Anda di halaman 1dari 8

BODY SHAMING DI INTERNET

Az’haar Syadza Aqilah


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Email: azhaarsyadz44@gmail.com

Epistemology:

Body shaming akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan sehubungan dengan meluasnya kasus
penghinaan disertai ejekan-ejekan di media sosial. Lalu apakah body shaming itu ? Body
shaming adalah mengkritik atau memberi komentar negatif pada bentuk fisik seseorang dengan
sengaja atau pun tidak. Hal ini dapat menyebabkan korban body shaming merasa tersinggung
bahkan sakit hati yang dapat berdampak lebih jauh pada kesehatan mentalnya. Mungkin bagi
beberapa orang tindakan body shaming hanya sekadar bercanda, akan tetapi jika dilakukan
secara terus menerus tentu akan berdampak pada mentalnya. Misalnya korban jadi merasa
minder, terkucil dan hal ini yang akan berpengaruh pada mental korban body shaming. Pada
mulanya, body shaming hanya menjadi trend untuk bahan becandaan saja, tetapi lama kelamaan
menjadi serius hingga menjatuhkan atau menjelekjelekkan orang lain, yang dapat mengakibatkan
ketidaknyamanan dari orang yang menjadi objek body shaming tersebut. Ditambah lagi seperti
saat ini penggunaan kata-kata seringkali tidak terkontrol ketika menggunakan media sosial tidak
secara bijak. Bila kondisi body shaming ini masih tetap berlanjut dalam jangka waktu yang lama,
maka akan mempengaruhi harga diri atau self esteem seseorang, meningkatkan isolasi menarik
diri, menjadikan seseorang rentan terhadap stress dan depresi serta rasa tidak percaya diri. Media
sosial (Medsos) merupakan salah satu dari bentuk kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Melalui media sosial yang semakin banyak ini maka memungkinkan informasi
menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apa pun dapat disebarluaskan
dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi, gaya hidup, cara pandang serta budaya suatu
bangsa. Melalui media sosial, manusia diajak berdialog, mengasah ketajaman nalar dan
psikologisnya dengan alam yang hanya tampak pada layar, namun sebenarnya mendeskripsikan
realitas kehidupan manusia. Namun, kehadirannya tidak disangkal bahwa pesan-pesan yang
ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak, baik ke arah perilaku
prososial maupun antisosial (Sunarto, 2000).

Body shaming adalah perbuatan mengkritik atau perbuatan mencela bentuk, ukuran dan
penampilan fisik orang lain. (Chaplin, 2005). Banyak sekali contohnya perbuatan perbuatan yang
ada di media sosial. Contohnya : “tuh orang masih muda tapi badan dah melar kaya emak
emak”, “cewek tuh cakep sih, tapi sayang hidungnya kok pesek yaaa...”, “kok kulitnya item gitu
yaa, padahal bapak ibunya putih”, dan lain sebagainya. Apabila ingin mengetahui lagi lebih
banyak contohnya, silakan menuju ke kolom kolom komentar pada unggahan foto yang ada di
berbagai platform media sosial. Di sana ada banyak ditemukan beraneka ragam kalimat yang
menunjukkan body shaming dan berbagai ejekan yang sangat keji. Body shaming dan ejekan
hanya bisa ditemukan pada orang yang memiliki hati yang jahat dan memiliki penyakit di dalam
hatinya. Latar belakang mengapa orang melakukan body shaming diantaranya adalah
sesungguhnya ia merasa minder dengan dirinya sendiri, tidak bahagia dengan hidupnya, berasal
dari keluarga dengan pola didik yang tidak sehat, dan memiliki sifat sombong sehingga
membuatnya iri dan dengki. Perasaan cemburu rupanya tidak hanya pada pasangan saja.
Adakalanya kita merasa cemburu kepada sahabat kita bahkan juga saudara. Rasa cemburu
biasanya datang tanpa kita sadari tapi berujung pada perasaan iri dan khawatir sehingga
membuat hidup jadi tidak tenang. Pada saat ini era media sosial dapat membuat kita lebih mudah
merasa iri dengan orang lain terutama pada teman. Melalui media sosial inilah, mereka dapat
memamerkan apapun yang dimilikinya, mulai dari barang barang mewah koleksinya,
pengalaman pengalaman jalan jalan ke luar negeri atau kehidupan yang glamour. Melihat hal
itupun terkadang kita bisa merasa iri dan menganggap mereka memiliki kehidupan yang
sempurna dan bahagia dibandingkan kita. Perasaan cemburu atau iri terhadap barang, kesuksesan
ataupun kecantikan orang lain bisa membuat kita memiliki penyakit hati.

