengguna internet khususnya media sosial.
Ruang tanpa batas yang ditawarkan dunia maya, membuat interksi dan
pesan yang mereka sampaikan juga tanpa batas. Diindonesia penggunaan
internet dari tahun ke tahun semakin mengalami peningkatan. Berdasarkan
data dari Asosiasi penyelenggara Internet Indonesia, dari 262 juta

22
penduduk Indonesia, 50 % diantaranya sudah terpapar internet. Mayoritas
pengguna internet sebanyak 72,41 persen masih dari kalangan masyarakat.
Meski ungkapan diatas terlihat biasa saja, namun bagi korban body
shaming akan berdampak sangat dalam. Ucapan yang menyakitkan hati
dan tindakan kasar cenderung lebih sulit dilupakan bagi beberapa orang.
Maka bukan hal mustahil apabila korban body shaming mengalami
trauma. Bahkan beberapa kasus ucapan itu selalu teringat dalam waktu
yang lama. Trauma fisik pada umumnya lebih cepat pulih jika
dibandingkan dengan trauma psikologis. Trauma dapat mengganggu
kelangsungan hidup seseorang. Body shaming sering membuat sebagian
orang menjadi tidak percaya diri, minder dan ragu untuk memulai sesuatu.
Rasa tidak percaya diri yang korban dapatkan biasanya bersifat menetap
sehingga tidak berani melakukan sesuatu. Pada beberapa kasus, Body
shaming juga mengakibatkan rasa tertekan pada korbannya. Bahkan bisa
menjadi alasan si korban untuk melakukan aksi nekat seperti bunuh diri.
Selain bunuh diri, bullying secara fisik juga dapat mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang.
Bagan 1.1

BODY SHAMING CYBERBULLIYING

KEPERCAYAAN
DIRI

E. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai variabel terikat dan variabel
bebas, maka peneliti merumuskan hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat
body shaming maka semakin rendah kepercayaan diri seseorang yang
mengalami cyberbullying, semakin rendah tingkat body shaming maka
semakin tinggi kepercayaan diri seseorang yang mengalami cyberbullying.

23
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian dan Metode Penelitian (metode penelitian nya dengan apa)


Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kuantitatif adalah pendekatan ilmiah yang bertujuan untuk menunjukkan
hubungan antara dua variabel, menguji teori, dan mencari generalisasi
yang mempunyai nilai prediktif. Pendekatan ini disebut pendekatan
kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik (Sugiyono, 2013).
Pendekatan penelitian kuantitatif yang digunakan dalam penelitian
ini dirancang sebagai sebuah penelitian korelasi. Suharsimi Arikunto
(2010) menjelaskan penelitian korelasi adalah penelitian yang dilakukan
untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa
melakukan perubahan, tambahan atau manipulasi terhadap data yang
memang sudah ada. Data yang terkumpul berupa angka-angka,
selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis dan analisa yang
digunakan adalah analisis kuantitatif.
Pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis korelasional. Dalam
penelitian ini peneliti ingin mengetahui hubungan diantara variabel-
variabel yang diteliti, yaitu hubungan antara body shaming dengan
kepercayaan diri pada Mahasiswa/I yang mengalami cyberbullying di
Banda Aceh.

B. Identifikasi Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini memiliki dua variabel yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas adalah suatu variabel yang mempengaruhi
variabel lain dapat dikatakan pula bahwa variabel bebas merupakan
variabel yang berhubungan dengan variabel yang ingin diketahui.
Sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
lain. Identifikasi variabel dilakukan agar mempermudah peneliti

24
menentukan alat pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian
(Azwar, 2016). Variabel-variabel penelitian yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah:
a. Variabel terikat (Y), yaitu Kepercayaan Diri
b. Variabel bebas (X1), yaitu Body Shaming
c. Variabel bebas (X2), yaitu Cyberbullying

