Anda di halaman 1dari 136

HASIL PENELITIAN

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)


TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI
JUAL BELI YANG TIDAK DIDAFTARKAN

RESPONSIBILITIES OF LAND DEED OFFICIALS (PPAT) FOR THE


TRANSFER OF LAND RIGHTS THROUGH UNREGISTERED
SALES AND PURCHASES

Oleh :
HILDAYANTI B
NIM: B022191018

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
HALAMAN JUDUL

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)


TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI
JUAL BELI YANG TIDAK DIDAFTARKAN

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar magister pada

Program Studi Magister Kenotariatan

Disusun dan diajukan oleh :

HILDAYANTI B
NIM: B022191018

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)


TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI
JUAL BELI YANG TIDAK DIDAFTARKAN

Diajukan dan disusun oleh :

HILDAYANTI B
NIM: B022191018

Untuk Tahap Ujian HASIL


Pada Tanggal ...............................
Menyetujui :

Komisi Penasehat

Ketua Anggota

Dr. Kahar Lahae, S.H.,M.Hum Dr.Muhammad Ilham Arisaputra,S.H.,M.Kn


NIP : 196612311990021001 NIP : 198408182010121005

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Dr. Sri Susyanti Nur, SH.,M.H


NIP : 19641123 199002 2 001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : HILDAYANTI B
NIM : B022191018
Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang berjudul

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Peralihan Hak

Atas Tanah Melalui Jual Beli Yang Tidak Didaftarkan adalah benar-benar

karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran

orang lain dan hal yang bukan karya saya dalam penulisan tesis ini, diberi

tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa, sebagian atau

keseluruhan isi tesis ini adalah hasil karya orang lain, atau dikutip tanpa

menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang

berlaku.

Makassar,

Yang membuat pernyataan,

HILDAYANTI B
NIM : B022191018

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Waabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas

di berikannya rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga diberikan kemudahan

dalam penulisan tesis ini yang berjudul “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta

Tanah Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Yang Tidak

Didaftarkan”, dapat terselesaikan dengan baik, walau masih jauh dari

kesempurnaan. Adapun penyusunan tesis ini bertujuan untuk memenuhi syarat

akademik dalam menyelesaikan Strata Dua (S2), pada Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih

kepada :

1. Kepada bapak Rektor Universitas Hasanuddin Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Jompa,

M.Sc, Prof.Dr.Ir. Muh. Restu MP, selaku Wakil Rektor Bidang Akademik,

Prof.Ir. Sumbangan Baja, M.Phil.,Ph.D, selaku Wakil Rektor Bidang

Perencanaan, Keuangan, dan infrastruktur, Prof.Dr.drg. A. Arsunan Arsi,

M.Kes, selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni dan Prof.

dr. Muh. Nasrum Massi, Ph.D selaku Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan

Kemitraan.

2. Ibu Prof Farida Pattitingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., selaku

Wakil Dekan Bidang Akademik, Riset dan Inovasi, Bapak Dr. Syamsuddin

v
Muchtar, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Keuangan

dan Sumber Daya Manusia, Bapak Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H., selaku Wakil

Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan.

3. Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H, Dr. Sri Susyanti Nur, S.H.,M.H, dan

Dr.Abdul Muis, S.H.,M.H, selaku penguji penulis yang telah memberikan

banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Guru Besar dan seluruh dosen pengajar Program Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah berjasa dengan tulus

dan ikhlas memberikan bimbingan ilmu pengetahuan yang sangat berharga

selama mengikuti pendidikan.

6. A. Lola Rosalina S.H, Endang Soelianti, S.H, Ria Trisnomurti, S.H, dan Niny

Savitry S.H., selaku Notaris di Kota Makassar yang telah bersedia

meluangkan waktu, berbagi ilmu dan pengetahuan dengan penulis yang

berkaitan dengan penelitian penulis.

7. Ucapan terimakasih yang tiada hentinya kepada orang tua penulis Ayahanda

Budiamin Hambali dan Ibunda Ilmidawati Mahmud yang telah melahirkan,

membesarkan, memberikan doa dan dukungan yang tiada hentinya dan

segala hal yang tidak dapat penulis sebut satu persatu dan tidak dapat

penulis balas sampai kapanpun, kepada saudara penulis Hardiyanti

Budiamin yang telah memberikan motivasi, doa yang tulus dan dukungan

vi
moril sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan menyelesaikan

tesis ini.

