Anda di halaman 1dari 13

A.

Konseling dengan Pendekatan Humanistik


1. Konsep Konseling Humanistik
Pada tahun 1950, muncul aliran humanistik merupakan salah satu aliran
dalam psikologi dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang
berkembang pada abad pertengahan. Terdapat beberapa ahli psikologi yaitu
Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas yang mendirikan sebuah
asosiasi profesional berupaya untuk mengkaji secara khusus tentang berbagai
keunikan manusia, seperti tentang self (diri), kesehatan, harapan, cinta, aktualisasi
diri, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Hakikat dari konseling humanistik menekankan bahwa filosofi tentang apa
artinya menjadi seorang manusia. Psikolog humanistik mencoba untuk melihat
kehidupan manusia sebagaimana manusia itu sendiri melihat kehidupan mereka.
Mereka lebih cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat
alamiah manusia. Manusia atau individu pada dasarnya memiliki kecenderungan
untuk berfikir rasional dan irasional.
Fokus konseling humanistik terdapat pada kemampuan yang dimiliki
manusia untuk berpikir secara sadar dan rasional dalam mengendalikan hasrat
biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Bebas memilih untuk
menentukan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab, kecemasan sebagai suatu
unsur dasar, pencarian makna yang unik didalam dunia yang tak bermakna, berada
sendiri dan berada dalam hubungan dengan orang lain keterhinggaan dan kematian,
dan kecenderungan mengaktualkan diri.
2. Tujuan Konseling Humanistik
Terdapat beberapa tujuan konseling eksistensial humanistic menurut Gerald Corey
(2010) yaitu:
a. Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas
keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan
bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari
keberadaan otentik :
1) Menyadari sepenuhnya keadaan saat ini
2) Memilih bagaimana hidup pada saat ini
3) Memikul tanggung jawab untuk memilih.
b. Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan
pilihannya yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya
c. Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan
tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar
korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
3. Prosedur Konseling Humanistik
Terdapat tiga langkah yang dilakukan dalam konseling eksistensial humanistic
menurut Gerald Corey (2013) yaitu :
a. Tahap pendahuluan
Konseli mengklarifikasi asumsinya terhadap dunia dan pengalamannya yang
dibantu oleh konselor. Konseli dituntun dalam mendefinisikan dan menanyakan
tentang cara mereka memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima
b. Tahap pertengahan
Konseli memaparkan lebih lanjut tentang nilai yang mereka anut dalam
berperilaku dan menjalani hidup mereka
c. Tahap pengakhiran
Konseling berfokus pada menolong konseli untuk bisa melaksanakan apa yang
telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Proses ini yang akan membuat
remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu perilaku dan selanjutnya
membentuk konsep diri yang positif, yang sesuai dengan aturan/ norma-norma
yang ada dan pada akhirnya mampu menghargai dirinya.

Salah satu kontribusi penting yang dibuat oleh Carl Rogers dan para koleganya
adalah memulai mempraktikkan perekaman sesi konseling, dengan demikian rekaman
tersebut dapat digunakan untuk rujukan riset dan pengajaran. Hasil dari kebijakan ini
adalah beberapa rekaman Carl Rogers yang sedang melakukan terapi. Rekaman-rekaman
ini tak ternilai harganya, dan telah digunakan secara luas oleh para akademis dan periset
yang tertarik kepada karakteristik konseling dan psikoterapi person-centered. Berikut
kutipan rekaman proses konseling yang dilakukan oleh Carl Rogers :
1. Rogers memulai satu sesi konseling dengan berkata, "Sekarang, Anda dapat duduk…
Saya butuh satu atau dua menit untuk dapat mengonsentrasikan diri saya, oke?... Jadi,
mari kita berdiam satu atau dua menit (pause) Apakah Anda sudah siap?"
Mengafirmasi perhatian. Biasanya Rogers membiarkan para kliennya mengetahui
bahwa dia ada dan mendengarkan, dengan mencondongkan tubuhnya ke depan dan
menggumamkan m-hm, m-hm atau mengangguk tanda setuju.
2. Mengecek pemahaman. Sering kali Roger mengecek apakah pemahamannya
terhadap apa yang diucapkan klien sudah benar. Menyatakan kembali. Sering kali
kalimat Rogers benar-benar merupakan pantulan dari apa yang diucapkan oleh klien.
Dalam kesempatan lain, pernyataan kembali dilakukan dalam bentuk pernyataan
pendek yang mengklarifikasi inti pernyataan klien, sebagaimana contoh berikut ini:
Klien : Dan saya juga mengizinkan diri saya, dan saya tidak mengharapkan
perhatian, kasih sayang atau apa saja, tapi Anda tahu, saya seperti
seorang anak kecil. Saya seorang anak kecil dalam hal suka disayangi,
semacam resiprositas. Dan saya pikir, saya akan mulai mengharapkan
hal tersebut tanpa harus menjadi dingin atau semacam itu. Tapi, saya
juga berharap mendapatkan sesuatu sebagai imbalan
Roger : Anda ingin cinta bersifat mutual
s
Klien : Tentu

