Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH CINEMA THERAPY TERHADAP PENINGKATAN EMPATI PADA

MAHASISWA DI KOTA MALANG

Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Penelitian dan Pengembangan Eksperimen

Dosen Pengampu :

Dr. Hetti Rahmawati, S.Psi, M.Si.

Zabrina Dewi El Riyanto

190811636896

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Mahasiwa merupakan saat dimana individu memasuki masa dewasa awal yang rata-rata pada
rentang usia 18 sampai 24 tahun. Puncak perkembangan pada setiap individu terjadi pada
masa dewasa awal yang dimulai saat individu berusia 18 sampai 40 tahun. Pada masa ini
terdapat adanya perubahan secara psikologis maupun fisik yang diikuti dengan berkurangnya
kemampuan reproduktif pula (Hurlock, 2009). Sedangkan menurut Santrock pada tahun
2002, definisi dari masa dewasa awal merupakan masa dimana individu membangun
hubungan dengan lawan jenis dan mulai bekerja, yang mana menyebabkan sisa waktu yang
sedikit untuk beberapa hal lainnya.

Dalam membangun hubungan dalam masa dewasa awal, individu dituntut untuk dapat
berinteraksi kepada sesama dengan baik. Dalam kehidupan, mahasiswa adalah manusia
makhluk sosial yang memerlukan interaksi kepada sesama. Interaksi pada manusia dimulai
sejak dini sampai hidupnya berakhir. Mulai dari keluarga, ibu, ayah, sampai pada tahapan
lingkungan besar seperti pertemanan sosialnya. Dalam berinteraksi sosial, manusia harus
dapat menjaga hubungan baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat. Salah satu
faktor penting dalam menjaga hubungan baik yakni empati.

Menurut Hurlock, empati merupakan bagaimana seseorang menempatkan diri dalam


perasaan dan pikiran orang lain sehingga dapat ikut memaknai situasi dan pengalaman
berdasarkan yang orang lain rasakan (Fauzia, 2014). Definisi lain empati menurut Davis
(1980) yakni reaksi spontan yang muncul akan perasaan serta emosi terhadap pengalaman
orang lain dan kemampuan dalam mengenali perasaan emosi pada orang lain tanpa perantara.
Dengan memiliki empati, maka dapat menambah jaringan dan kualitas interaksi sosial.

Mahasiswa diharapkan memiliki empati yang baik dalam menjalin hubungan sosial.
Hubungan yang harmonis, rasa peduli dan saling membantu, serta rasa memahami satu sama
lain akan muncul apabila mahasiswa memiliki sikap empati yang baik. Kemampuan empati
sangat penting untuk dimiliki dalam menjalin hubungan sosial dengan tujuan menerima sudut
pandang orang lain, memahami perasaan orang lain, menghargai orang lain, serta menjadi
pendengar yang baik (Ernie Ulviatun, 2016).

Apabila mahasiswa memiliki rasa empati yang baik, maka akan banyak dampak positif yang
dirasakan seperti mudah membentuk hubungan dengan orang lain karena memiliki
kecakapan sosial yang tinggi.Selain itu, membina kedekatan, memahami orang lain,
meyakinkan orang lain, membuat nyaman orang lain juga dapat dirasakan apabila memiliki
rasa empati yang baik. Kemudian, apabila mahsiswa kurang dalam memiliki rasa empati,
maka mereka akan cenderung dijauhi oleh orang disekitarnya, hanya mementingkan diri
sendiri, solidaritas yang rendah yang akan berdampak terhadap interaksinya kepada orang di
lingkungan sekitarnya (Yulia Citra, 2020).

Pada fenomena sosial saat ini terlihat bahwa mahasiswa di Indonesia mengalami penurunan
dalam empatinya. Mahasiswa terlihat cenderung bersikap individualis, berkurangnya nilai
kemanusiaan dan kemasyarakatan seperti kekeluargaan, kerjasama, tolong menolong, dan
kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, terlihat cenderung memikirkan kepentingan diri
sendiri dan kurang memikirkan kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Apabila kondisi
ini terus berlanjut, maka akan memperbesar kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial dan
konflik dalam masyarakat. Kemudian, norma kehidupan sosial dan agama juga dapat
dilanggar apabila manusia hanya mementinglan diri sendiri dan kurangnya empati sesama
makhluk hidup (Neng Gustini, 2017).

