Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PAINTING THERAPY (TERAPI MELUKIS)


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Terapi Ekspresif”

Dosen Pengampu :
Dr. Agus Santoso, S.Ag. M.Pd

Disusun oleh :
Ajeng Permata Esthi (04010320001)
Diana Nur Fitria (04010320002)

KELAS B1
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha kuasa yang mana berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami sebagai penyusun makalah dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan terang benderang yaitu addinul Islam
wal iman.

Makalah yang berjudul “Painting Therapy” ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Bimbingan Konseling Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Agus Santoso, S.Ag.,
M.Pd selaku dosen pada mata kuliah Terapi Ekspresif yang telah memberikan penugasan ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami menerima semua kritik dan saran yang membangun dari
teman-teman untuk dijadikan pembelajaran dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Surabaya, 01 November 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada awalnya, seni dan psikologi dipandang sebagai dua hal berbeda yang tidak
terdapat sangkut pautnya satu sama lain. Meskipun demikian, dalam perkembangannya,
para ilmuwan mulai menemukan keterkaitan yang ada, antara seni dan psikologi.
Perkembangan ilmu psikologi modern pun, bisa dibilang baru apabila dibandingkan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang lainnya. Psikologi modern baru muncul
sekitar awal abad kedua puluh. Sementara dalam kurun waktu yang sama, berbagai ilmu
pengetahuan yang lainnya telah mencapai kemajuan yang pesat.
Aktivitas terapi seni mungkin bagi masyarakat awam hanya terlihat seperti aktivitas
kelas atau kursus seni rupa pada umumnya, namun sebenarnya terdapat perbedaan.
Bagaimanapun juga pada aktivitas terapi seni proses kreatif lebih dipentingkan daripada
kemampuan individu dalam menghasilkan karya seni yang sesungguhnya. Tujuan terapi
seni bukanlah untuk menghasilkan karya seni yang estetik, ataupun untuk mengasah bakat
untuk menghasilkan seorang seniman, akan tetapi tujuan akhir yang ingin dicapai
olehterapi seni adalah untuk membantu klien agar merasa lebih nyaman terhadap diri
mereka sendiri. Dalam mengerjakan karya yang melibatkan kreativitas, semua emosi dan
pikiran yang mengendap akan tereksternalisasi atau tersalurkan, sehingga semua emosi
dan pikiran tersebut pada akhirnya akan menjadi jelas akar permasalahannya karena
terbacanya simbol-simbol dari bentuk yang ada pada karya tersebut, kadang kala
dibentuk, baik secara sadar maupun tidak sadar memiliki makna yang berhubungan secara
langsung dengan akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh klien tersebut.
Melukis sebagai terapi, berkaitan dengan aspek kontemplatif atau sublimasi.
Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat menyalurkan
atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat kejiwaan, seperti perasaan, memori, pada
saat kegiatan berkarya seni berlangsung. Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang
dimanfaatkan secara optimal pada setiapsesi terapi. Kontemplatif dalam arti, berbagai
endapan batin yang ditumpuk, baik itu berupa memori, perasaan, dan berbagai gangguan
persepsi visual danauditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan. Dengan
demikian klien tidak terjebak pada suatu situasi dimana hanya diri sendiri terjebak
padarealitas imajiner yang diciptakan oleh diri sendiri.1
Penggunaan dan pencampuran warna cat dalam permukaan atau media lukis akan
membuat efek yang menyenangkan saat individu melukis dengan membasahi
kertas/kanvas pertama kali. Melukis sebagai bagian dari seni mampu berfokus pada
aktualisasi diri, definisi diri, kesadaran diri, kompetensi, dan peningkatan harga diri,
peningkatan level perkembangan yang lebih tinggi, dan sikap yang lebih adaptif melalui
eliminasi perilaku dan pikiran yang adaptif.2
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai pengertian Painting Therapy, sejarah berkembangnya, karakteristiknya,
tujuannya, prinsipnya, dan langkah-langkahnya sebagai terapi. Oleh karena itu penulis
mengambil judul “Painting Therapy (Terapi melukis)”
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Painting Therapy?
2. Bagaimana sejarah berkembangnya Painting Therapy?
3. Bagaimana karakteristik Painting Therapy?
4. Apa tujuan Painting Therapy?
5. Apa prinsip Painting Therapy?
6. Bagaimana tahap-tahap melakukan Painting Therapy?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Painting Therapy.
2. Untuk memahami sejarah berkembangnya Painting Therapy.
3. Untuk mengidentifikasi karakteristik Painting Therapy.
4. Untuk mengetahui tujuan Painting Therapy.
5. Untuk mengetahui prinsip Painting Therapy.
6. Untuk memahami tahap-tahap dalam melakukan Painting Therapy.

