Anda di halaman 1dari 8

MEDIA SOSIAL MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL

ARTIKEL MATA KULIAH INTERAKSI SOSIAL


Dosen Pengampu: Dr. Siti Rohmah Nurhayati, S.Psi,. M.Si,.

Oleh:
Nurul Risqiyah Hasbansyah Putri
17112144028

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
ABSTRAK
Era globalisasi ini media komunikasi yang paling berkembang pesat
seolah tidak ada batas lagi untuk berhubungan dengan seseorang di belahan bumi
yang lain. Hal ini bisa menjadi baik tetapi juga bisa menjadi buruk untuk kita.
Kejahatan serta kebaikan bisa tersebar dengan cepat, tergantung kita akan
menyebarkan yang mana. Ada baiknya bila teknologi ini digunakan untuk
menyebarkan hal yang positif, seperti perilaku menolong sesama manusia.

PENDAHULUAN

Zaman telah berubah menjadi serba praktis karena didukung oleh


perkembangan teknologi mutakhir yang memudahkan umat manusia. Walaupun
begitu, teknologi canggih ini menjadi pedang bermata dua, dimana ia bisa
bermanfaat atau malah bisa merugikan. Itu sebabnya kita perlu pandai-pandai
menggunakannya.
Manusia di era modern ini mengalami kemunduran dalam aspek social.
Kebanyakan dari mereka kini lebih suka untuk berdiam diri di dalam kamar
dengan gawainya daripada harus pergi ke luar dan bertemu berbagai macam orang
yang mungkin ada di antara jenis kepribadian mereka yang tidak sesuai dengan si
individu. Hal ini menyebabkan penurunan rasa empati di masyarakat dunia dan
Indonesia juga termasuk di dalamnya. Di Indonesia sendiri perilaku menolong
sudah mulai menurun. Karena masyarakat Indonesia mulai mengembangkan sikap
individualisnya.
Pada prinsipnya manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia
tidak bisa hidup sendiri. Manusia perlu adanya interaksi satu sama lain. Hubungan
yang mengatur adannya interaksi dengan manusia yang lain adalah interaksi
interpersonal. Dengan adanya interaksi interpersonal manusia dapat menempatkan
dirinya pada lingkungan yang sesuai dan mampu memepertahankan kodratnya
sebagai makhluk sosial.
KAJIAN TOPIK

Prososial di Indonesia
Mahasiswa adalah penerus bangsa di masa yang akan datang,
sehingga jika sejak kuliah mereka terbiasa dengan perilaku yang tidak
prososial atau bahkan antisosial, tidak mengherankan bila setelah lulus
mereka cenderung akan dengan mudah mengutamakan sikap
individualistik, melakukan pengabaian terhadap sesama, atau bahkan
melakukan tindakan kekerasan, kriminalitas, dan perilaku antisosial yang
lainnya. Pada tingkatan pribadi, perilaku antisosial dapat terwujud dengan
tindakan bunuh diri, yaitu suatu cara mengakhiri hidup dengan membunuh
diri sendiri akibat depresi, atau setidaknya mencoba bunuh diri. Selain
bunuh diri, ada juga perbuatan tidak senonoh kepada lawan jenis, mencuri
kecil-kecilan, minum-minuman keras, sikap agresif dan penuh kekerasan,
penggunaan narkoba, perusakan fasilitas umum atau pembunuhan terhadap
orang lain.
Kenyataan yang ada di era globalisasi seperti sekarang, mahasiswa
dihadapkan pada persoalan interaksi sosial. Salah satunya kasus
mahasiswa adalah tawuran yang melibatkan bentrokan di antara kelompok
mahasiswa yang bertikai. Tawuran menjadi salah satu indikasi adanya
perilaku agresif baik sebagai individu maupun kelompok, yang tidak lagi
mencerminkan perilaku prososial seperti adanya perilaku berbagi dalam
kesedihan dan bekerja sama.

PEMBAHASAN

A. Definisi Prososial
Perilaku prososial sering dikenal dengan perilaku menolong.
Menurut KBBI arti dari kata menolong adalah membantu meringankan
beban untuk dapat melakukan sesuatu. Baron (2014) menuliskan dalam
bukunya Social Psychology: Thirteenth Edition bahwa perilaku prososial
tidak bisa lepas dari adanya rasa empati. Empati yang dimaksud adalah
seperti merasakan perasaan yang sama seperti orang lain.
Baron (2014) juga menuliskan hipotesis tentang empati-altruisme
yang merujuk pada tindakan menolong dimotivasikan semata-mata karena
keinginan untuk membantu seseorang yang membutuhkan dengan segala
risiko yang akan diterima penolong. Dalam penelitian yang dilakukannya
mengenai empati, menunjukkan hasil bahwa orang yang mempunyai rasa
empati tinggi akan memiliki rasa menolong yang tinggi. David G Myers
(2013) dalam bukunya Social Psychology menunuliskan bahwa altruisme
dapat diartikan sebagai motif untuk menolong kesejahteraan orang lain
tanpa memperhatkan diri sendiri.

