BAB I
PENDAHULUAN
Manusia menurut Aristoteles merupakan makhluk zoon politicon, yang bermakna sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan interaksi diantara manusia. Namun, dalam sebuah proses
interaksi tak selamanya akan berjalan mulus-mulus saja, akan terjadi beberapa kasus atau
kejadian dimana sebuah proses interaksi tidak berjalan sesuai dengan diharapkan, atau terjadi
kendala dalam proses interaksi.
Terjadinya hambatan dalam proses interaksi manusia salah satu sebabnya adalah karena
manusia memiliki kepentingan yang berbeda, ketika kepentingan tersebut berjalan beriringan
maka tidak akan terjadi gesekan kepentingan atau konflik kepentingan. Namun, apabila
kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lain itu bertentangan, maka
terjadilah conflict of human interest atau terjadilah konflik kepentingan manusia.
Adakalanya dalam proses penyelesaian conflict of human interest tersebut manusia bisa
menyelesaikan hingga tuntas. Namun, ada pula masalah-masalah yang tidak dapat
terselesaikan. Akhirnya, kadang masalah ini bisa memicu tindakan-tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan berbagai motif kejahatan.
Kriminologi dalam hal ini sebagai science (ilmu) yang mempelajari sebab musabab mengapa
orang berbuat kejahatan memiliki kepentingan untuk membahas hal-hal tersebut. Banyak
sekali teori-teori yang terdapat dalam kriminologi, salah satunya adalah Teori Anomie yang
dikenalkan oleh Emile Durkheim. Teori ini menjelaskan sebuah tindakan kejahatan dari
perspektif sosiologis. Dalam teori yang dikenalkan oleh Emile Durkheim ada satu kajian
menarik yang akan kami kaji dalam makalah yang kami bahas ini, yaitu mengenai
tindakan suicide atau tindakan bunuh diri yang dibahas menurut perspektif Teori Anomie milik
Emile Durkheim.
B. Rumusan Masalah
Ada dua masalah yang akan coba kami jawab dalam pembahasan makalah yang kami buat ini,
yaitu:
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang ada
dalam rumusan masalah, yaitu:
D. Sistematika Penulisan
Pada bab I dibahas mengenai pendahuluan, disana dibahas mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Pada bab II adalah mengenai tinjauan teoritis mengenai Teori Anomie yang dicetuskan oleh
Emile Durkheim dan juga kritik atas teori yang dibuat oleh Emile Durkheim tersebut.
Pada bab III adalah pembahasan, yaitu pada poin pertama dibahas mengenai dinamika interaksi
sosial yang menimbulkan terjadinya conflict of human interest, kemudian mengenai hancurnya
keteraturan sosial menurut perspektif Teori Anomie, kemudian yang terakhir dibahas juga
mengenai tindakan Suicidemenurut perspektif teori ini.
Pada bab IV yaitu bab terakhir dalam makalah ini terdapat kesimpulan dan saran dari makalah
yang kami buat.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Anomie dalam kamus ilmiah yang disusun oleh Soesilo Riwayadi, dimaknai sebagai ketidak
pedulian terhadap sesuatu.[1]
Menurut Wikipedia, Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile
Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal
dari bahasa Yunani a yang berarti “tanpa”, dan nomos yang berarti “hukum” atau
“peraturan”.[2]
Konsep Durkheim tentang anomi (teori anomi) termasuk kelompok teori Undercontrol (lihat
bagian teori Hagan, 1987). Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri
dilandaskan pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang
merupakan tindakan akhir puncak dari suatu anomie: bervariasi atas dua keadaan sosial,
yaitu social integration dan social regulation.
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari dari tiga kondisi sosial
yang menekan (stres) yaitu:
Hipotesis ke-4 dari suicide menunjukan pada proses sosialisasi dari seorang individu kepada
suatu nilai budaya “alturistik” yang mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh
diri.
Konsep yang menarik pada teori Durkheim adalah kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut
untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena kondisi ekonomi di
masyarakat.[3]
Cohen (1955) dalam bukunya Delinquent Boys, menolak analisis Merton karena tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan Juvenile Delinquency. Menurut Cohen, teori anomie tidak dapat
menjelaskan secara memadai kegiatan-kegiatan anak dan remaja delinkuen. Di samping
mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara yang ilegal untuk memperoleh sukses,
mereka juga melakukan tindakan-tindakan yang bersifat “non-utilitarian”, kejam, dan negatif.
Pendekatan yang digunakan kemudian adalah mengaitkan faktor tertentu (anomie) secara
langsung kepada bunuh diri (suicide). Cara orientasi demikian justru tidak segera diikuti
dengan (menimbulkan) pertanyaan pada Durkheim, apakah kondisi stres melalui deregulasi
juga memungkinkan membawa seseorang memasuki suatu alternatif yang lain dari
penyimpangan tingkah laku.
Teori anomie (Merton) diperbaiki oleh Cloward dan Ohlin (1959) dengan mengetengahkan
teori differential opportunity, Cloward dan Ohlin mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat
cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebut olehnya mengakui cara yang pertama.
