Disusun Oleh:
1
10.000 orang atau sekitar 30 orang perhari wara di Indnesia meninggal
dunia karena henti jantung mendadak. (Rizky, 2015)
Menurut American Heart Association, rantai kehidupan seseorang
yang mengalami henti jantung secara mendadak mempunyai hubungan
erat dengan tindakan resusitasi jantung paru (RJP), karena penderit yang
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) mempunyai kesempatan yng
amat besar untuk dapat hidup kembali. (Rizky, 2015)
Resusitasi Jantung Paru pada pasien yang mengalami kegawatan
pada jantung dan paru merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan
oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan
yang tepat pada saat kritis dan darurat. Kemampuan ini memerlukan
penguasaan pengetahuan dan ketrampilan keperawatan yang unik pada
situassi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan
pasien yang kritis. (Setyorini, dkk. 2011)
Berdasarkan propsal yang telah kami baca telah dilakkan survei
dengan metode wawancara, yang mana beberapa perawat menyatakan
bahwa dari 10 pasien henti jantung dilakukan RJP, 7 pasien berhasil
dilakukan RJP ditandai dengan ada nadi ada nafas. Dari 5 perawat yang
di wawancarai 1 perawat mampu melakukan tindakan RJP dengan tepat
pada pasien henti jantung dan 4 perawat tidak mampu melakukan
tindakan RJP dengan tepat pada pasien henti jantung. Oleh sebab itu
sepatutnya perawat memiliki pengetahuan yang cukup tentang RJP baik
melalui pendidikan formal maupun non formal.
Tingginya angka kematian pasien henti jantung di RSUD Taman
Husada erat kaitannya dengan beberapa faktor diantaranya yang pertama
respont time, kedua brainware yakni sumber daya manusia yang terdiri
dari dokter spesialis, dokter umum, dan perawat baik secara kuantitas
maupun kualitas, yang ketiga Hardware yakni perangkat keras yang
terdiri dari fasilitas peralatan dan obat – obatan, dan yang keempat
software yakni perangkat lunak yang terdiri dari organisasi, tata kerja,
protap (prosedur tetap dan diklat). (Depkes RI, 2012)
2
Dari data diatas ternyata hanya sebagian kecil perawat yang mampu
melakukan tindakan RJP dengan tepat. Maka dari itu peneliti tertarik
melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat terhadap
keberhasilan melakukan RJP pada pasien henti jantng.
3
Sebagai tambahan ilmu dalam bidang keperawatan terkait
keberhasilan dalam melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada
pasien henti jantung.
1.4.2.3. Bagi penelitian selanjutnya
Dapat digunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk
penelitian selanjutnya.
1.4.2.4. Bagi perawat
Meningkatkan wawasan pengetahuan dan keterampilan perawat
tentang keberhasilan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
pada pasien henti jantung
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Etiologi
Faktor resiko cardiac arrest adalah : laki – laki usia 40 tahun atau
lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiaac arrest 1 : 8 orang,
sedangkan pada wanita adalah 1 : 24 orang. Semakin tua seseorang,
semakin rendah resiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor
resiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia
dan merokok memiliki peningkatan resiko terjadi cardiac arrest
(Iskandar, 2008)
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan
mempunyai resiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi :
a. Adanya jejas / pembesaran dijantung
Karna serangan jantung terdahulu atau mengalami pembesaran
karna cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang
mengancam jiwa. 6 bulan pertama setelah seseorang mengalami
5
serangan jantung adalah periode resiko tinggi untuk terjadinya
cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b. Penebalan otot jantung (cardiomypathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi,
kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena
cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk
jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel
dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut
proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa
mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam
darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan
aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest
d. Kelistrikan yang tidak normal
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff
ParkinsoN White Syndrome dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal
Jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering
menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan
adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang
berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila
dijumpai kelainan tadi.
f. Penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest
pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada
organ jantung.