Menurut hasil penelitian, empati dapat dibagi menjadi 3 komponen, yaitu :


1. Emotional empathy : melibatkan perasaan dan emosi terhadap orang
lain
2. Empathic accuracy : melibatkan persepsi pikiran dan perasaan orang
lain
3. Empathic concern : melibatkan perasaan prihatin terhadap
kesejahteraan orang
lain

Adanya perilaku menolong didasari oleh adanya rasa empati


terhadap orang lain. Dengan adanya perasaan empati akan membuat
seseorang seperti merasakan perasaan yang sama terhadap orang lain.
Sama seperti teori psikoanalisis Freud, apabila seseorang dalam masa
kanak-kanaknya memiliki perilaku prososial yang tinggi mereka akan
membawa perilaku tersebut sampai dewasa.

Bagaimana empati berkembang? Baron menuliskan bahwa faktor


pertama yang mampu meningkatkan rasa empati adalah dengan adanya
pola kelekatan aman terhadap orang tua. Dengan adanya proses modeling
terhadap orang tua dan anak yang melibatkan perilaku prososial akan
menimbulkan rasa kepedulian terhadap orang lain. Anak-anak akan
mempelajari apa yang orang tua lakukan. Faktor kedua adalah perbedaan
gender. Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
terhadap keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam perilaku prososial.
Laki-laki banyak terlibat dalam menolong orang-orang pada keadaan
darurat yang mengandalkan kemampuan fisik yang tinggi, contohnya
seperti menjadi relawan. Sedangkan perempuan kebanyakan telibat dalam
perilaku menolong seperti aksi donor organ, dokter sukarelawan, dll.

Perilaku prososial juga dapat mengalami reduksi. Di dalam


bukunya, Baron menuliskan dua faktor yang menyebabkan perilaku
prososial dapat tereduksi. Faktor yang pertama yaitu adanya rasa anonim
terhadap seseorang yang membutuhkan bantuan. Perasaan tidak mengenal
atau merasa tidak peduli terhadap orang lain dapat memicu seseorang cuek
terhadap sesuatu yang membutuhkan bantuan. Faktor selanjutnya yaitu
faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang dimaksud adalah ketersediaan
waktu. Contohnya ketika kita akan berangkat kuliah dalam keadaan
terburu-buru sedangkan didepan kita ada seseorang yang mengalami
kecelakaan dan kita harus membantunya, kita akan memikirkan masalah
waktu. Kita harus mengorbankan waktu untuk mengejar mata kuliah agar
tidak terlambat atau membiarkan seseorang tergeletak begitu saja padahal
membutuhkan bantuan kita.

B. Peran Media
GLM (dan pendahulunya, model umum agresi) adalah sebuah
model perilaku sosial yang telah diterapkan untuk memperhitungkan
Kapan dan mengapa eksposur media memunculkan respon perilaku
(Buckley & Anderson, 2006; Bangsa et al., 2009; Greitemeyer, 2011).
Menurut model ini, variable orang (seperti seks) dan variable situasi
(seperti eksposur media) mungkin secara independen dan beberapa kali
interaktif mempengaruhi keadaan internal seseorang, terdiri dari kognisi,
persuasi, dan gairah yang terkait dengan media konten. Keadaan internal
ini mempengaruhi bagaimana peristiwa yang dirasakan dan ditafsirkan,
yang pada gilirannya mempengaruhi respon perilaku. Menurut GLM,
tergantung pada isi media terkait, negatif atau positif efek eksposur media
sosial perilaku yang diharapkan.
Efek dari bermain video game dengan konten prososial (di mana
tujuan utama adalah untuk mendapatkan keuntungan lain) pada hasil
prososial dan antisosial telah tercatat dalam serangkaian penyelidikan
empiris. Gentile dan rekan (2009) dalam Greitermeyer (2011)
menyediakan tes korelasional, longitudinal, dan eksperimental dari
hipotesis bahwa bermain video game prososial berhubungan dengan
perilaku prososial. Dalam sebuah penelitian korelasional pertama, Gentile
dan rekan (2009) menemukan bahwa paparan video game prososial secara
bermakna dikaitkan dengan perilaku menolong, kerjasama dan berbagi,
dan empati. Dua sampel memanjang lebih lanjut mengungkapkan bahwa
paparan prososial video game secara signifikan mempengaruhi perilaku
prososial 3 sampai 4 bulan kemudian. Akhirnya, studi eksperimental
menunjukkan bahwa prososial (relatif terhadap netral) paparan video
game, perilaku menolong meningkat dan cenderung menurunkan agresi.
Namun, karena menolong dan agresi memiliki skor yang bergantung, tidak
sepenuhnya jelas apakah penelitian ini menunjukkan efek paparan video
game terhadap perilaku prososial dan atau agresif. Selain itu, Gentile dan
rekan tidak langsung menguji mekanisme psikologis video game prososial
mana yang meningkatkan perilaku prososial.