Apabila masyarakat sangat integratif, remaja delinquent merupakan kader-kader penjahat
professional dan sekaligus merupakan partner dari penjahat dewasa, sehingga menurut
Cloward dan Ohlin, dalam masyarakat tersebut akan tumbuh dengan subur apa yang disebutnya
sub-kultur kriminal. Sebaliknya, jika masyarakat tidak bersifat integratif, maka akan terdapat
pertentangan antara kultur kriminal dan kultur non-kriminal sehingga akan tampak keadaan
yang disebut konflik sub-kultur.[4]
BAB III
PEMBAHASAN
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang dinamis, menyangkut hubungan individu
dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Secara sederhana, interaksi sosial dapat terjadi apabila dua individu atau kelompok saling
bertemu dan saling berhubungan. Kondisi ini, ditandai dengan adanya saling menegur, berjabat
tangan, berbicara, dan sebagainya. Seiring dengan perbedaan suku bangsa, ras, agama, adat
istiadat, dan perkembangan teknologi, pola interaksi sosial suatu kelompok atau individu,
memiliki keanekaragaman cara.
Memahami pola-pola interaksi sosial, sangat berguna untuk memahami dan mempelajari
berbagai masalah di masyarakat. Contoh: terjadinya kerusuhan yang berbau suku, ras, dan
agama (SARA) di Sampit dan Ambon, di Poso, di Papua, dan lainnya. Salah satunya
disebabkan oleh tidak berjalannya proses interaksi sosial antara individu atau kelompok
masyarakat yang menimbulkan sikap saling curiga.[5] Sikap saling curiga yang terjadi
diantara manusia bisa memicu terjadinya conflict of human interest dan berkembang menjadi
tindakan kejahatan yang bisa dilakukan oleh salah satu atau semua pihak yang terlibat pada
interaksi sosial tersebut, dan menimbulkan kerugian yang besar.
Kerugian masyarakat karena kejahatan adalah besar sekali. Kita berhadapan dengan suatu
gejala yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh masyarakat,
sehingga membahayakan hidupnya, sedikitnya sangat merugikannya. Kejahatan yang
diperbuat dalam sekian tahunnya tak terhitung banyaknya dan jutaan penjahat dihukum.[6]
Perkembangan masyarakat dunia terutama setelah era depresi besar yang melanda, khususnya
masyarakat Eropa pada tahun 1930-an telah banyak menarik perhatian pakar sosiologi saat itu.
Hal ini disebabkan telah terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat sebagai akibat dari
depresi tersebut yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah terjadi “deregulasi” di dalam
masyarakat. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai “anomie” oleh Durkheim.[7] Yaitu
hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan nilai-nilai.
Salah satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-
bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu
sama lain. Dengan kata lain kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna melihat
bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar,
susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama
dan kesepakatan.
Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan
keteraturan atau ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebutdysfunctional (tidak
berfungsi). Sebagai analogi, jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-bagiannya
sangat sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia menunjukan waktu dengan akurat. Namun jika
satu per-nya yang kecil rusak, keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi secara baik.
Demikianlah perspektifstructural functionalist yang dikembangkan oleh Emile Durkheim
sebelum akhir abad ke-19.[8]
Menurut Durkheim, faktor demografik merupakan faktor terbesar dalam perubahan dan
perkembangan masyarakat. Faktor demografis tersebut menurutnya adalah pertambahan
jumlah penduduk. Menurutnya dengan bertambahnya volume penduduk maka kepadatan
penduduk dalam suatu ruang spasial tertentu meningkat. Dengan meningkatnya kepadatan
maka menimbulkan kebutuhan akan pembagian kerja yang baru (new division of labour),
dengan munculnya spesialisasi kerja baru akan memunculkan struktur baru dalam masyarakat
fungsi dan peran baru. Semuanya melalui proses evolusi dan konsensus, yaitu mengenai
masalah moral dan intelektual masyarakat. Munculnya sruktur baru sangat fungsional bagi
masyarakat. Sedangkan dalam membahas peruahan dengan revolusi kekerasan seperti di
Perancis tahun 1789, Durkheim cenderung menyebutnya kelainan atau anomali, yang artinya
individu kehilangan pegangan (kekaburan norma/tanpa norma).
Durkheim kemudian membagi dua jenis masyarakat, yaitu masyarakat bersolidaritas mekanik
(masyarakat primitif homogen) dan masyarakat bersolidaritas organis (masyarakat heterogen-
modern). Masyarakat bersolidaritas mekanik tersusun karena semua posisi dan peran yang
dijalankan masyarakatnya sama sehingga muncul hubungan yang mekanik. Sedangkan
masyarakat bersolidaritas organis tersusun karena rasa saling tergantung satu sama lain
sehingga membentuk ikatan organis. Pada model masyarakat organis ini maka tidak ada tempat
bagi konflik dan ketegangan. Konflik hanya dianggap sebagai suatu penyakit (patologi) dan
hanya merupakan suatu kondisi yang sementara. Masyarakat selalu memiliki pengaturan yang
membuat dirinya tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi. Masyarakat menurut pendekatan
ini selalu mengusahakan terjadinya suatu posisi seimbang. Dengan logika tersebut maka
menurut Durkheim hierarki sosial dan konsentrasi kekuasaan menjadi berguna bagi berthannya
masyarakat. Gagasan ini disebut gagasan struktural fungsional.
