Anda di halaman 1dari 17

Prasangka Menimbulkan Penurunan Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penegak

Hukum Ismail Shaleh Ruslin Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Pangkajene, Sulawesi Selatan
Mahasiswa Universitas Terbuka Program Studi Ilmu Administrasi Negara-S1
ruslinismailshaleh@gmail.com Abstrak Prasangka (prejudice) dapat terjadi terhadap orang, etnis,
ras, gender, agama, partai politik, dan lain-lainnya. Myers (1999:336) menunjukkan prasangka
sebagai sesuatu yang negatif, ”Prejudice is a negative prejudgment of a group and its individual
members”. Penilaian negatif seperti inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat terhadap aparat
penegak hukum di Indonesia. Pembetukan prasangka tersebut dapat kita analisa dari pendekatan
sejarah, pendekatan sosiokultural, pendekatan situasional dan pendekatan stimulus objek.
Meskipun sebenarnya hanya beberapa oknum dari aparat penegak hukum yang malakukan
perbuatan negatif, namun masyarakat tetaplah memiliki penilaian negatif terhadap penegak hukum
secara institusional. Sebagai akibat dari prasangka tersebut dapat terjadi penurunan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Selain itu, dampak negatif yang dapat terjadi
terhadap aparat penegak hukum adalah diskriminasi dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Kata
Kunci: Prasangka, Pembentukan Prasangka, Penegak Hukum PENDAHULUAN Manusia merupakan
subjek hukum selama ia masih hidup, yaitu sejak saat dilahirkan sampai meninggal dunia (Peter
Mahumud Marzuki, 2008:202). Hal tersebut menggambarkan bahwa manusia sebagai anggota
masyarakat dalam kehidupannya akan senantiasa berhadapan dengan peristiwa hukum 240
Indonesia yang Berkeadilan Sosial tanpa Diskriminasi dan tentunya dengan penegak hukum. Dalam
hubungannya dengan aparat penegak hukum, masyarakat memiliki presepsi masing-masing
terhadap para aparat tersebut. Dari presepsi pribadi inilah yang kemudian berkembang menjadi
sebuah penilaian yang bersifat negatif yakni prasangka terhadap penegak hukum. Prasangka yang
berkembang di tengah masyarakat tidak tercipta begitu saja, namun terdapat beberapa penyebab
sehingga masyarakat dapat berprasangka terhadap suatu objek. Objek prasangka dalam tulisan ini
adalah aparat penegak hukum dan tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penyebab prasangka
dapat timbul ditengah masyarakat. Dalam tulisan ini akan diidentifikasikan pembentukan prasangka
terhadap penegak hukum dari pendekatan historis, sosiokultural, situasional dan stimulus objek
yang menimbulkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. KAJIAN
LITERATUR 1. Pengertian Prasangka Prasangka (prejudice) bisa terjadi terhadap orang, etnis, ras,
gender, agama, partai, polisi, pejabat pemerintah, dan lain-lain. Memang bila berbicara mengenai
prasangka umumnya prasangka itu adalah sikap yang negatif terhadap objek sikap. Definisi yang
dikemukakan oleh Myers (1999:336) secara jelas menunjukkan prasangka sebagai sifat negatif.

