Anda di halaman 1dari 37

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA FILM DALAM

MENINGKATKAN EMPATI SISWA SMP

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :
Alan Auliyah M
110111409587

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Perumusan

D. Hipotesis Penelitian

E. Kegunaan Penelitian

F. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian

G. Definisi Operasional

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Media
1.

Pengertian Media

2.

Kriteria Pemilihan Media

3.

Manfaat Penggunaan Media

10

B. Film
1.

Pengertian Film

11

2.

Kelebihan Film

11

3.

Keterbatasan Film

12

C. Empati
1.

Pengertian Empati

12

2.

Komponen-Komponen Empati

14

3.

Faktor yang Mempengaruhi Empati

17

4.

Proses Empati

18

D. Efektifitas Penggunaan Media Film dalam Meningkatkan Empati


Siswa SMP

20

BAB III METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian

22

B. Sampel

24

C. Instrumen Penelitian

24

D. Rancangan Penelitian

24

E. Pengumpulan Data

26

F. Teknik Analisis Data

26

Dafar Rujukan

28

ii

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
seseorang. Melalui pendidikan seseorang bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Sebuah negara bisa dikatakan maju jika mempunyai kualitas pendidikan yang
baik. Kualitas pendidikan dikatakan baik jika bisa mengembangkan potensi
sumber daya manusia yang ada. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Memasuki era globalisasi dan modernisasi banyak sekali dijumpai hambatan
dalam mewujudkan tujuan pendidikan seperti diatas. Kemajuan teknologi yang
canggih sudah membuat para remaja lupa diri dan menjadi lebih individualis.
Kebanyakan remaja sekarang cenderung lebih suka berhubungan lewat internet
daripada bertemu secara langsung (face to face). Di lingkungan sekitar peneliti
banyak dijumpai orang-orang yang dalam berinterasi lebih suka memakai gadget
mereka daripada berbicara langsung. Hal tersebut membuat mereka lebih terfokus
dengan gadget mereka daripada dengan lingkungan sekitarnya. Mereka tidak
perduli dengan apa yang terjadi disekitar mereka. Selain membuat individu
1

semakin individualis, kemajuan teknologi juga membuat berkurangnya rasa


kepedulian

sosial dikalangan remaja. Dengan berkurangnya rasa kepedulian

remaja itu bisa berdampak buruk pada kehidupan sosial para remaja. Beberapa
perilaku remaja yang menunjukkan sudah berkurangnya rasa kepedulian
sosialnya antara lain adalah maraknya kekerasan di sekolah, tidak peduli dengan
orang lain, dan banyak masih banyak lagi. Jika semua itu dibiarkan saja maka
akan membuat perkembangan moral dan soisal remaja akan mengahadapi
permasalahan.
Masa remaja merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Masa remaja tidak hanya ditandai dengan perubahan-perubahan fisik
tetapi juga dengan timbulnya perubahan-perubahan psikis. Menurut WHO (dalam
Sarwono, 2011) definisi remaja adalah individu yang mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Para remaja
kebanyakan masih sangat labil dan masih dalam taraf pencarian identitas atau jati
diri. Remaja adalah pewaris bangsa dimasa depan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya mereka mendapatkan perhatian lebih, terutama di dalam bidang
pendidikan formal. Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan formal sebagai
tempat untuk membimbing, mendidik, dan mengembangkan potensi peserta didik
dalam mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan yang diberikan kepada remaja
tidak cukup hanya terfokus pada aspek kognitif saja. Disisi lain aspek non
kognitif juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Perilaku sosial adalah salah satu aspek non kognitif yang sering dilupakan
peranannya. Indikasi perilaku sosial yang baik adalah seperti sopan santun, saling
tolong-menolong, memberi sedekah, suka bekerjasama, menghormati orang tua,

melestarikan lingkungan, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Jika


seseorang bisa mengembangkan keduanya, maka dia akan memperoleh
penyesuaian yang baik di masyarakat dan bisa diterima masyarakat serta
terciptanya keharmonisan hubungan antar sesama. Sebaliknya, jika seseorang
yang hanya cerdas secara intelektual saja tetapi tidak tahu bagaimana bergaul,
egois, ingin menang sendiri, dan tidak menghargai orang lain. Maka dia tidak
akan diterima baik oleh masyarakat dalam pergaulannya.
Kali ini peneliti lebih memfokuskan mengenai sikap empati. Pada sebagian
masyarakat, istilah empati kurang begitu dikenal daripada istilah simpati.
Kalaupun mereka mengenal, maknanya sering kali disamakan. Sifat dan sikap
peduli terhadap orang lain jarang ditemui dalam masyarakat Indonesia sekarang
tidak terkecuali para remaja. Ini terlihat dari banyaknya fenomena yang terjadi,
salah satunya peristiwa yang menimpa seorang maharemaja Ade Sarah Angelina
Suroto (19), yang jasadnya ditemukan di pinggir tol Bintaro KM 41, Bekasi
Timur, Rabu (5/3) lalu. Hal ini menurut psikolog Universitas Indonesia, Tika
Bisono merupakan salah satu bukti hilangnya nilai budi pekerti dan rasa empati di
tengah masyarakat sehingga menyebabkan remaja/tersangka berani melakukan
pembunuhan berencana.
Carl Rogers (dalam Taufik, 2012) menyebutkan bahwa sikap empati adalah
suatu proses di mana seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seolah
dia berada pada posisi orang lain itu. Hal itu membuat dia bisa merasakan dan
mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami orang lain itu, tetapi tanpa
kehilangan identitas dirinya sendiri. Sikap empati membuat seseorang menjadi
tahu bagaimana kondisi psikologis orang lain, sehingga seseorang dapat

memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakannya. Pemahaman ini akan
menjadi tali perekat dalam hubungan sosial, dan meningkatkan kualitas
hubungan.
Menurut Eisenberg (dalam Taufik, 2012) dalam proses individu berempati
melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan
seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan
ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti
sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk
memahami perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka,
misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang,
memahami keadaan orang lain dari cara berbicara, dari raut wajah dan cara
pandang dalam berpendapat.
Berdasarkan pengamatan peneliti akhir-akhir ini, banyak dijumpai tindakantindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar. Misalnya saja kasus
kekerasan (bullying) yang dilakukan oleh para senior terhadap junior saat
kegiatan masa orientasi di ITN. Selain itu aksi tawuran yang sering dilakukan
oleh para pelajar di Jakarta dan masih banyak lagi. Kasus-kasus kekerasan yang
dilakukan oleh remaja atau pelajar saat ini, salah satu faktor penyebabnya adalah
tingkat empati remaja atau remaja yang rendah. Empati mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan perilaku pro-sosial. Remaja dapat berbagi perasaan
dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka, kesediaan memberikan
bantuan kepada orang lain baik materiil maupun moril dan juga kesediaan untuk
bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan.

Dalam hal ini bimbingan dan konseling mempunyai peran yang sangat penting
untuk mengembalikan rasa peka terhadap sesama. Menurut Hamrin dan Clifford
(dalam Prayitno, 2008) tujuan BK di sekolah adalah untuk membantu individu
membuat pilihan-pilihan dan

penyesuaian-penyesuaian dalam hubungannya

dengan situasi-situasi tertentu. BK memberikan bantuan dengan empat komponen


layanan, yakni pribadi, sosial, belajar, dan karier. Kali ini peneliti akan berusaha
meningkatkan empati sosial remaja dengan menggunakan media film. Alasan
peneliti memilih menggunakan media film adalah karena film mempunyai
dampak emosional yang besar/tinggi, film sangat cocok mengajarkan masalahmasalah yang menyangkut domain kognitif maupun afektif. Studevant (2011)
menyatakan film adalah metafora yang dapat digunakan dalam konseling sama
seperti cerita, mitos, lelucon, dan terapi naratif lain. Hal ini dikarenakan film
dapat meningkatkan kemungkinan konseli dapat menemukan ide dan pikiran baru.
Dari segi kognitif konseli mendapat inspirasi apa yang harus dilakukan.
Sedangkan dari segi afektif konseli mendapat semangat dan motivasi untuk
meniru apa yang ada dalam film. Sikap individu maupun kelompok dapat
dipengaruhi bahkan diubah dengan menggunakan film yang telah dirancang untuk
hal tersebut.
Film sudah lama dikenal orang. Kehadiran film ditengah-tengah masyarakat
sejak dahulu sampai sekarang menimbulkan berbagai tanggapan. Ada yang
mendukung ada juga yang menolak. Masing-masing pihak pasti mempunyai
alasannya sendiri, karena memang film mengandung unsur-unsur negatif maupun
positif. Menurut Margija Mangunhaedjana (1976), film bisa memperkaya

pengalaman hidup.film bisa menyajikan hal-hal yang baru dan berguna. Melalui
film, orang bisa memperlajari tatanan kehidupan serta perilaku baru.
Berdasarkan permasalah diatas, maka media film dianggap mampu untuk
meningkatkan empati sosial remaja karena film merupakan salah satu media
bimbingan yang mampu menginspirasi siswa yang pada akhirnya mampu
meningkatkan empati sosial remaja. Atas dasar pemikiran tersebut maka peneliti
mencoba melakukan penelitian tentang efektivitas penggunaan media film dalam
meningkatkan empati siswa SMP.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditentukan bahwa rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan media film dapat meningkatkan
empati siswa?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan media
film dalam meningkatkan empati siswa.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penggunaan media film
efektif dalam meningkatkan empati remaja
E. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat berguna untuk mengetahui apakah penggunaan media
film efektif dalam meningkatkan empati remaja. Selain itu, penelitian ini

juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengaplikasikan teori-teori yang


telah didapat selama perkuliahan.
2. Bagi Konselor Sekolah
Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan rujukan bagi konselor dalam
memeberikan layanan bimbingan kelompok untuk meningkatkan empati
remaja.
3. Bagi Jurusan
Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pustaka yang dapat digunakan
oleh Jurusan Bimbingan Konseling.
F. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian.
1. Asumsi.
Penggunaan media film disini salah satu cara untuk meningkatkan rasa
empati remaja. Dengan meningkatnya rasa empati akan berdampak positif
bagi kehidupan pribadi dan sosial remaja.
2. Keterbatasan penelitian.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan, yakni Penelitian ini hanya terbatas
pada nilai-nilai empati.
G. Definisi Operasional
1. Empati
Empati adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan menghayati
perasaan yang sedang dialami oleh orang lain yang disertai dengan
kemampuan untuk melakukan sikap atau balikan terhadap perasaan orang
tersebut, tanpa harus kehilangan jati dirinya.

