Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan semua informasi semakin mudah di akses.
Rasa Kepercayaan diri pada remaja adalah pengaruh teknologi dan informasi. Teknologi
sebagai media massa canggih secara tidak langsung mempengaruhi kepercayaan diri remaja.
Media massa terkadang memberikan informasi yang kurang pas untuk menumbuhkan
percaya diri. Media massa menonjolkan kegantengan atau kecantikan melalui bentuk tubuh
yang ideal seperti : tubuh yang seksi,tinggi, putih berotot, dada bidang, dan gagah,dll.
Penilaian tubuh ideal inilah yang menyebabkan terjadinya body shame.

Body shame Menimbulkan kecemasan terhadap individu. Body shame yang terjadi
menyebabkan individu rentan pada gangguan dismorfik tubuh. Gangguan dismorfik tubuh
menyebabkan individu merasa bahwa ada yang kurang pada dirinya. Kekurangan yang
dirasakan hanyalah dalam bayangan karena pada dasarnya individu terlihat normal.
Kekurangan yang dirasakan disebabkan pikiran individu yang kacau atau individu tersebut
mengalami kekacauan pikiran. Istilah ini sering disebut dengan distorsi kognitif. Pandangan
tiap individu mengenai body shame dipengaruhi oleh bagaimana budaya sekitarnya dan
individu itu sendiri menilai tubuh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Body shaming ?
2. Bagaimana ciri – ciri perilaku body shaming ?
3. Apa dampak dari terjadinya body shaming?

C. Metodelogi

Penelitian ini nanti akan menampilkan bagaimana orang menyadari proses body

shame yang dialami dan apa dampak yang dihasilkan dari proses tersebut. sebagai akibat

dari pengalaman yang dialami.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Creswell (2009)

penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang mengeksplorasi dan memahami makna

yang dialami individu atau grup yang berkaitan tentang masalah sosial dan manusia.

Penelitian ini bertujuan mengetahui, mengamati, dan mengeksplorasi proses body shame

yang dialami oleh individu. Hal apa saja yang menyebabkan berkembangnya fenomena

1
tersebut dan dampak yang ditimbulkan fenomena tersebut dalam kehidupan yang

mengalami.

D. Tujuan

untuk mengetahui tentang body shame, ciri-ciri perilaku body shaming dan

dampaknya dalam kehidupan individu yang mengalami.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Body Shame

Body shame merupakan perasaan malu salah satu bentuk bagian tubuh ketika penilaian
orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu
(Nol & Frederickson, 1998 ) Body-shaming adalah suatu perilaku mempermalukan seseorang
dengan memberikan komentar atau kritik negatif tentang tampilan tubuhnya. Body-shaming
yang dilakukan oleh orang-orang terdekat sering kali masih dianggap sebagai wujud
kepedulian agar korban body-shaming lebih termotivasi untuk memiliki tubuh “bagus”,
“tampan” atau “cantik” yang sesuai dengan standar masyarakat. Sebaliknya, body-shaming
dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan korban, meskipun dilakukan dengan
cara yang paling halus sekalipun. Karena, tidak semua orang bisa menerima komentar dan
body-shaming sebagai hal yang biasa dan wajar.

2. Ciri-Ciri Perilaku Body Shaming

Adapun ciri-ciri perilaku body shaming, diantaranya (Vargas, 2015): 1) Mengkritik


penampilan sendiri, melalui penilaian atau perbandingan dengan orang lain (seperti: "Saya
sangat jelek dibandingkan dia." "Lihatlah betapa luas bahuku.") 2) Mengkritik penampilan
orang lain di depan mereka, (seperti: "Dengan paha itu, Anda tidak akan pernah mendapatkan
teman kencan.") 3) Mengkritik penampilan orang lain tanpa sepengetahuan mereka. (seperti:
"Apakah Anda melihat apa yang dia kenakan hari ini? Tidak menyanjung." "Paling tidak
Anda tidak terlihat seperti dia!").