1
Prejudice is a negative prejudgment of a group and its individual members. Dari definisi Myers ini
dapat dipahami bila prasangka itu negatif karena keputusan atau penilaian individu atau kelompok
yang berprasangka terhadap kelompok lain, misalnya tidak didasari oleh suatu analisis yang cermat
dan didukung oleh data, melainkan bersikap a priori. Hal ini bukan hanya tampak dari kata negative,
tetapi juga ada kata lain yang memperkuat, yaitu prejudgment dalam definisi Myers ini. Selanjutnya
mengapa prasangka berakibat negatif terhadap hubungan antar pribadi dan hubungan antar
kelompok? Jawabannya adalah karena suatu prasangka didasari oleh stereotipe (stereotype), sifat
yang diyakini melekat pada suatu kelompok atau anggota kelompok. Sebagai sumber prasangka,
stereotipe bersifat tidak adil, tidak cermat, dan memukul rata secara serta merta
(overgeneralization) suatu gejala. Indonesia yang Berkeadilan Sosial tanpa Diskriminasi 241 2.
Pembentukan Prasangka Gordon W. Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1958)
mengemukakan enam penyebab atau pendekatan prasangka mulai dari yang sifatnya makro sampai
dengan yang sifatnya mikro. Selanjutnya, meskipun masing-masing pendekatan prasangka ini
berbeda penekanannya, namun untuk memahami fenomena prasangka secara utuh, Allport
beranggapan bahwa keenam pendekatan ini saling melengkapi. a. Pendekatan Sejarah Terkesan
oleh perjalanan sejarah yang panjang mengenai terjadinya prasangka saat ini, para sejarawan
menekankan bahwa pemahaman prasangka tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah
hubungan antara dua kelompok di masa lalu. Secara lebih mendalam latar belakang sejarah
prasangka suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lainnya ini ditentukan oleh bagaimana
hubungan awal antara kedua etnis tersebut dan sifat imigrasi yang terjadi (Paris, 1950). b.
Pendekatan Sosiokultural Penekanan pada aspek sosiokultural dalam menjelaskan prasangka
dikemukakan oleh para pakar sosiologi dan antropologi. Seperti halnya pada pakar sejarah, mereka
meyakini bahwa terjadinya prasangka tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural. Konteks
sosiokultural dimaksud meliputi fenomena urbanisasi, mobilitas sosial, kompetisi, persaingan,
konflik antar kelompok, serta perubahan fungsi dan peran keluarga dan hubungannya dengan
perubahan standar moralitas. c. Pendekatan Situasional Jika pada pendekatan historis mengenai
prasangka, penekanannya pada kondisi masa lalu maka penekanan pendekatan situasional adalah
pada kondisi saat ini. Dalam menjelaskan prasangka, pendekatan situasional memusatkan perhatian
pada kekuatan yang berasal dari lingkungan sebagai penyebab pasangka. d. Pendekatan
Kepribadian dan Psikodinamika Pendekatan kepribadian dan psikodinamika menekankan proses
internal yang terjadi pada diri individu. Pendekatan kepribadian dan psikodinamika memandang
prasangka sebagai hasil konflik internal ketidakmampuan individu menyesuaikan diri. Selain itu,

