Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM

KAJIAN TEORI HUKUM REPRESIF DAN RESTITUTIF TERHADAP


TINDAK PIDANA PEMBEGALAN

OLEH :

VINSENSIUS TOMMY WIJAYA JAPOLA

NIM : 2015.06.2.0046

MINAT STUDI HUKUM KESEHATAN

PROGRAM STUDI MAGSITER HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kriminalitas atau kejahatan itu bukan merupakan peristiwa herediter
(bawaan sejak lahir,warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah
laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria
dapat berlangsung pada usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak
kejahatan bisa dilakukan secara tidak sadar, yaitu difikirkan, direncanakan dan
diarahkan pada satu maksud tertentu secara sadar benar.
Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar; misalnya didorong oleh
impuls-impuls yang hebat, didera oleh dorongan-dorongan paksaan yang
sangat kuat (kompulsi-kompulsi), dan oleh obsesi-obsesi.
Kejahatan akan terus bertambah dengan cara berbeda-beda bahkan
dengan peralatan yang semakin canggih dan modern sehingga kejahatan akan
semakin meresahkan masyarakat saat ini. Masalah
kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena ia
berkembang sejalan dengan berkembangnya tingkat peradaban umat manusia
yang semakin kompleks. Sejarah perkembangan manusia sampai saat ini telah
ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya,
dimana kekerasan sebagai salah satu fenomena dalam usaha mencapai tujuan
suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat
perseorangan untuk mempertahankan hidup tersebut. Berkaitan dengan
kejahatn, maka kekerasan merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu
sendiri.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Begal diartikan sebagai
penyamun, sementara membegal adalah merampas dijalan kemudian
pembegalan adalah proses, cara, perbuatan membegal atau perampasan
dijalan. Jadi Begal merupakan suatu perbuatan merampas, merampok dengan
cara paksa menggunakan kendaraan bermotor dan senjata tajam.
Hukum Pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan
kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang
meresahkan dan merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada
khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara
preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Namun upaya preventif
tidak efektif untuk dilaksanakan jika kita tidak mengetahui apa sebenarnya
yang menjadi faktor tindak pidana tersebut terjadi dan apa alasan dari
seseorang melakukan tindak pidana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Solidaritas sebagai fakta sosial

Fakta sosial menurut Emile Durkheim adalah suatu cara bertindak


yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar; atau suatu cara
bertindak yang umu dalam suatu masyarakat yang berwujud dengan
sendirinya bebas dari manifestasi individual.

Berdasarkan definisi ini, fakta sosial memiliki empat karakteristik


penting diantaranya:
1. Sesuatu yang berwujud di luar individu;
2. Melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu;
3. Bersifat luas atau umum; dan
4. Bebas dari manifestasi, atau melampaui manifestasi individu.

Fenomena solidaritas menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan


antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.
Solidaritas dalam masyarakat dibagi menjadi 2 jenis yaitu solidaritas
mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis adalah tipe solidaritas
ada pada masyarakat dengan ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial,
memiliki latar belakang sama dan kedudukan semua anggota sama.
Masyarakat ini cenderung bersifat homogen, banyak memeliki kesamaan.
Dengan adanya kesamaan ini kemudian memunculkan ikatan sosial yang kuat
satu sama lain, dan ditandai dengan munculnya identitas sosial yang kuat
pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan, tidak ada penonjolan sisi
individualitas, dan setiap aspek kehidupan tidak dapat dipisahkan dari
kebersamaan.
Setiap individu cenderung memiliki kesepahaman akan kepercayaan
terhadap pola normatif. Individualitas tidak berkembang karena dihilangkan
oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Hukum represif ini
memberikan efek jera terhadap orang yang melanggarnya dan menyatakan
kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran
kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.

Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator


sifat kelompok social atau masyarakat yang di dasarkan pada solidaritas
mekanis, yakni :

a) Pembagian kerja rendah


b) Kesadaran kolektif kuat
c) Hukum represif dominan
d) Individualitas rendah
e) Konsensus terhadap pola normatif penting
f) Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang
menyimpang
g) Secara relatif sifat ketergantungan rendah
h) Bersifat primitif atau pedesaan.