1
Sarie Rahma Anoviyanti, Terapi Seni Melalui Melukis Pada Pasien Skizofrenia dan Ketergantungan Narkoba, Jurnal
Visual Art & Desain, Vol. 2, No. 1, Tahun 2008, Hal. 70-71.
2
Samodro Dan Lyscha Novitasari, Seni Rupa (Melukis) Sebagai Terapi Bagi Anak Penyandang Autism, Jurnal Adat-Jurnal
Seni, Desain & Budaya Dewan Kesenian Tangerang Selatan Volume 3. Nomor 2. Desember 2021, Hal. 82.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Painting Therapy


Painting Therapy disebut juga dengan terapi melukis yang merupakan proses kreatif
yang terlibat dalam pembuatan karya berupa lukisan dengan mengelola potensi indra
untuk menghasilkan sebuah citra melalui gambar atau lukisan. Terapi melukis mengajak
individu mengenali kejadian yang selama ini disukai maupun tidak. Melalui menggambar
hal-hal yang ditekan oleh alam bawah sadar bisa diangkat ke alam sadar. Dimana terapi
melukis ini berkembang untuk anak yang tidak bisa mengekspresikan pikiran dan
perasaan melalui kata-kata.3
Terapi melukis adalah bagian dari Art theraphy yang merupakan proses penyembuhan
yang dilakukan dengan membuat sebuah karya seni kreatif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan. Art theraphy juga sangat membantu dalam mengatasi
gangguan emosi, meyelesaikan konflik, menambah wawasan, mengurangi perilaku
bermasalah, serta meningkatkan kebahagiaan hidup 4
Terapi melukis akan melibatkan kapasitas intuisi, yaitu kapasitas dalam mengolah
berbagai potensi indra (sense) untuk menghasilkan sebuah ‘citra’ melalui medium lukisan
(Piliang dalam Pirous,2003). Melalui ekspresi kreatif dalam terapi melukis, individu akan
mengekspresikan dirinya kemudian menemukan sense of self. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Samogyi (2003) bahwa sense of self dilakukan dengan proses kreatif yang
efektif dan nyaman untuk mengekspresikan dirinya melalui pengutaraan perasaan dan
emosi.
A. Sejarah Terapi Melukis
Merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Vick dalam tulisannya yang berjudul Brief
of Art Therapy, ia menyebutkan dalam sejarahnya Art Therapy bertumbuh dalam tiga
fase, antara lain yaitu 5:
a. Fase Periode klasik (1940-1970)