2
pendekatan 242 Indonesia yang Berkeadilan Sosial tanpa Diskriminasi psikodinamika
mengemukakan dua alasan. Pertama, prasangka berakar pada kondisi manusia karena dalam
kehidupan sehari-hari, frustasi tidak dapat dihindari. Kedua, prasangka hanya berkembang pada
orang-orang yang kepribadiannya lemah. e. Pendekatan Fenomenologis Pendekatan fenomenologis
menekankan penyebab prasangka bukan pada dunia objektif, melainkan lebih jauh lagi ke dalam
presepsi individu mengenai dunianya. Bagaimana cara pandang atau memeresepsikan orang atau
kelompok lain akan menjadi dasar prasangkanya. Selanjutnya dengan pendekatan fenomenologis
akan diperoleh gambaran sebab akibat dari perilaku prasangka. f. Pendekatan Stimulus Objek
Pendekatan stimulus objek menekankan pada objek prasangka. Dengan kata lain, sumber
prasangka bukan terletak pada pengamat atau orang yang berprasangka, melainkan pada
karakteristik dan perilaku yang ditampilkan oleh objek prasangka itu sendiri. PEMBAHASAN 1.
Pembentukan Prasangka Masyarakat Terhadap Penegak Hukum Prasangka masyarakat terhadap
penegak hukum pada mulanya berawal dari presepsi masing-masing anggota masyarakat yang
kemuadian berkembang menjadi prasangka yang bersifat negatif. Menurut Gordon W. Allport
terdapat enam pendekatan yang menyebabkan terbentuknya prasangka, namun dalam tulisan ini
sehubungan dengan penegak hukum sebagai ojek prasangka maka akan diidentifikasi berdasarkan
empat pendekatan, yakni pendekatan sejarah, sosiokultural, situasional dan stimulus objek. a.
Pendekatan Sejarah Masyarakat dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari kejadian di masa
lampau. Pengalaman tidak menyenangkan dengan penegak hukum di masa lalu, baik yang dialami
secara langsung atau pun tidak, akan memberikan kesan negatif masyarakat terhadap penegak
hukum yang akan melekat dan susah untuk dilepaskan bahkan berkembang menjadi sebuah
prasangka. Meskipun kejadian tersebut sudah berlalu, namun ketika masyarakat kembali
berhadapan dengan aparat penegak Indonesia yang Berkeadilan Sosial tanpa Diskriminasi 243
hukum, maka prasangka tersebut seketika akan kembali dan terus memberikan penilaian negatif
terhadapnya. Prasangka tersebut akan semakin berkembang dan sulit untuk dihilangkan ketika
pengalaman semacam itu berulang-ulang terjadi di masa lalu, sehingga akan memberikan efek
prasangka yang lebih besar lagi saat ini. b. Pendekatan Sosiokultural Prasangka masyarakat
terhadap penegak hukum dari segi sosiokultural banyak ditimbulkan dari konflik yang terjadi antara
masyarakat dan penegak hukum. Prasangka sebagai akibat dari konflik kelompok masyarakat
dengan penegak hukum akan lebih cepat terbentuk sebab penilain terhadap penegak hukum
tersebut bukan hanya dimilki oleh satu atau dua orang saja, tetapi hampir semua anggota
masyarakat memiliki penilaian yang sama terhadap penegak hukum saat terjadi konflik dengan

3
kelompok masyarakat. Oleh sebab itu faktor sosiokultural sangat berperan dalam pembentukan
prasangka terhadap penegak hukum. c. Pendekatan Situasional Keterbukaan informasi publik yang
didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunsikasi semakin memudahkan masyarakat
untuk mengakses informasi baik melalui koran, siaran radio, tayangan televisi, atau pun akses
internet. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi logis bahwa masyarakat dapat mengontrol kinerja
penegak hukum dengan mudah. Dewasa ini, pemberitaan sering kali dihangatkan oleh ulah oknum
penegak hukum yang merugikan negara dan masyarakat seperti korupsi dan aksi suap penegak
hukum, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya. Situasi yang terjadi saat ini akan
memberikan penilaian negatif yang menjadi prasangka masyarakat terhadap penegak hukum. d.
Pendekatan Stimulus Objek Pada pendekatan ini, prasangka ditimbulkan oleh objek prasangka yakni
penegak hukum, bukan masyarakat sebagai pengamat atau yang berprasangka. Hal tersebut dapat
terjadi dikarenakan beberapa oknum aparat penegak hukum menunjukkan perilaku atau
karakteristik yang dianggap negatif oleh masyarakat. Dari penilaian terhadap beberapa oknum
tersebutlah masyarakat memiliki prasangka negatif terhadap penegak hukum. 244 Indonesia yang
Berkeadilan Sosial tanpa Diskriminasi 2. Akibat Prasangka Masyarakat Terhadap Penegak Hukum
Secara Institusional: Penurunan Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penegak Hukum Pada
dasarnya masyarakat memberikan penilaian negatif hanya kepada beberapa oknum aparat penegak
hukum saja. Namun, dikarenakan beberapa faktor seperti kejadian yang berulang-ulang dan
generalisasi yang dilakukan oleh masyarakat menyebabkan prasangka tersebut ditujukan kepada
penegak hukum secara institusional. Sebagai akibat prasangka masyarakat terhadap penegak
hukum, maka yang terjadi adalah penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak
hukum. Hal tersebut terlihat berdasarkan data ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum semakin
meningkat secara signifikan dari tahun 2010 sampai tahun 2013, pada Januari 2010: 37.4%, Oktober
2010: 41.2%, September 2011: 50.3%, Oktober 2012: 50.3% dan April 2013 56.0%. Prasangka
masyarakat terhadap penegak hukum juga mengakibatkan diskriminasi yang dialami oleh aparat
penegak hukum dalam pergaulan sehari-hari. Ketika kembali ke tengah-tengah masyarakat, tidak
sedikit masyarakat yang terkesan menjaga jarak terhadap aparat penegak hukum. Penurunan
tingkat kepercayaan dan diskriminasi dalam kehidupan sosial terhadap penegak hukum merupakan
dampak negatif dari prasangka yang ditimbulkan karena sejumlah oknum saja tetapi berdampak
secara institusional terhadap para penegak hukum. PENUTUP Prasangka yang berkembang di
tengah masyarakat terhadap penegak hukum dapat terbentuk berdasarkan pendekatan sejarah,
sosiokultural, situasional dan stimulus objek dan dapat saling menlengkapi di antara pendekatan