Solidaritas organis terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki


kompleksitas yang tinggi. Solidaritas ini biasanya ada di masyarakat
perkotaan. Meskipun bersifat komplek dalam kehidupan sosial, namun
terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnyam
terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu:
a) Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional
b) Terdapat pembagian kerja yang spesifik,
c) Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.

Dengan adanya perbedaan diantara masyarakat akan menimbulkan


perbedaan dalam pemikiran, perbedaan inilah kemudian diikat dengan kaida
moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal.
Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada
kepetingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas ini muncul karena adanya pembagian kerja yang
bertambah besar, sehinggat tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Hal ini
disebabkan karena setiap anggota masyarakat memiliki keahlian dan
spesialisasi yang berbeda satu sama lain. Sehingga pembagian kerja ini
mengambil alih peran yang semua didasarkan oleh kesadaran kolektif.
Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh
masyarakat yang masih memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi,
kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen moral. Masyarakat yang
menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan aktifitas yang sama dan
memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, solidaritas organis di
bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian kerja. Sehingga
pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam
masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua
kegiatan spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama
lain, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang
berfungsi didasarkan pada saling ketergantungan.

2.2 Teori Hukum Represif dan Restistutif


Teori hukum bersifat represif dan restitutif dikemukakan oleh seorang
sosiolog terkenal yaitu Emile Durkheim. Di dalam teori-teorinya tentang
masyarakat, Dukrheim menaruh perhatian yang besar terdapat kaidah-kaidah
hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang dijumpai dalam
masyarakat.
Hukum yang bersifat represif dan restitutif sangat berkaitan erat
dengan jenis solidaritas yang ada pada masyarakat. Hukum bersifat represif
biasanya ada pada masyarakat dengan tipe solidaritas mekanis sedangkan
hukum bersifat restitutif biasanya ada pada masyarakat dengan tipe solidaritas
organis. Yang dimaksud dengan hukum represif adalah kaidah-kaidah hukum
yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang
melanggar kaidah-kaidah hukum yang bersangkutan. Sanksi kaidah-kaidah
hukum tersebut berkaitan hari depan dan kehormatan seorang warga
masyarakat atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya.
Yang dimaksud dengan kejahatan adalah tindakan-tindakan yang
secara umum tidak disukai atau ditentang oleh warga masyarakat. Sebagai
contoh adalah pelaku perzinahan diberikan sanksi diarak keliling desa oleh
masyarakat desa, hal ini bertujuan semata-mata karena masyarakat desa
memiliki norma yang sama dan kuat dan sangat menentang perzinahah.
Hukuman ini tidak memberikan efek pembelajaran bagi pelaku namun hanya
sekedar memberikan efek jera yaitu memberikan efek malu bagi pelaku
maupun bagi yang menyaksikan peristiwa ini.
Berbeda dengan hukum bersifat represif, hukum bersifat restitutif
adalah kaidah hukum yang bertujuan tidak semata-mata mendatangkan
penderitaan pada mereka yang melanggar, tapi juga untuk mengembalikan
kaidah pada situasi semula, sebelum terjadi pelanggaran tersebut. Hukum
bersifat restitutif seringkali ditemukan di masyarakat dengan tipe solidaritas
organis. Hal ini biasa ditemukan di masyarakat perkotaan. Tindak kejahatan
dianggap sebagai tindakan yang menyerang orang lain dan bukan merupakan
pelanggaran terhadap kesadaran kolektif dalam masyarakat. Hukum disini
berkaitan dengan upaya restitutif dan pemberian kesembuhan atas tindakan
penyimpangan yang diderita oleh korban. Hukuman dievaluasi sebagai pola
untuk menentukan hukuman apa yang paling baik dijatuhkan kepada
pelanggar dan dapat digunakan sebagai upaya rehabilitasi pelanggar.
Kemarahan kolektif menjadi tidak mungkin terjadi dalam masyarakat
dengan tipe organik, karena masyarakat sudah hidup dengan kesadaran
individual, bukan kesadaran kolektif. Sebagi gantinya masyarakat dengan tipe
solidaritas organik mengelola kehidupan secara rasional. Sebagai contohnya,
yaitu pelaku tindak pidana pada perkotaan besar diberikan sanksi pidana
sesuai dengan peraturan yang berlaku, tidak dijatuhi hukuman yang tidak jelas
asalnya dan tidak tertulis di peraturan yang berlaku. Hukum penjara pun juga
sekarang tidak bersifat represif lagi melainkan restitutif. Penjara yaitu lembaga
permasyarakatan bertujuan untuk memasyarakatkan kembali para pelaku
kejahatan agar ketika keluar dari lembaga permasyarakatan tersebut
diharapkan para pelaku dapat siap untuk kembali dalam masyarakat dan tidak
melakukan tindak pidana lagi.