Menurunnya kemampuan berempati pada mahasiswa sangatlah kompleks. Salah satu


dugaannya adalah lingkungan yang menjadi penyebabnya. Beberapa faktor sosial kritis mulai
luntur seperti lemahnya pengawasan orang tua, teladan berperilaku empati yang kurang, pola
asuh yang tidak baik, dan pendidikan spiritual yang kurang. Selain itu, tantangan dari dunia
luar yang semakin besar seperti televisi, game online, dan internet dapat memberikan
pengaruh buruk apabila tidak digunakan dengan bijak dan dapat memunculkan berbagai
perbuatan tercela (Borba, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Madina (2014) di salah
satu Univerista Gorontalo menghasilkan bahwa 56,86% dari 215 mahasiswa memiliki empati
yang sangat rendah.

Intervensi cinema therapy dapat digunakan dalam penanganan perilaku pada individu.
Dengan memberikan tontonan berupa film atua video dapat meningkatkan kesadaran,
mengidentifikasi situasi dan karakter pada film yang dapat meningkatkan hubungan
eksplorasi pemikiran pribadi. Cinema therapy merupakan salah satu intervensi kuat yang
dapat menyembuhkan bagi siapa saja yang bersedia belajar bagaimana film dapat
memengaruhi individu (Wolz, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Aebedin memperlihatkan bahwa cinema therapy merupakan
teknik efektif terhadap proses kognitif, emosi, dan perilaku modeling. Kemudian, pada
penelitian yang dilakukan oleh Molaie, dkk menyatakan bahwa group cinematherapy juga
merupakan teknik yang efektif bagi remaja (Auliyah dkk, 2016). Penjelasannya karena
melalui film, individu dapat mempelajari bagaimana perilaku yang diinginkan dan tidak
diinginkan. Film dapat membawa pengaruh besar karena adanya dampak dari dialog, musik,
dan pengambilan gambar. Apabila hal tersebut dilakukan dengan sesuai, maka individu akan
merasa hanyut pada tiap adegan yang dialami oleh karakter di sebuah film.
Film merupakan hasil dari adanya perkembangan teknologi dan apabila digunakan dengan
tepat maka dapat menjadi salah satu media intervensi dalam meningkatkan empati pada
mahasiswa saat ini. Menggunakan media film akan membuat mahasiswa mengidentifikasi
bermacam pengalaman yang dialami oleh tokoh dan diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan empati pada tokoh tersebut yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Apakah cinema therapy dapat berpengaruh dalam meningkatkan empati pada mahasiswa
di Kota Malang?
2. Seberapa efektif cinema therapy dapat meningkatkan empati mahasiswa di Kota Malang?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian eksperimen ini berjutuan untuk mengetahui :
1. Pengaruh cinema therapy dalam meningkatkan empati mahasiswa di Kota Malang.
2. Efektivitas cinema therapy dalam meningkatkan empati mahasiswa di Kota malang.

1.4. Manfaat Penelitian


Temuan penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat teoritis dan praktis, sebagai
berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan keilmuan bidang
psikologi khususnya pengetahuan ilmu mengenai Pengaruh Cinema Therapy
Terhadap Peningkatan Empati pada Mahasiswa di Kota Malang.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Manfaat praktis bagi peneliti yakni, untuk menambah pengetahuan serta dapat
menerapkan ilmu pengetahuan dari hasil penelitian pada kasus nyata di
lapangan.
b. Temuan penelitian ini diharapkan bagi dosen dan pembaca agar dapat
memberikan masukan dari hasil penelitian dan membuka referensi pemikiran
pada bahan diskusi mengenai Pengaruh Cinerma Therapy Terhadap
Peningkatan Empati pada Mahasiswa di Kota Malang. Serta dapat menjadi
salah satu pertimbangan bagi individu agar dapat meningkatkan empati pada
mahasiswa agar memiliki kemampuan berempati yang baik sehingga dapat
mencapai kesuksesan dalam hidup bermasyarakat.