Adakalanya Rogers melakukan pengulangan pernyataan tersebut dalam bentuk orang


pertama, layaknya berbicara sebagai klien. Mengungkap perasaan klien yang belum
dinyatakan. Respons ini menyertakan pembuatan referensi terhadap perasaan yang
diekspresikan dalam perilaku nonverbal atau kualitas suara, atau tidak secara
langsung oleh klien.
3. Memberikan penguatan
Dalam kasus Gloria yang terkenal, terdapat beberapa saat penguatan.
Misalnya:
Glory : Saya tidak bisa mendapatkannya sesering yang saya mau… saya suka
semua perasaan tersebut, semua itu sangat berharga bagi saya
Roger : Saya kira taka da satu pun dari kita akan mendapatkannya sesering
s yang kita inginkan.

Adakalanya pula Rogers mengomunikasikan penguatan dengan menyentuh klien atau


merespons permintaan klien untuk dipegang tangannya.
4. Menginterpretasikan.
Rogers membuat interpretasi, disebut sebagai perjalanan menembus informasi yang
akan segera disampaikan oleh klien Mengkonfrontasi. Terkadang Rogers
mengkonfrontasi seorang klien yang terlihat takut atau menghindari isu yang sulit
atau menyakitkan Mengarahkan petanyaan.
Misalnya:
Glory : Saya sangat sadar bahwa Anda tidak akan dapat memberikan jawaban
kepada saya. Tapi saya ingin Anda membimbing saya atau
menunjukkan kepada saya dimana saya harus memulai atau yang
semisal, sehingga tidak terlihat tak memiliki harapan…
Roger : Jika saya boleh bertanya, apa yang Anda inginkan untuk saya ucapkan?
s