3
Patrice Guex, An introduction to psyco-onchology, ( New York : Routledge, 1994)
4
Dwi Astary Anggraheni, “Meningkatkan kematangan psikososial pada anak dengan gangguan selective
mutism,” Jurnal Psikovidya, vol. 20. no. 1, 2016
5
Vick, R. M. (2003). A BriefHistory of Art Therapy. In C. A. Malchiodi (Ed.), Handbook of Art Therapy. New
York London: The Guilford Press A Division of Guilford Publications, Inc.
Pertengahan abad ke 20 banyak individu yang mulai menggunakan istilah Art
Therapy dalam berbagai tulisan. Dikarenakan tidak adanya Art Therapy secara
formal, para penulis awalnya adalah psikiater, analis dan professional dibidang
kesehatan mental lainnya. Beberapa tokoh yang muncul dalam perkembangan
awal Art Therapy adalah Margaret Naumburg, Edith Kramer, Hanna
Kwiatkowska, dan Elinor Ulman. Naumburg dianggap sebagai pendiri utama dari
Art Therapy di Amerika yang sering dipanggil “Mother of Art Therapy”. Ia mulai
banyak menulis terkait Art Therapy dan akrab dengan ide-ide dari Freud dan Jung,
dalam kesempatan ini ia mengungkapan bagaimana “orientasi dinamis dari Art
Therapy” menjadi sebagian besar analog dalam praktek psikoanalitik kala itu6.
Kramen juga demikian mengadaptasi konsep dari teori kepribadian Freud
untuk menjelaskan Art Therapy. Ia mengungkapkan pendekatan “seni sebagai
terapi” dengan penekanan potensi terapi intrinsic dalam proses pembuatan seni
dan peran sentral dari pertahanan sublimasi bermain dari pengalaman ini 7.
Sementara itu Ulman aktif sebagai editor dalam tulisan-tulisan bertajuk Art
Therapy, ia sempat membandingkan kontras antara’seni psikoterapi’ dari
Naumburg dan ’seni sebagai terapi’ dari Kramen. Selain itu yang terakhir adalah
Kwiatkowska, merupakan peneliti dibidang Art Therapy keluarga.
b. Fase Middle
Tahun 1970-an sampai 1980-an mulai terlihat peningkatan jumlah publikasi
dari aplikasi dan perspektif konseptual dari Art Therapy, meski Psikoanalisis tetap
memberikan pengaruh dominan dalam berkolaborasi dengan Art Therapy. Pada
tahun ini muncul dua jurnal baru terkait Art Therapy, yaitu Seni Psychotherapy
pada tahun 1973, dan Art Therapy : Journal of the American Art Therapy
Association, pada tahun 1983. Meningkatnya jumlah publikasi terkait Art Therapy
bersamaan dengan berdirinya American Art Therapy Asosiasi pada tahun 1969,
yang ikut mengenalkan dan mengembangkan professi terapis seni dan peran trapis
seni secara professional.
c. Fase Modern atau kontemporer
Art Therapy mulai kemudian terus berkembang, pada tahun 1974, ada Gantt
dan Schmal yang kemudian menerbitkan bibiliografi yang bertemakan dengan
topik Art Therapy dari 1940-1973, sementara Rubin mencatat bahwa ada sekitar
6
Naumberg, M. (2004). What is Art Therapy? In Dynamically Oriented Art Therapy (pp. 1–17).
7
Kramer, E. (1980). Art Therapy and art education : Overlapping functions. Art Therapy and Art Education,
33(4), 16–17
12 buku yang ditulis oleh para ahli terapis seni dan semakin bertambah selama
sepuluh tahun kemudian. Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an kecepatan
pertumbuhan akan Art Therapy mulai meningkat sehingga sekarang lebih dari 100
buku tersedia terkait Art Therapy. Para terapis seni juga dikatakan merasa nyaman
dengan menggunakan pendekatan intuitif dari praktisi kesehatan mental lain,
dengan menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang peka dan cenderung
anti otoriter maupun teoritis. Sehingga dalam perkembangannya Art Therapy
banyak melakukan kolaborasi dengan pendekatan lain seperti Psikodinamik
dengan presentase 10,1 %, sedang Jung 5,4 %, Objek Relational 4,6%, Seni