Pembahasan

Ontology:

Masa pubertas merupakan suatu fase transisi dimana seseorang, baik wanita maupun pria
akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Perubahan ini bersifat fisik dan psikis. Dalam fase
pubertas, seorang remaja harus diberi pembimbingan yang cukup, sehingga ia dapat melewati
masa tersebut dengan baik. Seringkali masa pubertas membuat para remaja secara psikis merasa
terbebani, sehingga mereka memiliki kecenderungan labil dan emosi yang tidak menentu. Tidak
jarang pula mereka kehilangan rasa percaya diri karena perubahan bentuk tubuhnya. Bagi remaja
wanita yang bertumbuh dan mengalami fase pubertas beriringan dengan persepsi yang salah
bahwa wanita yang ideal secara fisik haruslah berkulit putih, langsing, berambut panjang dan
lurus, dapat memicu rasa percaya diri yang rendah. Tidak jarang jika pada akhirnya hal ini
menuntun seorang perempuan pada tekanan yang lebih besar terkait persepsi tubuhnya. Beberapa
kasus yang dialami remaja saat menginjak fase pubertas adalah berupa kekerasan verbal.
Perubahan fisik menjadi bahan ejekan teman korban, entah karena terlalu gemuk, terlalu kurus,
berkulit coklat, dan lain sebagainya. Hal ini sangat menyudutkan para korban dan semakin
membuat mereka kehilangan rasa percaya diri, di tambah lagi dengan sikap tidak dewasa yang di
tunjukkan lingkungan keluarga. “Seperti penyakit lain, krisis percaya diri menimbulkan
gangguan bagi si pengidapnya. Bahkan, penyakit ini bisa sangat kronis sampai-sampai si
penderita tak mau bergaul lagi dengan orang lain. Yang lebih mengerikan, mereka rela
mengakhiri hidupnya sampai di sini saja hanya gara-gara penyakit mental ini!”
(Iswidharmanjaya, 2004, p.9).
Menurut dr. Yunias Setiawati, SpKJ(K) terdapat empat jenis kekerasan yang sering
terjadi, meliputi fisik, verbal-emosional, seksual, dan ekonomi. Body shaming merupakan suatu
bentu kekerasan verbalemosional yang sering tidak disadari oleh pelakunya karena umumnya
dianggap wajar. Umumnya yang menjadi korban adalah remaja usia SMP – SMA, karena pada
masa ini mereka masih beradaptasi dengan tubuhnya dan sangat memperhatikan tubuhnya,
berbeda dengan orang dewasa yang cenderung cuek dengan penampilan fisiknya. (wawancara
pribadi, 23 Desember 2017). Pernyataan senada juga dikemukakan oleh konselor PKPP (Pusat
Konseling dan Pengembangan Pribadi) Universitas Kristen Petra, Stevanny, bahwa maraknya
kasus body shaming melunturkan kepercayaan diri korban dan menggiring korban untuk
membenci diri sendiri. (wawancara pribadi, 6 Februari 2018).