4
tersebut. Prasangka yang pada dasarnya dikarenakan oleh sejumlah oknum saja harus
menimbulkan akibat secara institusional berupa penurunan tingkat kepercayaan masyarakat dan
diskriminasi dalam kehidupan sosial terhadap penegak hukum. Indonesia yang Berkeadilan Sosial
tanpa Diskriminasi 245 DAFTAR PUSTAKA Markum, Enoch M. (2011). Psikologi Sosial. Jakarta:
Universitas Terbuka. Marzuki, Peter M. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.
Prawironegoro, Y. (2013, April 9). Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penegak Hukum Semakin
Rendah. Radio Republik Indonesia. Retrieved from
http://www.rri.co.id/post/editorial/105/editorial/kepercayaan_masyar
akat_terhadap_penegakan_hukum_semakin_rendah.html

5
PENGERTIAN, KATA, DAN TERM

Pengertian:

1. Kegiatan akal budi yang pertama adalah menangkap ‘sesuatu’

sebagaimana adanya.

2. Mengerti berarti menangkap inti sesuatu yang dapat dibentuk oleh akal
budi. Apa yang dibentuk akal budi tersebut merupakan gambaran yang
‘ideal’ atau ‘konsep’ tentang ‘sesuatu’ tersebut.
3. Pengertian, adalah tanggapan atau gambaran akal budi yang abstrak,
yang batiniah, tentang inti sesuatu.
4. Setelah akal membentuk pengertian, misalnya pengertian ‘kucing’,
maka dengan pengertian itu seseorang dapat berpikir dan/atau berbicara
tentang kucing, tanpa menunjukkan seekor kucing yang kongkrit lagi,
karena ‘kucin’itu seakan telah berada di dalam akal-budi, yaitu dengan
perantaraan konsep atau pengertian tentang ‘kucing’itu.

Kata:

6
1. Berpikir terjadi dengan menggunakan kata-kata akal budi. Kata-kata
digunakan untuk menyatakan atau melahirkan apa yang dipikirkan.
2. Kata merupakan tanda lahiriah (ucapan suara yang diartikulasikan
atau tanda yang tertulis) untuk menyatakan pengertian dan barangnya.
Misalnya pernyataan ‘kucing makan tikus’, apa yang diungkapkan
dalam pernyataan itu meliputi baik ‘pengertiannya’ maupun ‘bendanya’
yang konkrit.
3. Namun harus dicatat, ‘kata itu tidak sama dengan pengertian’. Sering
kali orang memakai kata-kata yang berlainan untuk menunjukkan

‘pengertian’ atau ‘kenyataan’ yang sama (misalnya:


biaya=ongkos,
sebab, karena, dan sebagainya). Singkatnya, kata-kata adalah ekspresi
dan tanda pengertian, tetapi tanda yang tidak sempurna. Pemakaian
kata yang salah kerapkali menjadi sumber kesalahpahaman. Oleh karena
itu, sangat penting untuk menyadari kata-kata yang dipakai, yaitu
pengertian apa yang dipakai di dalamnya dan kenyataan apa yang
hendak ditunjukkan dengan kata tersebut.