sebagai terapi 4,5 %, psikoanalitik 3,0 % dan pendekatan lainnya sekitar 27 ,6 %.
Selain perkembangannya Vick juga mengungkapkan beberapa pendekatan
yang juga menggunakan Art Therapy antara lain yaitu :
a.) Pendekatan psikodinamik
Ide-ide freud dan para pengikutnya telah menjadi bagian awal dari Art
Therapy, para penulis menyebutnya dengan istilah “transferensi” dan
“mekanisme pertahanan” untuk mengseniikulasikan posisi dari
penggunaan teknik psikoanalitik klasik dengan tingkat ortodoksi.
b.) Pendekatan humanistic
Menurut elkins dan Stovall menunjukkan bahwa banyak terapis dari
Art Therapy yang menggunakan pendekatan humanistik dibanding dengan
penggunaan pendekatan yang mirip seperti Gestalt, eksistensial, ataupun
klien centered. Pendekatan ini kemudian didefinisikan sebagai pandangan
optimis dari sifat dan kondisi manusia melihat orang-orang dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan, dengan potensi untuk mengambil
tanggung jawab atas diri mereka.
c.) Pendekatan Learning and Development
Mungkin karena dianggap mekanistik, teori-teori psikologis yang
menekankan pada belajar cenderung kurang popular dengan Art Therapy,
namun tetap digunakan dalam beberapa kesempatan. Disisi lain untuk
perkembangan sendiri, Art Therapy bekerja pada anak-anak yang memiliki
anak-anak yang memiliki gangguan emosional dan perkembangan dengan
konsep adaptasi pada perkembangan dan terapi perilaku.
d.) Pendekatan Terapi keluarga dan lainny
Dalam tulisannya, Vick mengungkapkan bahwa di California para
terapis seni juga memiliki lisensi dalam terapi pernikahan dan keluarga.
Bahkan juga menggabungkan dengan konsep dari terapi narasi8. Dalam
kesempatan lainnya untuk pendekatan relasional dan feminis selain
memberikan pertanyaan tentang hubungan klien dan terapis,
memberdayakan klien, pendekatan ini juga membentuk praktek dari Art
Therapy kontemporer. Sementara itu untuk pendekatan lain yang juga
dianggap bisa menggunakan Art Therapy adalah pendekatan transpersonal.
B. Karakteristik Terapi Melukis
Terapi melukis sebagai bagian dari art therapy memiliki karakteristik yakni sebagai
cara alami untuk berkomunikasi, yakni melihat pikiran dan perasaan subjek. Di samping
itu, terapi melukis mampu membuka pemikiran dalam bentuk visual melalui
eksternalisasi ide dan stimulasi pikiran dan perasaan.9
C. Tujuan dan Manfaat Terapi Melukis
Tujuan Art Therapy bervariasi sesuai dengan kebutuhan khusus individu dan dengan
terapis yang menangani kasusnya. Kebutuhan ini kemudian mungkin akan mengubah
perkembangan hubungan terapeutik, dalam satu proses Art Therapy mungkin melibatkan
ahli Art Therapy dengan mendorong klien untuk berbagi dan mengeksplorasi kesulitan
emosional melalui penciptaan gambar dan diskusi, sedangkan disisi lain klien bisa
diarahkan untuk memegang krayon dan membuat tanda, hal ini dianggap
mengembangkan cara-cara baru untuk memberikan bentuk perasaan sebelumnya yang
tidak bisa diekpresikan. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Art Therapy secara teknis
orang-orang dengan kemampuan visual seni akan membuat penggunaan Art Therapy
menjadi bermanfaat. Memang penekanan pada kemampuan seniistik terjadi ketika seni
digunakan untuk tujuan rekreasi atau pendidikan, dan mungkin mengaburkan dalam
kaitannya dengan Art Therapy, dengan mengatakan ekspresi simbolis perasaan dan
pengalaman manusia dilihat melalui media seni.
Menurut AATA Art Therapy dapat dipraktekkan dalam berbagai bidang seperti
kesehatan mental, rehabilitasi, kesehatan, bidang pendidikan, forensik dan lainnya.
Sementara untuk kliennya sendiri memiliki format beragam misal individual, pasangan,

