Anda di halaman 1dari 7

Teori Asosiasi Diferensial (Differential

Association Theory) Dalam Kriminologi


TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL (DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY)

DALAM KRIMINOLOGI

LATAR BELAKANG

Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan pertama kali oleh Edwin H
Suterland pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori
ini berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam
lingkungan sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena
itu, perbedaan tingkah laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan
bagaimana sesuatu itu dipelajari.

Teori ini dipengaruhi oleh tiga teori lain yaitu : ecological and culture transmission theory,
symbolic interactionism, and culture conflict theory. Dari pengaruh-pengaruh tersebut dapat
disimpulkan bahwa munculnya teori diferensiasi ini didasarkan pada :

·Setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan;

·Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan;

·Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.

Teori asosiasi diferensial ini memiliki 2 versi. Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih
menekankan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam
versi pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents of
pattern presented in association would differ from individual to individual” (isi atau konten
yang disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain). Hal ini
tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan
seseorang berprilaku kriminal. Yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan
orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena
komunikasi dengan orang lain yang jahat pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan
versi kedua nya yang lebih menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan
mengganti istilah social disorganization dengan differential social organization. Teori ini
menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua orangtuanya. Pola
perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION

Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-kelompok sosial tertata


secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung aktivitas kriminal dan yang lain
terorganisasi melawan aktivitas kriminal. Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari
melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang
merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin
saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melakukan
aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas kriminal. Dan dalam kontak
yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik kejahatan, motif,
dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan.

Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut :

1.Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari);

2.Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess of


communication; (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari
komunikasi);

3.The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal
groups (Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim);

4.When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the
crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific
direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari,
pembelajaran termasuk juga teknik melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana
dan arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap);

5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as
favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan
hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan);

6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of


law over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang menjadi delinkuen disebabkan
pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap
hukum melebihi definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);

7.Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (Asosiasi
yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas);

8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal
patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (Proses
pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti
kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya);

9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by
those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same
needs and values (Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan
dan nilai-nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari
kebutuhan dan nilai nilai yang sama);[1]

Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah laku jahat dapat
dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik
untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut.
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjelaskan pandangannya tentang sebab-
sebab terjadinya kejahatan.

Adapun kekuatan teori differential association atau differential social organization bertumpu
pada aspek-aspek berikut :
·Teori ini relatif mampu menjelaskan sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial

·Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya melalui proses belajar
menjadi jahat

·Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional

KELEMAHAN DAN KRITIK AHLI TERHADAP DIFFERENTIAL ASSOCIATION


THEORY ATAU DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION THEORY

Kelemahan mendasar dari differential association theory atau differential organization theory
adalah sebagai berikut :

·Tidak semua orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru atau memilih pola-pola
kriminal;

·Teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter-karakter orang-
orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut;

·Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa individu lebih suka melanggar undang-undang
dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas;

·Teori ini sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoretik tetapi juga harus menentukan
intensitas, durasi, frekuensi dan prioritas nya;

Adapun kritik-kritik yang dikemukakan para ahli terhadap differential association theory atau
differential organization theory adalah sebagai berikut :
·Matza (1968 : 107) mengatakan bahwa Sutherland kurang peka tanggap terhadap
pembaharuan pemikiran dan kemasyarakatan, yaitu antara pelaku penyimpangan tingkah laku
(deviant) dan dunia yang konvensional;

·Nettler (1984) mengemukakan bahwa Judul istilah asosiasi diferensial adalah menyesatkan
karena Ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan pergaulan antar individu, sebagaimana
halnya teori bad companion yang menghasilkan kejahatan;

·Clinard, meskipun mengakui hipotesis teori asosiasi diferensial-menyatakan bahwa teori


tersebut tidak dapat menjelaskan secara memadai semua kasus pelanggaran hukum, terutama
terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap dan tidak dapat diperlakukan secara tepat
terhadap adanya perbedaan-perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah
pentaatan terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia perdagangan. Clinard secara
khusus menekankan pentingnya, certain personality trait dari seorang individu.