Aksiologi:

Saat ini marak terjadi penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) di kalangan masyarakat,
sebagai upaya untuk menjamin hak-hak para korban akibat penghinaan citra tubuh (body
shaming) perlu adanya aturan hukum yang jelas. Mengingat aturan hukum mengenai body
shaming di dalam KUHP dan di luar KUHP terdapat ketidak jelasan dalam pengaturannya yang
tidak menyebutkan secara langsung tentang body shaming, maka perlu adanya pengkajian atas
aturan yang mengatur tentang body shaming sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam
menggunakannya. Permasalahan hukum dalam penelitian ini adalah pengaturan tindak pidana
dalam penghinaan citra tubuh (body shaming) yang ditinjau dari KUHP dan Peraturan
Perundang-undangan di Luar KUHP. Pengaturan tindak pidana citra tubuh (body shaming)
sampai saat ini dapat dirujuk dengan Pasal 315 KUHP, jika dilihat dari ciri-ciri body shaming
yang telah memenuhi unsur-unsur obyektif maupun subyektif dari pasal tersebut, sehingga body
shaming dapat dikatakan tindak pidana penghinaan ringan terhadap citra tubuh. Pengaturan
tindak pidana penghinaan citra tubuh di luar KUHP dapat dirujuk menggunakan Pasal 27 ayat (3)
UU ITE apabila tindak pidana tersebut dilakukan melalui media sosial.

Body Shaming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari merundung (bullying) yang
sejatinya sudah terjadi sejak dulu hingga sekarang, dimana media berperan besar dalam
melanggengkan praktek-prakteknya. Oxford Dictionary mendefinisikan body shaming sebagai
tindakan atau mengkritik tentang bentuk atau ukuran tubuhnya, tetapi body shaming hanya
ditujukan kepada bentuk agresi dimana satu orang atau sekelompok orang berulang kali
melecehkan korban secara verbal atau fisik tanpa provokasi (Clarke & Kiselica, 1997). Perbuatan
penghinaan citra tubuh (body shaming) selain dilakukan secara verbal dan spontan langsung
kepada korban, dapat juga dilakukan secara lisan dan tidak langsung. Seperti ketika dalam media
sosial seperti Facebook, Twitter, atau Instagram seseorang melihat foto orang lain yang
menurutnya tubuh dari korban tersebut “aneh” kemudian pelaku melakukan penghinaan secara
lisan pada kolom komentar media sosial tersebut. Penghinaan citra tubuh (body shaming)
semacam itu juga dikategorikan ke dalam kejahatan cybercrime. Apabila mengikuti kasus-kasus
cybercrime yang telah terjadi dan jika hal tersebut dikaji dengan kriteria hukum pidana
konvensional, maka dari segi hukum, kejahatan cybercrime merupakan kejahatan yang
kompleks.

Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Ditinjau dari KUHP
KUHP merupakan kitab yang dijadikan rujukan pertama apabila akan mencari hukuman yang
akan di kenakan terhadap suatu perbuatan pidana. Pengaturan terhadap perbuatan yang
digolongkan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia diatur di dalam KUHP dan diatur
dalam beberapa undang-undang khusus di luar KUHP seperti UU ITE. Pengaturan yang dapat
dijadikan dasar rujukan terhadap perbuatan penghinaan citra tubuh (body shaming) terdapat
Pasal 310, Pasal 311 dan Pasal 315 KUHP. Akan tetapi sementara ini yang paling cocok menjadi
dasar hukum bagi tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) adalah Pasal 315, yang
yang menyatakan “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum dengan lisan atau
tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang
dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Istilah
yang juga umum dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah tindak pidana
“penghinaan”. Kata penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 KUHP di
terjemahkan dalam Bahasa Belanda yaitu eenvoudige belediging yang artinya “biasa” akan tetapi
sebagian para ahli menerjemahkannya dengan arti “ringan”. Pasal tersebut belum cukup
mengakomodir seluruh perbuatan penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) yang sering
kita jumpai akhir-akhir ini. Pasal 315 KUHP masih terbatas karena mengatur mengenai
penghinaan yang dilakukan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran maupun pencemaran
baik yang dilakukan oleh seseorang baik dimuka umum atau di muka orang itu sendiri
menggunakan lisan atau tulisan. Pasal 315 KUHP ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai
penghinaan dalam bentuk apa saja yang dapat dikatakan penghinaan ringan, atau dengan kata
lain KUHP yang berlaku saat ini hanya mengatur tentang penghinaan dalam arti luas tanpa
terperinci sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya.