Ketidakpuasan akan bentuk tubuh menjadikan banyak orang khususnya wanita seringkali
salah menilai bentuk tubuhnya. Hal utama yang menjadi momok bagi sebagian orang
terutama wanita adalah kegemukan. Sehingga tidak mengherankan jika ketidakpuasan tubuh
lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, meski termanifestasi pada kedua jenis
kelamin tersebut (Neumark-Sztainer, Hannan, Story, Perry, 2004). Studi metaanalisis yang
telah dilakukan Groesz, Levine, dan Murnen (2002) juga menunjukkan bagaimana
propaganda media sangat signifikan meningkatan citra tubuh wanita menjadi negatif. Temuan
pada studi meta-analisis yang dilakukan Grabe dan Ward (2008) juga mendukung anggapan
bahwa paparan gambar media yang menggambarkan tubuh kurus yang sangat ideal berkaitan
dengan gambaran tubuh bagi wanita. Studi pada wanita dengan perilaku binge eating
menunjukkan bahwa mereka mengalami fluktuasi yang lebih sering dan tingkat rasa malu
yang lebih tinggi daripada wanita tanpa diagnosis ini (Sanftner & Crowther, 1998). Secara
sederhana, orang dengan gangguan makan atau dengan sikap makan yang tidak teratur
seringkali menunjukkan tingkat rasa malu yang tinggi, kebanyakan menunjukkan kasus
dengan evaluasi diri negatif dan perasaan bahwa orang lain menilai tubuh mereka.

3. Dampak Body Shaming

a. Gangguan makan

3
Penelitian yang dilakukan oleh Noll dan Fredrickson (1998) menuliskan bahwa teori
objektifikasi memberikan konsekuensi psikologis pertama bahwa perempuan secara umum
dipandang dan memperlakukan diri mereka sebagai objek serta menjadi sibuk untuk
memperhatikan penampilan fisik mereka. Teori objektifikasi mengarahkan individu memiliki
self-objectification yang semakin tinggi juga. Self-objectification memiliki variasi emosional
dan perilaku yang ketika terjadi berlebihan dapat berkontribusi pada resiko gangguan
psikologis perempuan termasuk gangguan makan, depresi unipolar dan disfungsi seksual.

Asumsi budaya tentang berat badan menyatakan bahwa ada kepercayaan bahwa individu
dapat mengontrol berat badan serta dapat memilih berat ideal yang mereka inginkan. Diet
(mengatur pola makan agar mencapai bentuk tubuh yang diharapkan untuk kesehatan atau
sesuai petunjuk ahli) menjanjikan bantuan mengurangi body shame yang muncul akibat
ketidakpuasan dengan bentuk tubuh untuk perempuan. Sebaliknya, latihan mengurangi berat
tubuh seperti mengurangi makan dapat meningkatkan body shame dibandingkan mengurangi
terjadinya body shame. Sebenarnya, penurunan berat badan akan menyebabkan perempuan
lebih memperhatikan berat badan dan bentuk tubuh yang meningkatkan frekuensi mereka
sadar atas kegagalan mencapai tubuh ideal. Gagal mencapai target menurunkan berat badan
atau tidak mampu mempertahankan penurunan berat badan juga dapat meningkatkan body
shame. Lingkaran setan kemudian mungkin akan muncul diakibatkan kegagalan mencapai
tubuh ideal. Kegagalan akan menuntun individu mengalami body shame serta usaha-usaha
seperti menurunkan berat badan dapat menjadi sekumpulan penyebab semakin tingginya
terjadinya body shame (Noll & Fredrickson, 1998).

Body shame dapat menuntun perempuan melakukan diet. Peneliti sebelumnya


menemukan bahwa mengantisipasi body shame atau ancaman mengalami body shame jika
suatu hari tidak berhasil mencapai tubuh ideal maka body shame dapat berkontribusi
menyebabkan perempuan diet. Beberapa perempuan yang mengobservasi dirinya merasa
puas dengan penampilan dan berat tubuhnya (walaupun mereka sibuk memperhatikan
penampilannya) dan tidak merasa tubuhnya memalukan (Noll & Fredrickson, 1998).

Perempuan mengalami kemungkinan sepuluh kali lebih besar dalam gangguan makan.
Walaupun sebenarnya tubuhnya termasuk kategori kurus, mereka melihat tubuhnya terlalu
gemuk (bentuk tubuh yang terdistorsi). Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
ketidakpuasan tubuh yang dialami individu seperti meningkatkan frekuensi mereka sadar
atas kegagalan mencapai tubuh ideal. Gagal mencapai target menurunkan berat badan atau
tidak mampu mempertahankan penurunan berat badan juga dapat meningkatkan body shame.
Lingkaran setan kemudian mungkin akan muncul diakibatkan kegagalan mencapai tubuh
ideal. Kegagalan akan menuntun individu mengalami body shame serta usaha-usaha seperti
menurunkan berat badan dapat menjadi sekumpulan penyebab semakin tingginya terjadinya
body shame (Noll & Fredrickson, 1998).