1.5. Keaslian Penelitian


Keaslian penelitian mengacu terhadap penelitian-penelitian yang ada sebelumnya, memiliki
karakteristik dalam tema yang diangkat relatif sama, walaupun terdapat perbedaan kriteria
subjek, jumlah dan posisi variabel penelitian, serta metode yang digunakan. Tema penelitian
yang diangkat yakni tentang Pengaruh Cinema Therapy Terhadap Peningkatan Empati pada
Mahasiswa di Kota Malang. Penelitian serupa telah ada yakni penelitian yang dilakukan oleh
Yulia Citra berjudul “Efektivitas Teknik Cinematherapy Untuk Meningkatkan Empati
Remaja di Desa Malela Kecamatan Suli”. Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam dua kali
pemberian perlakuan video muncul perbedaan terhadap ermpati remaja dengan taraf sangat
tinggi. Hal ini didasarkakn pada perhitungan uji wicoxon taraf signifikansi 5%, Z= -3,062
Asymp. Sig (2-tailed) 0,002 lebih kecil dari <0,05 artinya H1 diterima. Kesimpulannya
cinematherapy merupakan teknik yang efektif dalam meningkatkan empati remaja di Desa
Malela.

Kemudian, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Insan Suwanto dan Athia Tamyizatun
Nisa (2017) berjudul “Cinematherapy Sebagai Intervensi Dalam Konseling Kelompok”
menghasilkan bahwa cinematherapy memiliki potensi dalam solusi sejumlah kesulitan dan
memberi manfaat dalam terapeutik. Selain itu, cinematherapy merupakan cara aman bagi
individu dalam berdiskusi mengenai perasaan dan pikirannya.

Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh Yulia Citra dan peneliti yakni sama-sama
membahas mengenai cinematherapy atau terapi film sebagai variabel bebas dan peningkatan
empati sebagai variabel terikat. Kemudian, kesamaan penelitian oleh Insan Suwanto dan
Athia dengan peneliti adalah sama-sama membahas cinematherapy atai terapi film sebagai
variabel bebas. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa meskipun terdapat penelitian
serupa terkait terapi film terhadap peningkatan empati namun tetap terdapat pebedaan pada
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Maka, topik penelitian yang dilakukan mutlak asli.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Cinema Therapy


2.1.1. Pengertian Cinema Therapy
Pengertian dari Cinema Therapy adalah sebuah teknik dalam terapi atau konseling
yang bertujuan membantu seseorang atau kelompok agar dapat mengatasi dan
menyadari permasalahan pada kehidupan (Agus Sutadi, 2018). Cinema therapy
memungkinkan klien menilai secara visual tokoh yang terdapat pada film yang
berinteraksi dengan orang lain, masalah pribadi, serta lingkungannya yang dapat
mendorong perkembangan selama terapeutik dengan positif. Cinema therapy
merupakan intervensi yang memiliki kekuatan bagi anak-anak, remaja, maupun
dewasa. Saat klien dan terapis mendiskusikan berbagai hal terkait yang ada di
film, maka dapat mengakses metaforis konten dalam proses belajarnya (Ma’fufah,
2018).

Wolz, 2002 mengungkapkan banyak individu merasa lebih lega setelah menonton
film psikoterapi. Ia menunjukkan penelitian mengenai tertawa dan menangis yang
memiliki dampak positif terhadap tubuh dan psikolgis individu. Menurutnya,
terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan, yakni :
1. Memulai dengan film yang sudah pernah ditonton oleh klien yang
mendukung tujuan terapi
2. Jelaskan maksud dan alasan memberikan film agar klien tidak mengalami
kesalahan saat mengidentifikasi peran
3. Diskusi bersama mengenai respond pada film yang positif maupun negatif
dengan memberikan beberapa pertanyaan seperti apa pengaruh film untuk
Anda, respond positif dan negatif terhadap film, pesan moral yang terdapat
dalam film, pandangan baru seperti apa yang didapatkan setelah menonton
film, apakah memiliki pengalaman yang serupa dengan film, apakah terdapat
film lain yang dapat didiskusikan pada tahapan selanjutnya. Pemilihan film
yang sesuai dengan tema terapi sangatlah penting dalam proses dan
kesuksesan cinema therapy.