KESIMPULAN DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU

DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION THEORY

Kesimpulan yang dapat diambil dari differential association theory atau differential social
organization theory adalah sebagai berikut :

·Perbedaan asosiasi cenderung membentuk perbedaan kepribadian manusia yang berbeda


dalam pergaulan kelompok;

·Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan pelanggaran


hukumadalah karena individu yang bersangkutan menyetujui pola prilaku yang melanggar
hukum dibandingkan dari pola perilaku lain yang normal;

·Sikap menyetujui atau memilih salah satu pola perilaku tertentudalam asosiasi yang berbeda
adalah melalui proses belajar dari pergaulan yang paling intim melalui komunikasi langsung
yang berhubungan sering, lama, mesra, dan prioritas pada perilaku kelompok atau individu
yang diidentifikasi menjadi perilaku miliknya;
PENERAPAN DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU DIFFERENTIAL
SOCIAL ORGANIZATION THEORY PADA TINDAK PIDANA TERORISME DI
INDONESIA

Tindak pidana terorisme menurut pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Terorisme sendiri telah
menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia sejak terjadinya Bom Bali pertama pada
November 2002. Dengan makin meluasnya jaringan operasi yang serius, radikalisme, dan
militansi hingga hari ini terorisme masih menjadi momok. Dalam kaitannya dengan
Differential association, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang pelaku tindak
pidana terorisme melewati proses belajar yang membentuk ideologi dan menjadikannya
sebuah rasionalisasi dalam melakukan terorisme. Seringkali ideologisasi tersebut terjadi
dalam proses pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga Lapas menjadi
School of Radicalism. Ketika kita berbicara mengenai tindak pidana terorisme maka kita
akan berbicara mengenai sebuah tindak pidana dengan karakteristik yang berbeda dimana
perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepahaman mengenai tindak pidana yang
dilakukan serta mengandung adanya ideologi yang menyimpang. Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan yang berbeda bagi narapidana terorisme demi tercapainya salah satu tujuan
pemidanaan yaitu memasyarakatkan narapidana sehingga dapat kembali diterima oleh
masyarakat dan tidak mengulangi kembali perbuatannya (residivis).

Sebelum tahun 2008 di LP Cipinang ada hak-hak istimewa yang diberikan kepada para
narapidana terorisme diantaranya kemudahan mendapatkan kunjungan, kebebasan untuk
mendapatkan makanan, bahan bacaan berupa kitab-kitab dan buku-buku bertema jihad, serta
kesempatan untuk memiliki handphone bagi hampir semua narapidana teroris. Bahkan
narapidana terorisme diberikan kesempatan untuk membentuk semacam pesantren di
lingkungan masjid di dalam LP dimana Abu Tholut, seorang residivis yang terkenal karena
berkali-kali melakukan pengulangan Tindak Pidana terorisme pernah menjadi kepala
sekolahnya. Dan disinilah proses Differential association terjadi. Pesantren ini pernah
memiliki murid sebanyak 300 orang narapidana biasa (non-terorisme). Tanpa disadari lapas
menjadi sebuah lahan recruitment oleh jaringan teroris ketika itu. Dan hal ini sesuai dengan
dalil dalam teori differential association atau differential social organization yaitu tingkah
laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi, jadi
tidak serta merta seseorang yang hidup dalam lingkungan kriminal menjadi kriminal tetapi
juga dipelajari bersama orang lain dalam komunikasi verbal maupun non verbal.
Selain itu, tingkah laku kriminal biasa dipelajari dalam kelompok orang-orang dekat seperti
keluarga ataupun teman dekat, ddan diketahui bersama banyak dari jaringan terorisme yang
terbentuk dari lingkaran keluarga ataupun teman dekat, dimana komunikasi yang intensif
berperan besar dalam ideologisasi para pelaku tindak pidana terorisme. Albert Reiss dan A.
Lewis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung pada
apakah temannya melakukan hal yang sama.

Tingkat differential association sendiri dipengaruhi oleh intensitas kontak, lamanya, dan
makna dari proses tersebut kepada suatu individu. Dalam konteks school of radicalism,
seseorang dalam keadaan terkungkung dan kurang informasi mendapatkan pencerahan dari
seseorang yang dilihat lebih mengerti kemudian melakukan komunikasi yang intens dan lama
lebih mudah menerima ideologi yang menyimpang tersebut. Itulah kenapa lapas dapat
dikatakan turut menyuburkan kaderisasi jaringan terorisme.

Pelajaran yang didapat tentunya bukan hanya soal teknik melakukan tindak pidana tetapi juga
rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap dan di point inilah ideologisasi terjadi. Sehingga
berbeda dengan tindak pidana yg lain, untuk memasyarakatkan kembali pelakunya perlu
adanya proses de-ideologisasi. Dimana de-ideologisasi tersebut dilakukan untuk
membersihkan rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap yang membentuk ideologi si pelaku
tindak pidana terorisme.

[1] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo,
jakarta Halaman 75

Sumber: https://www.kompasiana.com/ariansyahekasaputra/54f96eaaa3331178178b4d9b/teori-
asosiasi-diferensial-differential-association-theory-dalam-kriminologi (06-12-2018)

Anda mungkin juga menyukai