2. Media Film
Media film adalah alat pemberi dan penyalur sebuah informasi tertentu
melalui film untuk memberikan efek positif yang dapat merangsang
pikiran, perasaan, dan perhatian remaja. Dalam hal ini, film yang
digunakan adalah film yang memuat nilai-nilai empati. Penggunaan
media akan semakin besar manfaatnya jika digunakan secara kreatif dan
inovatif.

BAB 1I
KAJIAN PUSTAKA
A. Media
1. Pengertian Media
Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata
medium. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti perantara atau pengantar.
Miarso (dalam Nursalim, M., & Mustaji. 2010) menyatakan media adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar. Menurut Heinich
(dalam Nursalim, M., & Mustaji. 2010) media merupakan alat saluran
komunikasi. Heinich mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram,
bahan tercetak (printed materials), komputer, dan instruktur. Contoh media
tersebut bisa dipertimbangkan sebagai media bimbingan dan konseling jika
membawa pesan-pesan (messages) dalam rangka mencapai tujuan bimbingan dan
konseling.
Media bimbingan dan konseling adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan bimbingan dan konseling yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa/konseli untuk
memahami diri, mengarahkan diri, mengambil keputusan serta memecahkan
masalah yang dihadapi. Media bimbingan dan konseling selalu terdiri atas dua
unsur penting, yaitu unsur peralatan (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya
(message/software). Hardware adalah sarana/peralatan yang digunakan untuk
menyajikan pesan/bahan bimbingan dan konseling tersebut. Sedangkan software
9

10

adalah informasi/bahan bimbingan dan konseling itu sendiri yang akan


disampaikan kepada siswa/konseli. Dalam usaha memanfaatkan media sebagai
alat bantu, Edgar Dale mengadakan klasifikasi menurut tingkat dari yang paling
kongkrit ke yang paling abstrak.

lambang kata
lambang visual
rekaman dan radio
gambar hidup
televisi
pameran museum
darmawisata
percontohan
pengalaman dramatis
pengalaman tiruan
pengalaman langsung

Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama kerucut pengalaman


dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara luas dalam menentukan alat bantu
yang paling sesuai untuk pengalaman belajar maupun pengalaman bimbingan dan
konseling.
2. Kriteria Pemilihan Media
Dasar pertimbangan dalam pemilihan media adalah dapat terpenuhinya
kebutuhan dan tercapainya tujuan bimbingan dan konseling, jika tidak sesuai
dengan kebutuhan dan tujuan maka media tersebut tidak digunakan. Menurut
Conel (dalam Nursalim, M., & Mustaji. 2010) dengan tegas menyatakan if the
medium fits use it artinya jika media sesuai maka gunakanlah.

11

Ada beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan


media. Namun demikian secara teoritik bahwa setiap media memilki kelebihan
dan kelemahan yang akan memberikan pengaruh kepada efektifitas pelaksanakan
layanan bimbingan dan konseling. Sejalan dengan hal ini, pendekatan yang
ditempuh adalah mengkaji media sangat dipengaruhi beberapa kriteria umum
sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan tujuan.
b. Kesesuaian media dengan materi.
c. Kesesuaian dengan karakteristik siswa.
d. Kesesuaian dengan teori.
e. Kesesuaian dengan gaya belajar siswa.
f. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan
waktu yang tesedia.
3. Manfaat Penggunaan Media
Perolehan pengetahuan siswa seperti siswa seperti yang digambarkan oleh
Kerucut Pengalaman Edgar Dale bahwa pengetahuannya akan semakin abstrak
apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal. Hal semacam ini akan
menimbulkan kesalahan persepsi siswa. Oleh sebab itu, sebaiknya siswa memiliki
pengalaman yang lebih konkrit, pesan yang ingin disampaikan benar-benar dapat
mencapai sasaran dan tujuan.
Secara umum media mempunyai kegunaan :
1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis
2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.