2.1.2. Tujuan dan Manfaat Cinema Therapy


Cinema therapy yakni sebagai sarana pembuka diskusi dalam terapi. Bimbingan
dengan teknik cinema therapy dilakukan seorang terapis dengan menggunakan
film agar dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan wawasan klien dalam
mengatasi permasalahan (Agus Sutardi, 2018).

Tujuan cinema therapy untuk memberikan pengalaman emosi terapeutik pada


klien. Film atau video merupakan media yang sudah dikenal oleh banyak orang,
sehingga klien dan terapis dapat saling berbagi pengalaman yang dapat
membangun hubungan dalam terapeutik. Dengan begitu, cinema therapy
merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam menstabilkan emosi individu.

Manfaat cinema therapy menurut Solomon dapat memberikan dampak positif


pada individu yang mengalami masalah, memberikan emosi yang stabil dan sehat,
dan dapat meningkatkan ilmu dan pandangan individu pada nilai kehidupan yang
terkandung pada film sehingga klien dapat meniru perilaku positif yang
diperankan tokoh dalam kehidupan sehari-hari (Ma’fufah, 2018).

2.1.3. Teknik cinema therapy


Menurut Gregerson (2010) terdapat beberapa tahapan dalam melakukan cinema
therapy, yakni :
1. Pengarahan
Menyusun dan mempersiapkan petunjuk agar klien dapat mempersiapkan diri.
Pengarahan juga dapat membantu klien dalam menangkap kesan mereka dan
dapat mengingat dan memproses saat sesi menonton film. Dalam petunjuk ini
dapat direkomendasi seperti; supaya tetap nyaman menonton, memperhatikan
postur dan gestur tubuh, mengatur pernapasan agar tidak tegang, serta hal
terkait lainnya yang terbentuk.
2. Pemilihan film
Pemilihan film dapat dilakukan oleh klien ataupun terapis. Film atau video
yang dipilih harus memberikan wawasan yang bermanfaat dan pemahaman
diri. Terapis harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam memilih film,
mulai dari keadaan klien, masalah, tujuan, dan kebutuhan klien. Selain hal
tersebut, pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah latar belakang dan
budaya. Pemilihan film harus menghindari konten yang melanggar norma
seperti kekerasan atau pelecehan yang dapat menimbulkan potensi yang
bertentangan dengan tujuan pada terapi.
3. Penugasan
Penugasan dirumah terbukti dapat menjadi teknik yang berguna dalam terapi.
Menjadikan film utama sebagai tugas rumah dapat dilakukan karena
menonton film merupakan kegiatan yang menyenangkan.

Sedangkan, langkah secara umum dalam teknik cynema therapy yakni :


1. Membuat perjanjian dengan klien mengenai pemilihan film, durasi, dan
aktivitas lain yang dilakukan selama proses terapi.
2. Pemilihan film yan tepat agar klien dapat serius dalam mencermati dan
memahami pesan yang disampaikan dalam film.
3. Suasana harus berlangsung tenang selama menonton film, dalam ruangan
yang tertutup dan pencahayaan yang tidak berlebihan sehingga klien dapat
lebih mudah merespond film tersebut dalam alam bawah sadarnya.
4. Setelah selesai menonton film, maka klien berdiskusi bersama terapis.
5. Menentukan sesi pertemuan berikutnya dengan klien untuk mengevaluasi
hasil dari cinema therapy yang telah dilakukan.

2.2. Empati
2.2.1. Pengertian Empati
Dalam bahasa Yunani, empati berasal dari kata pathos yang memilki arti perasaan
yang mendalam. Empati bermaksud lebih terpusat pada perasaan orang lain (Asri,
2004). Carl Rogers merupakan tokoh psikologi humanustik yang pertama kali
menggunakan istilah empati. Dalam teorinya, istilah seperti warmth, compassion,
respect, unconditional positive regard, genuineness, dan understanding kerap
digunakan untuk menjelaskan pemahaman mengenai pikiran, perasaan, dan motif
pada orang lain.