Hal ini dapat kita lihat dari unsur unsur yang terdapat dalam Pasal 315 KUHP. Adapun
unsur unsur dari Pasal 315 KUHP yaitu:14

a. Unsur Obyektif

1. Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran lisan atau pencemaran tertulis; Penghinaan
yang tidak bersifat pencemaran adalah jika seseorang melakukan pembuatan menghina atau
mencela seseorang akan tetapi apa yang dikatakan itu benar tanpa bermaksud mencemarkan
nama baiknya, namun perkataanya membuat orang lain merasa tersinggung dan direndahkan
harga dirinya sebagai manusia.

2. Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka
orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan; Tindak pidana penghinaan yang dilakukan tersebut
dimaksud apabila suatu tindakannya dilakukan di muka umum atau bahkan di muka orangitu
langsung baik dengan berbicara langsung secara spontan atau menggunakan perantara tulisan,
surat maupun bekomentar menggunakan media elektronik.

3. Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya; Apabila tindak pidana penghinaan
tersebut dilakukan dengan cara melalui bentuk tulisan berupa surat yang dikirimkan langsung
kepada seseorang sehingga dapat menjadi bukti dari perbuatan penghinaannya tersebut baik yang
mengirimkan atau yang menerima.

b. Unsur Subyektif

1. Dengan sengaja Di dalam KUHP tidak memberikan penjelasan langsung mengenai kata
sengaja. Akan tetapi dapat kita ketahui bersama arti dari kata sengaja yang diambil dari M.v.T
(Memorie van Toelicthing) yang artinya adalah menghendaki dan mengetahui. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sengaja adalah menghendaki atau mengetahui yang dilakukan. Seseorang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja tersebut merupakan yang memang mengehendaki
perbuatan itu dan menyadari tentang apa yang dilakukannya.

Unsur – unsur Pasal 315 KUHP sebagaimana telah diuraikan diatas sudah jelas bahwa
pasal tersebut mengatur mengenai tindak pidana penghinaan ringan. Namun dalam Pasal 315
KUHP tidak dijelaskan secara rinci apa saja yang termasuk bagian dari tindak pidana penghinaan
ringan. Berdasarkan ciri-ciri body shaming yang sudah dijelaskan diatas, dapat dikatakan bahwa
body shaming sudah memenuhi unsur-unsur obyektif dari Pasal 315 KUHP seperti penghinaan
dalam bentuk pencemaran lisan atau pencemaran tertulis yang dilakukan dimuka umum dengan
lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, serta dengan
surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, sehingga body shaming merupakan bagian
dari tindak pidana penghinaan ringan yang dilakukan terhadap citra tubuh seseorang.

Dengan demikian Pasal 315 KUHP dapat digunakan untuk menjerat warganet yang
menuliskan body shaming baik di kolom komentar maupun direct message, karena hal tersebut
sifatnya tertulis dan dilakukan dimuka umum atau bisa diakses orang banyak. Pasal 315 KUHP
ini juga bisa menjerat seseorang yang mengirimkan pesan body shaming karena itu sesuai
dengan unsur-unsur Pasal 315 KUHP yaitu dilakukan di muka orang itu sendiri.

Pengaturan tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) di luar KUHP jika
ditinjau dari UU ITE memang tidak ada pasal yang menyebutkan secara spesifik mengenai (body
shaming), yang ada hanya klausul “penghinaan/pencemaran nama baik”. Ruang lingkup delik
Pasal 27 Ayat (3) ini mencakup penghinaan ringan. Body shaming termasuk tindak pidana
penghinaan ringan terhadap citra tubuh. Dengan demikian Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sampai saat
ini masih relevansi digunakan untuk kasus tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming)
apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui sarana komputer atau media elektronik.
Menurut Leslie B. Snyder dalam Gudykunst & Mody (2002), kampanye komunikasi
adalah tindakan komunikasi yang terorganisasi yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada
periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Ostergaard (2002) berpendapat bahwa
tujuan kampanye meliputi tiga aspek, yang umumnya disebut sebagai 3A atau tripel A. Ketiga
aspek ini meliputi Awareness, Attitude dan Action. Ketiganya saling memiliki keterkaitan dan
merupakan sasaran pengaruh (target of influences) yang harus dicapai secara bertahap agar suatu
kondisi perubahan dapat tercipta. Pada tahap pertama, kegiatan kampanye biasanya diarahkan
untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini sasaran
pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau
meningkatnya pengetahuan khalayak tentang isu tertentu. Sedangkan pada tahap yang kedua,
yaitu tahap Awareness, sebuah kampanye diharapkan mampu menggugah kesadaran, menarik
perhatian dan memberi informasi tentang produk, atau gagasan yang dikampanyekan. Tahapan
terakhir (Action) akan diarahkan pada perubahan dalam ranah sikap. Sasarannya adalah untuk
memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang
menjadi tema kampanye.