12

3. Menimbulkan minat siswa, interaksi leibh langsung antara siswa


dengan konselor.
4. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama.
5. Proses layanan bimbingan dan konseling dapat lebih menarik.
6. Proses layanan bimbingan dan konseling menjadi lebih interaktif.
7. Kualitas layanan bimbingan dan konseling dapat ditingkatkan.
8. Sikap positif siswa terhadap materi layanan bimbingan dan konseling.
Dalam kaitannya dengan fungsi media bimbingan dan konseling, dapat
ditekankan beberapa hal berikut ini :
1. Penggunaan media BK bukan merupakan fungsi tambahan.
2. Media BK adalah sebagai bagian integral dari keseluruhan proses layanan
BK.
3. Media BK dalam penggunaannya harus relevan dengan tujuan yang ingin
dicapai dan isi layanan BK.
4. Media BK bukan berfungsi sebagai alat hiburan.
5. Media BK bisa berfungsi untuk memperlancar prose BK.
B. Film
1. Pengertian Film
Film disebut juga gambar hidup (motion picture), yaitu serangkaian
gambar diam (still picture) yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan
sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak. Film merupakan media yang

13

menyajikan pesan audiovisual dan gerak. Oleh karenanya, film memberikan kesan
yang impresif bagi pemirsanya.
Ada beberapa jenis film, diantaranya film bisu, film bersuara, dan film
gelang yang ujungnya saling bersambungan dan proyeksinya tak memerlukan
penggelapan ruangan.
2. Kelebihan
Kemampuan film dalam memanipulasi waktu dan ruang sangat penting
dalam proses pembelajaran. Beberapa keuntungan film dalam pembelajaran antara
lain :
1. Sangat bagus untuk menerangkan suatu proses
2. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.
3. Memberikan kesan yang mendalam, yang dapat mempengaruhi sikap
siswa.
4. Kemampuan film dalam melakukan hal mengadakan close-up,
timelapse, dan lain-lain. Karakteristik yang dimilikinya sangat
menarik perhatian siswa untuk mengamati secara teliti suatu bagian
tertentu dari materi pembelajaran.
5. Film adalah media pembelajaran yang cocok untuk kelompok
heterogen, kelompok kecil maupun besar, dan individual.
3. Keterbatasan
Sebagaimana halnya dengan media yang lain, maka film pun tidak luput
dari kekurangan tersebut, yakni :

14

1. Harga produksinya cukup mahal


2. Pembuatannya memerlukan banyak waktu dan tenaga.
3. Memerlukan operator khusus untuk mengoperasikannya.
C. Empati
1. Pengertian Empati
Konsep empati memiliki sejarah yang pelik, ditandai dengan banyaknya
ketidaksepakatan dan perbedaan dikalangan ilmuan. Perbedaan pendapat tersebut
menunjukkan bahwa konsep empati tidak mudah untuk dipahami dan dapat
dipandang dari berbagai sisi. Dalam literatur psikologi sosial, pada awalnya kajian
empatiterfokus pada isu-isu yang terkait dengan perilaku menolong. Krebs (dalam
Taufik. 2012) menemukan bahwa respons-respons empati dapat dikaitkan dengan
altruisme (perilaku menolong) ketika menggunakan pengukuran-pengukuran
psikologis yang berkaitan dengan empati. Sementara Hoffman (dalam Taufik.
2012) menjelaskan bahwa dalam penelitian-penelitian sosial empati telah
digunakan untuk menjelaskan berbagai macam bentuk perilaku altruisme.
Allport (dalam Taufik. 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan
imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Dia
percaya bahwa empati berada di antara kesimpulan (inference) pada satu sisi, dan
intuisi pada sisi lain. Allport juga menitikberatkan pada peranan imitasi di dalam
empati. Dia menyatakan bahwa empati adalah the imaginative transposing of
oneself into the thinking, feeling, and acting of another. Sebenarnya pengertian
Allport ini sudah mengarah kepada pengertian empati seperti yang dianut oleh
banyak ilmuan saat ini, hanya saja penjelasan dia belum begitu lengkap, sehingga
beberapa teoritikus kepribadian tidak setuju dengan pendapatnya, di antara

15

mereka adalah Kohut. Kohut melihat empati sebagai suatu proses di mana
seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada
posisi orang lain itu. Selanjutnya, Kohut melakukan penguatan atas definisinya itu
dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang
kehidupan terdalam dari orang lain.
Sementara itu, Carl Rogers yang sangat aktif menggeluti dunia terapi
menawarkan dua konsepsi.pertama, dia menulis empati adalah melihat kerangka
berpikir internal orang lain secara akurat. Kedua, dalam memahami orang lain
tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa
merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang
lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Definisi Rogers ini
sangat penting terutama pada kalimat tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.
Kalimat itu mengandung pengertian meskipun individu menempatkan dirinya
pada posisi orang lain, namun dia tetap melakukan kontrol diri atas situasi yang
ada, tidak sibuat-buat, dan tidak hanya dalam situasi orang lain itu.
Selanjutnya pada tahun 1975, dalam artikelnya yang berjudul Emphatic:
An Unappreciated Way of Being. Rogers menuliskan pengertian empati sebagai
sebuah proses, yaitu :
Entering the private perceptual world of the other and becoming
thoroughly at home in it. It involves being sensitive, to the changing felt
meanings which flow in this other person. It means temporarily living on
his or her life, moving about in it delicately whitout making judgement,
sensing meanings of which he or she is scarcely aware. It includes