8. Sahabat-sahabat penulis di S2 Kenotariatan Ni Kadek Mekar Sari, S.H., M.

Kn., Utari Andani Putri Darmawangsa, S.H., M.Kn., Sri Mayanti, S.H., dan

Alfia Ratu Rahman, S.H terima kasih atas dukungan dan bantuannya yang

telah diberikan kepada penulis.

9. Seluruh Staf dan Karyawan Akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang senantiasa membantu kelancaran administrasi.

10. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin AKTA 2019 terimakasih atas kebersamaannya dan

dukungannya selama ini.

Terima kasih atas waktu, arahan dan masukan yang sangat berharga.

Semoga segala amal dan budi baik serta kerja sama dari semua pihak,

mendapat balasan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.

Makassar,

HILDAYANTI B

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN...............................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
ABSTRAK..............................................................................................................x
ABSTRACT..........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................10
C. Tujuan Penelitian....................................................................................11
D. Manfaat Penelitian..................................................................................11
E. Orisinalitas Penelitian...........................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................17
A. Pejabat Pembuat Akta Tanah..............................................................17
B. Peralihan Hak Atas Tanah....................................................................31
C. Pendaftaran Tanah.................................................................................43
D. Landasan Teori.......................................................................................49
1. Teori PertanggungJawaban............................................................49
2. Teori Kepastian Hukum.....................................................................53
E. Kerangka Pikir.........................................................................................59
F. Bagan Kerangka Pikir............................................................................60
G. Definisi Operasional..............................................................................61
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................63
A. Tipe Penelitian.........................................................................................63
B. Jenis Pendekatan...................................................................................63
C. Lokasi Penelitian....................................................................................64
D. Bahan Hukum Penelitian......................................................................64
E. Teknik Pengumpulan Data...................................................................65
F. Analisis Data............................................................................................66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................67

viii
A. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual Beli yang Tidak
Didaftarkan Ke Kantor Pertanahan Oleh PPAT..............................67
B. Implikasi Hukum Akta Jual Beli Tanah dan Atau Bangunan
yang Tidak Didaftarkan Oleh PPAT................................................104
BAB V PENUTUP.............................................................................................119
A. Kesimpulan............................................................................................119
B. Saran........................................................................................................120
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................121

ix
ABSTRAK
HILDAYANTI B. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli yang Tidak
Didaftarkan. Dibimbing oleh Kahar Lahae dan Muhammad Ilham
Arisaputra).
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Untuk mengevaluasi dan menganalisis
tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang telah memenuhi syarat jual
beli tetapi tidak didaftarkan ke Kantor Pertanahan oleh PPAT; dan (2) Untuk
mengevaluasi dan menganalisis implikasi hukum akta jual beli tanah dan atau
bangunan yang tidak didaftarkan oleh PPAT.
Jenis penelitian adalah penelitian hukum empiris, dengan menggunakan
pendekatan struktural, lokasi penelitian di Kota Makassar Jenis dan sumber
data adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data adalah
dengan wawancara dan studi literatur selanjutnya dianalisis secara kualitatif
dan dipaparkan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tanggung Jawab PPAT terhadap
Akta Jual Beli yang tidak didaftarkan ke Kantor Pertanahan adalah berupa
tanggung jawab administratif dan tanggung jawab secara perdata. PPAT
bertanggung jawab secara administratif karena pelanggaran terhadap Pasal 40
PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah pelanggaran
administratif, pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pelaporan kepada
Majelis Pengawas PPAT dan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada PPAT yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah berupa teguran
tertulis. Oleh karena kesalahan yang dilakukan oleh PPAT XXX menyebabkan
kerugian bagi pembeli maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan ganti kerugian kepada PPAT tersebut. Dalam kasus ini majelis hakim
memberi putusan agar PPAT XXX bertanggung jawab dengan memerintahkan
kepada PPAT XXX dengan seketika memohonkan pendaftaran dan pencatatan
peralihan hak dan balik nama buku asli Sertipikat dan segera menyerahkannya
kepada pembeli.(2) Implikasi hukum akta jual beli tanah dan atau bangunan
yang tidak didaftarkan oleh PPAT adalah tidak mengakibatkan akta jual beli
tersebut batal demi hukum. Akta jual beli yang tidak didaftarkan tetap sah, akta
tetap berlaku dan tetap bisa didaftarkan di kemudian hari. Akta jual beli tersebut
tetap sebagai akta otentik namun tidak memenuhi syarat administrasi
pendaftaran tanah dan memiliki risiko dapat menyebabkan timbulnya sengketa
di kemudian hari.