7
Term:

1. Pengertian (kata) dapat juga dilihat dari sudut fungsinya dalam suatu
keputusan (kalimat).
2. Pengertian (kata) dapat berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam
suatu keputusan (kalimat).

3. Term adalah kata atau rangkaian kata yang berfungsi sebagai


subyek atau predikat dalam suatu keputusan (kalimat). Misal
‘kucing itu tidur’; kata ‘kucing’ merupakan ‘subyek’, dan kata ‘tidur’
merupakan ‘predikat’nya. Dalam logika, kata-kata hanya penting
sebagai term, artinya kata-kata itu hanya penting sebagai subyek atau
predikat dalam suatu kalimat.

4. Term bisa berupa term tunggal atau term majemuk. Term itu
tunggal apabila hanya atas satu kata saja, misalnya ‘binatang’,
‘membeli’, ‘mahal’, ‘kucing’, dan seterusnya. Term itu
majemuk,
apabila terdiri dari dua atau tiga kata, dan bersama-sama merupakan
suatu keseluruhan, menunjukkan satu dan berfungsi sebagai subyek atau
paredikat dalam suatu kalimat, misal ‘jam dinding itu mati’, ‘lapangan
bola kaki itu penuh rumput’, dan seterusnya.

Isi dan Luas Pengertian:

1. Isi suatu pengertian (kata atau term) sering disebut komprehensi,


sedangkan luas suatu pengertian disebut ekstensi. Komprehensi
kadang juga disebut konotasi atau intensi, sedangkan ekstensi kadang
disebut denotasi.

8
2. Isi suatu pengertian dapat dicari dalam inti pengertian, sedangkan luas
suatu pengertian dapat dicari dalam benda atau hal mana yang
ditunjukkan dengan pengertian itu.
3. Isi pengertian (kata atau term) adalah semua unsur yang termuat
dalam suatu pengertian, yang meliputi kualitas, karakteristik, dan
keseluruhan arti yang tercakup dalam suatu term.
4. Isi pengertian, dapat ditemukan dengan menjawab pertanyaan:
manakah bagian-bagian (unsur-unsur) suatu pengertian tertentu.
Pengertian atau term ‘manusia’ misalnya, mengandung unsur-unsur
pokok seperti ‘rasional’, ‘beradab’, ‘berbudaya’, ‘berada’, ‘material’,

‘berbadan’, ‘hidup’, ‘dapat berbicara’, ‘makhluk sosial’ dan


seterusnya. ‘Pegawai Negeri’, pengertian atau term ‘pegawai negeri’
meliputi: ia adalah seorang manusia, mempunyai pekerjaan tertentu,
tidak secara kebetulan saja, memiliki jabatan tertentu, gajinya dibayar

9
pemerintah, diangkat oleh pemerintah, ada surat keputusan pemerintah,

dn sebagainya’.

5. Luas pengertian (kata atau term), adalah benda-benda (lingkungan


realitas) yang dapat dinyatakan oleh pengertian tertentu. Kenyataan
menunjukkan bahwa: (1) setiap pengertian mempunyai daerah
lingkungannya sendiri. Misal, pengertian atau term ‘manusia’ adalah
semua manusia tanpa pengecualian dan pembatasan apa pun; pengertian
atau term ‘kuda’ menunjukkan hanya semua makhluk (hewan) tertentu
yang dinyatakan oleh pengertian itu dan bukan makhluk (hewan
lainnya); (2) pengertian-pengertian itu juga tidak sama luasnya. Misal,
pengertian ‘hewan’ lebih luas dari pengertian ‘kuda’. Dengan demikian
pengertian ‘kuda’ merupakan bawahan dari pengertian ‘hewan’. Kata

‘makhluk’ lebih luas dari kata ‘manusia’, dan ‘fulan’.