8
Riley, S. (2003). Art Therapy with Couples. In C. A. Malchiodi (Ed.), Handbook of Art Therapy (pp. 387–
398). New York London: The Guilford Press A Division of Guilford Publications, Inc
9
Rubin, J. A. (2005). Artful Therapy. New Jersey: John Wiley & SOns, Inc.
keluarga maupun terapi kelompok. Beberapa manfaat terapi ini merujuk pada AATA
(2013) antara lain yaitu 10:
a. Art Therapy dianggap efektif dalam memberikan pengobatan yang efektif untuk
orang-orang yang mengalami gangguan psikologis, perkembangan, kesehatan,
pendidikan sampai pada gangguan sosial.
b. Individu yang bisa menggunakan manfaat terapi ini diantaranya pada terapi ini
antara lain mereka yang trauma akibat pertempuran, penyalahgunaan, dan bencana
alam, orang dengan kesehatan fisik seperti kanker, cedera otak, atau cacat
kesehatan lainnya.
c. Penyandang autis, demensia, depresi, dan gangguan lainnya.
d. Terapi ini juga membantu orang menyelesaikan konflik meningkatkan
keterampilan interpersonal, mengelola perilaku bermasalah, mengurangi stress.
e. Mencapai wawasan pribadi serta memberikan kesempatan untuk menikmati
kesenangan hidup dari pembuatan seni.
D. Prinsip Terapi Melukis
Penelitian mengenai terapi seni telah banyak dilakukan dan ini dapat
menghasilkan pengetahuan baru tentang disiplin, teori dan praktik art therapy, sebagai
salah satu terapi yang efektif dan inovatif untuk konseli dari segala usia. Salah satu
prinsip art therapy yakni, bahwa saat mengerjakan seni dapat melemahkan pikiran
sadar dan mengungkapkan dinamika psikologis yang sebelumnya tidak disadari,
dengan tetap menjaga privacy konseli11. Rubin menjelaskan bahwa di dalam
pelaksanaan art therapy tidak membutuhkan standar yang kaku, tetapi lebih
menitikberatkan pada cara menggunakan seni yang dapat diterima secara universal.
Menurut Furth terdapat beberapa prinsip yang perlu dipatuhi oleh konselor
bagi memahami suatu lukisan dalam terapi seni. Pertama, mencatatkan impresif
terhadap lukisan yang dilukis oleh konseli. Elakkan melakukan sebarang interpretasi
terhadap lukisan, memberikan tumpuan kepada perasaan terhadap lukisan yang
dihasilkan. Semasa menjalankan sesi terapi seni, konselor tidak perlu menyatakan
sebarang pandangan kepada konseli. Kedua, konselor harus bertindak sebagai
penyelidik dengan menggunakan pendekatan yang sistematik terhadap aspek yang
ingin diberi fokus. Hal ini karena melalui cara dan bahan yang digunakan untuk
melukis akan memberi makna terhadap masalah konseli. Dari aspek bahan, konselor
10
American Art Therapy Association. (2013). What is Art Therapy? American Art Therapy Association, 1–2.
Retrieved from http://www.arttherapy.org
11
Gilory, A. 2006. Art Therapy, Research and Evidence-based Practice. London: Sage Publications.
boleh bertanya kepada konseli tentang jenis kertas dan saiz kertas yang dipilih oleh
konseli. Selain itu perkara seperti, warna, bentuk, arah pergerakan, kedudukan,
ulangan lukisan beberapa objek dan item yang tidak ada pada lukisan konseli, perlu
diberi perhatian. Konselor boleh memecahkan gambaran yang dilukis kepada
beberapa komponen kecil dan boleh memilih bagian tertentu yang ingin diberi
penumpuan. Prinsip ketiga, konselor harus mensintesiskan apa yang telah dipelajari
daripada lukisan konseli dan mengumpulkan semua maklumat menjadi satu maklumat
yang menyeluruh berkaitan dengan keadaan konseli. Terdapat beberapa perkara yang
perlu diperhatikan untuk membuat interpretasi sebuah lukisan seperti berikut:
1. Sesuatu yang ganjil dalam lukisan
2. Memerhatikan objek yang menjadi penghalang dalam lukisan
3. Benda yang telah tertinggal atau hilang dalam lukisan
4. Kedudukan dan saiz sesuatu objek
5. Objek yang dilukis secara perulangan
6. Reka bentuk yang tidak terurus
7. Perubahan warna (shading)
8. Perkataan yang telah tulis di dalam lukisan
9. Latar lukisan
10. Kesan Pemadam
11. Lain-lain perkara seperti encapsulating, yiaitu melukis sesuatu di luar
musim dan membuat perbandingan dengan persekitaran
12. Lain-lain perkara yang menarik minat pengkaji.12

12
Furth, J. (1988). Healing images: viewing the client‟s world through drawings. Journal of Holist Nurs. 19 (11)
21-41.

Anda mungkin juga menyukai