Durkheim menolak dengan tegas anggapan-anggapan tentang penyebab bunuh diri disebabkan
oleh penyakit kejiwaan, akibat imitasi atau peniruan. Ia juga menolak teori ras, teori klim, teori
yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme, dan juga menolak teori yang
menghubungkan bunuh diri dengan kemiskinan.
Dalam kesimpulannya, Durkheim sampai pada perumusan-perumusan yang keras bahwa setiap
kelompok social mempunyai kecenderungan kolektif (egoisme, altruisme dan anomi) yang
mengadakan paksaan terhadap perilaku manusia untuk bunuh diri, yang merupakan sumber
bukannya hasil dari kecenderungan-kecenderungan individual.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis
hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan
terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan
itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya,
dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat
yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial
yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh
diri.[9]
Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu:
1. Karena alasan agama
Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut
ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih besar angka bunuh
dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya
perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya.
Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri
hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh
pemuka Gereja. Akibatnya kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga
menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajaran/tafsir
yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut
ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran bagama Katolik.
2. Karena alasan keluarga
Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan
untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, semakin besar mengikat orang-orang
kepada kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang
lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.
3. Karena alasan politik
Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer
dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada masyarakat militer
cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang
masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer
lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan saat keadaan damai di
dalam situasi ini golongan militer cenderung disiplinnya menurun sehingga integrasinya
menjadi lemah.
4. Karena alasan kekacauan hidup (anomie)
Bunuh diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan dalam
hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang
ada.[10]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori Anomie merupakan salah satu teori dalam kriminologi yang ditemukan oleh Emile
Durkheim. Teori ini meneliti dan mencoba menjelaskan mengenai kejadiansuicide (bunuh diri)
dalam perspektif sosiologis. Teori ini masih memiliki kelemahan, diantaranya tidak
menjelaskan secara rinci mengapa golongan masyarakat bawah yang melakukan
penyimpangan, Durkheim juga tidak berhasil membahas mengenai kondisi sosial yang dapat
membentuk penyimpangan tingkah laku di masyarakat. Hal ini sebagian besar disebabkan
strategi metodologi yang digunakan Durkheim. Ia pertama mempelajari bunuh diri, dan
kemudian mulai mengungkapkan penyebab-penyebabnya. Menurut Durkheim, peristiwa-
peristiwa suicide (bunuh diri) sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku:
Atmasasmita, Romli. 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Bonger, W.A. 1995. Inleinding Tot De Criminologie terjemah: Pengantar Tentang Kriminologi.
Jakarta: PT. Pembangunan.
Riwayadi, Soesilo. 2012. Kamus Populer Ilmiah Lengkap. Surabaya: Penerbit Sinar Terang.
Santoso, Topo. 2011. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soekanto, Soejono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Wartiah, Euis Ida. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: Yapras.
Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie, diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 17:21.
http://oviefendi.wordpress.com/makalah/teori-anomie, diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul
18:43.
http://bocahdoyanmakan.blogspot.com/2009/02/teori-suicide-oleh-emile-durkheim.html, diakses
pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 18:55.
http://romaromantika.wordpress.com/2011/01/25/teori-bunuh-diri-emile-durkheim, diakses pada
tanggal 12 Desember 2012, pukul 19:07.
TEORI ANOMIE
Disusun Oleh:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, akhitnya saya dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing Asri Arinilasari S.Pd. dengan
tema “TEORI ANOMIE,” guna melengkapi melengkapi tugas akhir semester II tahun pelajaran
2010/2011.
Saya menyadari bahwa di dalam penyusunan tugas ini masih ada kekurangan. Hal ini
disebabkan keterbatasan pengetahuan saya. Untuk itulah, Kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca sangat diharapkan, demi kesempurnaan tugas ini
Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA ……………………………………………………………………………….ii
1. ANOMIE …………………………………………………………………………1
1. Konsep Anomie ………………………………………………………1
2. Kritik Terhadap Konsep Anomie ………………………………..2
2. PEMIKIRAN TEORI ANOMIE ……………………………………………..3
1. Pemikiran Emille Durkheim tentang Anomie ………………..4
2. Pemkiran Robert K. Merton ……………………………………….6
3. Cara mengatasi Anomie …………………………………………….8
BAB I
TEORI ANOMIE
1. A. ANOMI
Pada tahun 1930-an khususnya masyarakat Eropa telah banyak menarik perhatian pakar-
pakar sosiologi. Hal itu disebabkan karena telah terjadi perubahan besar pada struktur
masyarakat sebagai akibat depresi yaitu, tradisi yang menghilang dan telah terjadi
“deregulasi” di dalam masyarakat. Keadaan ini yang dinamakan sebagai “anomi” menurut
Durkheim (Williams III & Mcshane, 1988)
1. 1. Konsep Anomi
Konsep Durkheim tentang anomi (teori anomi) termasuk kelompok teori Undercontrol (lihat
bagian teori Hagan, 1987). Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri
dilandaskan pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang
merupakan tindakan akhir puncak dari suatu anomi: bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu
social integration dan social regulation.
