Anda di halaman 1dari 6

1.

Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)


Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang
dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum.
Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif,
dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-
perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :

1. Criminal behavior is learned (perilaku kriminal itu dipelajari).


Sutherland memandang bahwa perilaku kriminal bukan berasal dari dalam diri
seseorang maupun faktor genetik yang dibawa individu. Melainkan berasal dari
proses belajar nilai dan norma menyimpang. Semakin mahir seseorang mempelajari
nilai dan norma yang menyimpang, maka semakin dalam dia melakukan prilaku
menyimpang. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit atau tidak pernah seseorang
mempelajari norma menyimpang, semakin sulit dia melakukan penyimpangan.
2. Criminal behavior is learned in interaction with other person of
communication (perilaku kriminal/menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam
interaksinya dengan orang-orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang
intens).
Perilaku menyimpang itu dipelajari melalui interaksi yang intim. Dalam sosiologi
interaksi itu terdiri atas dua, kontak dan komunikasi. Melalui interaksi yang intim
tersebut seseorang akan mempelajari bagaimana nilai dan norma perilaku
menyimpang tersebut.

3. The prinsiple of the learning of criminal behavior occurs within intiminate personal
groups (Bagian utama dari belajar tindakan kriminal/perilaku menyimpang terjadi di
dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab).
Perilaku menyimpang terjadi dalam kelompok-kelompok peribadi yang akrab.
Sebab, mempelajari nilai dan norma menyimpang tidak bisa dilakukan pada
kelompok-kelompok besar (publik) yang tidak memiliki kedekatan. Karena, proses
belajar norma menyimpang hanya bisa dilakukan dengan berkelanjutan dan dalam
hubungan yang dekat. Maksudnya, seseorang yang mempelajari norma menyimpang
haruslah memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok pribadi yang juga
melakukan prilaku menyimpang. Mempelajari norma menyimpang tidak bisa
dilakukan hanya dengan menjalin interaksi semu dan jangka pendek. Sebab, norma
menyimpang tersebut diyakini Sutherland tidak akan terinternalisasi.
Merujuk pada pandangan Sutherland diatas, maka peran media massa dalam
menyampaikan nilai dan norma menyimpang tidak banyak berpengaruh terhadap
proses belajar penyimpangan. Sebab, media massa yang bukan merupakan kelompok
personal hanyalah memainkan peran sekunder dalam mempelajar penyimpangan.
Tentu pandangan Sutherland ini mulai tidak dapat dibuktikan. Akibat kemajuan
teknologi dan mulai memudarnya peran institusi-institusi (seperti keluarga,
lingkungan bermain, sekolah,dll) yang memiliki kewenangan untuk
mensosialisasikan nilai dan norma pada individu dan kemudian tergantikan oleh
peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah
menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh
peran kelompok publik/massa.
4. When criminal behavior is learned, the learning includes, a) techniques of commiting
the crime, which are very complicated, sometimes very simple, b) the specific
direction of motives, drives, rationalizations and attitudes (ketika perilaku jahat
dipelajari, pembelajaran itu termasuk pula a) teknik melakukan kejahatan, yang
kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sederhana, b) arah khusus dari motif,
dorongan rasionalisasi dan sikap-sikap).
Seseorang yang mempelajari perilaku menyimpang, berarti mempelajari berbagai hal
mengenai perilaku menyimpang tersebut. Ia akan belajar bagaimana teknik
melakukan prilaku menyimpang (kejahatan). Mereka yang melakukan prilaku
menyimpang juga belajar tentang motif melakukan prilaku menyimpang tersebut.
Ada alasan-alasan yang dianggap logis yang mendorong si pelaku untuk melakukan
perilaku menyimpang. Ia juga belajar bagaimana cara bersikap sesuai dengan
kelompok atau orang yang telah melakukan perilaku menyimpang tersebut.
