Anda di halaman 1dari 6

( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA MENGHINA

CITRA TUBUH (BODY SHAMMING) DALAM SOSIAL MEDIA )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi pada era ini menghadirkan kemudahan dalam mengakses informasi
dari berbagai media, baik melalui televisi, hingga melalui perangkat canggih seperti smartphone.
Media sosial (Medsos) merupakan salah satu dari bentuk kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Melalui media sosial yang semakin banyak ini maka memungkinkan informasi
menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apa pun dapat disebarluaskan
dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi, gaya hidup, cara pandang serta budaya suatu
bangsa. Melalui media sosial, manusia diajak berdialog, mengasah ketajaman nalar dan
psikologisnya dengan alam yang hanya tampak pada layar, namun sebenarnya mendeskripsikan
realitas kehidupan manusia. Namun, kehadirannya tidak disangkal bahwa pesan-pesan yang
ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak, baik ke arah perilaku
prososial maupun antisosial.1

tidak terkecuali yang berkaitan dengan Citra mengenai bentuk tubuh ideal bagi kaum pria
maupun wanita. Bagi sebagian besar negara di dunia terutama negara maju dan berkembang
termasuk Indonesia, standar bentuk tubuh ideal adalah tubuh yang memiliki keserasian antara
berat dan tinggi badan. Tubuh ideal pada perempuan digambarkan dengan tubuh yang cenderung
kurus, berlekuk, kuat, dan sehat sedangkan tubuh lelaki yang ideal adalah tubuh yang ramping,
berotot, dan sehat.2 Persepsi ini semakin berkembang dan kuat di kalangan masyarakat seiring
dengan maraknya konfrontasi melalui berbagai media yang memperlihatkan wanita maupun pria
dengan sosok dan bentuk tubuh idaman. Tubuh ideal, dalam hal ini penampilan fisik telah
menjadi salah satu nilai utama bagi setiap individu, terutama bagi kaum perempuan. Bahkan

1
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi (Jakarta: Fak Ekonomi UI, 2000)
2
Strandbu,A.& Kvalem, I.L. (2012). Body Talk and Body Ideals among. Adolescent Boys and Girls : A Mixed-Gender Focus
Group Study. Journal. Youth & Society.

1
sejak zaman dahulu para perempuan diberbagai negara telah memiliki standar kecantikannya
masing-masing. Dari masa ke masa, istilah tubuh sering dikaitkan dengan perempuan.
Shilling (dalam Christiani 2015:56) mengatakan bahwa citra tubuh (body image)
merupakan sesuatu yang bias gender sehingga ada ketimpangan di mana citra tubuh ideal lebih
ditekankan pada perempuan daripada laki-laki3. Susan Bordo mengamati berbagai karya seni,
seperti puisi dan novel Barat tentang perempuan dan kesemuanya membahas mengenai tubuh,
baik bentuk tubuh, bagian-bagian tubuh, gestur dan sebagainya. Dalam tulisannya “Women as
Body”, Bordo menjelaskan bahwa dengan lekatnya istilah tubuh bagi perempuan, perempuan
menjadi terbiasa untuk memerhatikan tubuhnya lebih daripada laki-laki, termasuk mengenai citra
tubuh ideal yang harus dicapai, sekaligus menjadi korban dari gambaran tubuh ideal yang
seringkali tidak realistis.4

Standar ideal tersebut kemudian membentuk citra tubuh pada masyarakat, khususnya
para remaja. Citra tubuh atau body image adalah persepsi diri terhadap dirinya sendiri di mata
orang lain dan anggapan tentang diri sendiri untuk terlihat pantas di lingkungan sekitarnya. Cash
dan Prizinsky (2002) menyebutkan ada empat faktor yang dapat memengaruhi perkembangan
citra tubuh seseorang, yaitu sosialisasi kebudayaan, pengalaman interpersonal, karakteristik, dan
kepribadian. Jika seseorang yang memiliki harga diri yang positif akan mengembangkan evaluasi
yang positif terhadap tubuhnya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif
akan cenderung meningkatkan citra diri yang negatif pula.