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicidie berasal dari dari 3 kondisi sosial
yang menakan (strees) yaitu 1) deregulasi kebutuhan atau anomi, 2) regulasi yang keterlaluan
atau fatalisme, 3)kurangnya integrasi struktural atau egoisme. Hipotesis ke-4 dari suicidie
menunjukan pada proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya
“alturistik” yang mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri.
Konsep yang menarik pada teori Durkheim adalah kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut
untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena kondisi ekonomi di
masyarakat.
Talcott Parsons pernah disebut anomi salah satu konsep yang benar-benar
beberapa sosiologis.That was a long time ago and since then anomie theory has received
variable attention. Itu lama lalu dan sejak itu teori anomi telah mendapat perhatian
variabel.Whereas Durkheim’s writings on anomie have been discussed minimally but
continually, it has particularly been Robert Merton’s theory of social structure and anomie
that managed to establish a veritable tradition of anomie scholarship. Sedangkan tulisan-
tulisan Durkheim tentang anomie telah dibahas minimal tapi terus-menerus, telah terutama
menjadi teori Robert Merton struktur sosial dan anomi yang berhasil membangun suatu
tradisi yang sesungguhnya dari beasiswa anomi.Throughout the 1950s and 1960s, anomie
like no other concept stimulated debate and theoretical and empirical research. Sepanjang
tahun 1950-an dan 1960-an, anomi seperti tidak ada konsep lain yang mendorong perdebatan
dan penelitian teoritis dan empiris.But coinciding with the relative demise of the functionalist
paradigm, the concept abruptly lost its appeal to mainstream sociologists. Tapi bertepatan
dengan runtuhnya relatif dari paradigma fungsionalis, tiba-tiba kehilangan konsep banding ke
sosiolog mainstream.It may come as somewhat of a surprise, then, that in more recent years
anomie has witnessed a revival, as can be seen from the many new journal articles on the
issue, a new generation of scholars who explicitly position their work in the anomie tradition,
and two recent book-length studies, one in a popular series on theoretical criminology (Adler,
Freda, and William S. Laufer, eds, Advances in Criminological Theory , Vol. 6: The Legacy
of Anomie [Transaction, 1995]) and the volume presently under review. Ini mungkin datang
sebagai agak mengejutkan, kemudian, bahwa dalam tahun-tahun terakhir telah menyaksikan
kebangkitan anomi, seperti dapat dilihat dari banyak artikel jurnal baru pada masalah,
generasi baru ulama yang secara eksplisit posisi pekerjaan mereka dalam tradisi anomi, dan
dua terakhir buku-panjang studi, satu dalam seri populer di kriminologi teoritis (Adler, Freda,
dan William S. Laufer, eds, Kemajuan dalam Teori Criminological, Vol 6:. Warisan dari
Anomie [Transaksi, 1995]) dan volume saat ini sedang diperiksa.
Teori anomi beanggapan bahwa setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang
dominan yang diteima sebagian besar masyarakat, dan teori ini tidak menjelaskan secara
memadai, mengapa hanya individu-individu tertentu dari golongan masyarakat bawah yang
melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Choen (1955) mengemukakan teori anomi tidak dapat menjelaskan secara memadai kegiatan
kegiatan anak dan remaja delinquent.
1. Bahwa Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari keadaan sosial yang sedang
terjadi.
2. Durkheim tidak konsisten dalam menjelaskan bagaimana “current anomy”
menyebabkan bunuhdiri.
3. Dalam seluruh tulisannya (suicidie) Durkheim tidak berhasil membahas bagaiman
akondisi sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku dalam masyarakat.
Teori anomi (Merton) diperbaiki oleh Cloward Ohlin (1959) dengan mengetengahkan bahwa,
terdapat cara-cara untuk mencari sukses, yaitu denga “Legitimate Illegitimate”.
“as state of lawlessness existing at times of abrupt social change, and affecting in particular
the state of ‘normlessness’, which exists when the insatiable desires of humans are no longer
controlled by society” (Durkheim, E., 1933, The Division of Labour in Society, Glencoe,
Illinois: Free Press).
Pada tahun 1938 Merton mengambil konsep anomi untuk menjelaskan perbuatan deviasi di
amerika. Tetapi konsep dari Merton berbeda dengan apa yang dipergunakan oleh Durkheim.
Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan
kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat
dipergunakan. Tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana
yang tersedia. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian akan timbul penyimpangan-penyimpangan dalam mencapai tujuan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Merton tidak lagi menekankan pada tidak meratanya
sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada perbedaanperbedaan struktur
kesempatan. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial. Struktur sosial, yang
berbentuk kelas-kelas, menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam
mencapai tujuan. Keadaan-keadaan tersebut (tidak meratanya sarana-sarana serta perbedaan
perbadaan struktur kesempatan) akan menimbulkan frustasi di kalangan para warga yang
tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan. Dengan demikian ketidakpuasan,
konflik, frustasi dan penyimpangan muncul karena tidak adanya kesempatan bagi mereka
dalam mencapai tujuan. Situasi ini akan menimbulkan keadaan di mana para warga tidak lagi
mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan serta sarana-sarana atau kesempatan-
kesempatan yang terdapat dalam masyarakat. Hal inilah yang dinamakan anomi.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas
mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku
menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang
dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan
kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat
restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas
normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial
yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Anomie mengacu pada keadaan lingkungan di mana masyarakat gagal untuk melaksanakan
regulasi yang memadai atau kendala atas tujuan dan keinginan individu anggota-anggotanya
(Durkheim, 1951: 241-276). It is important to note that Durkheim’s conceptualization of
anomie is based on a general assumption about the psychological or biological nature of
individual human beings. Penting untuk dicatat bahwa konseptualisasi Durkheim tentang
anomie didasarkan pada asumsi umum tentang sifat psikologis atau biologis manusia
individu. He wrote that the human “capacity for feeling is in itself an insatiable and
bottomless abyss” (1951: 247). Dia menulis bahwa manusia “kapasitas untuk perasaan itu
sendiri merupakan jurang terpuaskan dan tak berdasar” (1951: 247). From Durkheim’s
viewpoint, individual happiness and well-being depend on the ability of society to
impose external limits on the potentially limitless passions and appetites that characterize
human nature in general. Dari sudut pandang Durkheim, kebahagiaan individu dan
kesejahteraan bergantung pada kemampuan masyarakat untuk memaksakan batas
eksternal pada nafsu berpotensi terbatas dan selera yang mencirikan sifat manusia pada
umumnya. Under the condition of anomie, however, society is unable to exert its regulatory
and disciplining influences. Dalam kondisi anomi, bagaimanapun, masyarakat tidak dapat
mengerahkan pengaruhnya peraturan dan mendisiplinkan. Human desires are left unchecked
and unbounded—the individual “aspires to everything and is satisfied with nothing” (1951:
271). Keinginan manusia yang dibiarkan dan tak terbatas-individu “bercita-cita untuk segala
sesuatu dan merasa puas dengan apa-apa” (1951: 271). Out of disillusionment and despair
with the pursuit of limitless goals, many individuals in the anomic society take their own
lives. Keluar dari kekecewaan dan putus asa dengan mengejar tujuan terbatas, banyak
individu dalam masyarakat anomic mengambil kehidupan mereka sendiri. Therefore, high
rates of anomic suicide are the product of the environmental condition of anomie. Oleh
karena itu, tingginya tingkat bunuh diri anomik adalah produk dari kondisi lingkungan anomi.
Durkheim berpendapat bahwa kondisi anomi dapat menjelaskan setidaknya tiga jenis
fenomena bunuh diri:
1. First, in historical data on suicide rates inDalam data historis pada tingkat bunuh diri
di Europe Eropa , Durkheim found that sharp increases or decreases in the economic
prosperity of a society were associated with increasing rates of suicide.Durkheim
menemukan bahwa kenaikan tajam atau penurunan kesejahteraan ekonomi
masyarakat dikaitkan dengan tingkat peningkatan bunuh diri. Suicide rates were
lowest during times of economic stability. Tingkat bunuh diri terendah selama masa
stabilitas ekonomi.
2. Di samping kasus-kasus di mana anomi dihasilkan dari perubahan ekonomi yang
pesat, Durkheim juga disajikan bukti bahwa “salah satu lingkup kehidupan sosial-
bidang perdagangan dan industri-sebenarnya dalam keadaan kronis” anomie (1951:
254, penekanan ditambahkan).
3. Durkheim menganalisis bagaimana regulasi yang tidak memadai hasrat seksual juga
bisa menghasilkan tingkat tinggi bunuh diri anomik antara kelompok-kelompok sosial
tertentu. Single males, in particular, are in social circumstances where their
unrestrained pursuit of physical pleasure is likely to lead to disillusionment and
suicide. Laki-laki tunggal, khususnya, dalam keadaan sosial dimana mereka mengejar
terkendali kesenangan fisik kemungkinan akan menimbulkan kekecewaan dan bunuh
diri. Marriage functions to regulate sexual desire, and husbands typically have lower
rates of suicide than unmarried males. Pernikahan berfungsi untuk mengatur hasrat
seksual, dan suami biasanya memiliki tingkat yang lebih rendah daripada laki-laki
bunuh diri yang tidak menikah. Thus, the concept of anomie is used by Durkheim to
explain a variety of social facts. Dengan demikian, konsep anomi digunakan oleh
Durkheim untuk menjelaskan berbagai fakta sosial. Variations in suicide rates across
time, by occupation and by marital status, are all linked theoretically to this general
environmental condition. Variasi tingkat bunuh diri sepanjang waktu, dengan
pekerjaan dan status perkawinan, semua dikaitkan secara teoritis untuk kondisi
lingkungan umum.