Sebagai contoh, para siswa baru di salah satu SMA sedang memasuki masa orientasi
di sekolah. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan yang akrab dengan
seniornya di sekolah. Setiap hari berkumpul sepulang sekolah, melakukan aktivitas
bersama sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Siswa baru tersebut secara
langsung maupun tidak langsung akan memperhatikan bagaimana seniornya
berperilaku. Akhirnya, mereka tertarik untuk berperilaku yang sama. Siswa baru
tersebut awalnya mempelajari apa alasan seniornya melakukan perilaku
menyimpang, misalnya merokok. Motif seperti ingin terlihat “macho” dikalangan
siswi-siswi, agar terlihat lebih dewasa dan motif-motif lainnya mendorong siswa baru
tersebut untuk ikut mempelajari bagaimana teknik merokok dan sikap-sikap siswa
merokok.
Akhirnya, setelah ia mempelajari bagaimana motif seniornya merokok, siswa baru
tadi akan mempelajari bagaimana cara atau teknik menghisap rokok,
menyembunyikan rokok ketika di sekolah hingga diam-diam merokok di sudut
sekolah agar tidak ketahuan oleh guru.
5. The specific direction of motives and drives is learned from definition of legal code
as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari
defenisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan).
Petunjuk khusus tentang motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu
dipelajar dari defenisi-defenisi tentang norma-norma yang baik atau tidak baik.
Proposisi ini mengakui keberadaan norma-norma untuk setia dan taat pada aturan-
aturan yang sudah ada dan ia mungkin dapat juga melakukan pelanggaran terhadap
aturan-aturan yang sudah ada. Sebagai contoh, ada orang yang berpendapat bahwa
mencuri adalah perbuatan yang buruk atau salah jika barang-barang yang dicuri
adalah barang-barang milik orang kurang mampu dan dalam tindakan pencurian itu
ada orang yang celaka. Namun, ketika pencurian itu dilakukan pada orang kaya yang
tamak dan tidak menimbulkan korban (yang dicelakai) maka tindakan tersebut ia (si
pencuri) anggap bukan sebagai perilaku menyimpang atau kejahatan.
6. A person becomes delinquent because of an access of defenition favorable of violation
of law over definition un favorable to violation of law (seseorang menjadi delinkuen
disebabkan pemahaman terhadap defenisi yang menguntungkan dari pelanggaran
terhadap hukum melebihi defenisi-defenisi yang tidak menguntungkan untuk
melanggar hukum).
Seseorang yang berannggapan bahwa perbuatan menyimpang yang ia lakukan lebih
menguntungkan dari pada tidak melakukannya, maka ia akan memilih untuk
melakukan tindakan tersebut. Alasannya bisa beragam, seperti lemahnya sanksi,
lemahnya ikatan dalam masyarakat dan menguntungkan secara ekonomi. Dengan
keuntungan yang demikian, maka ia akan lebih memilih untuk melanggar norma
(melakukan prilaku menyimpang/kejahatan).
Namun, jika orang tersebut menganggap bahwa perbuatan menyimpang/ kejahatan
yang dilakukan akan merugikannya karena adanya sanksi tegas, ikatan dalam
masyarakat kuat atau tidak menguntungkan secara ekonomi, maka ia tidak akan
melakukan pelanggaran norma (prilaku menyimpang/kejahatan).
7. Differential Association may vary in frequency, duration, priority and
intensity (Asosiasi yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi,
lamanya, prioritas dan intensitas).
8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all the mechanism that are involved in any other
learning. ( proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola
kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap
pembelajaran lainnya).
9. While a criminal behavior is an explanation of general needs and values, it is not
ecplained by those general needs and values since non criminal behavior is and
explaination the same need and values. (walaupun perilaku jahat merupakan
penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi hal itu tidak
dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku
nonkriminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama).
2. Teori Tegang (Strain Theory)

Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa
hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara
tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk
mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang
manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik,
karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
Contoh lainnya adalah para pelaku penggelapan, perampok dan
penipu. Contoh kasus, seorang mahasiswa yang baru kuliah 3 semester di sebuah universitas,
berhasil diterima menjadi dosen dan mengajar selama 3 tahun di salah satu universitas dengan
memakai ijazah palsu. Dalam kasus ini tujuan yang hendak diraih adalah menjadi sarjana, sesuai
dengan tujuan masyarakat, namun caranya memalsukan ijazah adalah bertentangan dengan tujuan
yang ditentukan masyarakat.

3. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)


Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara
intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar
untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan
kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di
pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk
mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.

Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut
Hirschi (1969), yang meliputi :
a. Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer
sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan
ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber
kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan
pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup
delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai
masyarakat.
d. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta
mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat
mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
Contoh Kasus :
Pada koteks Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan
mahasiswa khususnya di Jakarta relevan dengan pendekatan sosiologi makro. Teori disorganisasi
sosial yang tergolong ke dalam pendekatan makro menjelaskan bentuk daerah kejahatan tinggi yang
disebabkan oleh industrialisasi yang pesat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi (Mueller, Laufer
dan Grekul, 2009: 159). Kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan
mahasiswa di Jakarta diakibatkan oleh pembangunan kota Jakarta yang melibatkan imigrasi tanpa
memperhatikan kekuatan regulasi sosial. Teori ini didasarkan kepada gagasan kontrol sosial dan
bagaimana kurang bekerjanya kontrol tersebut baik formal maupun informal akan berkontribusi
kepada kenakalan dan kejahatan (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159).

4. Teori Label (Labeling Theory)


Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu
bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh
masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan
Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan
perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh
melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek
yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-
undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang
melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.

Contoh Kasus :
Kasus teori labelling merupakan teori di mana seseorang memberi label, pernyataan, gelar,
atau panggilan kepada orang lain yang secara tidak langsung mewakili hidup dan sifat seseorang
tersebut. Contohnya adalah kasus misalnya ada seorang pengajar yang mengajar di TPA dan sangat
terampil dalam pengajaran tersebut. Secara tidak langsung, seseorang akan memanggilnya Ustad
karena dinilai memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap agama islam. Contoh kasus lain yaitu
misalnya ada seorang anak yang terlihat sangat berbakti kepada orang tuanya. Anak tersebut
senantiasa tunduk dan patuh terhadap orang tuanya. Maka, orang sekitarnya pasti menyebuknya
sebagai anak yang berbakti dan anak yang saleh.

5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)


Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-
orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di
luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe
ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931),
kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik,
perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar
mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
Contoh Kasus :

Contoh kasus 1
klien pernah mengalami trauma diperkosa oleh pamannya sehingga sangat membenci
pamannya dan berusaha melupakannya. Terapis mencoba menggali informasi dengan membuat
klien mengingatnya sehingga memancing emosi klien maka klien diberikan katarsis (pelampiasan)
yaitu sebuah ruangan dimana klien dapat mengekspresikan kemarahannya seperti berteriak sekeras-
kerasnya didalam ruangan katarsis atau meninju boneka.
Ini merupakan contoh kasus dari asosiasi bebas dimana klien dibiarkan untuk
memunculkan ketidaksadarannya. Hal ini juga berkaitan dengan proses katarsis.

Contoh kasus 2

Kasus yang kedua adalah tentang fobia. Semua penanganan psikoanalisis terhadap fobia
berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan
ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai
simtom dari konflik-konflik yang ada di baliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani.
Memang, upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik dikontraindikasikan karena fobia
diasumsikan melindungi orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu
menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasi analis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan
dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analis
mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan
mengenai fobia. Analis juga berupaya menemukan berbagai petunjuk terhadap penyebab fobia
yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas. Apa yang diyakini analis mengenai penyebab
yang ditekan tersebut tergantung pada teori psikoanalisis tertentu yang dianutnya. Seorang analis
ortodoks akan mencari konflik-konflik yang berkaitan dengan seks arau agresi, sedangkan analis
yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong pasien untuk mempelajari
generalisasi ketakutannya terhadap orang lain.

Contoh kasus 3

Saya memiliki teman dekat dimana dari kecil dia adalah anak yang penakut akan hal-hal
gaib. Sehingga, semasa kecil dia selalu takut untuk menonton film seram. Ditambah lagi mendengar
cerita seram dari orang-orang terdekatnya. Namun hal itu tetap dia lakukan. Sampai-sampai dia
pernah terbawa mimpi akibat menonton film seram yang menyebabkan dia ngompol karena rasa
takut yang dia rasakan. Disamping itu, dia juga termasuk anak yang sangat aktif dalam melakukan
suatu aktivitas. Setiap pulang sekolah dia bermain bersama teman-teman. Namun, hal itu membuat
ayahnya marah. Karena setiap pulang sekolah dia suka bermain, yang seharusnya tidur siang.
Sehingga keniginan untuk bermain sering tertunda. Jika ayahnya tidak dirumah dia suka bermain.
Begitu pula sebaliknya, jika beliau ada dirumah pastinya dia tidak boleh keluar dan disuruh tidur
siang. Itu adalah kasus yang teman saya alami dari umur 6- 10 tahun. Sehingga, pada tahun-tahun
tersebut perkembangan kepribadian teman saya mengalami gangguan yang menyebabkan dirinya
berperilaku sama pada tahun sebelumnya (terjadi regresi).

Anda mungkin juga menyukai