Anda di halaman 1dari 4

Setelah kita membahas tentang ruang lingkup dari kriminologi maka perlu kiranya kita secara lebih

rinci membahas pula apa yang menjadi objek studi dari kriminologi itu sendiri. Kriminologi,
sebenarnya, mengacu pada penggunaan metode ilmiah di dalam studi dan analisa tentang
keteraturan, keseragaman, pola teladan, dan faktor penyebab yang berhubungan dengan kejahatan
dan penjahat dan reaksi sosial terhadap kejahatan maupun penjahat (Sellin, 1998). Dalam
pengertian ini, kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau
penjahat saja tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari “the world of crime”
(dunia kejahatan), atau “the whole aspects of crime” (keseluruhan aspek yang terkait dengan
kejahatan). Dalam mempelajari dunia kejahatan maka kriminologi memiliki asumsi dasar yang
nmenyatakan: tidak mungkin kejahatan dapat dipelajari tanpa mempelajari aspek-aspek yang terkait
dengannya, yakni penjahat dan reaksi sosial terhadap keduanya, baik terhadap kejahatan maupun
terhadap penjahat.
Kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat saja
tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari the world of crime (dunia kejahatan),
atau the whole aspects of crime (keseluruhan aspek yang terkait dengan kejahatan). Secara definitif,
Kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejatan, penjahat, reaksi
sosial terhadap kejahatan dan penjahat, serta kedudukan korban kejahatan.
Mempelajari kejahatan berarti mempelajari hal-hal yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu di mana perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum
(atau melanggar normanorma tingkah laku sosial lainnya). Mengapa orang-orang tertentu
melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan sementara orang-orang lainnya tidak
melakukan perbuatan tersebut, adalah suatu hal yang juga harus dijelaskan oleh kriminologi – yang
tidak terlepas dari penjelasan tentang kejahatan itu sendiri. Reaksi sosial terhadap kejahatan dan
penjahat juga merupakan faktor penting dalam penjelasan mengapa kejahatan dapat terjadi di
masyarakat dan dilakukan oleh orang-orang tertentu. Kita ambil contoh, pencurian misalnya. Secara
sederhana kita tahu bahwa pencurian adalah suatu perbuatan melanggar hukum (pidana dan
norma-norma tingkah laku sosial) yakni mengambil barang milik orang lain tanpa seijin atau
sepengetahuan pemiliknya. Terhadap perbuatan tersebut masyarakat akan memberikan sanksi
negatif. Lalu bagaimana dengan

Pada hakikatnya, teori Differential Association lahir, tumbuh dan berkembang dari kondisi sosial
(social heritage) tahun 1920 dan 1930 dimana FBI (Federal Bureau Investigation-Amerika Serikat)
memulai prosedur pelaporan tahunan kejahatan kepada polisi. Kemudian, sejak diperhatikannya
data ekologi mazhab Chicago (Chicago School) dan data statistik, dipandang bahwa kejahatan
merupakan bagian bidang sosiologi, selain bidang biologi atau psikologi.
Berikutnya, dalam masyarakat AS terjadi depresi sehingga kejahatan timbul dari “product of
situation,opportunity and of comes values” (produk dari situasi, kesempatan dan nilai). Untuk
pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama Edwin H.Sutherland, tahun 1934, dalam bukunya
Principles of Criminology mengemukakan teori Differential Associatio. Bila dirinci lebih detail,
sebenarnya asumsi dasar teori ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas, pengaruh aliran
Symbolic Interactionism dari George Mead, Park dan Burgess dan aliran ekologi dari Clifford R. Shaw
dan Henry D.McKay serta Culture Conflict dari Thorsten Sellin.
Konkritnya, teori Differential Association berlandaskan kepada : “Ecological and Cultural
Transmission Theory, Symbolic Interactionismdan Culture Conflict Theory”. Teori Differential
Association terbagi dua versi. Dimana versi pertama dikemukakan tahun 1939, versi kedua tahun
1947. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology, edisi ketiga yang menegaskan
aspek-aspek berikut :
Pertama, setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola prilaku yang dapat dilaksanakan.
Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan.
Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Selanjutnya, Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association sebagai “the contens of the
patterns presented inassociation”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang
akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi
dari orang lain.
Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential
Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari,tidak ada yang diturunkan
berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari
melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses
terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :
Perilaku kejahatan adalah perilaku yangdipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak
diwariskan.
Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi.
Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisanataupun menggunakan bahasa tubuh.
Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal
yang intim. Secaranegatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melaluibioskop, surat
kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan pentingdalam terjadinya kejahatan.
Ketika perilakukejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan,
(b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.
Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu
masyarakat,kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaanmelihat apa yang diatur
dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yangperlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia
dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang
dilakukannya kejahatan.
Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai
pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus
diperhatikan dan dipatuhi.
Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi,prioritas serta intensitasnya.
Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan
mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.
Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan
bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang
sama.
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat
menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Edwin H. Sutherland
kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar teorinya dapat menjelaskan sebab-
sebab kejahatan, baik kejahatan konvensial maupun kejahatan White-Collar.
Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, temyata teori Differential
Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential
Association bertumpu pada aspek-aspek :
Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial ;
Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karenaadanya/melalui proses belajar menjadi
jahat ;
Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek :
Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan
meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti
petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah berhubungan dengan
tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadipenjahat.
Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang
terlibat dalam proses belajar tersebut.
Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati
undang-undang dan belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori iniagak sulit untuk diteliti, bukan
hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya

Teori ini dikemas dalam dua versi, Pertama pada tahun 1939 dan yang kedua pada tahun 1947. Pada
versi pertama, Sutherland dalam bukunya “Principles” edisi ketiga, memfokuskan pada konflik
budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Pengertian asosiasi diferensial, oleh
Sutherland dimaksudkan bahwa, tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat
akan menyebabkan perilaku criminal, tetapi yang terpenting adalah 2 sisi dari proses komunikasi
dengan orang lain. Munculnya teori asosiasi diferensial ini didasarkan pada tiga hal, yaitu: a. Setiap
orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan b. Kegagalan untuk
mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidak harmonisan. c. Konflik budaya
(Conflick of Cultures ) merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan. Versi kedua , yang
disajikan pada bukunya edisi ke empat (1947 ), Sutherland menekankan bahwa semua tingkah laku
dipelajari. Dengan kata lain, pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab.

Anda mungkin juga menyukai