2.1.3. Epidemiologi
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di
Amerika Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih
6
didominasi oleh anak berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1
tahun dan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka
kejadian henti nafas dan jantung yang terjadi dirumah sakit berkisar
antara 7,5 – 11,2% dari 100.000 orang tiap tahun. Sebuah penelitian di
Amerika Utara menunjukan bahwa, kejadian henti nafas dan henti
jantung lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan anak dan
dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 : 6,3 dari 100.000 orang
setiap tahunnya..
Sementara itu, angka kejadian henti nafas dan henti jantung yang
terjadi di rumah sakit berkisar antara 2 – 6% dari pasien yang dirawat di
ICU (intensif unit care). Sekitar 71 – 88% terjadi pada pasien dengan
penyakit kronis, yang terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung,
saluran pencernaan, saraf, dan kanker. Penyebabnya hampir sama dengan
henti nafas dan henti jantung yang terjadi diluar rumah sakit di mana
yang terbanyak adalah asfiksia dan syok.
7
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini
tindakan yang harus segera dilakukan adalah RJP dan DC shock atau
defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya
karena adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls)
ataupaun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang
cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan
memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang
sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai
terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi
dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi
tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi
tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis
lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah
CPR.
2.1.6. Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam
jangka waktu 8 - 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti
8
jantung (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118. 2010). Kondisi tersebut
dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru (RJP) dan
defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk
terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan
fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang
diberikan antara 5 – 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan
memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30%
sampai 45 %.
9
2.2.2. Prosedur CPR
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk
bertahan hidup (chin of survival), cara untuk menggambarkan
penanganan ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest.
Jika salah satu dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban
untuk bertahan hidup menjadi berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini
kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan
hidup.
Menurut (Thygerson, 2006), dia berpendapat bahwa chin of
survival terdiri dari 4 rangkaian:
1. Early acces, kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala
dantanda awal serta segera memanggil pertolongan untuk
mengaktifasi EMS.
2. Early CPR, CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung
dan otak, sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang.
3. Early defibrillator, pada beberapa korban, pemberian defibrilasi
segera ke jantung korban bisa mengembalikan denyut jantung.
4. Early advance care, pemberian terapi IV, obat-obatan, dan
ketersediaan peralatan bantuan pernafasan.
RJP yang berkualitas menurut AHA (American Heart Association)
Guidelines 2015 ada 5 (lima) hal yang dianjurkan yaitu pertama,
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100-120x/menit. Kedua,
mengkompresi ke kedalaman minimum 2 inch (5cm). Ketiga,
membolehkan rekoil penuh setelah setiap kali kompresi. Keempat,
meminimalkan jeda interupsi dan kelima, memberikan ventilasi yang
cukup 2 (dua) nafas buatan setelah 30 kompresi, setiap napas buatan
diberikan lebih dari 1 (satu) detik, setiap kali diberikan dada akan
terangkat).
Prosedur CPR menurut (Nettina, 2006; Thygerson, 2006), adalah
terdiri dari airway, breathing dan circulation :
1. Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas (airway):
10
a. Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon
dengan menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara
keras “ Apakah anda baik-baik saja ? ” Rasionalisasi, hal ini akan
mencegah timbulnya injury pada korban yang sebenarnya masih
dalam keadaan sadar.
b. Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu
bersama kita untuk minta tolong (telp:118). Apabila kita
sendirian, korbannya dewasa dan di tempat itu tersedia telepon,
panggil 118. Apabila kita sendiri, dan korbannya bayi/anakanak,
lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit), kemudian panggil 118.
c. Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil
posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma
leher dan kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat
perlu saja. Rasionalisasi, posisi ini memungkinkan pemberi
bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan kompresi dada
tanpa berubah posisi.
d. Buka jalan nafas
1) Head-tilt/chin-lift maneuver : letakkan salah satu tangan di
kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan
menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala
pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya
di dagu korban pada bagian yang bertulang, dan angkat
rahang ke depan sampai gigi mengatub. Rasionalisasi,
tindakan ini akan membebaskan jalan nafas dari sumbatan
oleh lidah.
2) Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah
pasien pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan,
angkat mandibula ke atas sehingga kepala mendongak.
Rasionalisasi, teknik ini adalah metode yang paling aman
untuk membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai
mengalami trauma leher.
11
2. Pernafasan (Breathing)
a. Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara
pandangan kita arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada
pergerakan naik turun dada dan rasakan adanya udara yang
berhembus selama expirasi. (Lakukan 5-10 detik). Jika pasien
bernafas, posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap,
kepala menoleh ke samping). Rasionalisasi, untuk memastikan
ada atau tidaknya pernafasan spontan.
b. Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to
mouth atau dengan menggunakan amfubag. Selama memberikan
bantuan pernafasan pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak
ada udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan pernafasan
sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4 detik).
Rasionalisasi, pemberian bantuan pernafasan yang adekuat
diindikasikan dengan dada terlihat mengembang dan mengempis,
terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas dan terdengar
adanya udara yang keluar saat ekspirasi.
3. Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap
mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan head tiltchin lift yaitu
satu tangan pada dahi pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi
pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut
nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada.
a. Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian
pangkal dari salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari
sternum (2 jari ke arah cranial dari procecus xyphoideus). Jari-
jari bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi dada.
Rasionalisasi, tumpuan tangan penolong harus berada di sternum,
sehingga tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang
mana akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.
b. Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak
berada tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan
12
bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasien ke
bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm).
c. Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi
normal. Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya
pemberian tekanan. Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau
berubah posisi. Rasionalisasi, pelepasan tekanan ke dada akan
memberikan kesempatan darah mengalir ke jantung.
d. Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi
dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali (2 menit). Kemudian
periksa nadi dan pernafasan pasien. Pemberian kompresi dada
dihentikan jika: (1).telah tersedia AED (Automated External
Defibrillator). (2).korban menunjukkan tanda kehidupan.
(3).tugas diambil alih oleh tenaga terlatih. (4).penolong terlalu
lelah untuk melanjutkan pemberian kompresi. Rasionalisasi,
bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa
nadi di arteri carotis, jika belum teraba lanjutkan pemberian
bantuan nafas dan kompresi dada.
e. Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga
menyiapkan perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan
perawatan definitive. Rasionalisasi, perawatan definitive yaitu
termasuk di dalamnya pemberian defibrilasi, terapi obat-obatan,
cairan untuk mengembalikan keseimbangan asam-basa,
monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.
f. Siapkan defibrillator atau AED (Automated External
Defibrillator) segera.
13
2.3. Konsep Pengetahuan
2.3.1. Definisi
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
dikuasai, karena dengan mengetahui sesuatu kita dapat melaksanakan dan
menjadikan pedoman untuk tindakan selanjutnya (Sastroasmoro, 2008).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. (Wawan & Dewi,2011)
14
adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau
mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan
atas objek tersebut.
e) Sintesis(synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain
sintetis adalah suatu kemampuan untuk menysun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada.
f) Evaluasi(evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang
ditemukan sendiri.
15
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan
pada aspek psikis dan psikologis. Pada aspek psikologis dan mental
taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa.
d) Minat
Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni
suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam.
e) Pengalaman
Adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
f) Kebudayaan
Kebudayaan lingkungan sekitar, apabila dalam suatu wilayah
mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka
sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunnyai sikap untuk
selalu menjaga kebersihan lingkungan.
g) Informasi
Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat
seseoranguntuk memperoleh pengetahuan yang baru.
16
c) Kurang : Bila subjek mampu menjawab dengan benar < 56% dari
seluruh pertanyaan.