2.3 Hubungan Hukuman Represif dan Restitutif terhadap Tindak Pidana


Pembegalan
Hukuman yang diberikan oleh aparat negara adalah hukuman yang
bersifat restitutif. Hukuman restitutif ini lebih menekankan kepada asas
manfaat daripada efek jera seperti yang ada pada hukuman yang bersifat
represif. Hukuman restitutif ini bertujuan mengembalikan ke kondisi semula,
yang berarti mengembalikan pelaku kepada kondisi sebelum terjadi tindak
pidana, dan juga memanusiakan kembali pelaku pidana agar dapat diterima di
masyarakat dan juga agar pelaku tindak pidana tidak kembali mengulangi
perbuatannya. Problematika yang timbul adalah tidak semua pelaksanaan
hukum restitutif ini berjalan dengan baik karena ada juga pelaku pidana yang
tetap mengulangi perbuatannya bahkan hingga berulang-ulang kali. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya residifis yang berulang-ulang kali masuk keluar
penjara.
Peristiwa ini dapat kita lihat pada salah satu contoh tindak pidana yang
itu pembegalan, dimana jumlah tindak pidana pembegalan juga masih tinggi
meskipun sudah banyak pelaku pembegalan yang tertangkap. Bahkan ada juga
yang sudah berulang kali melalukan pembegalan dan kemudian tertangkap.
Hal ini tentunya menimbulkan keresahan masyarakat yang
beranggapan bahwa hukum restitutif ini tidak mampu menanggulangi tindak
pidana ini sehingga hukum represif dilakukan oleh masyarakat. Hukum
represif ini contohnya adalah pemukulan pelaku pembegalan hingga
pembakaran pelaku pembegalan tersebut. Opini masyarakat melalui hukum
represif ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku sehingga pelaku lain
menjadi segan untuk melakukan tindak pidana pembegalan sehingga
mengurangi tindak pidana pembegalan yang tidak berkurang melalui hukum
restitutif.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukuman restitutif yaitu hukuman penjara terbukti tidak efektif dalam
menanggulangi masalah tindak pidana pembegalan. Hal ini terlihat pada
masih tingginya tingkat kejadian tindak pidana pembegalan. Masyarakat pun
menjadi resah karena merasa hukum yang berlaku tidak dapat melindungi
mereka, sehingga meskipun berada di kota besar, masyarakat menerapkan
hukuman represif kepada pelaku tindak pidana pembegalan. Harapannya agar
tidak ada lagi kasus pembegalan yang terjadi. Dengan adanya hukuman
represif yang dilakukan oleh masyarakat terbukti efektif dalam menghadapi
masalah kasus pembegalan. Para pelaku pun menjadi enggan dan takut dalam
melakukan aksinya.

3.2 Saran
Hukuman represif yang dilakukan oleh masyarakat bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Yang berhak menentukan dan menjatuhi
hukuman terhadap pelaku tindak pidana adalah hakim melalui pengadilan
Indonesia. Namun dalam keefektifannya terbukti ampuh dalam menghadapi
polemik kasus pembegalan. Aparat hukum tentunya tidak boleh tutup mata
dalam kasus ini terlebih lagi terbukti hukuman restitutif tidak berjalan dengan
baik, oleh karena itu aparat hukum dan pemerintahan tidak boleh menutup
mata terhadap hal ini. Ada baiknya hukuman diberikan unsur represif agar
memberikan efek jera terhadap pelaku namun pelaksanaannya perlu diatur
secara tertulis dan jelas agar pelaksanaanya tidak berlawanan dan tidak sesuai
dengan tujuan awal pembentukan hukum represif ini.

Anda mungkin juga menyukai