Saat terjadi gejolak industrial & finansial, anomi terjadi, sebagai hasil dari kurangnya
norma atau aturan sosial terkait aspirasi dan kemauan manusia
Kejahatan lalu dikaitkan dengan hilang atau melemahnya norma dan aturan sosial
selaku kontrol social
Anomie Teori (kadang-kadang juga disebut teori regangan atau sarana-tujuan teori)
In one of the most famous articles in sociology, its first version written in the 1940s, Robert
Merton begins by addressing biological explanations of deviance and concludes that biology
cannot account for variations from one society to the next in the nature and extent of
deviance. Dalam salah satu artikel yang paling terkenal dalam sosiologi, versi pertama
yang ditulis dalam tahun 1940-an, Robert Merton dimulai dengan membahas penjelasan
biologis penyimpangan dan menyimpulkan biologi yang tidak dapat menjelaskan variasi dari
satu masyarakat ke depan dalam sifat dan tingkat penyimpangan.His primary interest is not so
much why a particular individual deviates, but why the rates of deviance differ so
dramatically in different societies and for different subgroups within a single society. Bunga
utamanya adalah tidak begitu banyak mengapa menyimpang individu tertentu, tetapi
mengapa tingkat penyimpangan berbeda secara dramatis dalam masyarakat yang berbeda dan
untuk subkelompok yang berbeda dalam masyarakat tunggal. Merton works within the
overall functionalist perspective that we have already addressed, which puts a great deal of
emphasis on the role of culture, particularly its unifying aspects, but now Merton adapts a
concept he borrows from Durkheim to analyze situations in which culture creates deviance
and disunity. Merton bekerja dalam perspektif fungsionalis keseluruhan bahwa kita telah
ditangani, yang menempatkan banyak penekanan pada peran budaya, terutama aspek
pemersatu, tetapi sekarang Merton mengadaptasi sebuah konsep ia meminjam dari Durkheim
untuk menganalisis situasi di mana budaya menciptakan penyimpangan dan perpecahan. In
Durkheim’s usage, anomie referred to a situation in which cultural norms break down
because of rapid change. Dalam penggunaan Durkheim, anomi disebut situasi di mana
norma-norma budaya memecah karena perubahan yang cepat. Anomic suicide, for example,
can occur during a major economic depression, when people aren’t able to achieve the goals
that they have learned to pursue, but it can also occur when the economy experiences a boom
and suddenly the sky’s the limit–people don’t know how to limit their goals and be satisfied
with their achievements. Bunuh diri anomik, misalnya, dapat terjadi selama depresi ekonomi
yang besar, ketika orang tidak mampu mencapai tujuan yang telah mereka pelajari untuk
mengejar, tetapi juga dapat terjadi ketika perekonomian mengalami booming dan tiba-tiba
langit batasnya – orang tidak tahu bagaimana untuk membatasi tujuan mereka dan puas
dengan prestasi mereka.
Merton changes the concept slightly, to refer to a situation in which there is an apparent lack
of fit between the culture’s norms about what constitutes success in life ( goals) and the
culture’s norms about the appropriate ways to achieve those goals ( means). Merton
perubahan konsep sedikit, untuk merujuk pada situasi di mana ada kurang jelas kesesuaian
antara norma-norma budaya tentang apa yang merupakan keberhasilan dalam hidup (tujuan)
dan norma-norma budaya tentang cara-cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut
(berarti).
In Merton’s formulation, anomie becomes the explanation for high rates of deviant behavior
in the US compared with other societies, and also an explanation for the distribution of
deviant behavior across groups defined by class, race, ethnicity, and the like. Dalam
formulasi Merton, anomi menjadi penjelasan untuk tingginya tingkat perilaku menyimpang di
AS dibandingkan dengan masyarakat lain, dan juga penjelasan untuk distribusi perilaku
menyimpang di seluruh kelompok yang didefinisikan oleh kelas, ras, etnisitas, dan
sejenisnya. The US, in fact, Merton sees as a polar example of a society in which success
goals (often defined primarily in monetary terms) are emphasized for everyone in the culture,
and people are criticized as being quitters if they scale back their goals. AS, pada
kenyataannya, Merton melihat sebagai contoh kutub dari suatu masyarakat di mana
keberhasilan tujuan (sering didefinisikan terutama dalam hal moneter) ditekankan untuk
semua orang dalam budaya, dan orang-orang dikritik sebagai berhenti merokok jika mereka
kembali skala tujuan mereka. On the other hand, the culture is at best ambivalent in its norms
about the apporpriate means of being sucessful. Di sisi lain, budaya adalah yang terbaik
ambivalen dalam norma-norma tentang cara apporpriate menjadi sucessful. Certainly hard
work and ambition, in school and then in the economic marketplace, are the culturally
approved means of success, but there’s also an element of admiration for the robber baron
and the rogue who breaks the rules about appropriate means but achieves success goals by
deviant means. Tentu kerja keras dan ambisi, di sekolah dan kemudian di pasar ekonomi,
sarana budaya yang disetujui keberhasilan, tapi ada juga unsur kekaguman untuk baron
perampok dan nakal yang melanggar aturan tentang cara yang tepat, tetapi mencapai tujuan
keberhasilan dengan menyimpang berarti. In America, in other words, success is probably
rated a lot more highly than virtue. Di Amerika, dengan kata lain, sukses adalah mungkin
dinilai jauh lebih tinggi dari kebajikan.
Anomie terjadi ketika kebutuhan dan keinginan melampaui apa yang dapat dipenuhi
melalui “socially acceptable ways”
Keinginan manusia sebenarnya didefinisikan oleh masyarakat itu sendiri. Setiap
masyarakat menciptakan hal-hal yang dianggap berharga dan layak diupayakan
pemenuhannya
Bila masyarakat ingin tetap sehat, kesediaan seseorang untuk tetap mempergunakan
cara-cara yang sah perlu dihargai.