Carkhuff mengartikan empati merupakan kemampuan pada individu untuk dapat


memahami, mengerti, dan merasakan perasaan orang lain melalui ungkapan
perilaku dan verbal, serta saling mengkomunikasikan pemahamannya kepada
orang lain. Dalam memberikan bantuan, empati merupakan aspek penting yang
mempengaruhinya (Asri, 2004).

Terdapat perbedaan antara simpati dan empati, empati adalah kemampuan untuk
dapat merasakan emosi dan perasaan orang lain yang disertai tindakan dari
perasaan yang dirasakan. Sedangkan simpati adalah bagaimana individu
merasakan apa yang dirasakan orang lain tanpa melakukan tindakan (Nailul,
2014).

Pakar psikologi mengemukakan bahwa empati dapat berkembang melalui tahap


tertentu menuju pada maturitas empati tertentu. Douglas Olsen (1997)
menyatakan maturitas empati atau emphatic maturity merupakan struktur kognitif
yang dapat menentukan sejauh mana individu dapat merasa empati, sebagian
orang merasakan dan bagaimana jumlah anggota kelompok yang ada (Sudarwan,
Khairil, 2014).
Menurut Block, individu yang memiliki kemampuan empati akan merasakan
respon sebagai berikut (Sudarwan, Khairil, 2014) :
1. Menyadari reaksi emosi yang dirasakan oleh orang lain
2. Dapat menilai prespektif dan perasaan orang lain
3. Dapat menerima dan memahami reaksi emosi oleh orang lain
Dari beberapa penjelasan tersebut, kesimpulannya empati merupakan perasaan yang
mendalam pada kondisi yang dirasakan orang lain dengan memberikan wujud sikap
peduli, memahami kondisi emosi dan prespektif orang lain, dan menolong orang
lain.

2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Empati


Menurut Goleman, terdapat faktor psikologis dan sosiologis yang mempengaruhi
kemampuan empati pada individu, sebagai berikut (Candra, 2016) :
1. Sosialisasi, dengan melakukan sosialisasi maka individu dapat mengalami
beberapa emosi dan membuat seseorang dapat melihat keadaan orang lain.
2. Perkembangan kognitif empati dapat tumbuh seiring kematangan kognitif
individu sehingga dapat melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang
berbeda.
3. Mood dan feeling akan memperngaruhi saat berinteraksi dengan orang lain
dan bagaimana cara individu memberi reaksi pada perilaku dan perasaan
orang lain.
4. Situasi dan tempat tertentu berkontribusi pada proses kemampuan empati
individu. Terdapat kemungkinan situasi yang berbeda memungkinkan peluang
untuk memunculkan reaksi empati yang berbeda pula.
5. Bahasa mempengarhi komunikasi dalam pengungkapan empati. Adanya
perbedaan bahasa dan kurang paham saat berkomunikasi dapat menghambat
saat proses berempati.