5. Mempertahankan dan memecahkan kesunyian


Dalam beberapa sesi terlihat Rogers membiarkan kesunyian terjadi (dalam satu
kesempatan, sampai 17 menit lamanya!). Dalam skesempatan lain, ia berusaha untuk
memecahkan kesunyian tersebut.
6. Membuka diri.
Misainya, kepada salah seorang klien, Rogers berkata, "Saya tidak tahu apakah ini
akan menolong atau tidak, tapi yang ingin saya sampaikan adalah saya pikir saya
dapat dengan jelas memahami mengapa Anda begitu tidak menarik di mata orang-
orang. Sebab, ada suatu saat ketika diri saya juga merasakan hai yang sama. Dan saya
tahu bahwa hal ini bisa jadi suatu yang sangat sulit".
7. Menerima pembetulan.
Ketika salah seorang klien menunjukkan bahwa salah satu respons Rogers tidak
akurat, dia akan menerima koreksi tersebut, mencoba lagi untuk membuat hal
tersebut benar dan kemudian terus melaju.
B. Konseling dengan Pendekatan Konseling Behavioristik
1. Konsep Konseling Behavioristik
Istilah pendekatan behavior pertama kali digunakan oleh Lindzey pada tahun 1954
dan kemudian lebih dikenalkan oleh Lazarus pada tahun 1958. Istilah pendekatan
tingkah laku lebih dikenal di Inggris sedangkan di Amerika Serikat lebih terkenal
dengan istilah behavior modification. Dalam tahap awal perkembangannya batasan
pendekatan behavior diberikan sebagai aplikasi teori belajar modern pada perlakuan
masalah-masalah klinis. B.F. Skinner pada tahun 1953 menulis buku Science and
Human Behavior, menjelaskan tentang peranan dari teori operant conditioning di
dalam perilaku manusia. Pendekatan behavior merupakan pendekatan yang
berkembang secara logis dari keseluruhan sejarah psikologi eksperimental.
Eksperimen Pavlov dengan classical conditioning dan Bekhterev dengan instrumental
conditioning-nya memberikan pengaruh besar terhadap pendekatan behavior. Pavlov
mengungkapkan berbagai kegunaan teori dan tekniknya dalam memecahkan masalah
tingkah laku abnormal seperti hysteria, obsessionel neurosis dan paranois.
Perkembangan ini diperkuat dengan tulisan dari Joseph Wolpe (1958) dalam bukunya
Psychotherapy by Reciprocal Inhibition yang menginterpretasi dari perilaku neurotis
manusia dengan inspirasi dari Pavlovian dan Hullian serta memberikan rekomendasi
teknik khusus 3 dalam terapi behavior yaitu Desentisisasi Sistematis (systematic
desensitization) dan pelatihan asertivitas (assertiveness training).
2. Tujuan Konseling Behaviouristik
Tujuan Konseling Behaviouristik yaitu:
a. Menghapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untuk digantikan
dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien
b. Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik :
1) Diinginkan oleh klien
2) Konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut
3) Klien dapat mencapai tujuan tersebut
4) Dirumuskan secara spesifik
c. Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan
tujuantujuan khusus konseling. (
d. 4. Analisis konseling behavioristik menekankan pada kebiasaan yang dilakukan
terus menerus hingga menjadi suatu perilaku tetap (Umul sakinah, 2018).
Berdasarkan pada hakikat manusia, teori dan pendekatan behavior ini
menganggap bahwa pada dasarnya manusia bersifat mekanistik atau merespon
kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik
dan sedikit berperan aktif dalam menentukan martabatnya. Manusia memulai
kehidupannya dan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini
menghasilkan pola-pola perilaku yang akan membentuk kepribadian. Perilaku
seseorang ditentukan oleh intensitas dan beragamnya jenis penguatan
(reinforcement) yang diterima dalam situasi hidupnya. Pendekatan behavior di
dalam proses konseling membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara
pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu
kepedulian dari konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling.
Dalam konsep behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar yang dapat
diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar. Di
mana proses konseling merupakan suatu proses atau pengalaman belajar untuk
membentuk konseli mengubah perilakunya sehingga dapat memecahkan
masalahnya (Sanyata, 2012) . Dalam konseling behavioral konselor memandang
bahwa kelainan perilaku yang ditunjukan oleh klien merupakan sebuah kebiasaan
yang dipelajari, karena itu dapat diubah dengan mengganti situasi positif yang
direkayasa sehingga perilaku klien yang menyimpang dapat berubah menjadi
positif (Muslih et al., 2017) Dasar teori konseling behavioral adalah bahwa
perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi antara: Belajar waktu lalu
hubungannya dengan keadaan yang serupa, keadaan motivasional sekarang dan
efeknya terhadap kepekaan lingkungan, perbedaan-perbedaan biologis baik
secara genetik atau karena gangguan fisiologik.(Said hasan basri, nailul falah,