6. Luas pengertian, juga dibedakan ke dalam: (1) luas yang mutlak, dan
(2) luas yang fungsional. Luas yang mutlak adalah luas pengertian
terlepas dari fungsinya dalam kalimat; sedangkan luas yang fungsional
adalah luas pengertian dilihat dari sudut fungsinya, yaitu sebagai subyek
atau predikat dalam kalimat tertentu.

7. Hubungan antara isi dan luas suatu pengertian atau term, dapat
dirumuskan sebagai berikut:

- Semakin banyak isinya (komprehensi bertambah), semakin kecil luas


(derah lingkupnya atau ekstensinya); semakin banyak (besar) isinya,
akan menjelaskan bahwa ‘sesuatu’ atau ‘benda’ itu semakin konkrit,
nyata, dan tertentu; sebaliknya

1
0
- Semakin sedikit isinya (komprehensinya berkurang), semakin luas
lingkungannya (daerah lingkupnya ekstensinya). Atau

- Apabila ekstensinya bertambah, komprehensinya akan berkurang;


dan apabila ekstensi berkurang, komprehensinya akan
bertambah. Lihat gambar.

1
1
Benda Substansi mineral, tumbuhan, binatang, manusia

Benda Substansi yang tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia

Hidup Hidup dan


Bertumbuh serta
Bernafas
Hewan

Substansi yang hidup, binatang dan manusia

Manusia Bertumbuh, bernafas, bergerak,


Berjiwa, dan berperasaan

Sarjana

Pembagian Kata:

1. Kata, seperti sudah dikatakan, merupakan pernyataan lahiriah dari


pengertian. Namun demikian, kata tidak sama dengan pengertian
atau term. Pengertian yang sama sering kali dinyatakan dengan kata-
kata yang berbeda. Sebaliknya, kata-kata yang sama sering kali
menyatakan pengertian yang berbeda beda pula.

1
2
2. Arti setiap kata dapat dilihat dari dua sudut: (1) arti kata dilihat
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, dan (2) arti kata dilihat dari sudut
fungsinya dalam kalimat yang kongkrit. Untuk yang kedua ini biasanya
disebut ‘suposisi’ term, yaitu arti khusus suatu term dalam kalimat
yang tertentu, dipandang dari sudut arti, isi, dan luasnya.

1
3
3. Kata (term), kalau dilihat dari sudut arti, adalah sebagai berikut:

a. Univok (sama suara, sama artinya), artinya ‘kata’ yang


menunjukkan pengertian yang sama pula. Misalnya ‘kucing’, hanya
menunjukkan ‘pengertian’ yang dinyatakan oleh kata itu saja;

b. Ekuivok (sama suara, tetapi tidak sama artinya), artinya ‘kata’


yang menunjukkan pengertian yang berlain-lainan. Kata
‘genting’
misalnya, menunjukkan arti ‘atap rumah’, tetapi juga ‘suatu
keadaan gawat’; kata ‘kambing hitam’ misalnya, menunjukkan arti

‘kambing yang berwarna hitam’ dan ‘orang yang dikorbankan atau


orang yang dipersalahkan’.
c. Analog (sama suara, sedangkan artinya di satu pihak ada
kesamaannya, di lain pihak ada perbedaannya), artinya ‘kata’ yang
menunjukkan banyak barang yang sama, tetapi serentak juga
berbeda-beda dalam kesamaannya itu. Kata ‘ada’ misalnya, apabila
kata itu dikenakan pada ‘Tuhan’, ‘manusia’, dan ‘hewan’, di satu
pihak sama artinya; tetapi di satu pihak tidak sama artinya, karena
terdapat perbedaan antara cara ‘berada’ nya Tuhan dan berada’ nya
manusia maupun hewan.