16

communicationing your sensing of his or her world as you look with fresh
and unfrightened eyes at element of which the individual is fearful. To be
with another in this way means that for the time being you lay aside the
views and values you hold for yourself in order to enter another world
without prejudice.
Definisi yang ditawarkan oleh Rogers tersebut lebih lengkap dibandingkan
dengan definisi yang dibuat oleh Allport maupun Kohut. Tetapi dalam definisi
tersebut Rogers belum menjelaskan tentang bagaimana memasuki situasi orang
lain tanpa ia terhanyut di dalamnya, apakah itu melibatkan komponen kognitif
atau afektif, amupu kedua-duanya. Namun demikian, tawaran pengertian Rogers
tersebut telah memberikan gambaran bahwa empati harus disampaikan secara
tulus kepada orang lain. Dia pun membedakan antara empati yang sebenarnya dan
empati yang dilakukan dengan prasangka.
Pada periode berikutnya, Parson (dalam Taufik. 2012) menjelaskan konsep
empati sebagai social insight, interpersonal judgement, social cognition,
judgement of emotions, person perception, judge of personality, and interpersonal
sensitivity. Selain itu, para peneliti juga telah mendefinisikan empati sebagai skill
dan bagian dari kepribadian. Empati disebut pula sebagai salah satu trait yang
fundamental yang meliputi one of human basic attributes supportive of social life.
Ilmuan lainnya mendefinisikan empati sebagai karakter afektif yang
mempengaruhi pengalaman terhadap emosi orang lain. Sebagai konsep kognitif,
Hogan mendeskripsikan empati dalam istilah global sebagai kemampuan
intelektual atau imajinatif terhadap kondisi pikiran dan perasaan orang lain.

17

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan


suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkann dan dirasakan orang
lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan
(observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang
bersangkutan kehilangan jati dirinya.
2. Komponen-komponen Empati.
Para teoritikus kontemporer menyatakan bahwa empati terdiri atas dua
komponen, kognitif dan afektif. Namun, mereka berbeda pendapat sehubungan
dengan aspek atau komponen mana yang lebih menonjol. Selain itu, mereka juga
mempunyai perbedaan pandangan tentang bagaimana interaksi dari kedua
komponen tersebut. Selain kedua komponen tersebut beberapa teoritikus lainnya
menambahkan aspek komunikatif sebagai faktor ketiga. Komponen komunikatif
sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya, atau sebagai media ekspresi
realisasi dari komponen kognitif dan afektif.
a. Komponen Kognitif.
Komponen kognitif adalah komponen yang menimbulkan pemahaman
terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
beberapa ilmuan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam
proses empati. Selanjutnya Hoffman (dalam Taufik. 2012)
mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk
memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori
dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui
pengalaman-pengalaman. Sehubungan dengan komponen ini,

18

Schieman & Gundy (dalam Taufik. 2012) mencirikan bahwa seseorang


yang empatik mempunyai keahlian-keahlian yang terkait dengan
persoalan komunikasi, perspektif dan kepekaan dalam pemahaman
sosio-emosional orang lain. Secara garis besar bahwa aspek kognitif
dari empati meliputi aspek pemahaman atas keadaan orang lain.
Dalam pernyataan-pernyataan di atas tersirat bahwa komponenkomponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimension,
seperti kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu perilaku,
kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang
orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan
kondisi emosional dirinya dengan orang lain. Tanpa kemampuan
kognitif yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam
memahami kondisi orang lain (incongruence). Karena realitas-realitas
sosial yang dia tangkap tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Proses kognitif dimuali dari tingkatan mekanisme kognitif yang
sederhana sampai pada proses yang lebih kompleks. Tingkatantingkatan tersebut antara lain : differentiation of the self from other, the
differentiation of emotional state, social referencing and emitional
meaning, labelling different emotional state, dan cognitive role taking
ability.
b. Komponen Afektif.
Menurut definisi kontemporer, pada prinsipnya empati adalah
penglaman afektif, vicarious emotional response (yaitu respon
emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri) merupakan pusat

19

dari pengalaman empati, dan proses-proses empati kognitif untuk


mendukung atau menuju pengalaman afektif. Dua komponen afektif
diperlukan untuk terjadinya pengalaman empati, yaitu kemampuan
untuk mengalami secara emosi dan tingkat reaktivitas emosional yang
memadai yakni kecenderungan untuk bereaksi secara emosional
terhadap situasi-situasi yang dihadapi, termasuk emosi yang tampak
pada orang lain.
Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan
pengalaman emosional pada orang lain. Menurut Colley (dalam
Taufik. 2012) empati terdiri atas empat aspek yakni simpati,
sensitivitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti
perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang
diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri sendiri. Selanjutnya dia
menambahkan, empati afektif merupakan suatu kondisi di mana
pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang
sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama
dengan orang lain.
Namun demikian, akurasi dari empati afektif ini berbeda-beda. Ada
individu yang akurasinya lebih baik dan ada yang kurang baik. akurasi
yang baik yaitu apabila observer merasakan tentang kondisi target
sesuai dengan apa yang sedang dirasakan target pada waktu itu.
Sebaliknya, akurasi yang rendah terjadi ketika yang dirasakan observer
berbeda atau tidak samadengan apa yang sedang dirasakan oleh target
yang sedang diamati.