Seperti penelitian efek dari paparan video game, sebagian besar


telah difokuskan pada aspek-aspek negatif dari paparan musik
(Timmerman et al., 2008 dalam Greitemeyer 2011). Misalnya,
mendengarkan musik dengan agresif (relatif terhadap netral) lirik telah
terbukti meningkatkan kognisi agresif, mempengaruhi (Anderson,
Carnagey, & Eubanks, 2003), dan perilaku (Fischer & Greitemeyer, 2006).
Namun, penelitian terbaru juga telah menunjuk kemungkinan efek positif
dari paparan musik pada hasil-hasil sosial. Dalam serangkaian penelitian
(Greitemeyer, 2009a, 2009b), peserta secara acak ditugaskan untuk
mendengarkan baik musik dengan lirik prososial atau musik dengan lirik
netral. Artis dan genre yang cocok di kondisi eksperimental. Misalnya,
peserta dalam kondisi prososial mendengarkan "Love Generation,"
sedangkan partisipan dalam kondisi netral mendengarkan "Rock This
Party"-kedua lagu yang dilakukan oleh Bob Sinclair. Kemudian,
aksesibilitas pikiran prososial, empati, dan perilaku menolong dinilai.
Hasil konsisten mengungkapkan bahwa prososial paparan musik
meningkatkan hasil prososial. Sebagai contoh, setelah terpapar musik
prososial, 53% dari peserta menyumbangkan uang untuk sebuah organisasi
nirlaba, sedangkan hanya 31% dari peserta dalam kondisi musik netral
melakukannya. Mendengarkan musik dengan lirik prososial meningkatkan
empati, yang pada gilirannya membangkitkan perilaku menolong
(Greitemeyer 2009
C. Upaya Pemerintah untuk Meningkatkan Perilaku Menolong
Pemerintah Indonesia menyadari betapa pentingnya perilaku
prososial dan betapa bahayanya perilaku antisosial bagi masyarakat,
bangsa, dan negara. Salah satu usaha preventif pemerintah untuk
menghindari atau meminimalkan fenomena yang kurang mendukung
perilaku prososial bagi warga Indonesia adalah dengan mengeluarkan UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang
ini, pemerintah mendorong untuk memaksimalkan penerapan perilaku
prososial, seperti berbagi, bekerjasama, menolong, jujur, sebagai wujud
nilai luhur bangsa bagi seluruh warga Indonesia, terutama di lingkungan
sistem pendidikan nasional. Sebagaimana pada Pasal 32 (ayat 1, 2, dan 3)
menyatakan bahwa kurikulum disusun mengacu pada tujuan pendidikan
nasional dan sesuai dengan jenjang pendidikan, yang salah satu isinya
ialah pendidikan akhlak mulia.
KESIMPULAN

Semakin berkembangnya zaman yang diakibatkan kemajuan teknologi,


media sosial menjadi penting dalam penyebaran hal-hal yang mendorong perilaku
menolong. Cara-cara yang ada antara lain adalah dengan GLM, video game yang
mempersuasi perilaku prososial, dan lagu yang berisi lirik menyentuh serta ajakan
untuk menolong orang. Disamping itu, pemerintah Indonesia pun juga membuat
UU untuk menggalakkan perilaku prososial di kalangan bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial : Edisi 10 Jilid 2. Jakarta : Penerbit


Erlangga
Baron, Robert, A., & Byrne. D. (2014). Psikologi Sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga
Greitemeyer, T. (2011). Effects of Prosocial Media on Social Behavior: When and
Why Does Media Exposure Affect Helping and Aggression? Sage
Publications, Inc. on behalf of Association for Psychological Science.
Spivak , A. L., & Carollee , H. (2011). Social and Relational Factors in Early Education and
Prosocial Actions of Children of Diverse Ethnocultural Communities. Merrill-
Palmer Quarterly, Vol. 57, No. 1 (January 2011), 1-24.

Anda mungkin juga menyukai