17
Henti jantung
RJP
wawancara kuesioner
Keberhasilan
Ket:
: Tidak teliti
: Diteliti
18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
19
3.3.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Tekhnik sampling merupakan cara – cara yang ditempuh
dalam pengembilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar – benar
sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2011). Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Total sampling yaitu
teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel (Sugiyono, 2012).
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subyek
penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti
(Notoatmodjo. 2010).
Kriteria inklusi disini merupakan :
a. Perawat yang sudah memiliki STR diruang B RSUD X
b. Perawat yang bersedia menjadi responden
c. Perawat yang tidak cuti saat dilakukan penelitian
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidak
dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel
penelitian (Notoatmodjo,2002).
Yang termasuk kriteria eksklusi adalah:
a. Perawat yang tidak bersedia menjadi responden
b. Perawat magang yang belum memiliki STR
c. Perawat yang mengambil cuti saat dilakukan penelitian
20
3.4.1 Variabel Independen
Merupakan variable yang mempengaruhi, risiko atau sebab (
Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini variable independennya
adalah tingkat pengetahuan perawat.
3.4.2. Variabel Dependen
Merupakan variable yang dipengaruhi, akibat atau efek
(Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini variable dependennya
adalah keberhasilan melakukan RJP pada pasien henti jantung.
21
Identifikasi Definisi Indikator Cara Skala Ukur Skoring
Variabel Operasional Mengukur
Variable bebas : Perawat mengetahui Pengetahuan Kuesioner kriteria
pengetahuan dan memahami sesuai perawat: Ordinal a) Baik : 76%-
perawat tentang RJP dengan materi yang 1. Definisi 100%
telah dipelajari pada RJP b) Cukup : 56%-
kondisi yang 2. Indikasi 75%
sebenarnya. melakukan c) Kurang < 56%
tindakan
RJP
3. Prosedur
RJP
Variabel terikat : Keberhasilan tindakan Kuesioner Kriteria
keberhasilan RJP dapat diukur menjawab Nominal a. Berhasil
Observasi melalui
melakukan RJP pada dengan menggunakan pertanyaan tentang b. Tidak berhasil
phantum
pasien henti jantung beberapa item yang keberhasilan
dilihat dari aspek melakukan RJP :
kognitif, afektif, dan 1. Untuk
psikomotor. mengukur
22
Keberhasilan adalah aspek
dimana peserta mampu kognitif,
melakukan RJP sesuai afektif dan
standart AHA,2010. psikomotor
23
3.6 Teknik pengumpulan data
3.6.1 Proses pengumpulan data
Setelah mendapatkan surat permohonan ijin dari STIKES Kepanjen
Kabupaten Malang dan dibawa ke RSUD x. setelah mendapatkan ijin
penelitian dari RSUD X maka peneliti melakukan penelitian dengan
metode kuesioner. Sebelum itu peneliti memberi penjelasan pada
responden dan menunjukan lembar persetujuan (inform consent) untuk
menjadi responden.
1. Persiapan
Pada tahap ini peneliti memperkenalkan diri kemudian
mendekatkan kepada informan, kemudian menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian, kerahasiaan data yang diberikan dan menjelaskan
hak sebagai informan serta manfaat dari penelitian. Apabila
informan bersedia makan dilanjutkan dengan mengisi kuesioner dan
apabila informan tidak menyetujui dengan alasan tertentu selama
proses pengisian kuesioner belum berakhir, maka informan dapat
membatalkannya.
2. Pelaksanaan
Dalam tahap ini pengisian kuesioner dilaksanakan sesuai
dengan kesepakatan informan dan peneliti. Sebelum pengisian
kuesioner dilaksanakan, peneliti menjelaskan kembali tujuan dari
penelitian, waktu dan tempat kontrak. Dalam pengisisan kuesioner
dilakukan dalam1 kali pertemuan pada tempat yang telah disepakati
bersama dengan informan, dengan lama waktu 30 menit. Dikarnakan
beberapa perawat bekerja pada shift yang berbeda maka, kuesioner
dititipkan kepada kepala ruangan di ruang B.