20

c. Komponen Komunikatif.
Beberapa teoritikus menambahkan komponen ketiga dari empati yaitu
komunikatif. Munculnya komponen ini didasarkan pada asumsi awal
bahwa komponen afektif dan kognitif akan tetap terpisah bila
keduanya tidak terjadi komunikasi. Teoritikus lainnya mengatakan
yang dimaksud dengan komunikatif adalah perilaku yang
mengekspresikan perasaan-perasaan empatik. Menurut Wang, dkk
(dalam Taufik. 2012) komponen empati komunikatif adalah ekspresi
dari pikiran-pikiran empatik (intellectual empathy) dan perasaanperasaan (empathic emotions) terhadap orang lain yang dapat
diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.
3. Faktor-faaktor yang Mempengaruhi Empati
Beberapa faktor baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi
proses empati adalah sebagai berikut, antara lain :
a.

Sosialisasi

Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami


sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain
dan berpikir tentang orang lain.
b.

Perkembangan Kognitif

Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa di


katakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain ( berbeda )
c.

Mood dan Feeling

Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan

21

mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan


dan prilaku orang lain.
d.

Situasi dan Tempat

Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses


empati seseorang. Pada situasi tertentu, seseorang dapat berempati lebih baik
di banding situasi yang lain.
e.

Komunikasi

Pengungkapan empati di pengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan


seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidak pahaman tentang komunikasi yang
terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.
4. Proses Empati
Dalam menjelaskan proses empati berbagai pendapat telah mengemuka, di
antaranya mengatakan proses empati tergantung dari sudut pandang apa kita
mendefinisikan konsep empati. Davis (dalam Taufik. 2012)menggolongkan
proses empati ke dalam empat tahapan, yaitu antecedents, processes,
interpersonal outcomes, dan interpersonal outcomes.
a. Antecedents.
Yang dimaksud antecedents, yaitu kondisi-kondisi yang mendahului
sebelum terjadinya proses empati. Meliputi karakteristik observer,
target atau situasi yang terjadi saat itu. Empati sangat dipengaruhi
oleh kapasitas pribadi observer. Ada individu-individu yang memiliki
kapasitas berempati tinggi ada pula yang rendah. Kemampuan empati
yang tinggi, salah satunya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual

22

untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain,
atau kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain.
Juga dipengatuhi oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya
termasuk sosialisasi terhadap nilai-nilai yang terkait dengan empati.
Namun, karakteristik yang paling penting adalah perbedaan individual
di mana ada individu-individu yang secara natural cenderung untuk
berempati terhadap situasi yang dihadapi.
b. Processes.
Terdapat tiga jenis proses empati, yaitu non-cognitive processes,
simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Pertama,
non cognitive processes. Pada proses ini terjadinya empati disebabkan
oleh proses-proses non kognitif, artiya tanpa memerlukan pemahaman
terhadap situasi yang terjadi.
Kedua, simple cognitive processes. Pada jenis empati hanya
membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya bila seseorang melihat
tanda-tanda kurang nyaman pada orang lain atau pada saat itu antara
observer dan target keduanya sama-sama berada pada situasi yang
kurang nyaman akan membuat observer mudah berempati.
Ketiga, advance cognitive processes. Berbeda halnya dengan proses
yang pertama dan kedua, pada proses ini kita dituntut untuk
mengerahkan kemampuan kognitif kita. Hoffman (dalam Taufik.
2012) menyebutkan dengan language mediated association, di mana
munculnya empati merupakan akibat dari ucapan atau bahasa yang
disampaikan oleh target.

23

c. Intrapersonal Outcomes.
Hasil dari proses berempati salah satunya adalah hasil intrapersonal,
terdiri atas dua macam: affective outcomes dan non affective
outcomes. Affective outcomes dibagi lagi ke dalam dua benruk, yaitu
parallel dan reactive outcomes. Parallel outcomes atau emotion
matching, yaitu adanya keselarasan antara yang kita rasakan dengan
yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Misalnya kita dapat
memahami masalah sesungguhnya yang dialami oleh target. Kita
melakukan protes atau marah ketika melihat target diperlakukan
secara tidak adil.
Reactive outcomes didefinisikan sebagai reaksi-reaksi terhadap
pengalaman-pengalaman orang lain yang berbeda. Dalam banyak
kasus reactive outcomes cenderung mengarah kepada cognitive
process dibandingkan dengan parallel outcomes. Menurut Davis
(dalam Taufik. 2012) parallel outcomes dapat terjadi dari
pengalaman-pengalaman primitif atau pengalaman-pengalaman
sebelumnya, sedangkan reactive outcomes target melakukan diskusi
untuk mencerna kondisi orang lain.
d. Interpersonal Outcomes.
Bila intrapersonal outcomes itu berefek pada diri observer, maka
interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antara observer
dengan target. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah
munculnya helping behavior (perilaku menolong). Interpersonal
outcomes tidak sekadar mendiskusikan apa yang dialami oleh orang