Oleh karena itu perlu adanya suatu kampanye sosial untuk mengajak masyarakat
menyadari bahwa secara sadar maupun tidak sadar, dengan maksud baik maupun tidak baik,
bahwa perilaku body shaming merupakan bentuk kekerasan yang memberikan dampak buruk
bagi para korbannya, khususnya para remaja perempuan yang belum memiliki kematangan
psikologis yang cukup (labil), sehingga kekerasan ini harus di hentikan.

Kampanye “Sizter’s Project” ada untuk menyampaikan pesan yang berisi edukasi
mengenai pemahaman body shaming dan melalui konsep “menyuarakan suara korban”,
kampanye ini mengajak remaja untuk ikut melihat dan merasakan dari sudut pandang yang lain,
yaitu para korban yang selama ini cenderung diam dan “menerima” ejekan fisik terhadapnya
adalah hal yang lumrah. Media yang dipilih dalam kampanye juga disesuaikan dengan consumer
journey sehingga pesan yang disampaikan akan lebih mudah diterima oleh para target audience.
Sinergi beberapa media yang saling meghubungkan dan mendukung juga turut melancarkan
proses kampanye ini, baik secara online maupun offline untuk menjangkau khalayak yang lebih
luas lagi.

Perlawanan Penyintas Body Shaming Melalui Media Sosial

Bentuk perlawanan yang dilakukan penyintas tindakan body shaming terbagi menjadi
dua, yaitu bentuk perlawanan tertutup dan terbuka. Perlawanan terbuka merupakan bentuk
perlawanan yang disampaikan secara langsung berupa tagar seperti #komentarfisikgaasik
#stopbodyshaming #cantikituejaannyabukankurus, komentar untuk menjawab langsung
pertanyaan secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengarah kepada tindakan body shaming,
membentuk komunitas model dengan ukuran plus size, mengambil gambar mengenai tindakan
body shaming yang kemudian diunggah ke dalam akun Instagram dan membuka butik untuk
perempuan dengan ukuran plus size. Sedangkan, bentuk perlawanan tertutup tindakan body
shaming berupa foto dan video mengenai hal yang diinginkan maupun disukai. Perlawanan
terbuka dapat menimbulkan efek jera terhadap individu maupun kelompok yang secara sengaja
maupun tidak sengaja melakukan tindakan body shaming. Sedangkan perlawanan tertutup tidak
memberikan efek jera, namun dapat memberikan perasaan nyaman dalam berekspresi sesuai
keinginannya tanpa mempedulikan komentar yang tidak ingin diperdulikannya serta
penyampaian bentuk perlawanan yang dilakukan oleh penyintas body shaming disampaikan
secara santun.
Referensi:

Rachmah, E. N., & Baharuddin, F. (2019). Faktor Pembentuk Perilaku Body Shaming di Media
Sosial. In Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial (pp. 66-73).

Micheal, M., & Azeharie, S. S. (2020). Perlawanan Penyintas Body Shaming Melalui Media
Sosial. Koneksi, 4(1), 138-146.

Putri, B. A. S., Kuntjara, A. P., & Sutanto, R. P. (2018). Perancangan Kampanye “Sizter’s
Project” sebagai Upaya Pencegahan Body Shaming. Jurnal DKV Adiwarna, 1(12), 9.

Anda mungkin juga menyukai