2.3. Pengaruh Cinema Therapy Terhadap Peningkatan Empati pada Mahasiswa


di Kota Malang
Mahasiwa merupakan saat dimana individu memasuki masa dewasa awal yang rata-rata
pada rentang usia 18 sampai 24 tahun. Puncak perkembangan pada setiap individu terjadi
pada masa dewasa awal yang dimulai saat individu berusia 18 sampai 40 tahun. Pada
masa ini terdapat adanya perubahan secara psikologis maupun fisik yang diikuti dengan
berkurangnya kemampuan reproduktif pula (Hurlock, 2009). Pola perubahan yang
dialami tersebut, tentu mengalami beberapa kondisi yang harus dihadapi dari berubahnya
pola pikir, perilaku, dan lingkungan. Dalam membangun hubungan dalam masa dewasa
awal, individu dituntut untuk dapat berinteraksi kepada sesama dengan baik. Dalam
kehidupan, mahasiswa adalah manusia makhluk sosial yang memerlukan interaksi kepada
sesama. Interaksi pada manusia dimulai sejak dini sampai hidupnya berakhir. Dalam
berinteraksi sosial, manusia harus dapat menjaga hubungan baik dalam lingkungan
keluarga ataupun masyarakat. Salah satu faktor penting dalam menjaga hubungan baik
yakni empati. Mahasiswa diharapkan memiliki empati yang baik dalam menjalin
hubungan sosial. Hubungan yang harmonis, rasa peduli dan saling membantu, serta rasa
memahami satu sama lain akan muncul apabila mahasiswa memiliki sikap empati yang
baik. Kemampuan empati sangat penting untuk dimiliki dalam menjalin hubungan sosial
dengan tujuan menerima sudut pandang orang lain, memahami perasaan orang lain,
menghargai orang lain, serta menjadi pendengar yang baik (Ernie Ulviatun, 2016). Pada
fenomena sosial saat ini terlihat bahwa mahasiswa di Indonesia mengalami penurunan
dalam empatinya. Mahasiswa terlihat cenderung bersikap individualis, berkurangnya nilai
kemanusiaan dan kemasyarakatan seperti kekeluargaan, kerjasama, tolong menolong, dan
kepedulian terhadap orang lain (Neng Gustini, 2017). Dalam meningkatkan kemampuan
empati pada manusia, intervensi cinema therapy dapat digunakan dalam penanganan
perilaku pada individu. Dengan memberikan tontonan berupa film atua video dapat
meningkatkan kesadaran, mengidentifikasi situasi dan karakter pada film yang dapat
meningkatkan hubungan eksplorasi pemikiran pribadi. Cinema therapy merupakan salah
satu intervensi kuat yang dapat menyembuhkan bagi siapa saja yang bersedia belajar
bagaimana film dapat memengaruhi individu (Wolz, 2005). Menggunakan media film
akan membuat mahasiswa mengidentifikasi bermacam pengalaman yang dialami oleh
tokoh dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan empati pada tokoh tersebut yang
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2.4. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian Pengaruh Cinema Therapy Terhadap Peningkatan Empati pada
Mahasiswa di Kota Malang di jelaskan sebagai berikut:

H0 : Cinema therapy tidak memberikan pengaruh dan hasil yang efektif


pada peningkatan empati mahasiswa di Kota Malang

H1 : Cinema therapy memberikan pengaruh dan hasil yang efektif pada


peningkatan empati mahasiswa di Kota Malang
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Variabel


Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdapat dua yakni variabel bebas (X) dan
variabel terikat (Y) dengan rincian sebagai berikut :
1. Variabel bebas (X) yakni variabel yang mempengaruhi atau menjadi penyebab
adanya perubahan pada variabel terikat (Y). Pada penelitian ini, cinema therapy
merupakan variabel bebas.
2. Variabel terikat (Y) yakni variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas(X). Pada
penelitian ini, empati merupakan variabel terikat (Y).

3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi operasional variabel merupakan sebuah definisi yang hakikatnya dapat diukur
dan diamati (Sumadi, 2008). Definisi operasional variabel sangat diperlukan karena
dapat menunjukkan pada pengambilan sampel yang sesuai dalam penggunaannya.
Mengacu pada pemaparan tersebut, variabel yang diteliti dalam penelitian ini yakni :
1. Cinema Therapy
Cinema Therapy adalah sebuah teknik terapi yang memanfaatkan film sebagai
media dalam membantu indidivdu atau kelompok agar dapat menyadari dan
mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam hidupnya.
Indikator pengukuran dan pengamatan cinema therapy yakni:
a) Pengarahan
Menyusun dan mempersiapkan petunjuk agar klien dapat mempersiapkan diri.
Pengarahan juga dapat membantu klien dalam menangkap kesan mereka dan
dapat mengingat dan memproses saat sesi menonton film.
b) Pemilihan film
Pemilihan film dapat dilakukan oleh klien ataupun terapis. Film atau video yang
dipilih harus memberikan wawasan yang bermanfaat dan pemahaman diri.
Terapis harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam memilih film, mulai
dari keadaan klien, masalah, tujuan, dan kebutuhan klien. Selain hal tersebut,
pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah latar belakang dan budaya.
c) Penugasan
Penugasan dirumah terbukti dapat menjadi teknik yang berguna dalam terapi.
Menjadikan film utama sebagai tugas rumah dapat dilakukan pada intervensi
kali ini.
2. Empati
Empati merupakan perasaan yang mendalam pada kondisi yang dirasakan orang lain
dengan memberikan wujud sikap peduli, memahami kondisi emosi dan prespektif
orang lain, dan menolong orang lain. Instumen yang digunakan mengacu pada
Interpersonal Reactivity Index oleh M.H Davis (1980). Indikator yang diukur dan
diamati dalam empati yakni :
a) Prespective taking
b) Kepedulian secara empatik
c) Personal distress
d) Kemampuan membayangkan

