Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH KRIMINOLOGI DAN VICTIMOLOGI

TENTANG KRIMINOLOGI HUKUM

Disusun Oleh:

Muhammad Yasmin

20150610412

KELAS : F

DOSEN PENGAMPU : Bpk Trisno Raharjo, S.H.,M.Hum

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan.
Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya
serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain
sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami
perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-
permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.

Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia
memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap
hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman
tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula
hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi
kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap
memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para
pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap
hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam
penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.

Dalam perkembangannya itu, para pakar kriminologi merumuskan tiga perspektif dan
tiga paradigma tentang hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga
perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Sedangkan tiga paradigma dalam
memahami gejala-gejala (reaksi sosial) tersebut adalah Paradigma Positivis, Interaksionis,
dan Sosialis.

Tujuan penyusun mengangkat tema ini adalah untuk memberikan gambaran perbedaan
antara perspektif dan paradigm, dan perbedaan dari masing-masing perspektif dan paradigma
tersebut. Selain itu penyusunan makalah ini juga memiliki tujuan untuk memahami perspektif
dan paradigma tersebut, serta hubungannya dengan teori-teori yang telah dipelajari dalam
kriminologi. Pemahaman ini nantinya diharapkan dapat membantu dalam menjelaskan
tingkah laku kejahatan dan penyimpangan, baik dari segi tingkah laku manusia, sifat dan
karaktersitik kejahatan, asal mula hukum dan sebab musabab kejahatan, dan keterkaitan
antara hukum dengan organisasi kemasyarakatan.

B.  RUMUSAN MASALAH


Dengan melihat latar belakang di atas penulis telah mengetahui bahwa perlunya teori teori
dalam kriminologi yang merupakan permasalahan yang harus dibahas dalam makalah ini,
yaitu:
a. Teori interaksionis;
b. Teori labeling; dan
c. Teori Kontrol Sosial atau Ikatan sosial.
BAB II
PEMBAHASAN

A.     TEORI INTERAKSIONIS


Teori ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok.
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang
pemaknaan, bahasa, dan pikiran. Premis ini nantinya mengutarakan kepada konsep ‘diri’
seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Premis Pertama : Bahwa manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia lainnya yang
pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.

Premis Kedua : Bahwa pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di
antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi
melalui penggunaan bahasa dalam perspektif interaksionisme simbolik.

Premis Ketiga : Bahwa interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir


sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif

B.     TEORI LABELING


Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago.
Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu :

a. Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
b. Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan
menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku kejahatan yang tidak
tertangkap/tidak diketahui polisi.

Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community
dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The
Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert
(Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling
Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label
menekankan kepada dua aspek, yaitu :

1) Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
2) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Dengan
demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat.
Kemudian F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan
tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
a) Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis
dari dalam ;
b) Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
c) Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-
sub kultur atau sistem tingkah laku

F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan
penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks
sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur
fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi
simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku
menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label
mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena
merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini
sering disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar
hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan
kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang
terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya
serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual
asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :

a) Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok
berkuasa.
b) Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
c) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian
oleh penguasa.
d) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat
dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan
individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya,
individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena
itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih
luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.

Schrag (1971), p. 89-91) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu
sebagai berikut:

1) Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal
2) Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan
kepentingan mereka yangmemiliki kekuasaan.
3) Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan
karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa
4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak
baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
kelompok: kriminal dan non-kriminal
5) Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling
6) Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah
fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7) Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku
kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system
peradilan pidana
8) Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang
memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai
penjahat.
9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra
sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (dikutip
dari Hagan, 1989: p. 453-454)

Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini,
yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada
perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan
dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari
perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat
sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan
Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit
melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan
label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat)

Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam perspektif itu
dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini
selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau
tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena
adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah
Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-
sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu
kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana
dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada
proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.

Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru
saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia
lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan
dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara
(sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah
keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap
yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu
yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan
kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini
kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang
tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya
sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang.
Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi
perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.

C.      TEORI CONTROL SOSIAL


Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan
kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa
orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang
melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya,
pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama,
adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku
kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kucang menyukai
“kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu
penjahat (criminal). Kedua, munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu
ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada
sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru,
khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.

Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan


pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr
menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran
Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen
kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :

1. A lack of proper internal controls developed during childhood (kurangnya kontrol


internal yang memadai selama masa anak-anak).
2. A breakdown of those internal controls (hilangnya kontrol internal).
3. An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the
family, close other, the school) (tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara
norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah)

Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal


control dan sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan
diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-
lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif.
Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “Commitment” individu sebagai
kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot
Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/
penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain
digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. Walter Walter
Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja
merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan
eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment internal dan eksternal memiliki
posisi netral, berada dalam tarikan sosial (social pull) lingkungan dan dorongan dari dalam
individu. F. Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family Relationsip and Delinquent
Behavior (1958), mengemukakan teori kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang
kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak
menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultur dalam proses terjadinya
kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan antara hasil
proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.

Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat
terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari
keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan
terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut
F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses
sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di
sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan
pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus
kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).

Asumsi teori kontrol yang dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari :

a. harus ada kontrol internal maupun eksternal;


b. manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran ;
c. pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang adequat (memadai), akan
mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan proses pendidikan
terhadap seseorang ; dan
d. diharapkan remaja mentaati hukum (law abiding).

Menurut F. Ivan Nye terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :

a. direct control imposed from without by means of restriction and punishment


(kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan
hukum) ;
b. internalized control exercised from within through conscience (kontrol
internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar) ;
c. indirect control related to affectional identification with parent and other non-
criminal persons, (kontrol tidak langunsung yang berhubungan dengan
pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang
yang bukan pelaku kriminal lainnya) ; dan
d. availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-
nilai alternatif untuk mencapai tujuan).

Konsep kontrol eksternal menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes
melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan
bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial
rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan di dalam masyarakat. Kemudian, David
Matza dan Gresham Sykes mengemukakan konsep atau teori yang dikenal dengan technique
of netralization, yaitu suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk
melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan sehingga bebas untuk
melakukan kenakalan. Teknik netralisasi ini dirinci David Matza dan Gresham Sykes,
sebagai berikut :

1. Teknik yang disebut denial of responsibility, menunjuk pada suatu anggapan di


kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa dirinya merupakan korban dari orang
tua yang tidak kasih, lingkungan pergaulan yang buruk atau berasal dari tempat
tinggal kumuh (slum).
2. Teknik denial of injury, menunjuk kepada suatu alasan di kalangan remaja nakal
bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu bahaya yang
besar/berarti. Sehingga, mereka beranggapan bahwa vandalisme merupakan kelalaian
semata-mata dan mencuri mobil sesungguhnya meminjam mobil, perkelahian antara
gang merupakan pertengkaran biasa.
3. Teknik denial of the victim, menunjuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal
bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka
yang melakukan kejahatan.
4. Teknik yang disebut condemnation of the comdemners, menunjuk kepada suatu
anggapan bahwa polisi sebagai hipokrit, munafik atau pelaku kejahatan terselubung
yang melakukan kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada mereka.
Pengaruh teknik ini adalah mengubah subyek yang menjadi pusat perhatian, berpaling
dari perbuatan-perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya.
5. Teknik appeal to higher loyalties, menunjuk pada suatu anggapan di kalangan remaja
nakal bahwa mereka tertangkap di antara tuntutan masyarakat, hukum dan kehendak
kelompok mereka.
` Kelima teknik netralisasi di atas menurut David Matza (1964), yang kemudian
ditegaskan sebagai penyimpangan atas apa yang disebut sebagai bond to moral order,
mengakibatkan seseorang terjerumus dalam keadaan dimana kenakalan remaja atau
penyimpangan tingkah laku sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Versi teori sosial yang
paling andal dan sangat populer dikemukakan Travis Hirschi (1969). Hirschi, dengan
keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah memberikan suatu
gambaran jelas mengenai konsep social bond.

Travis Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang
mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality. Travis Hirschi
berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah
lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud,
Travis Travis Hirschi juga menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak
adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat. Teori
kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau
anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya
tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya
demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar
yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal
timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja,
“mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma masyarakat” atau “mengapa kita tidak
melakukan penyimpangan?” Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial
(social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia
untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka
orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Kaitan
attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran,
perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan.
Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan. Ikatan pertama yaitu keterikatan
dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya. 
Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti
sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang
ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan,
kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut
dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya. Ketiga, Involvement
merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam
organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian
ini adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan
tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat
akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Keempat,
Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda
dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral
yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan
terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi
hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar
kemungkinan melakukan pelanggaran.

