Pendahuluan
Pada zaman postmodern ini, kebutuhan aktualisasi diri menjadi hal yang penting, bahkan
menjadi suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan aktualisasi diri pada saat
ini seolah-olah bergeser dari kebutuhan yang sebenarnya tidak benar-benar vital menjadi
“kebutuhan” yang sangat vital. Meningkatnya aktualisasi diri dan keinginan untuk
menunjukkan eksistensi dapat dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan aplikasi sosial
media seperti instragram, youtube, facebook, dsb. Perkembangan teknologi mendukung hal
ini.
Kebutuhan ini dimulai dari keinginan manusia untuk menyatakan ekistensinya dimana
manusia ingin agar keberadaannya disadari oleh orang lain dan mendapatkan perhatian.
Kebutuhan ini memang seturut dengan rencana dan perintah Allah agar manusia menjadi
pengelola alam dan mengembangkannya. Oleh karena itu kita mengenal mandat budaya,
dimana sebagai implikasinya, manusia selalu memiliki naluri untuk menjadikan segala
sesuatu semakin baik.
Namun, bagaimana jika naluri dan kebutuhan ini terdistorsi? Kebutuhan untuk
mengungkapkan eksistensi diri yang berlebihan ini tentu akan menyebabkan masalah. Salah
satunya adalah narsisme media sosial.
Beberapa waktu lalu, di Bandung terjadi perkelahian berujung maut antara tukang ojek
konvensional dengan seorang dari ojek online. Hal yang miris adalah masyarakat tidak
memisahkan mereka, malah memfoto atau merekam video peristiwa tersebut. Kejadian
naas ini hanyalah satu dari banyak musibah yang terjadi akibat narsisme. Dalam liputan On
The Spot beberapa waktu lalu, diceritakan tujuh orang yang mengalami nasib naas karena
selfie. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa agaknya, bagi sebagian orang, selfie dan
berbagai bentuk narsisme lainnya lebih penting daripada nyawa.
Paper ini akan membahas apakah yang disebut narsis itu dan apa yang Alkitab katakan
mengenai narsis. Dengan demikian kita dapat mengambil sikap yang benar dalam
menghadapi narsisme dalam kerangka etika Kristen dan bagaimana implementasinya dalam
pergaulan global di dalam media sosial.
Media Sosial
Sosial media adalah teknologi media komunikasi yang memfasilitasi pembuat profilenya
untuk berbagi informasi, ide, ketertarikan, dan hal hal lainnya via virtual dan jaringan.[1]
Dalam buku Networked – The New Social Operating System oleh Lee Rainie dan Barry
Wellman, kedua penulis merefleksikan terutama efek positif dari media sosial dan jaringan
sosial berbasis Internet lainnya. Menurut penulis, media sosial digunakan untuk
mendokumentasikan kenangan, belajar tentang dan mengeksplorasi berbagai hal,
mengiklankan diri dan membentuk pertemanan.
Dampak negatif media sosial
Ada beberapa dampak negatif yang paling utama adalah masalah privasi[2], ledakan
informasi[3], penipuan di internet – termasuk hoax, hate speech. Kemarahan dan emosi
yang terjadi di media sosial dapat berdampak juga dalam relasi di kehidupan nyata.
Menurut penelitian dari UCLA, bagian “penghargaan” dari otak remaja lebih aktif ketika foto
mereka di-like oleh beberapa orang. Remaja dan dewasa muda berteman dengan orang-
orang yang tidak mereka kenal dengan baik didunia maya dan ini membuka kemungkinan
mereka dipengaruhi oleh orang-orang tersebut. Ketika anak-anak memiliki beberapa ratus
teman di dunia maya, tidak ada cara bagi orang tua untuk mengetahui siapa mereka[8].
Menurut Christine Rosen, banyak sosial media yang mendorong penggunanya untuk menjadi
“status-seeker”[9]. Menurut Rosen, praktik dan definisi “pertemanan” berubah dalam dunia
maya. Pertemanan di dunia nyata adalah suatu hubungan kedekatan emosional yang
dikarenakan ada kesamaan tertentu, timbal balik dan kepercayaan satu sama lain. Berbeda
halnya dengan didunia maya dimana seseorang bisa berteman walau tanpa memiliki timbal
balik dan kepercayaan satu sama lain.
Narsisme
Narsisme (dari bahasa belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan.
Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali
digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos
Yunani, Narkissos.[10] Sedangkan menurut KBBI, Narsisime adalah hal (keadaan) mencintai
diri sendiri secara berlebihan.[11]
Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir.[12] Dan Andrew Morrison
berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat
seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya
dengan orang lain[13] Artinya bahwa Narsisisme memiliki manfaat positif jika dalam jumlah
yang wajar, yaitu dapat membiasakan seseorang untuk berhenti bergantung pada standar
dan prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia.
“Setiap orang adalah narsis dalam derajat berbeda. Narsisme adalah fenomena yang sehat.
Ia membantu pertahanan hidup. Perbedaan antara narsis yang sehat dan patologis adalah
dalam ukurannya. Maksud patologis disini adalah, jika individu ini sudah tidak dapat
membedakan antara realita dan khayalan, sehingga merusak dan mengganggu fungsi
individu baik secara psikis dan terutama fungsi sosialnya.”[14]
Narsisme patologis adalah suatu sifat dan perilaku yang menandakan kegilaan dan obsesi
dengan diri sendiri. Cenderung mengesampingkan orang lain, bersifat egois dan tidak
merasa salah dalam memanfaatkan orang lain demi kepuasan dan tujuan diri sendiri.
Berbeda dengan narsisme sehat yang dimiliki oleh semua orang, narsisme patologis bersifat
tidak adaptif, kaku, keras, menyebabkan penderitaan yang signifikan, dan penurunan nilai.
Narsisme patologis memiliki bentuk ekstrim yaitu NPD (Narcissistic Pathological Disorder).
NPD adalah bentuk dari narsisme yang bersifat patologis. Penyakit kejiwaan ini masuk
kedalam kategori gangguan kepribadian.
3. Pandangan Etika Kristen terhadap Narsisme
Worldview
Narsisme pada dasarnya adalah sebuah bentuk dari hedonisme, dimana manusia mencari
kepuasan yang tidak ada habisnya bagi diriya sendiri. Sayangnya, menjadi narsis hanyalah
akan membuat kita menjadi semakin adiktif dan “melatih” kita menjadi orang-orang yang
egois, egosentris, dan tidak peduli dengan sesama manusia.
Secara etis hedonisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa kenikmatan pribadi
merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan utama serta terakhit hidup mannusia.
Kenikmatan demikian terkait dengan indrawi, inteletual, dan spiritual.[15] Hedonisme
sendiri adalah anak dari eksistensialisme yang pada akhirnya berujung kepada nihilisme. Di
dalam kehidupan hedonisme, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan makna
kehidupannya yang sejati.
Pandangan Alkitabiah
Manusia pada esensinya adalah ciptaan yang Allah kerjakan dengan begitu mulia, seperti
yang dikatakan dalam Kejadian 1:27 manusia diciptakan serupa dengan rupa Allah. Manusia
diberikan kebebasan untuk bertindak, berpikir, dan melakukan segala sesuatu. Namun di
dalam kebebasan itu manusia lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berdosa,
manusia melakukan sesuatu yang memuaskan hasratnya, melakukan tindakan yang bukan
meninggikan Allah, tetapi menempatkan diri sebagai prioritas utamanya.
Namun kejatuhan manusia dalam dosa berimplikasi penyimpangan citra diri. Manusia yang
adalah gambar dan rupa Allah menjadi seteru Allah, bukan hanya dengan Allah semata
tetapi dengan segala hal, termasuk dengan diri sendiri. Fokus hidup manusia beralih dari
Allah, berpindah pada diri sendiri. Bahaya terbesar dari mengasihi diri sendiri adalah karena
hal ini merupakan penyembahan kepada diri sendiri. Ini merupakan pemberhalaan dengan
diri sebagai berhalanya, dan merupakan lawan dari Allah. Dengan demikian dapat
mengakibatkan kesombongan terhadap Allah, keegoisan timbul, dan hidup yang berpusat
pada diri sendiri semakin menguat.[16]
Gambar Allah di dalam diri manusia yang menyimpang karena kejatuhan harus dan
senantiasa diperbaharui secara bertahap di dalam Yesus. Pembaharuan citra diri manusia
terjadi dalam dua aspek, yang pertama ketika Allah dan Rohnya memperbaharui manusia, Ia
memampukan manusia untuk meninggalkan kesombongan dan memandang diri sebagai
pusat segalanya. Manusia harus sadar dulu bahwa pusatnya pada Allah. Manusia harus
secara sadar menyakini Allah adalah realita tertinggi.[17]
Imago Dei Vs. Narsisme
Narsis dalam pengertian menyadari keunikan diri sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei)
tentu sangat baik karena memang Allah menghendaki agar kita menyadari hal yang
demikian. Tanpa kesadaran akan hal itu, manusia tidak akan pernah sanggup untuk
melakukan apapun karena akan selalu dipenuhi rasa pesimistis yang pada akhirnya tidak
akan membuahkan apa-apa. Ini sebenarnya sama dengan merendahkan gambar dan rupa
Allah tersebut.