24

lain, sebagaimana pada parallel dan reactive outcomes, lebih jauh dari
itu interpersonal outcomes dapat menimbulkan perilaku menolong.
Selain perilaku menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku
agresif. Menurut Davis empati berhubungan negatif dengan perilaku
agresif. Semakin baik akurasi empati maka akan semakin kecil
terjadinya perilaku agresif.
D. Efektifitas Penggunaan Media Film dalam Meningkatkan Empati Siswa.
Empati adalah bagaimana seorang individu melihat dan memahami
kerangka berpikir internal orang lain secara mendalam dan akurat, dan dalam
memahami pemikiran orang lain tersebut individu itu seolah-olah masuk ke dalam
diri orang lain tersebut sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana
yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, tapi tanpa kehilangan identitas dirinya
sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menerapkan penggunaan media
film dalam meningkatkan empati siswa SMP.
Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media
komunikasi massa pandang dan dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi. Peneliti menggunakan media film ini karena film mempunyai
kelebihan yakni pada perumpamaan dan pemodelan yang ada pada cerita,
sehingga mampu menginspirasi penikmat film tanpa disadari olehnya. Baik untuk
menyelesaikan suatu masalah ataupun saat memperlajari sesuatu yang baru.
Dalam teori yang dijelaskan oleh bandura, proses mengamati dan meniru
perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Dalam
melakukan pengamatan tersebut, terdapat aspek kognitif yang menjadi dasar

25

timbulnya tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah diamati. Pada modeling
ini, kita tidak sepenuhnya meniru dan mencontoh perilaku dari orang orang
tersebut, namun kita juga memperhatikan hal hal apa saja yang baik semestinya
untuk ditiru atau dicontoh dengan cara melihat bagaimana reinforcement atau
punishmentnya yang akan ditiru.
Menurut Bandura terdapat empat proses yang terlibat di dalam
pembelajaran melalui pendekatan modeling, yaitu perhatian (attention),
pengendapan (retention), reproduksi motorik (reproduction), dan penguatan
(motivasi).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian.
Penelitian eksperimen adaah salah satu metode yang memerlukan
persyaratan paling ketat, guna memperoleh tujuan penelitian khususnya untuk
menentukan hubungan sebab akibat atau causal-effect relationship. Penelitian
eksperimen bertujuan untuk mengetahui efek suatu variabel melalui manipulasi
atau pengendalian terhadap suatu kelompok subjek. Rancangan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest-posttest Group Design. Dalam
desain ini efek suatu perlakuan terhadap variabel akan diuji dengan cara
membandingkan keadaan variabel pada kelompok eksperimen sebelum dan
setelah dikenai perlakuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan cinema
education untuk meningkatkan empati siswa. Rancangan penelitian dapat dilihat
pada Tabel 1.1.
Tabel 3.1 Pretest-posttest Group Design
Group
Pretest
eksperimen
Ge
O1

Pemeberian
perlakuan
X

Posttest
O2

Keterangan :
Ge : subjek yang diteliti
O1 : pengukuran pertama sebelum subjek diberikan perlakuan
26

27

X : pemberian perlakuan (treatment)


O2 : pengukuran setelah subjek diberikan perlakuan
Untuk mengetahui efek perlakuan (treatment) pada subjek dapat dilihat
dari selisih antara skor postes dan pretes (gain scores). Dengan cara ini, efek
perlakuan (treatment) dapat dianalisis memakai t-test. Gambar 3.1.
5
4
3
2
1
0
pretest

posttest

Gambar 3.1 Ilustrasi Efek Signifikasi Pemberian Perlakuan


Gambar 3.1 memperlihatkan salah satu kemungkinan hasil yang diperoleh
yang menampakkan terjadinya peningkatan kemampuan pada kelompok
eksperimen setelah menerima perlakuan.
Adapun tahap-tahap pelaksanaan eksperimen sebagai berikut :
1. Pretest.
Pretest ini bertujuan untuk mengetahui tingkat empati siswa sebelum
diberikan perlakuan (treatment).
2. Perlakuan (treatment).
Perlakuan atau treatment disini diberikan dalam bentuk pemberian film
pendek yang mempunyai nilai-nilai yang dapat memotivasi siswa
untuk meningkatakan rasa empatinya. Treatment akan dilaksanakan
beberapa kali pertemuan dan setiap pertemuan akan diberikan satu

28

tayangan film, setelah film selesai ditayangkan siswa diminta untuk


merefleksikan nilai-nilai yang terkandung didalam film tersebut.
3. Posttest.
Posttest ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan empati siswa
setelah diberikannya perlakuan (treatment).
B. Sampel.
Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan sampling
purposive. Sugiyono (2010) mengatakan sampling purposive adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan sampel dilakukan
dengan cara memilih beberapa siswa yang dianggap mempunyai tingkat empati
yang rendah. Untuk mengetahui siswa mana yang mempunyai tingkat empati
yang rendah maka peneliti akan menggunakan angket.
C. Instrumen Penelitian.
1. Angket.
Alat pengumpul data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
angket. Pada tahun 1971, Mehrabian dan Epstein membuat sebuah alat tes untuk
mengukur tingkat empati seseorang. Alat tes itu disebut dengan The QMEE
(Questionnaire Measure of Emotional Empathy). Mehrabian dan Epstein
menyatakan bahwa masalah yang selalu ada dalam pengukuran empati adalah
keberadaan dua definisi yang sangat berbeda yang secara simultan
menggambarkan konstruksi kompleks tersebut, yaitu keakuratan prediksi dan
tanggapan-tanggapan emosional yang muncul.