3.3. Subjek Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi merupakan seluruh anggota manusia, binatang, peristiwa, atau benda
yang terdapat pada sebuah tempat dan secara disengaja menjadi target dari
kesimpulan hasil akhir sebuah penelitian (Sukardi, 2003). Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka populasi dari penelitian ini merupakan seluruh
mahasiswa di Kota Malang yang masih aktif berkuliah.
3.3.2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki pada
populasi.
3.3.3. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah cluster random sampling.
Hal ini dilakukan bila populasi dalam penelitian dibagi menjadi beberapa
kelompok. Cluster random sampling digunakan untuk mengacak populasi,
bukan untuk subjek secara individu. Cluster random sampling merupakan teknik
pengambilan sampel secara acak dimana unit samplingnya adalah kelompok.
Anggota kelompok tidak selalu homogen. Setiap anggota kelompok dalam
kelompok yang dipilih akan menjadi sampel.

3.4. Rancangan Eksperimen


Penelitian eksperimen mengenai Pengaruh Cinema Therapy Terhadap Peningkatan
Empati Pada Mahasiswa di Kota Malang akan digunakan menggunakan metode true
experimental. Pada desain ini peneliti dapat mengontrol segala variabel luar yang
berpengaruh dalam jalannya eksperimen. Ciri-ciri utama dari metode true
experimental yakni sampel dalam eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol
dipilih secara acak yang terdapat pada populasi tertentu (Sugiyono, 2016). Pada
penelitian kali ini, peneliti memilih cluster random samping dalam menentukan
sampel yang akan digunakan.

Desain penelitian yang digunakan yakni pretest-posttest control group design. Pada
desain penelitian eksperimen kali ini, terdapat dua kelompok yang akan dipilih secara
acak kemudian akan diberikan pretest guna mengetahui kondisi awal perbedaan antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang ada. Hasil pretest dikatakan baik
apabila nilai dalam kelompok eksperimen tidak mengalami perbedaan signifikan.

3.5. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Pada Kelompok Eksperimen


Prosedur pertama pelaksanaan intervensi yang diberikan kepada kelompok eksperimen
mulai dari tahapan awal sampai akhir munculnya hasil penelitian eksperimen, sebagai
berikut :

Sesi Perlakuan Tahapan Tujuan Kegiatan

Sesi 1 Pemberian Pre-Test Agar dapat mengetahui


kondisi awal pada
perbedaan kelompok
eksperimen dan kontrol.

Sesi 2 Pemberian intervensi Agar anggota kelompok


berupa cinema therapy eksperimen dapat
film kepada kelompok mengidentifikasi dan
eksperimen memahami makna
pelajaran film pada cinema
therapy terkait empati.

Sesi 3 Pemberian Post-Test Agar dapat mengetahui


perbedaan dan pengaruh
serta efisiensi setelah
diberikan intervensi apakah
terdapat pebedaan yang ada
pada kelompok eksperimen
dan kontrol.

3.6. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur Penelitian


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuisioner
sebagai instrumen utama berupa pretest dan post-test, yang akan diberikan secara dua
tahap yakni sebelum pemberian intervensi dan sesudah pemberian intervensi pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Alat ukur penelitian eksperimen ini menggunakan instrumen yang memiliki titik tolak
pada variabel penelitian empati. Instrumen yang akan digunakan dalam mengukur
kemampuan empati dengan modifikasi instrumen Interpersonal Reactivity Index (IRI)
oleh M.H Davis tahun 1980. Pada instrumen IRI terdapat 28 nomor tes yang
menggunakan skala likert mulai dari sangat tidak sesuai sampai dengan sangat sesuai.