2013) Pendekatan dalam layanan konseling merupakan suatu strategi untuk
memberikan intervensi kepada konseli. Tujuan yang akan dicapai adalah
perubahan pada konseli yang memungkinkan konseli untuk dapat menerima diri
(self-acceptance), memahami diri (self understanding), menyadari diri (self-
awareness), mengarahkan diri (selfdirecting), dan aktualisasi diri (self-
actualitation). Dalam proses konseling, dimensi perubahan merupakan tujuan
yang akan dicapai oleh konseli-konselor. Banyak faktor yang mempengaruhi
pemilihan pendekatan dalam konseling, diantaranya adalah karakteristik personal
(konseli), karakteristik problem, hingga pada tujuan yang hendak dicapai.
Behavioristik merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai
model pengubahan perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi.
Pendekatan behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar,
conditioning yang dirangkai dengan reinforcementmenjadi pola efektif dalam
mengubah perilaku konseli. Pandangan deterministik behavioristik merupakan
elemen yang tidak dapat di hilangkan. Namun pada perkembangan behavioristik
kontemporer, pengakuan pada manusia berada pada tingkat yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan awal-awal munculnya teori ini (Sigit, 2012). Proses
konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar
tersebut. Konselor aktif : 1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan
menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak 2.
Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling,
khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling 3. Konselor
mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
(Widyastitiafiani, 2014) Deskripsi langkah-langkah konseling : 1. Assesment,
langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan
klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan
kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area
masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang
benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk
mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan
tingkah laku yang ingin diubah. 2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan
tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment
konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam
konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut
: a. Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien b. Klien
mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling c.
Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : Apakah
merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien, apakah tujuan
itu realistic, kemungkinan manfaatnya, kemungkinan kerugiannya d. Konselor
dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan
teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan
dicapai, atau melakukan referal. 3. Technique implementation, yaitu menentukan
dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku
yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling. 4. Evaluation termination, yaitu
melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan
mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling. 5. Feedback, yaitu
memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan
proses konseling. Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan
respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap
perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan
konseling) akan dapat dibentuk. (Widyastitiafiani ,2014) Teknik-teknik
behavioral yang dapat digunakan menurut adalah : 1.Teknik operant
conditioning, prinsip-prinsip kunci dalam behavioral adalah penguatan positif,
penguatan negatif, extinction, hukuman positif dan hukuman negative (Safitri,
2018). 2. Model asesmen fungsional, merupakan blueprint bagi konselor dalam
memberikan intervensi yang diperlukan oleh konseli. Langkah-langkah yang
disiapkan konselor dilakukan tahap demi tahap dalam memberikan perlakuan. 3.
Relaxation training and related methods, adalah teknik yang dipakai untuk
melatih konseli agar melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya konselor dapat
memodifikasi teknik ini dengan systematic desentisization, asertion training, self
management programs. Teknik ini tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis. 4.
Systematic desentisization merupakan teknik yang tepat untuk terapi bagi konseli
yang mengalami phobia, anorexia nervosa, depresi, obsesif, kompulsif, gangguan
body image 5. Exposure therapies. Variasi dari exposure therapies adalah in vivio
desentisization dan flooding, teknik terapi ini dengan memaksimalkan
kecemasan/ketakutan konseli 6. Eye movement desentisization and reprocessing,
didesain dalam membantu konseli yang mengalami post traumatic stress
disorder . 7. Assertion training, metode ini didasarkan pada prinsip-prinsip terapi