Jika tekanannya pada tujuan tanpa kendali pada bagaimana mencapainya, situasi
anomik terjadi
Selain kesenjangan antara cara dan tujuan, kriminalitas juga disebabkan oleh perasaan
diperlakukan tidak adil atau karena kesempatan berbeda
Inilah teori penyimpangan perihal “tujuan” (structural means) dan “cara” (desired
goals):
Conformity: cara + tujuan +
Innovation: cara – tujuan +
Ritualism: cara + tujuan –
Retreatism: cara – tujuan –
Rebellion: cara – tujuan -/+
b. Inovasi (Innovation ) , yaitu suatu keadaan di mana tujuan yang terdapat dalam
masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mereka mengubah sarana21 sarana yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Misalnya untuk mendapatkan / memiliki uang
yang banyak seharusnya mereka menabung. Tetapi untuk mendapatkan banyak uang secara
cepat mereka merampok bank;
c. Ritualisme (Ritualism) , adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan
yang telah ditetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah ditentukan;
d. Penarikan Diri (Retreatisme) merupakan keadaan di mana para warga menolak tujuan dan
sarana-sarana yang telah tersedia dalam masyarakat;
e. Pemberontakan (Rebellion) adalah suatu keadaan di mana tujuan dan sarana-sarana yang
terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti/ mengubah seluruhnya.
BAB II
CAKUPAN ANOMIE
Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini dalam bukunya
yang menuraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan keadaan atau kekacauan
dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-
nilai, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomie sangat umum
terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam
situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada
kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam karyanya. Ia
mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara
yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami
anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu, namn
tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial.
Akibatnya, individu itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan
dirinya sendiri.
Kata ini (kadang-kadang juga dieja “anomy”) telah digunakan untuk masyarakat atau
kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak
adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku
yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan
isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.
Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ini. Anomie sebagai
kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi“. Kata “anarkhi” menunjukkan
tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, sementara “anomie” menunjukkan tidak
adanya aturan, struktur dan organisasi. Banyak penentang anarkhisme mengklaim bahwa
anarkhi dengan sendirinya mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan
mengatakan bahwa komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan
keteraturan (lih. misalnya Law of Eristic Escalation).
Kamus Webster 1913, sebuah versi yang lebih tua, melaporkan penggunaan kata “anomie”
dalam pengertian “ketidakpedulian atau pelanggaran terhadap hukum”.
Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin Scorsese dan
protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk dan belakangan
dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomie.
DAFTAR PUSTAKA
Muhibin, A. Dan Arfiah, S. 2006. Modul Kriminologi. P3G DIKNAS BANDUNG dan UMS
Google. 1983. “Para Anomie Tradisi menjelaskan tingkat perilaku Deviant” (online),
(http://deviance.socprobs.net/Unit_3/Theory/Anomie.htm), diakses tanggal 3 Juli 2011
Shvoong. 2011. “Teori Anomi (Emile Durkheim dan Robert K. Merton” (online),
(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2171314-teori-anomi-emile-durkheim-
dan/), diakses tanggal 3 Juli 2011.
MAKALAH KRIMINOLOGI
TENTANG
TEORI-TEORI KRIMINOLOGI
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
KELAS : V G-1
KELOMPOK 4
FARIDA GUSTRI AYU (1506200497)
NATASHA SHASKIA NASUTION (1506200498)
WIDYA PANGESTIKA (1506200450)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Kriminologi lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai
salah satu ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda
besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial
yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda yang
bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori kriminologi.(Soedjono
Dirdjosisworo, 1994: 107).
Dalam buku yang ditulis oleh J. Robert Lily dkk (Criminological Theory: Context
and Consequencies, 2006), terdapat suatu pernyataan yang menarik tentang konteks dan
konsekuensi teori kejahatan. Di situ dinyatakan bahwa pandangan suatu warga terhadap
kejahatan ternyata ikut berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya.
Sebagai contoh, pada awal ketika kaum emigran pertama kali menginjakkan kaki
mereka di bumi Amerika, pelaku kejahatan dianggap sebagai titisan setan. Teori-teori
kriminologi pada masa itu memperkuat pandangan ini, bahwa pelaku kejahatan memiliki cacat
biologis. Cacat ini bisa diturunkan ke generasi berikutnya. Untuk mencegah penurunan secara
genetis tersebut, maka hukuman yang pantas untuk pelaku kejahatan ini antara lain dengan
sterilisasi. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka akan terjadi evolusi yang mengarah ke arah
keterbelakangan (atavistic reversions).
Ketika kaum emigran makin banyak yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, maka
faktor kemiskinan ikut diperhitungkan. Pelaku kejahatan dianggap sebagai manusia-manusia
inferior, yang lahir dari lingkungan yang buruk. Namun, kemiskinan adalah nasib yang harus
diterima dan tidak boleh dijadikan alasan pemaaf bagi para pelaku kejahatan itu. Hukuman
yang pantas bagi mereka antara lain dengan “balas dendam” sesuai bobot kejahatannya.
Misalnya, jika membunuh maka akan balas dibuntuh. Jika mencuri, dipotong saja tangannya.