Citra tubuh memengaruhi penerimaan diri seseorang terhadap lingkungannya, sehingga


semakin tinggi citra tubuh, maka semakin tinggi pula penerimaan diri seseorang terhadap
dirinya. Namun, ketika standar dan penilaian sulit dicapai maka akan dapat menimbulkan
perasaan tidak puas terhadap kondisi diri sendiri5. Pola pikir ini terus terbawa, sehingga
menimbulkan persepsi negatif terhadap citra tubuh cenderung terbentuk jika tidak memiliki

3
Christiani, Lintang C., 2015. Homogenisasi Tubuh Perempuan Pra-Remaja (Tween) Dalam Majalah Girls. Tesis, Magister Imu
Komunikasi Universitas Dipenogore, Semarang
4
Gough-Yates, A. 2003. Understanding Women's Magazines: Publishing, Markets and Readerships in Late-Twentieth Century
Britain. London: Routledge.
5
Hasmalawati, N. 2017. “Pengaruh Citra Tubuh dan Perilaku Makan Terhadap Penerimaan Diri Pada Wanita, Jurnal
Psikoislamedia, 2(2):107-115.

2
bentuk tubuh ideal yang diharapkan. Adanya citra tubuh memungkinkan seseorang untuk
membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain dan menimbulkan rasa malu terhadap tubuh,
yang sering disebut dengan istilah Perlakuan body shaming. Body shaming adalah perbuatan
mengkritik atau perbuatan mencela bentuk, ukuran dan penampilan fisik orang lain.6

Ciri – ciri perbuatan Body Shaming seperti berikut :

1. Mengungkapkan Keprihatinan Terhadap Bentuk Tubuh Seseorang.


Contohnya Ungkapan seperti, "Punya badan jangan terlalu gemuk, nanti bisa kena diabetes loh "
atau juga seperti ungkapan "Coba diet supaya badan kamu jadi lebih sehat dan tidak gampang
sakit" mungkin memang terkesan menunjukkan kepedulian atau perhatian. Tapi sebenarnya itu
adalah termasuk dalam kategori body shaming secara tak langsung.

2. Memeberikan Ekspresi Yang Kaget Saat Melihat Orang Gemuk Olahraga.


Contohnya Ber akting terkejut atau bahkan memberi selamat ketika tahu orang yang kelebihan
berat badan sedang berolahraga, tanpa disadari itu adalah sebuah bentuk body shaming.

3. Memberikan Saran mengenai Penggunaan Pakaian.


Contohnya Menyarankan pada teman bagaimana dia harus berpakaian agar bisa terlihat lebih
langsing atau nyaman beraktivitas bukannya membantu, tapi justru malah sebuah praktik body
shaming yang mungkin bisa membuat rasa tersinggung pada korban itu sendiri. Kecuali dia
sendiri yang meminta saran berbusana.

4. Menghakimi Cara Diet Seseorang.


Contohnya Selalu memberikan komentar negatif terdahap seseorang yang sedang melakukan diet
sehingga membuat seseorang semakin tidak percaya diri.

5. Pujian Yang Tidak Pada Tempatnya.

6
Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawali Press.

3
Contohnya memberikan pujian pada seseorang dengan halus tetapi pujian itu malah membuat
seseorang sakit hati seperti kalimat “kamu terlihat kurusan sekarang” secara tidak langsung
orang itu berbicara bahwa dia mempunyai tubuh yang gemuk.

6. Skinny Sharing.
Contohnya Body shaming tidak hanya terjadi pada orang gemuk, tapi juga orang yang memiliki
tubuh kurus. Perlu diingat, mengomentari tubuh orang dengan “ terlalu kurus “ dan “ kurang gizi
“ atau “ banyak makan supaya sehat “ juga merupakan bentuk dari yang namanya body shaming.

Body shaming memang sering sekali kita jumpai dikehidupan sehari-hari. Terkadang
hanya karna korban memiliki bentuk tubuh tidak ideal, kita berkomentar tanpa memikirkan
perasaannya. Dampak yang terasa dalam perlakuan body shaming adalah tekanan batin karna
merasa tidak ideal sehingga pada akhirnya mengganggu psikologis korban. Seperti yang
dijelaskan dalam penelitian bahwa citra tubuh merupakan sebuah evaluasi individu terhadap
penampilan fisiknya yang meliputi pemikiran atau perasaan terhadap penampilan tubuhnya yang
mengarah ke perilakunya. Perlakuan body shaming termasuk bullying secara verbal dengan
membully badan seseorang. Tindakan mengomentari fisik (komentar negatif) ini menjadikan
fisik orang lain sebagai bahan ledekan atau guyonan. Dalam beberapa kasus efek dari body
shaming banyak wanita yang mengalami depresi dan melakukan hal ekstrem untuk memperbaiki
fisiknya. Pada saat ini berkomunikasi banyak menggunakan layar, tanpa melihat bahasa tubuh,
tanpa melihat ekspresi wajah, tanpa mendengar intonasi bicara, di mana hal-hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang mengikis kepekaan-kepekaan untuk memahami emosional lawan
bicara.