kognitif perilaku. Ditujukan bagi konseli yang tidak dapat mengungkapkan
ketegasan dalam dirinya. 8. Self-management programs and self-directed
behavior, terapi bagi konseli untuk membantu terlibat dalam mengatur dan
mengontrol dirinya . 9. Multimodal therapy; clinical behavior therapy
dikembangkan dengan berdasar pada pendekatan secara holistic dari teori belajar
sosial dan terapi kognitif kemudian sering disebut dengan technical eclecticism.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral yaitu: 1. Memodifikasi tingkah laku
melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah
lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan
dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku
klien. 2. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak
diinginkan. 3. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan
mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan. 4.
Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model
(film, tape recorder, atau contoh nyata langsung). 5. Merencanakan prosedur
pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem
kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun
keuntungan sosial.
C. Konseling dengan Pendekatan Konseling Psikoanalisis
Psikoanalisis adalah jenis terapi yang bertujuan untuk melepaskan emosi dan ingatan
yang terpendam atau tertekan dalam atau untuk mengarahkan klien ke katarsis, atau
penyembuhan (McLeod, 2014). Dengan kata lain, tujuan psikoanalisis adalah membawa
apa yang ada di alam bawah sadar atau bawah sadar ke tingkat kesadaran. Model pikiran
Freud. Gambar I ID, EGO dan Super Ego Dalam model ini, ada tiga bagian metaforis
dalam pikiran: Gambar II 1. Id: Id beroperasi pada tingkat bawah sadar dan hanya
berfokus pada dorongan dan keinginan instingtual. Dua naluri biologis membentuk id,
menurut Freud: eros, atau naluri untuk bertahan hidup yang mendorong kita untuk
terlibat dalam aktivitas penopang hidup, dan thanatos, atau naluri kematian yang
mendorong perilaku destruktif, agresif, dan kekerasan. 2. Ego: Ego bertindak sebagai
saluran dan pengecekan id, bekerja untuk memenuhi kebutuhan id dengan cara yang
sesuai secara sosial. Ini adalah yang paling terkait dengan kenyataan dan mulai
berkembang pada masa bayi; 3. Superego: Superego adalah bagian dari pikiran di mana
moralitas dan prinsip-prinsip yang lebih tinggi berada, mendorong kita untuk bertindak
dengan cara yang dapat diterima secara sosial dan moral (McLeod, 2013). Mekanisme
Pertahanan Freud percaya bahwa ketiga bagian pikiran ini selalu berada dalam konflik
karena setiap bagian memiliki tujuan utama yang berbeda. Terkadang, ketika konflik
terlalu berat untuk ditangani seseorang, egonya mungkin terlibat dalam satu atau banyak
mekanisme pertahanan untuk melindungi individu. Gambar III Tahapan Perkembangan
Psikoseksual Gambar IV Konsep lain yang terkenal dari Freud adalah keyakinannya
pada pentingnya mimpi. Dia percaya bahwa menganalisis mimpi seseorang dapat
memberikan wawasan berharga tentang pikiran bawah sadar. Pada tahun 1900, Freud
menerbitkan buku "The Interpretation of Dreams" di mana dia menguraikan hipotesisnya
bahwa tujuan utama dari mimpi adalah untuk menyediakan individu dengan pemenuhan
keinginan, memungkinkan mereka untuk bekerja melalui beberapa masalah mereka yang
tertekan dalam situasi yang bebas dari kesadaran dan kendala realitas. Dalam buku ini, ia
juga membedakan antara konten nyata (mimpi yang sebenarnya) dan konten laten
(makna sebenarnya atau tersembunyi di balik mimpi). Tujuan mimpi adalah untuk
menerjemahkan keinginan terlarang dan keinginan tabu ke dalam bentuk yang tidak
mengancam melalui kondensasi (bergabungnya dua atau lebih ide), perpindahan
(transformasi orang atau objek yang kita khawatirkan menjadi sesuatu atau orang lain),
dan elaborasi sekunder (proses tidak sadar mengubah gambar atau peristiwa pemenuhan
keinginan menjadi narasi logis) (McLeod, 2013). Seorang psikoanalis dapat
menggunakan banyak teknik berbeda, tetapi ada empat komponen dasar yang
membentuk psikoanalisis modern: 1.Interpretasi Interpretasi adalah komunikasi verbal
antara analis dan klien di mana analis mendiskusikan hipotesis mereka tentang konflik
bawah sadar klien mereka. Umumnya, analis akan membantu klien melihat mekanisme
defensif yang mereka gunakan dan konteks mekanisme defensif, atau hubungan impulsif
yang dengannya mekanisme tersebut dikembangkan, dan akhirnya motivasi klien untuk
mekanisme ini (Kernberg, 2016). Ada tiga klasifikasi interpretasi: 1. Klarifikasi, di mana
analis mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam kesadaran pasien; 2.
Konfrontasi, yaitu membawa aspek nonverbal dari perilaku klien ke dalam
kesadarannya; 3. Interpretation proper, yang mengacu pada hipotesis yang diajukan
