Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 2

KRIMINOLOGI

E. H. SUTHERLAND
Kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena
social,termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang ,
dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
Merumuskan, (The Body of Knowledge regarding crime as social Phenomenon) kriminologi
sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebgai gejala
sosial. menurut SUTHERLAND Kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum,
pelanggaran hukum dan reaksi atas pelnggaran hukum. sehingga olehnya dibagi menjadi empat
yaitu:
1. Sosiologi Hukum cabang kriminologi ini merupakan analisis ilmiah atas kondisi
perkembangan hukum pidana. Dalam pandangan sosiologi hukum, bahwa kejahatan itu
dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan suatu perbuatan itu
merupakan kejahatan, adalah hukum.
2. Etiologi Hukum yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab
kejahatan.
3. Penologi ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukan hak-hak yang
berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupu preventif.
4. Etiologi Hukum yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab
kejahatan.
Pengertian asosiasi diferensial, oleh Sutherland dimaksudkan bahwa, tidak berarti bahwa hanya
kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan perilaku criminal, tetapi yang
terpenting adalah 2 sisi dari proses komunikasi dengan orang lain. Munculnya teori asosiasi
diferensial ini didasarkan pada tiga hal, yaitu:
a. Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat
dilaksanakan
b. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan
ketidak harmonisan.
c. Konflik budaya (Conflick of Cultures ) merupakan prinsip dasar dalam
menjelaskan kejahatan.
Untuk lebih jelasnya, Teori Differential Associationyang dikemukakan oleh Sutherland dalam
versi kedua adalah sebagi berikut :
1. Criminal behavior is learned(Perilaku kejahatan dipelajari).
2. Criminal bahavoir is learned in interaction with other person of communication(Perilaku
kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi).
3. The principle of the learning of criminal behavior occurs within intiminate personal
groups(Dasar pembelajaran perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim).
4. When criminal behavior is learned, the learning includes,
a. techniques of commiting the crime, which are very complicated, sometimes very
simple (teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-
kadang sangat sederhana)
b. the specific direction of motives, drives, rationalization, and attitudes (Ketika
perilaku jahat dipelajari, pembelajaran itu termasuk pulaarah khusus dari motif,
dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap).
5. The specificdirection of motives and drives is learned from the definition of legal code as
favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi
aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan).
6. A person bcomes delinquent because of definition favorable of violation of law
definitions unfavorable to violation of law(Seseoang menjadi delinquen disebabkan
pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap
hukum melebihi definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum).
7. Differential Association may very in frequency, duration, priority and intencity (Asosiasi
yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan
intensitas).
8. 8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all the mechanism that are involved in any other learning
(Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan
dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran
lainnya).
9. While a criminal behavior is an axplanition of general needs and values, it is not
explained by those general needs and values since non criminal behavior is an
explanation of the same need and values (walaupun perilaku jahat merupakan
penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi hal itu tidak
dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku
non criminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama
Sutherland menekankan bahwa semua tingkah laku dipelajari. Dengan kata lain, pola perilaku
jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Menurut teori
asosiasi diferensial tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan
komunikasi. Yang dipelajari dalam kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan
dan alasan (nilai-nilai, motif, rasionalisasi dan tingkah laku) yang mendukung perbuatan jahat
tersebut. Sutherland berhipotesis bahwa perilaku kriminal, baik meliputi teknik kejahatan,
motif, dorongan, sikap, dan rasionalisasi yang nyaman, dipelajari melalui asosiasi yang
dilakukan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat, termasuk norma hukum.

W. A. Bonger (1970)
Memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki
kejahatan seluas-luasnya”. Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi
ke dalam dua aspek:
1. Kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan
manfaat praktisnya.
2. Kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti
ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan
mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku
pada kriminologi.
Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa
kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).
1. Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari
segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial.
Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan
(etiologi sosial)
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek
psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan
pada aspek kepribadiannya.
4. Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang
kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti
penghukuman, dan manfaat penghukuman.
6. Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam
menanggulangi kejahatan.
7. Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya
suatu peristiwa kejahatan
Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan
sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
Menurut W.A Bonger mazhab atau aliran kriminologi ada 4 yaitu:
1. Mazhab Italia atau mazhab antropologi dengan tokoh C. Lombroso yang mengemukakan
bahwa para penjahat dipandang dari sudut antropologi mempunyai tanda-tanda
tertentu.
2. Mazhab Perancis atau mazhab lingkungan dengan tokoh A. Lacassagne dengan ajaran
bahwa keadaan sosial sekeliling adalah pembenihan kejahatan.
3. Mazhab Bio-Sosiologi dengan tokoh Ferri yang mengajarkan bahwa tiap Kejahatan
adalah hasil unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik.
4. Mazhab Spiritualis dengan tokoh M De Baets dengan ajarannya bahwa makin meluasnya
kriminal pada masyarakat lapisan atas juga pada masyarakat lapisan bawah,
pengasingan diri pada Tuhan serta pandangan hidup dan dunia yang berdasarkan ini
sama saja kosong dalam hal dorongan moral sehingga merupakan dasar yang hitam
yaitu kebusukan dan kejahatan berkembang pesat.
Teori Bonger, memaparkan ada tujuh macam penyebab kejahatan, yaitu terlantarnya anak-
anak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, demoralisasi seksual, alkoholoisme, rendahnya budi
pekerti, dan perang.

Menurut saya yang membuat terjadinya semakin marak penipuan melalui media sosial karena
faktor ekonomi dan lingkungan pergaulan. Menelaah dari teori oleh Bonger bahwa maraknya
penipuan melalui media sosial karena tuntutan ekonomi sehingga timbul keinginan dari diri
seseorang tersebut untuk berbuat jahat. Dan menurut Sutherland karena pergaulan yang salah
dimana melalui media sosial pelaku berhubungan dengan pelaku penipu yang lain atau karena
keingin tahuannya pelaku belajar secara otodidak melalui internet.

Sumber :
- https://selembar.com
- http://digilib.unhas.ac.id
- http://jurnal.unpad.ac.id

Anda mungkin juga menyukai