Namun jika narsis dalam pengertian di atas berkembang sampai menjadi narsisme, maka hal
ini juga akan merendahkan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia. Orang-orang yang
narsis (dengan –me) memiliki kekosongan dalam hidup mereka dan tidak pernah menyadari
betapa berharganya diri mereka. Itulah sebabnya mereka mencoba untuk membuat diri
mereka agar kelihatan lebih berharga. Orang yang menyadari dengan jelas siapa dirinya
tidak perlu melakukan usaha-usaha yang demikian untuk menaikkan harga dirinya.
Teladan Yesus
Yesus Kristus tidak pernah berhenti menjadi Tuhan sekalipun Ia membasuh kaki murid-
murid-Nya. Bagi Yesus, harga Diri-Nya saa sekali bukan ditentukan dari bagaimana orang lain
memandang Dia, namun bagaimana Allah memandang Dia. Etika Kristen harus menjadikan
Yesus Kristus sebagai model satu-satunya yang sempurna. Karena itu orang Kristen pun
harus melakukan apa yang Yesus lakukan. Kita tidak perlu membangun harga diri dari hal-hal
yang remeh karena Allah Pencipta langit dan bumi sudah menganggap kita berharga.
Pengertian mengenai hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk membentuk citra diri kita.
4. Kesimpulan
Narsisme bukan baru dirumuskan dalam sejarah mitologi Yunani, tetapi definisi atau
penarapan dari orang yang narsis itu sudah dimulai sejak manusia jatuh dalam dosa. Dengan
perkembangan zaman, kata narsis itu muncul, dan menjadi bagian dalam diri manusia
sampai sekarang, secara khusus kelompok kami mencermatinya dalam sosial media.
Pada masa kini, kita mengenal suatu istilah social climbing. Istilah ini mengacu kepada orang-
orang yang melakukan segala upaya untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi dari posisi
mereka yang sebenarnya. Dampak dari hal ini selalu negatif karena pada dasarnya orang-
orang akan membohongi dirinya sendiri dan memaksakan sesuatu yang mereka tidak dapat
tanggung. Akibatnya kita banyak mendengar kredit macet, prostitusi di kalangan ibu-ibu
muda, dsb. Dalam dunia ekonomi, kita sering mendengar tuntutan kaum buruh yang
sebenarnya tidak masuk akal: ingin bonus jalan-jalan ke luar negeri, nonton bioskop
seminggu sekali, dsb. Mangapa hal-hal demikian bisa terjadi?
Kelompok mengamati hal ini terjadi karena orang-orang melihat foto-foto narsis yang di-
upload di media sosial, apakah itu foto makanan, pemandangan, dsb. Ketika orang-orang
yang lemah imannya melihat foto-foto tersebut, maka mereka menjadikan hal tersebut
sebagai standar hidup yang juga harus mereka gapai. Namun ketika mereka tidak sanggup
mencapainya karena keterbatasan posisi sosial mereka. Karena itu mereka akan melakukan
bahkan menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai hal-hal tersebut.
Ketidakmampuan mereka untu mencapai hal-hal tersebut akan dianggap sebagai
ketidakadilan sosial.
Dalam hal ini, kita harus belajar dari rasul Paulus. Dalam I Korintus 10: 23 jelas-jelas
dikatakan bahwa walaupun segala sesuatu diperbolehkan, namun tidak segala sesuatu
berguna dan membangun. Alkitab tidak pernah melarang kita untuk selfie dan meng-upload
foto di medsos, namun kita perlu melihat antara kegunaan dan dampak negatifnya. Pada
kenyataannya, pameran kekayaan dan kenikmatan yang bersifat duniawi itu tidak pernah
menghasilkan dampak yang baik.
Orang Kristen bisa mengasihi dirinya secara pantas, bukan berlebihan, kalau pribadi
seseorang telah dilahirbarukan atau menjadi ciptaan baru dalam Allah, dan dia sadar ada
anugerah yang menyelamatkan dia,[18] bukan karena kemampuan manusia sendiri. Dengan
demikian, orang ini akan memuji, meninggikan, dan menonjolkan Allah dalam berbagai
aspek, termasuk dalam sosial media, bukan lagi menonjolkan diri sendiri. Ambiguitas dan
narsisme diri perlahan-lahan akan hilang.