analis tentang makna bawah sadar yang menghubungkan semua aspek komunikasi klien
satu sama lain (Kernberg, 2016). 2. Analisis Transferensi Transferensi adalah istilah
untuk pengulangan yang tidak disadari dalam konflik "di sini dan sekarang" dari masa
lalu klien. Analisis transferensi mengacu pada "analisis sistematis implikasi transferensi
dari total manifestasi verbal dan nonverbal pasien dalam beberapa jam serta upaya
komunikatif langsung dan implisit pasien untuk mempengaruhi analis dalam arah
tertentu" (Kernberg, 2016). Analisis pemindahan pasien ini merupakan komponen
penting dari psikoanalisis dan merupakan pendorong utama perubahan dalam
pengobatan. Dalam analisis transferensi, analis mencatat semua komunikasi, baik verbal
maupun nonverbal, klien terlibat dan menyusun teori tentang apa yang menyebabkan
mekanisme defensif yang dia tampilkan. Teori itu menjadi dasar bagi setiap upaya untuk
mengubah perilaku atau karakter klien. 3. Netralitas Teknis Bagian penting dari
psikoanalisis lainnya adalah apa yang dikenal sebagai netralitas teknis, atau komitmen
analis untuk tetap netral dan menghindari memihak dalam konflik internal klien; analis
berusaha untuk tetap pada jarak yang sama dari id, ego, dan superego klien, dan dari
realitas eksternal klien. Selain itu, netralitas teknis menuntut analis menahan diri dari
memaksakan sistem nilainya kepada klien (Kernberg, 2016). Netralitas teknis terkadang
dianggap ketidakpedulian atau ketidaktertarikan pada klien, tetapi itu bukan tujuannya;
sebaliknya, analis bertujuan untuk menjadi cermin bagi klien mereka, yang
mencerminkan karakteristik, asumsi, dan perilaku klien sendiri untuk membantu
pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri. 4. Analisis Kontra Transferensi
Komponen kunci terakhir dari psikoanalisis ini adalah analisis kontratransferensi, reaksi
analis terhadap klien dan materi yang mereka sajikan dalam sesi. Analisis
kontratransferensi secara umum dapat dipahami sebagai upaya analis untuk menganalisis
reaksi mereka sendiri terhadap klien, apa pun bentuk yang mereka ambil. Untuk terlibat
dalam pengobatan psikoanalitik, analis harus melihat klien secara objektif dan
memahami pemindahan yang terjadi pada klien dan dalam pengalaman mereka sendiri.
Transferensi dan Bentuk Perlawanan Lain dalam Psikoanalisis Berbicara tentang
transferensi, ini adalah salah satu dari banyak bentuk perlawanan yang dipertimbangkan
dalam psikoanalisis. Dalam teori psikoanalitik, resistensi memiliki arti khusus:
pemblokiran ingatan dari kesadaran oleh klien (Fournier, 2018) Perlawanan adalah
keengganan umum klien untuk mengubah perilaku mereka dan terlibat dalam
pertumbuhan melalui terapi. Resistensi ini dapat berkembang dengan berbagai alasan,
sebagian disadari dan sebagian tidak disadari, dan bahkan dapat hadir pada mereka yang
ingin berubah.Ini sering terjadi dalam pengobatan dalam bentuk pemindahan ke terapis,
di mana klien menerapkan perasaan dan harapan mereka terhadap orang lain ke terapis.
Ada banyak jenis pemindahan, tetapi yang paling umum termasuk: a. Pemindahan ayah:
Dalam tipe ini, klien memandang orang lain sebagai ayah atau figur ayah yang
diidealkan (misalnya, bijaksana, berwibawa, berkuasa); b. Pemindahan ibu: Klien
memandang orang lain sebagai ibu atau sosok ibu yang diidealkan (misalnya, menghibur,
mencintai, mengasuh); c. Pemindahan saudara: Jenis ini dapat terjadi ketika hubungan
orang tua rusak atau kurang; alih-alih memperlakukan orang lain sebagai orang tua
(dalam hubungan tipe pemimpin / pengikut), klien mentransfer hubungan yang lebih
berbasis teman ke orang lain; d. Transferensi non-keluarga: Ini adalah jenis transferensi
yang lebih umum di mana klien memperlakukan orang lain sebagai versi ideal dari apa
yang diharapkan klien, bukan apa adanya; jenis pemindahan ini dapat mengarahkan klien
untuk membentuk stereotip (Good Therapy, 2015). Pemindahan tidak selalu berbahaya
tetapi mungkin merupakan bentuk resistensi klien terhadap pengobatan. Jika klien
memproyeksikan harapan yang tidak tepat atau tidak realistis kepada terapis, dia
mungkin tidak sepenuhnya terbuka terhadap perubahan yang dapat dipicu oleh
pengobatan. Resistensi terhadap pengobatan juga dapat dipahami dengan cara non-
psikoanalitik yang lebih umum. Bagaimanapun, resistensi terhadap pengobatan bukanlah
kejadian yang tidak biasa. Contoh cara klien menolak perubahan dalam pengobatan
meliputi: a. Diam atau sedikit diskusi dengan terapis; b. Kata-kata atau verbositas; c.
Keasyikan dengan gejala; d. Obrolan ringan yang tidak relevan; e. Keasyikan dengan
masa lalu atau masa depan; f. Berfokus pada terapis atau menanyakan pertanyaan pribadi
terapis; g. Mendiskon atau menebak-nebak terapis; h. Daya tarik; i. Janji palsu atau lupa
melakukan apa yang disepakati; j. Tidak menepati janji; k. Gagal membayar janji temu