Hubungan antara Attachment dan Commitment seringkali dinyatakan cenderung


berubah-ubah secara terbalik. Menurut riset tentang delinkuen, salah satu “masalah” anak
remaja dari kelas bawah adalah bahwa dia tidak mampu memutuskan keterikatan dengan
orang tua dan kawan sebaya. Keterikatan yang mencegahnya mencurahkan waktu dan energi
yang cukup bagi aspirasi pendidikan dan pekerjaan. Menurut riset stratifikasi, anak lelaki
yang terbebas dari keterikatan ini lebih memungkinkan untuk berpindah-pindah ke kelas atas.
Kedua tradisi riset demikian menyatakan bahwa orang-orang yang terikat pada conformity
(persesuaian) karena alasan-alasan instrumental kurang mungkin untuk terikat persesuaian
berdasarkan alasan emosional yang lainnya. Apabila mereka yang tidak terikat
dikompensasikan atas kekurangan keterikatan berdasarkan komitmen untuk berprestasi dan
apabila yang tidak melakukannya berubah menjadi terikat dengan orang-orang, kita bisa
menyimpulkan bahwa baik attachment maupun commitment tidak akan dihubungkan dengan
kejahatan. Pertautan paling jelas antara unsur/elemen commitment dan involvement nampak
dalam komitmen di bidang pendidikan dan pekerjaan sertaketerlibatan dalam aktivitas-
aktivitas konvensional. Kita dapat berusaha memperlihatkan bagaimana komitmen
membatasi kesempatan seseorang untuk melakukan kejahatan dan dengan demikian
dijauhkan dari anggapan (asumsi) banyak teori kontrol bahwa kesempatan-kesempatan
seperti itu secara sederhana dan acak disebarkan melalui populasi yang diperlukan.

Hubungan elemen terakhir dari teori kontrol sosial adalah antara Attachment dan
Belief, bahwa terdapat hubungan yang kurang lebih berbanding lurus antara keterikatan
dengan yang lainnya dan kepercayaan dalam keabsahan moral dari peraturan yang ada. Teori
kontrol mempunyai sejumlah kelemahan maupun kelebihan. Adapun kelemahannya
berorientasi pada :

1. teori ini berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang
dewasa ;
2. teori ini menaruh perhatian cukup besar pada sikap, keinginan dan tingkah laku yang
meski menyimpang sering merupakan tingkah laku orang dewasa ;
3. ikatan sosial (social bond) dalam teori Hirschi seperti values, belief, norma dan
attitudes tidak pernah secara jelas didefinisikan ;
4. kegagalan dalam menjelaskan peluang kejadian yang menghasilkan lebih tidaknya
social bond.

Sedangkan kekuatan kontrol sosial terletak pada aspek-aspek :

1. teori ini dapat diuji secara empiris oleh banyak sarjana seperti Wiatrowski, Griswold
dan Roberts ;
2. teori kontrol sosial merupakan salah satu teori kontemporer yang memiliki daya tarik
kuat dalam dalam hal mendorong penelitian-penelitian yang berarti
BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan
mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di
dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah
kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari
solusinya.

Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan
dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan
perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan
pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan
penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu
paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga
masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam.

Keterkaitan dan kesesuaian antara teori-teori kriminologi dengan perspektif dan


paradigma yang ada merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan.
Sejatinya, teori-teori kriminologi merupakan elemen-elemen yang membentuk paradigma
tersebut sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap perspektif yang dimiliki
secara jelas dan ilmiah. Ketidakpahaman kita terhadap kesesuaian teori dengan paradigma
akan berdampak kepada hasil pengamatan pengkajian yang keliru dan sulit untuk
dipertanggungjawabkan.

Dalam makalah ini, penyusun memberikan ringkasan akhir berdasarkan pemahaman


penyusun tentang perspektif dan paradima dan kesesuaiannya dengan teori yang ada, yaitu
sebagai berikut:

1. Masing-masing dari teori-teori yang ada memiliki hubungan kesesuaian dengan


perspektif dan paradigma yang ada tergantung dari penekanan dari masing-masing
perspektif dan paradigma tersebut.
2. Teori Struktur Sosial dan Teori Pengendalian Sosial termasuk dalam Perspektif
Konsensus dan Paradigma Positivis karena pengkajian dan pengujian yang dilakukan oleh
para penggagas teori-teori tersebut dengan melakukan suatu metode ilmiah. Dua teori ini
menjelaskan hubungan sebab-akibat terjadinya suatu tindak kejahatan, di mana hubungan
sebab-akibat adalah penekanan dalam Paradigma Positivis.
3. Teori Labeling termasuk ke dalam Perspektif Pluralis dan Paradigma Interaksionis.
Labeling merupakan hasil dari interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungan
sosialnya. Proses labeling ini mempengaruhi latar belakang psikologi-sosial masing-
masing individu yang beragam.

B.     SARAN

Demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan kritikan dan masukan


yang bersifat membanguna guna menuju kesempurnaan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004

Mustofa, Muhammad. Kriminologi. Jakarta: FISIP UI Press, 2007.

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Penerbit PT
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 317-318 dan Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum...., Ibid..,
hlm. 110
  Frank P. William III dan Marilyn McShane, Criminological Theory, New Jersey Printice hall,
Englewood Cliffs , 1988, hlm. 4.
Frank P. William III dan Marilyn McShane, Criminological ..., Ibid., hlm. 6.

Anda mungkin juga menyukai