Peran negara dipandang penting untuk mencegah kejahatan berkembang menjadi
meluas. Muncul pemikiran bahwa penyebab kejahatan adalah karena lemahnya pengawasan
masyarakat (teori kontrol sosial). Pengawasan ini bisa datang dari negara, tetapi juga bisa dari
masyarakat. Apabila masyarakat makin permisif, maka kejahatan juga akan makin merajalela.
Ada juga pemikiran bahwa kejahatan terjadi karena para pelaku memahami definisi
kultural yang mendukung tindakan kejahatan itu. Misalnya, di satu daerah di Bali, ada
komunitas yang berpendapat bahwa mengemis adalah pekerjaan yang wajar dan tidak
melanggar hukum. Beberapa komunitas di sejumlah daerah di Indonesia juga menerima
pandangan bahwa prostitusi dan seks bebas bukanlah perilaku ilegal. Alhasil, menurut teori
asosiasi diferensial ini, aspek budaya setempat dapat berkontribusi menjadi faktor
kriminogenis.
Bisa juga terjadi ada alasan lain seseorang melakukan kejahatan, yakni karena
tersingkirkan dari persaingan. Orang berbuat jahat karena gagal dalam persaingan terbuka.
Teori ini disebut teori tekanan-anomie (anomie-strain). Pengangguran yang terjadi karena
ketidakmampuan mereka untuk berkompetisi merebut peluang di pasar kerja, bisa memberi
tekanan akibat tersingkir dari upaya memperoleh kesuksesan. Kehilangan harapan untuk
meraih masa depan yang lebih baik adalah bentuk frustasi yang sangat potensial mendorong
orang berbuat jahat.
Tentu masih ada puluhan teori lain yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Semua
berusaha memberikan penjelasan mengapa orang sampai terjerumus untuk melakukan
kejahatan. Di antara teori-teori yang disinggung di atas, menjadi sangat menarik untuk
mencermati perilaku koruptif dari para pejabat di negeri ini. Sejumlah menteri
yang notabenelahir dari keluarga terhormat dan berpendidikan tinggi, tercatat sebagai
narapidana kasus korupsi. Hal yang sama menimpah beberapa hakim agung dan hakim
konstitusi kita. Anggota DPR, DPRD, juga gubernur dan bupati/walikota juga tidak
ketinggalan ikut memperpanjang barisan koruptor-koruptor tadi. Teori kriminologi apa yang
mampu menjelaskan fenomena ini?
Ada satu bagian dari buku dari karya Lilly yang disebutkan di atas, yang membahas
tentang teori kejahatan kerah putih. Di situ diungkapkan bahwa pada tahun 1968, President’s
Commission on Law Enforcement and Administration of Justice di Amerika Serikat membuat
kesimpulan bahwa publik cenderung tidak peduli pada kejahatan bisnis atau bahkan bersimpati
kepada pelaku pelanggaran yang tertangkap. Kesimpulan ini menarik, karena boleh jadi
kejahatan koruptif besar-besaran yang kerap menimpah pejabat kita, berangkat dari
kecenderungan ini.
Hal ini dapat terjadi karena pelaku kejahatan berkelas tersebut memiliki modalitas
untuk menciptakan opini. Penguasa yang korup, apabila tertangkap akan dengan gampang
menciptakan opini bahwa dirinya telah dikriminalisasi atau penangkapan terhadap dirinya
adalah hasil rekayasa politik. Jika perlu, ia menggelar konferensi pers, menyebar berita via
media sosial, atau mengajak massa pendukungnya melakukan aksi di jalan-jalan.
Fenomena seperti ini membuat para koruptor yang ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, masih “memiliki muka” untuk tetap tegak berdiri di
hadapan warga masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap orang-orang ini bukan figur
sembarangan (baca: terhormat), sehingga mereka juga akan mudah melupakan kejahatan yang
telah dilakukan si koruptor. Tidak mengherankan bila para koruptor yang telah menjalankan
hukuman, dapat dengan mudah diterima kembali di masyarakat, bahkan bisa dengan gagah
tampil menjadi narasumber di televisi atau pembicara di seminar.
Satu hal yang kita takutkan bahwa “asosiasi-diferensial” memang tengah melanda
bangsa kita. Kali ini tidak lagi terkukung pada batas-batas kultural yang sempit, melainkan
sudah meluas menembus koridor suku, etnis, agama, dan profesi. Betapa mengerikannya jika
hal ini memang nyata adanya!
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan
mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di
dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah
kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari
solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan dicapai
apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif ini
kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran
terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan
satu gejala sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan
menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara
mendalam
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini ada baiknya pembaca banyak menemukan informasi atau
sumber-sumber lain yang dapat meningkatkan pengetahuan kita sebagai pembaca khususnya
Teori Kriminologi agar tidak ada kekeliruan, pemakalah sadar bahwa dalam penulisan ini
masih banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Simatupang.Nursariani & Faisal Kriminologi : Suatu Pengantar
Santoso Topo,S.H M.H & Zulfa Eva Achjani,S.H ,2008, Kriminologi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
http://tugas-makalah.blogspot.co.id/2013/05/teori-teori-tentang-kejahatan-dan-
penyebabnya.html
[diakses pada 28 september 2017]
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/06/kriminologi.html
[diakses pada 28 september 2017]