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Untuk memperjelas pengertian variabel-variabel yang terdapat dalam
penelitian ini, maka perlu untuk dijelaskan definisi secara operasional.
Berikut ini merupakan definisi operasional pada tiap-tiap variabel:
1. Body Shaming
Body Shaming adalah bentuk kekerasan verbal atau bullying terhadap
keadaan fisik seseorang dari tindakan mengomentari fisik, penampilan,
atau citra diri seseorang sehingga berdampak buruk bagi keadaan
psikologis seseorang. Body Shaming memiliki dimensi-dimensinya
antara lain evaluasi penampilan, orientasi penampilan, kepuasan
terhadap bagian tubuh, kecemasan menjadi gemuk, dan pengkategorian
ukuran tubuh.
2. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif individu seperti menerima
kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berfikir positif,
memiliki kemandirian, dan mempunyai kemampuan untuk merasa yakin
terhadap kemampuan diri sendiri untuk melakukan segala tindakan yang
diiningkan dalam rangka mencapai tujuan. Kepercayaan diri memiliki
aspek-aspek antara lain keyakinan akan kemampuan diri sendiri,
optimis, obyekif, bertanggung jawab, rasional dan realisik.
3. Cyberbullying
Cyberbullying adalah bentuk perilaku agresi berupa bullying yang
dilakukan secara sengaja dengan menggunakan media elektronik atau
media sosial. Kemudian perilaku tersebut dilakukan secara berulang

25
ulang dalam upaya melecehkan dan mempermalukan orang lain.
Cyberbullying memiliki aspek-aspek, yaitu: flaming, harassment,
denigration, impersionation, outing dan trickert, exlclusion, dan
cyberstalking.

D. Subjek Penelitian
Suharsimi Arikunto (2006) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan subjek penelitian adalah suatu benda, hal atau orang tempat data
untuk variabel penelitian melekat dan dipermasalahkan, jadi subjek
merupakan sesuatu yang posisinya sangat penting, karena pada subjek
itulah terdapat data tentang variabel yang diteliti dan diamati oleh peneliti.
Penentuan subjek penelitian :
1. Populasi
Tulus Winarsunu (2010) menyatakan bahwa populasi penelitian
adalah seluruh individu yang dimaksudkan untuk diteliti, dan yang
nantinya akan dikenai generalisasi. Generalisasi adalah suatu cara
pengambilan kesimpulan terhadap kelompok individu yang lebih luas
jumlahnya berdasarkan data yang diperoleh dari sekelompok individu
yang sedikit jumlahnya. Populasi dalam penelitian ini adalah
Mahasiswa/i di Kota Banda Aceh.

2. Teknik Sampling
Sampel merupakan suatu prosedur pengambilan data dimana
hanya sebagian populasi saja yang diambil dan digunakan untuk
menentukan sifat serta ciri yang dikehendaki dari suatu polulasi. Jenis
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik purposive sampling yang merupakan metode
penepatan responden untuk dijadikan sampel berdasarkan pada
kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013).
Herdiansyah (2010) mengatakan purposive sampling merupakan
teknik dalam non-probability sampling yang berdasarkan kepada ciri-

26
ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut
sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan.
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian besar populasi
yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Subjek merupakan mahasiswi
2. Menggunakan media sosial
3. Mengalami cyberbullying
4. Bersedia

Ukuran sampel yang jumlahnya banyak atau tidak ada angka


yang dapat dikatakan dengan pasti. Secara tradisional, statistika
mengaggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup
banyak, namun secara metodelogi besar-kecilnya sampel yang
representatif harus diacukan pada heterogenitas populasi (Azwar,
2012).

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjaring data
tentang hubungan body shaming dengan kepercayaan diri pada
mahasiswa/i yang mengalami cyberbullying di Banda Aceh menggunakan
angket (kuesioner) dalam bentuk skala berupa pernyataan ataupun
pertanyaan secara tertulis untuk di jawab oleh responden (Sugiyono,
2013).
1. Persiapan Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini akan dibagikan tiga skala yang berbeda
kepada setiap responden, yaitu skala body shaming, skala kepercayaan
dri dan skala cyberbullying. Skala penelitian berisi dua pernyataan,
yaitu pernyataan favorable dan pertanyaan unfavorable. Pernyataan
favorable yaitu pernyataan yang mendukung atribut yang diukur,
sedangkan pernyataan unfavorable merupakan pernyataan yang tidak
mendukung atribut yang diukur (Azwar, 2012). Alternatif pilihan
jawaban yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

27
skala likert, yakni sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),
dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