Hasil ini sejalan dengan teori yang peneliti gunakan yakni teori stimulus-response (S-R)
oleh Morisan. Asumsi dalam teori ini adalah menggambarkan proses komunikasi sederhana yang
hanya melibatkan dua komponen yaitu media massa dan penerima pesan (khalayak). Melihat
derasnya arus komunikasi di dunia maya, dan mudahnya orang-orang untuk mengakses
informasi, maka mudah pula orang-orang mendapatkan data negatif. Orang lain akan dengan
mudahnya mengonsumsi informasi negatif dengan hanya membaca dari kolom-kolom komentar,
kemudian menyimpulkannya. Lalu munculah persepsi baru dari pengguna media sosial yang

4
lain. Dari sinilah awal mulanya mereka mendapatkan stimulus dari sebuah informasi, kemudian
meresponnya. Bagi sebagian pengguna yang tidak mendapatkan data informasi secara utuh serta
tidak memiliki kepekaan emosional, maka respon yang ditunjukkan pun akan negatif, dan
terbentuklah label negatif (negative judgement). Selanjutnya respon-respon dari persepsi negatif
inilah yang kemudian disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying mempengaruhi kepercayaan
diri seseorang.7

Citra tubuh berkaitan dengan body shaming, kajian Damanik (2018) yang berfokus pada
dinamika psikologis perempuan yang mengalami body shaming pada perempuan usia dewasa
awal dan menunjukkan bahwa mereka yang mengalami body shaming akan lebih memerhatikan
tubuh dan menjadikan tubuh mereka sebagai objek (self-objectification). Hal ini menyebabkan
rasa cemas dan meningkatkan rasa malu terhadap diri sendiri. Mereka juga melakukan usaha
untuk mengurangi rasa malu, sesuatu yang membuat mereka menjadi objek body shaming. Ini
karena citra tubuh berhubungan dengan persepsi seseorang, perasaan dan pikirannya tentang
dirinya atau tubuhnya dan biasanya dikonseptualisasikan memiliki tubuh yang dinilai dari
estimasi ukuran, evaluasi daya tarik tubuh dan emosi yang terkait dengan bentuk tubuh dan
ukurannya.8 Bila body shaming ini masih tetap berlanjut dalam jangka waktu yang lama maka
akan mempengaruhi harga diri atau self esteem seseorang, meningkatkan isolasi menarik diri,
menjadikan seseorang rentan terhadap stress dan depresi serta rasa tidak percaya diri.

Sementara instrumen hukum yang diharapkan menjadi “pelindung” bagi korban


perlakuan penghinaan citra tubuh (body shaming) ini masih terdapat adanya ketidak jelasan atau
norma kabur yang dapat menimbulkan multitafsir di dalam aturan-aturan terkait tindak pidana
penghinaan citra tubuh (body shaming) tersebut, sehingga bukan tidak mungkin dengan semakin
berkembangnya zaman dengan teknologi informasi dan berbagai macam jejaring sosialnya akan
mengakibatkan perbuatan-perbuatan body shaming ini semakin meluas dan semakin biasa.4
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan penghinaan body shaming
ini diharapkan dapat melindungi korbannya sehingga untuk kedepannya permasalahan body
7
Napriana, Rahmi. 2018. Pengaruh Akun Instagram @hanan_attaki terhadap Motivasi Belajar Agama Islam Para Followers.
Skripsi Sarjana. Jurusan JOM FISIP Vol. 6: Edisi II Juli – Desember 2019 Page 15, Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Riau.
8
Grogan, S. 1999. Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Men, Women and Children. London: Routledge.

5
shaming ini dapat dikurangi, dan juga diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku
penghinaan body shaming sehingga orang-orang dapat lebih berhati-hati untuk berkomentar
tentang seseorang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik suatu permasalahan yang akan dibahas
dalam jurnal ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) ditinjau
dari KUHP dan Peraturan Perundang-undangan di Luar KUHP?
2. Bagaimana dinamika psikologis perempuan yang mengalami body shamming dan
dampak yang di alami korban?

Anda mungkin juga menyukai