Term analog, dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu atributif


dan proporsional.
- Term analog atributif adalah term yang terutama digunakan
dalam arti sesungguhnya, namun digunakan pula untuk hal-hal

1
4
yang lain, karena hal-hal lain itu memiliki hububungan tertentu
dengan arti yang sesungguhnya. Misalnya, kata ‘sakit’ dalam
arti
yang sesungguhnya adalah untuk orang atau binatang; jika
digunakan untuk rumah, menjadi ‘rumah sakit’, maka ‘rumah
sakit’ itu memiliki hubungan yang tertentu dengan orang sakit.

- Term analog proporsional adalah term yang digunakan untuk


beberapa hal yang berbeda namun memiliki kesamaan yang
sebanding. Misalnya, kata ‘daun tumbuh-tumbuhan’ dan kata
daun untuk meja (daun meja), untuk telinga (daun telinga),
untuk pintu (daun pintu), untuk gadis (daun muda), dan
sebagainya.

1
5
4. Kata (term), kalau dilihat dari sudut isi, adalah sebagai berikut:

a. Abstrak, ‘kata’ yang menunjukkan suatu bentuk atau sifat tanpa


bendanya (misalnya ‘kemanusiaan’, ‘keindahan’), dan kongkrit,
‘kata’ yang menunjukkan suatu benda dengan bentuk atau sifatnya
(missal, ‘manusia’).
b. Kolektif, ‘kata’ yang menunjukkan kelompok (misalnya, ‘tentara’),
dan individual, ‘kata’ yang menunjukkan suatu individu saja (misalnya,
‘Dadan’ = nama seorang anggota tentara).

c. Sederhana, ‘kata’ yang terdiri dari satu cirri saja (misalnya, ‘ada’,
yang tidak dapat diuraikan lagi, dan jamak, ‘kata’ yang terdiri dari
beberapa atau banyak cirri (misalnya, ‘manusia’, yang dapat
diuraikan menjadi ‘makhluk’ dan ‘berbudi’.

5. Kata (term), kalau dilihat dari sudut luas, adalah sebagai berikut:

a. Term singular. Term ini dengan tegas menunjukkan satu individu,


barang atau golongan yang tertentu. Misalnya, ‘Slamet’, ‘orang itu’,

‘kesebelasan itu’, ‘yang terpandai’, dan sebagainya.


b. Term partikular. Term ini menunjukkan hanya sebagian dari
seluruh luasnya; artinya menunjukkan lebih dari satu, tetapi tidak semua
bawahannya. Misalnya, ‘beberapa mahasiswa’, ‘kebanyak orang’,
‘empat orang pemuda’, dan sebagainya.

c. Term universal. Term ini menunjukkan seluruh lingkungan dan


bawahannya masing-masing, tanpa ada yang terkecualikan. Misalnya,
‘semua orang’, ‘setiap dosen’, ‘kera adalah binatang’, dan sebagainya.

6. Nilai-Rasa dan Kata-kata Emosional, dinyatakan oleh Poespoprodjo,


termasuk dalam arti kata. Bahasa adalah sesuatu yang hidup, suatu
1
6
ekspresi dari manusia yang hidup pada saat yang sama merupakan alat
komunikasi antarmanusia yang hidup bersama. Kata-kata bukan hanya
menunjukkan kenyataan/fakta-fakta/barang-barang yang obyektif, tetapi
dapat menyatakan sikap dan atau perasaan terhadap kenyataan obyektif itu.
Bandingkan diantara kata ‘kau, kamu, Saudara, Anda, Tuan, Paduka,
lu, maneh, ente, antum, dan seterusnya.

Sumber:

Alex Lanur. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

W. Peospoprodjo dan T. Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib,


Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. Bandung: Pustaka Grafika, 2011.

1
7

Anda mungkin juga menyukai