Disusun Oleh:
Muhammad Yasmin
20150610412
KELAS : F
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia
memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap
hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman
tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula
hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi
kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap
memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para
pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap
hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam
penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam perkembangannya itu, para pakar kriminologi merumuskan tiga perspektif dan
tiga paradigma tentang hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga
perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Sedangkan tiga paradigma dalam
memahami gejala-gejala (reaksi sosial) tersebut adalah Paradigma Positivis, Interaksionis,
dan Sosialis.
Tujuan penyusun mengangkat tema ini adalah untuk memberikan gambaran perbedaan
antara perspektif dan paradigm, dan perbedaan dari masing-masing perspektif dan paradigma
tersebut. Selain itu penyusunan makalah ini juga memiliki tujuan untuk memahami perspektif
dan paradigma tersebut, serta hubungannya dengan teori-teori yang telah dipelajari dalam
kriminologi. Pemahaman ini nantinya diharapkan dapat membantu dalam menjelaskan
tingkah laku kejahatan dan penyimpangan, baik dari segi tingkah laku manusia, sifat dan
karaktersitik kejahatan, asal mula hukum dan sebab musabab kejahatan, dan keterkaitan
antara hukum dengan organisasi kemasyarakatan.
Premis Kedua : Bahwa pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di
antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi
melalui penggunaan bahasa dalam perspektif interaksionisme simbolik.
a. Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
b. Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan
menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku kejahatan yang tidak
tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community
dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The
Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert
(Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling
Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label
menekankan kepada dua aspek, yaitu :
1) Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
2) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Dengan
demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat.
Kemudian F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan
tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
a) Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis
dari dalam ;
b) Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
c) Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-
sub kultur atau sistem tingkah laku
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan
penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks
sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur
fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi
simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku
menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label
mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena
merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini
sering disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar
hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan
kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang
terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya
serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual
asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :
a) Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok
berkuasa.
b) Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
c) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian
oleh penguasa.
d) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat
dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan
individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya,
individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena
itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih
luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971), p. 89-91) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu
sebagai berikut:
1) Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal
2) Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan
kepentingan mereka yangmemiliki kekuasaan.
3) Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan
karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa
4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak
baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
kelompok: kriminal dan non-kriminal
5) Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling
6) Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah
fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7) Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku
kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system
peradilan pidana
8) Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang
memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai
penjahat.
9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra
sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (dikutip
dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950) memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini,
yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada
perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan
dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari
perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat
sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan
Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit
melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan
label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat)
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam perspektif itu
dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini
selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau
tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena
adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah
Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-
sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu
kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana
dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada
proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru
saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia
lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan
dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara
(sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah
keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap
yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu
yang baru keluar dari penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan
kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini
kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang
tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya
sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang.
Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi
perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat
terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari
keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan
terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut
F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses
sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di
sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan
pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus
kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Konsep kontrol eksternal menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes
melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan
bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial
rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan di dalam masyarakat. Kemudian, David
Matza dan Gresham Sykes mengemukakan konsep atau teori yang dikenal dengan technique
of netralization, yaitu suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk
melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan sehingga bebas untuk
melakukan kenakalan. Teknik netralisasi ini dirinci David Matza dan Gresham Sykes,
sebagai berikut :
Travis Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang
mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality. Travis Hirschi
berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah
lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud,
Travis Travis Hirschi juga menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak
adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat. Teori
kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau
anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya
tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya
demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar
yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal
timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja,
“mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma masyarakat” atau “mengapa kita tidak
melakukan penyimpangan?” Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial
(social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia
untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka
orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Kaitan
attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran,
perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan.
Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan. Ikatan pertama yaitu keterikatan
dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya.
Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti
sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang
ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan,
kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut
dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya. Ketiga, Involvement
merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam
organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian
ini adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan
tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat
akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Keempat,
Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda
dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral
yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan
terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi
hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar
kemungkinan melakukan pelanggaran.
Hubungan elemen terakhir dari teori kontrol sosial adalah antara Attachment dan
Belief, bahwa terdapat hubungan yang kurang lebih berbanding lurus antara keterikatan
dengan yang lainnya dan kepercayaan dalam keabsahan moral dari peraturan yang ada. Teori
kontrol mempunyai sejumlah kelemahan maupun kelebihan. Adapun kelemahannya
berorientasi pada :
1. teori ini berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang
dewasa ;
2. teori ini menaruh perhatian cukup besar pada sikap, keinginan dan tingkah laku yang
meski menyimpang sering merupakan tingkah laku orang dewasa ;
3. ikatan sosial (social bond) dalam teori Hirschi seperti values, belief, norma dan
attitudes tidak pernah secara jelas didefinisikan ;
4. kegagalan dalam menjelaskan peluang kejadian yang menghasilkan lebih tidaknya
social bond.
1. teori ini dapat diuji secara empiris oleh banyak sarjana seperti Wiatrowski, Griswold
dan Roberts ;
2. teori kontrol sosial merupakan salah satu teori kontemporer yang memiliki daya tarik
kuat dalam dalam hal mendorong penelitian-penelitian yang berarti
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan
mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di
dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah
kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari
solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan
dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan
perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan
pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan
penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu
paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga
masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam.
B. SARAN
Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Penerbit PT
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 317-318 dan Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum...., Ibid..,
hlm. 110
Frank P. William III dan Marilyn McShane, Criminological Theory, New Jersey Printice hall,
Englewood Cliffs , 1988, hlm. 4.
Frank P. William III dan Marilyn McShane, Criminological ..., Ibid., hlm. 6.