Citra diri Kristen tidak pernah menjadi tujuan akhir pada dirinya sendiri. Ia selalu merupakan
alat untuk mencapai tujuan, yaitu hidup bagi Allah, bagi orang lain, dan bagi pemeliharaan
dan pengembangan ciptaan Allah.[19] Citra diri yang baik, membawa manusia keluar dari
sikap narsisme, dan kembali untuk memuji Allah dan memperdulikan yang lain. Karena Yesus
mengajarkan tentang hukum kasih, bahwa manusia hidup untuk mengasihi Tuhan yang
utama, dan mengasihi sesama. Memang mengasihi diri penting, tetapi jangan dijadikan itu
berhala atau pusatnya.
Kelompok menganjurkan, jika kita ingin meng-upload foto ke medsos, pilihlah foto yang
menggambarkan keindahan dan kemuliaan hidup bersama dengan Allah. Sebagai contoh,
pilihlah foto yang memperlihatkan kekeluargaan di dalam kasih Tuhan, keindahan pelayanan
di gereja, dsb. Dengan memperlihatkan hal-hal seperti demikian, kita tidak mencobai mereka
yang lemah imannya, malah menguatkan iman mereka sehingga setiap orang melihat
perbedaan hidup orang Kristen dengan orang yang tidak mengenal Allah.
Pada akhirnya, kami mengutip perkataan rasul Paulus dengan memberikan sedikit
penyesuaian dalam konteks ini: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua
yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap
didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah (perlihatkanlah)
semuanya itu.” (Fil 4:8).
Daftar Pustaka
Abnormal Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc Jonathan A Obar, Wildman,
Steve (2015). “Social media definition and the governance challenge: An introduction to the
special issue”. Telecommunications policy. 39 (9).
Chan, TH (2014). “Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and
Life Satisfaction: A Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and Social
Networking. 17 (5): 276–280.
Research. 42 (6).
Kowalski, Robin M, Sue Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed.
Chua, Trudy Hui Hui; Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful
Wolpert, Stuart. “Teenage Brain on Social Media”. Retrieved May 31, 2016.
Rosen, Christine. “Virtual Friendship and the New Narcissism“. The New
Press.
Momentum, 2010.
Sagala, Herlise Y. “Etika Kristen”. Classnote Etika Kristen. Bandung: STTB,
2017.
KBBI
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.67.965
https://w2.eff.org/Net_culture/Criticisms/informing_ourselves_to_death.paper
http http://iaminin.blogspot.com/2008/11/buat-blog-narsis-banget-sich-part-2.html.
[1] Obar, Jonathan A.; Wildman, Steve (2015). “Social media definition and the governance
challenge: An introduction to the special issue”. Telecommunications policy. 39 (9): 745–
750.
[2] http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.67.965
[3] https://w2.eff.org/Net_culture/Criticisms/informing_ourselves_to_death.paper
[4] Chan, TH (2014). “Facebook and its Effects on Users’ Empathic Social Skills and Life
Satisfaction: A Double Edged Sword Effect”. Cyberpsychology, Behavior, and Social
Networking. 17 (5): 276–280.
[5] Chen, Gina Masullo (2015). “Losing Face on Social Media”. Communication Research. 42
(6): 819–38.
[6] Kowalski, Robin M, Sue Limber, and Patricia W Agatston. Cyberbullying. 1st ed. Malden,
MA: Wiley-Blackwell, 2012. Print.
[7] Chua, Trudy Hui Hui; Chang, Leanne (2016). “Follow me and like my beautiful selfies:
Singapore teenage girls’ engagement in self-presentation and peer comparison on social
media”. Computers in Human Behavior. 55: 190–7.
[8] Wolpert, Stuart. “Teenage Brain on Social Media”. Retrieved May 31, 2016.
[9] Rosen, Christine. “Virtual Friendship and the New Narcissism”. The New Atlantis.
Retrieved February 29, 2016.
[10] Ann M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 . Abnormal
Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc
[11] KBBI.
[13] Morrison, Andrew. 1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic Press
[14] (http://iaminin.blogspot.com/2008/11/buat-blog-narsis-banget-
sich-part-2.html)
[15] Herlise Y. Sagala, “Etika Kristen” (Classnote Etika Kristen) (Bandung: STTB, 2017), 26.
[16] Paul Brownback, The Danger of Self-Love (Chicago: Moody Press, 1982), 130.
[18] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Surabaya: Momentum,
2010), 132.