Body shame dapat menuntun perempuan melakukan diet. Peneliti sebelumnya


menemukan bahwa mengantisipasi body shame atau ancaman mengalami body shame jika
suatu hari tidak berhasil mencapai tubuh ideal maka body shame dapat berkontribusi
menyebabkan perempuan diet. Beberapa perempuan yang mengobservasi dirinya merasa

4
puas dengan penampilan dan berat tubuhnya (walaupun mereka sibuk memperhatikan
penampilannya) dan tidak merasa tubuhnya memalukan (Noll & Fredrickson, 1998).

Perempuan mengalami kemungkinan sepuluh kali lebih besar dalam gangguan makan.
Walaupun sebenarnya tubuhnya termasuk kategori kurus, mereka melihat tubuhnya terlalu
gemuk (bentuk tubuh yang terdistorsi). Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
ketidakpuasan tubuh yang dialami individu seperti

rendahnya harga diri dan dukungan sosial, adanya cibiran mengenai berat badan. Pada usia
remaja, gangguan makan juga dapat terjadi apabila hubungan remaja dan orang tua kurang
harmonis, misalnya pola makan baik dari orang tua dapat dilakukan oleh anak dan disisi lain
hubungan negatif anak orang tua dapat meningkatkan perilaku diet pada remaja perempuan
(Santrock, 2009).

Gangguan makan antara lain anorexia nervosa, bulimia serta binge eating disorder.

b. Depresi

Fredrickson dan Robert (1997) mengatakan hidup di budaya yang mengobyekkan tubuh
perempuan dapat mengacaukan alur kesadaran perempuan itu dengan menggandakan
persepsi mereka, membujuk perempuan untuk mengambil perspektif pengamat (orang ketiga)
tentang diri atau tubuh. Pada situasi yang ekstrem perspektif pengamat terhadap diri mungkin
sepenuhnya dapat menggantikan perspektif sendiri perempuan tentang tubuhnya, kondisi ini
memungkinkan individu mengalami kondisi kehilangan diri (loss of self). Ketika kondisi loss
of self terus berlanjut dapat menyebabkan depresi karena akan semakin mengambil perspektif
pengamat terhadap diri.

Teori objektifikasi memprediksi bahwa menginternalisasi perspektif pengamat pada diri


dapat menciptakan kebiasaan memeriksa tubuh (habitual body monitoring) yang dapat
menghasilkan kecemasan dam rasa malu yang berulang, dan juga menahan kesenangan yang
berhubungan dengan puncak motivasi tertinggi. Melihat bagaimana pengalaman emosional
perempuan dibentuk oleh budaya yang mengobyekkan tubuh perempuan, maka teori
objektifikasi dapat menarik kesimpulan bagaimana perbedaan gender berpengaruh pada
depresi (Fredrickson & Robert, 1997).

c. Sexual dysfunction

Perempuan lebih banyak melaporkan ketidakpuasan seksual dan gangguan dalam hubungan
heteroseksual dibandingkan laki- laki. Kecemasan dan rasa malu yang dimiliki perempuan
tentang tubuhnya tampaknya akan mempengaruhi kehidupan seks perempuan. Kondisi ini
dipengaruhi oleh budaya yang berkembang bahwa peran perempuan lebih pada memberi
daripada menerima.

Hal ini menuntun perempuan untuk tidak mementingkan dirinya sendiri dan kurang fokus
pada keinginan sendiri serta sensasi fisik perempuan, tetapi lebih fokus pada keinginan
pasangan. Pertama, memberikan perhatian yang berlebihan pada gambar visual diri sendiri
menghabiskan banyak energi mental yang sebenarnya dapat digunakan untuk aktivitas yang

5
lebih bermanfaat dan memuaskan. Kedua, malu dan cemas yang dimiliki banyak perempuan
tentang tubuhnya dibawakan bersama pengalaman seks. Emosi negatif rasa malu serta cemas
akan tubuh.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tindakan Body Shaming merupakan hal yang harus kita jauhi karena dapat
berdampak pada psikis, rasa tidak aman, bahkan benci pada dirinya sendiri. Body
Shaming adalah bentuk dari verbal bullying. Banyak dari kita yang belum bisa sadar
bahwa body shaming adalah budaya yang tidak perlu dipertahankan. Hargailah diri
sendiri dan hargailah orang – orang disekitar kita.

7
DAFTAR PUSTAKA

 Jurnal Universitas Sanata Dharma


 Jurnal Body Shame dan Gangguan Makan Kajian Meta-Analisis ( Universitas
UGM )
 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 4. No. 1 April 2015

Anda mungkin juga menyukai