29

The QMEE terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka


terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi emosional
yang beragam.
D. Rancangan Perlakuan.
Rancangan perlakuan yang dilakukan peneliti sebanyak lima kali
pertemuan. Secara ringkas , langkah-langkah awal penyusunan perlakuan
pedoman media film ada didalam tabel 3.2.
Pertemua

Perlakuan

Rincian kegiatan

waktu

n
1.

Membina

1. Salam pembuka

hubungan

2. Berdoa

baik

3. Memperkenalkan

30 menit

diri
4. Menjelaskan secara
rinci

tentang

kegiatan yang akan


di lakukan
5. Salam penutup
2,3,4,5,6

Penayanga

1. Pembukaan

50 menit

n film

2. Penayangan film
3. Setelah

selesai,

peneliti

mengajak

siswa

untuk

30

merefleksikan nilainilai
terkandung

yang
dalam

film
4. Ucapan terima kasih
dan salam penutup
6.

Posttest

1. Pembukaan

30 menit

2. Pembuatan
kesimpulan
3. Pemberian posttest
4. Ucapan terima kasih
dan salam penutup

E. Pengumpulan Data.
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitiaan ini adalah sebagai
berikut :
1. Persiapan.
Tahap persiapan ini melipuri aktivitas penyusunan instrumen. Selain itu,
pada tahap persiapan juga di gunakan untuk menyiapkan film yang akan
digunakan dalam pelaksanaan terapi.
2. Pelaksanaan.
Tahap pelaksanaan eksperimen dilakukan sesuai dengan pedoman
eksperimen yang telah dibuat sebelumnya. Kegiatan awal sebelum

31

melaksanakan eksperimen adalah adalah melakukan pretest kepada 30


siswa kelas VII. Setelah melakukan pretest, kemudian dipilih 10 siswa
yang memiliki skor pretest terendah dalam kelas. Pelaksanaan treatment
dilakukan sebanyak lima kali pertemuan. Setiap pertemuan diberikan
penayangan satu film yang mengandung nilai-nilai empati dan kemudian
di akhiri dengan melakukan refleksi diri. Setelah semua kegiatan selesai
dilakukan selanjutnya siswa diberikan posttest untuk mnegetahui
perubahan empati yang dialami siswa.
F. Teknik Analisis Data.
Dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah kegiatan setelah
data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan
dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan variabel
dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti,
melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan
melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan.
1. Statistik Deskriptif.
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis
data dengan cara mendiskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono,
2010:207). Tujuan analisis deskriptif pada penelitian ini adalah
memberikan gambaran atas deskripsi tingkat empati pada siswa
sebelum dan sesudah diberikan treatment.

32

Analisis deskriptif ini dilakukan dengan cara mengkategorikan skor


subjek sesuai dengan tingkatan empati. Tingkatan empati
dikategorikan menjadi lima tingaktan, yakni sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah, dan sangat rendah.
2. Statistik Inferensial.
Statistik inferensial yang dipakai dalam penelitian ini adalah statistik
inferensial non paramemetik. statistik inferensial non parametrik
merupakan statistik yang tidak menguji parameter populasi, tetapi
menguji distribusi yang tidak menuntut terpenuhinya banyaknya
asumsi. Metode non parametrik yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan uji Wilcoxon yang merupakan uji non-parametrik
dengan tidak mensyaratkan distribusi data normal yang digunakan
untuk mengetahui keefektifan penggunaan media film untuk
meningkatkan empati siswa SMP.

Daftar Rujukan
Admin. 2014. Psikologi UI: Pembunuhan Ade Bukti Hilangnya Empati Pada
Anak Muda. (Online), (http://m.aktual.co/hukum/171703pembunuhan-adepsikologi-ui-bukti-hilang-, empati-pada-anak-muda, diakses 10 Maret
2014).
Arsyad, A. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta. RajaGrafindo Persada
Azwar, S. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Latuheru, J.D. 1998. Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar-Mengajar Masa
Kini. Jakarta: Depdikbud
Nursalim, M., & Mustaji. 2010. Media Bimbingan dan Konseling. Surabaya:
Unesa University Press
Prayitno & Amti, E. 2008. Dasar-dasar Bimbingan Konseling. Jakarta: Rineka
Cipta
Robiah, F. 2012. Efektivitas Penggunaan Cinema Therapy untuk Meningkatkan
Motivasi Berprestasi Siswa MTS. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FIP
UM
Sarwono, S.W. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada


Universitas Negeri Malang, 2010. Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah:Skripsi,Tesis, Desertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan
Penelitian (edisi kelima). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang

Anda mungkin juga menyukai