24
Isi angket berisi data pengetahuan tentang pengetahuan perawat dengan
menggunakan kuesioner dalam bentuk closed ended. Kuesioner yang
dibuat untuk mengukur pengetahuan perawat sejumlah 15 soal.Dalam
mengisi angket penelitian memberikan waktu 30 menit kepada
responden, pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti. Sedangkan
untuk mengukur keberhasilan RJP peneliti melakukan simulasi langsung
pada pantum.
25
3.7.1 Editing
Hasil wawancara atau angket yang diperoleh atau dikumpulkan
melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau ternyata
masih ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin
dilakukan wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dilakukan (drop out)
(Notoatmodjo, 2012).
3.7.2 Coding
Coding adalah pemberian kode, yakni mengubah data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan
(Notoatmodjo,2012).
1. Kode untuk variabel kategori pengetahuan perawat:
Kode 1: Baik
Kode 2: Cukup
Kode 3: Kurang
2. Jenis kelamin:
Kode 1: Laki-laki
Kode 2: Perempuan
3. Usia:
Kode 1: 21-30 tahun
Kode 2: 31-40 tahun
4. Pendidikan keperawatan:
Kode 1: SPK
Kode 2: Diploma III
Kode 3: Diploma IV
Kode 4: Strata I
5. Pengalaman kerja:
Kode 1: ≤ 1 tahun
Kode 2: 2-5 tahun
Kode 3: 5-8 tahun
Kode 4: ≥ 8 tahun
26
6. Kode untuk variabel keberhasilan RJP:
Kode 1: berhasil
Kode 2: Tidak berhasil
3.7.3 Tabulating
1. Scoring
Merupakan skor terhadap item-item yang perlu diberi skor,
memberikan kode terhadap item-item yang tidak diberi skor
(Arikunto, 2006). Skor untuk variabel pengetahuan tentang RJP
(resusitasi jantung paru) dengan kriteria pernyataan positif jika
pernyataan benar dinilai “1” salah dinilai “0”. Kemudian dinilai
dengan menggunakan kategori “Baik ≥ 75%”, “Cukup 55-74%”,
“Kurang < 55%”. Sedangkan untuk keberhasilan RJP peneliti
menggunakan kriteria “berhasil”, “tidak berhasil”
2. Klasifikasi
Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi data variabel
penelitian, adapun untuk menilai secara kualitatif status pengetahuan
perawat ruang B di RSUD X dan menginterpretasikan berdasarkan
presentase menjadi:
a. Baik ≥75%
b. Cukup 55-74%
c. Kurang < 55%. (Budiman, 2013)
3. Interpretasi data
Setelah melalui tahap skoring, kemudian dilakukan melalui
penilaian terhadap jawaban pada lembar kuesioner yang telah diisi
oleh responden kemudian diberi pembobotan, dijumlahkan dan
27
dibandingkan dngan skor tertinggi lalu dikalikan 100% dan hasilnya
berupa prosentase (Arikunto, 1998). Adapun rumus yang digunakan
adalah :
𝑠𝑝
𝑁= x 100%
𝑠𝑚
Keterangan:
N : Nilai yang didapat
Sp : Skor yang didapat
Sm : Skor maksimal
4. Penyajian data
Setelah mengalami proses pengolahan data hasil penelitian
hubungan pengetahuan perawat tentang RJP terhadap keberhasilan
melakukan RJP pada pasien henti jantung pada ruang B di RSUD X
akan disajikan dalam bentuk Cross Tabel dan narasi.
28
2. Tanpa Nama (Anominity)
Merupakan masalah etika dalam peenelitian keperawatan
dengan cara tidak memberikan nama responden pada lembar, alat
ukur hanya menulis kode pada lembar pengumpulan data.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari
hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya,
semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu akan dilaporkan
dalam hasil riset.
29
DAFTAR PUSTAKA
30