Sebelumnya, akan dilakukan uji validitas terlebih dahulu yang bertujuan untuk
menunjukkan sejauh mana tingkat validasi pada instumen. Pada instrumen penelitian
eksperimen nantinya dengan melakukan beberapa kali uji coba pada sasaran penelitian
eksperimen. Kemudian, validitas akan diuji menggunakan teknik korelasi product
momen Pearson dengan menggunakan aplikasi SPSS program IBM SPSS Version 25 for
Windows. Setelah itu, akan dilakukan uji reliabilitas untuk menguji sejauh mana sebuah
instrumen dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas instrumen nantinya akan dilakukan
dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan aplikasi
SPSS program IBM SPSS Version 25 for Windows.

3.7. Analisis Data


Data yang telah terkumpul nantinya akan dianalisis menggunakan program IBM SPSS
Version 25 for Windows dengan melakukan 3 tahapan untuk mendapatkan hasil, yakni :
a. Uji normalitas, bertujuan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul termasuk
data yang normal atau tidak normal.
b. Uji homogenitas, bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata empati pada
kelompok eksperimen yang telah diberi intervensi berupa cinema therapy dan kelompok
kontrol yang tidak diberikan intervensi.
c. Uji independent sample t-test, betujuan untuk mengetahui perbedaan rata-rata yang
ada antara dua kelompok yang tidak berpasangan agar dapat mengetahui apakah
signifikan atau tidak berdasar nilai rata-rata dua kelompok yang ada.
DAFTAR RUJUKAN

Alan, Auliyah, Flurentin, Elia. 2016. Efektifitas Penggunaan Media Film Untuk meningkatkan
Empati Siswa Kelas VII SMP. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling. Vol 1, No. 1.

Ali, Mohammad, Asrori Mohammad. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.

Citra, Yulia. 2020. Efektivitas Teknik Cinema Therapy Untuk Meningkatkan Empati Remaja di
Desa Malela Kecamatan Suli. Skripsi : Institut Agama Islam Negeri Palopo.

Ernie, Ulviatun. 2016. Upaya Peningkatan Sikap Empati Melalui Teknik Photovoicepada Siswa
Kelas X Jurusankriya Kulit Di Smk Negeri 1 Kalasan. Skripsi :Universitas Negeri Yogyakarta.

Fauziah, Nailul. 2014. Empati, Persahabatan, dan Kecerdasan Adversitaspada Mahasiswa Yang
Sedang Skripsi. Jurnal Psikologi Undip. Vol.13(1).

Indriasari, Emi. 2016. Meningkatkan Rasa Empati Siswa Melalui Layanan Konseling Kelompok
Dengan Teknik Sosiodrama Pada Siswa Kelas Xi Ips 3 Sma 2 Kudus. Jurnal Konseling
GUSJIGANG Vol.2 No.2.

Irma,Rosalinda, dkk. 2016. Efektifitas Film dengan Tema Pertemanan dalam Peningkatan
Kualitas Hubungan Pertemanan Di SMAN 1 Kota Serang. Skripsi Universitas Negeri Jakarta.

Jasmine, A.S. 2016. Pengaruh Terapi Film (Cinema therapy) Terhadap Peningkatan Swakelola
Belajar Pada Siswa Kelas 8 SMPN 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta :
Universitas Negeri Yogyakarta.

Purwanto.2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta:


Puataka Belajar.

Suwanto, Insan, Tamyizatun Nisa, Athia. 2017. Cinema therapy sebagai intervensi dalam
konseling kelompok,” jurnal Proceedings Jambore Konselor No. 3.

Sutardi, Agus. 2018. Efektivitas Bimbingan Dengan Menggunakan Teknik Cinematherapy


Untuk Mengingkatkan Motif Berprestasi Peserta Didik. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam.
Vol 08(1). 67-85.

Anda mungkin juga menyukai