D. Referensi: Afiani, W. (2014). Teori konseling behavioristik. Program Studi Bimbingan


Konseling. Universitas Pancasakti, Tegal. Basri, A.S.H., Falah, N., Anwar, M.K.,
Musrifin, Z., Suwartini, S., Latif, A. (2019). Panduan mikro konseling cetakan ke-3.
Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata. Corey, G. (2010). Teori dan praktek konseling dan
psikoterapi (edisi keenam). Bandung: PT Refika Aditama. Corey, G. (2013). Teori dan
praktek konseling dan psikoterapi (edisi ketujuh). Bandung: PT Refika Aditama.
Davidson, L. (2000). Philosophical foundations of humanistic psychology. Humanistic
Psychologist, 28, 7-31. Fournier, G. (2018). Resistance. Psych Central. Retrieved from
https://psychcentral.com/encyclopedia/resistance/. Good Therapy. (2015). Transference.
GoodTherapy PsychPedia. Retrieved from
https://www.goodtherapy.org/blog/psychpedia/transference Hariko, R. (2017). Landasan
filosofis keterampilan komunikasi konseling. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling,
2(2), 41-49. Hewitson, O. (2010). What does Lacan say about… The mirror stage? – Part
1. Lacan Online. Retrieved from http://www.lacanonline.com/index/2010/09/what-
doeslacan- say-about-the-mirror-stage-part-i/. Kernberg, O. (2016). The four basic
components of psychoanalytic technique and derived psychoanalytic psychotherapies.
World Psychiatry, 15, 287-288. doi:10.1002/wps.20368. Lee, J. (2010). The difference
between psychotherapy and psychoanalysis. Choose Help. Retrieved from
https://www.choosehelp.com/topics/counseling/the-differencebetween-psychotherapy-
and-psychoanalysis. McLeod, S. (2014). Carl Jung. Simply Psychology. Retrieved from
https://www.simplypsychology.org/carl-jung.html. McLeod, S. (2014). Psychodynamic
approach. Simply Psychology. Retrieved from
https://www.simplypsychology.org/psychodynamic.html. McLeod, J. (2015). Pengantar
konseling teori & studi kasus. Jakarta: Prenadamedia Group. Muslih, Y. N., Wibowo, M.
E., & Purwanto, E. (2017). Konseling behavioral menggunakan teknik kontrak perilaku
dengan students’ logbook untuk meningkatkan minat membaca siswa. Jurnal Bimbingan
Konseling, 6(1), 34–43. Nita, R.W., & Zulfikar, Z. (2014). Menciptakan suasana belajar
yang kondusif bagi siswa dan mahasiswa melalui analisis pendekatan rasional emotif
terapi dan hypnolearning. UNIMED. Perepiczka, M. & Scholl, M.B. (2012). Association
for humanistic counseling: The Heart and conscience of the counseling profession. Jurnal
of Humanistic Counseling, 51, 6-20. Safitri, N. Yusmansyah., & Andriyanto, R.E.
(2018). Penggunaan konseling behavioristik teknik operant conditioning untuk
membentuk sikap dan kebiasaan belajar yang baik pada siswa kelas X SMA Negeri 2
Kotabumi tahun ajaran 2017/2018. Jurnal FKIP Unila 1-14. Sakinah, U. (2018).
Konseling behavioristik dalam membentuk perilaku mandiri merawat diri pada
tunagrahita. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 15(1), 68–84.
Sanyata, S. (2012). Teori dan aplikasi pendekatan behavioristik dalam konseling abstrak
pendahuluan teori dan pendekatan behavioristik. Jurnal Paradigma 14(7), 1–11.
Schwartz, H. (2017). People don’t still lie on a couch, do they? Psychology Today.
Retrieved from
https://www.psychologytoday.com/us/blog/psychoanalysisunplugged/201710/people-
don-t-still-lie-couch-do-they. Sigmund Freud Biography. (2018). In A&E Television
Network’s The Biography.com website. Retrieved from
https://www.biography.com/people/sigmund-freud9302400. Symbolic Order. (2002).
Purdue’s Introductory Guide to Critical Theory. Retrieved from
https://www.cla.purdue.edu/english/theory/psychoanalysis/definitions/symbolicor der.
html. Taufik, A.M. (2009). Inovasi pendidikan melalui Problem Based Leraning. Jakarta:
Kencana. The Real. (2002). Purdue’s Introductory Guide to Critical Theory. Retrieved
from https://www.cla.purdue.edu/english/theory/psychoanalysis/definitions/real.html
Widyaswari, P.L. (2014). Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant
conditioning untuk mengatasi kesulitan belajar siswa kelas XI IPA di SMA Bhaktiyasa
Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha,
2(1), 1-10

Anda mungkin juga menyukai