F. Validitas dan Realibilitas Alat ukur


1. Validitas
Validitas merupakan suatu ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Azwar (2016) mendefinisikan
validitas sebagai hasil analisis statistik terhadap kelayakan isi aitem
sebagai penjabaran dari indikator keperilakuan dari atribut yang
diukur. Komputasi validitas yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini adalah komputasi CVR (Content Validity Ratio). Nilai yang
digunakan untuk menghitung CVR (Content Validity Ratio)
didapatkan dari hasil Subject Matter Expert (SME). SME adalah
sekelompok ahli yang menyatakan apakah aitem dalam skala bersifat
esensial terhadap atribut psikologi yang diukur serta relevan atau tidak
dengan tujuan pengukuran yang dilakukan. Aitem dinilai esensial
apabila dapat mempresentasikan dengan baik tujuan dari pengukuran.
Secara statistik berikut rumus untuk mencari CVR.
2 ne
CVR= −1
n

Keterangan:

ne : banyaknya SME yang menilai esensial terhadap suatu aitem

n : banyaknya SME yang melakukan penilaian

2. Realibilitas
Purwanto (2016) mendefinisikan reliabilitas sebagai tingkat
sejauh mana skor tes konsisten, dapat dipercaya, dan dapat diulang.
Reliabilitas kuesioner akan dihitung dengan menggunakan teknik
Alpha Cronbach. Uji reliabilitas dilakukan dengan cara
membandingkan antara r tabel dengan r hasil (nilai alpha). Instrument

28
dikatakan reliabel apabila r hasil (nilai Cronbach’s Alpha) > dari r
tabel. Peneliti juga melakukan analisis daya beda aitem yaitu dengan
cara menghitung koefisien antara distribusi skor aitem dengan
distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan
koefisien korelasi aitem-total (rix). Perhitungan daya beda aitem-aitem
menggunakan koefisien korelasi product moment dari Pearson.
Formula Pearson untuk komputasi koefisien korelasi aitem-aitem total
(Azwar, 2012).
RiX =∑ iX −¿ ¿ ¿

i = Skor aitem

X = Skor skala

n = Banyaknya subjek

Kriteria dalam pemilihan aitem yang peneliti gunakan


berdasarkan aitem total yaitu batasan riX >0,3. Setiap aitem yang
mencapai koefisien korelasi minimal >0,3 daya bedanya dianggap
memuaskan, sebaliknya aitem yang memiliki nilai riX kurang dari 0,3
dianggap memiliki daya beda yang rendah (Azwar, 2012).

Adapun untuk menghitung koefisien reliabilitas kedua skala ini,


digunakan rumus teknik Alpha oleh Azwar (2012).

sy 12 + sy 22
α =2[1 ]
s x2

Keterangan:

Sy12 dan Sy22 = Varians skor Y1 dan Varians skor Y2

Sx = Varians skor X

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

29
1. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh di lapangan diolah
secara kuantitatif dengan menggunakan rumus statistik. Teknik
pengolahan data merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menganalisis data hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang telah
dibuat. Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpulkan
dengan cara mengskoringkan skala body shaming, kepercayaan diri
dan cyberbullying dari tiap-tiap mahasiswa/i. Nilai hasil skoring dari
skala body shaming, kepercayaan diri dan cyberbullying kemudian
ditabulasikan ke dalam excel. Selanjutnya data dari excel dipindahkan
dan dilakukan pengeditan data di SPSS edisi 22.0 untuk diolah lebih
lanjut.

2. Teknik Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik korelasi.
Analisis data dilakukan menggunakan teknik korelasi dengan
menggunakan analisis data product moment dari Pearson, yang
sebelumnya telah terlebih dahulu melakukan uji prasyarat, yakni uji
normalitas sebaran dengan menggunakan rumus Kolmogorov Smirnov
dan uji linearitas dengan menggunakan rumus Anova Table dengan
cara membandingkan nilai F hitung dengan F tabel dengan taraf
signifikansi 5%.
Uji prasyarat bertujuan untuk melihat apakah data yang akan
diuji bersifat valid dan linier. Selanjutnya, setelah uji prasyarat
terpenuhi, maka dilanjutkan dengan melakukan uji hipotesis
penelitian. Uji hipotesis dilakukan dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, yaitu apakah terdapat
hubungan body shaming dengan kepercayaan diri pada mahasiswa/i
yang mengalami cyberbullying di banda aceh.

30

Anda mungkin juga menyukai