Kata Kunci: Akta Jual Beli, PPAT, Pendaftaran Tanah

x
ABSTRACT
HILDAYANTI B. Responsibilities of Land Deed Officials (PPAT) for the
Transfer of Land Rights Through Unregistered Sales and Purchases.
Supervised by Kahar Lahae and Muhammad Ilham Arisaputra.
This study aimed to (1) To evaluate and analyze PPAT's responsibility for
the sale and purchase deed that has fulfilled the sale and purchase
requirements but is not registered with the Land Office by PPAT; and (2) To
evaluate and analyze the legal implications of the deed of sale and purchase of
land and or buildings that are not registered by PPAT.
The type of research is empirical legal research, by using structural approach
with the research location in Makassar City. Types and sources of data are
primary data and secondary data. Data collection techniques are interviews and
literature studies which are then analyzed qualitatively and presented
descriptively.
The results showed that (1) PPAT's responsibility for the Sale and Purchase
Deed that is not registered with the Land Office is in the form of administrative
responsibility and civil liability. PPAT is administratively responsible because a
violation of Article 40 PP Number 24 of 1997 concerning Land Registration is an
administrative violation, parties who feel aggrieved can report to the PPAT
Supervisory Council and sanctions that can be imposed on PPAT who violate
these provisions are in the form of a written warning. . Because the mistakes
made by PPAT XXX caused losses to the buyer, the party who felt aggrieved
could file a claim for compensation to the PPAT. In this case, the panel of
judges gave a decision that PPAT XXX was responsible by ordering PPAT XXX
to immediately request registration and recording of the transfer of rights and
the transfer of the original book name of the Certificate and immediately hand it
over to the buyer. (2) The legal implication of the sale and purchase deed of
land and or buildings that are not registered by the PPAT is that it does not
result in the sale and purchase deed being null and void. The sale and
purchase deed that is not registered is still valid, the deed remains valid and
can still be registered at a later date. The sale and purchase deed remains as
an authentic deed but does not meet the administrative requirements for land
registration and has the risk of causing disputes in the future.

Keywords: Deed of Sale and Purchase, PPAT, Land Registration

xi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan

hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu, tanah adalah karunia

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Oleh karena itu,

harus dikelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang

akan datang. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan

manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang

mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di

atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah, dapat

dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung

maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. 1

Semakin bertambahnya kegiatan perekonomian dan kegiatan industrial

maka tanah sangat berperan penting dalam pembangunan guna menopang

pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk, hal tersebut

menjadikan tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu untuk social asset dan

untuk capital asset. Digunakan sebagai social asset karena tanah

merupakan pengikat kesatuan sosial dan digunakan sebagai capital asset

1
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Toneko, 2011, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Hal. 117
2

karena tanah dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang dapat

digunakan untuk perniagaan dan juga objek spekulasi dan juga dapat

digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. 2

Keberadaan tanah dijamin dalam Undang-undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang dikenal dengan singkatan

UUD 1945, Pasal 33 angka (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebagai suatu

aturan dan norma kewenangan (bevoegdheidsnorm), Pasal 33 angka (3)

yang disebutkan mengatribusikan kewenagan kepada subjek hukum dalam

hal ini Negara untuk melakukan perbuatan hukum terhadap sumber daya

alam (bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).

Implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian lahir Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat

UUPA).3

Salah satu tujuan pokok dibentuknya UUPA adalah memberikan

kepastian hukum bagi seluruh rakyat mengenai hak-hak atas tanahnya.

Berkaitan dengan arti penting kepastian hukum penguasaan tanah terutama

dalam kehidupan bernegara, maka Perundang-Undangan Agraria di

2
Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang:
Banyumedia, Hal.1
3
Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Reforma Agraria Di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta: Sinar Grafika, Hal 1
3

Indonesia mengatur tentang Pendaftaran Tanah dalam rangka menjamin

kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah yang dimaksud. Dalam

rangka menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, maka

menurut Undang-Undang “Sertifikat” merupakan alat pembuktian yang kuat

sehingga bagi pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan

hukum. Dengan sertifikat itu maka pemegang hak atas tanah akan terjamin

eksetensinya.4

Kepastian hukum dari tanah tersebut serta kepemilikan secara hukum

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA ayat (1) adalah untuk

menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah.5 Ketentuan mengenai Pendaftaran Tanah

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian pada tanggal 8 Juli 1997 diubah

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Selanjutnya adapun tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa untuk

memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang

4
Harris Yonata Parmahan Sibuea, 2011, Arti Penting Pendaftaran Tanah Untuk
Pertamakali, Jurnal Negara Hukum, Vol.2 No 2 Hal. 289
5
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA dan
Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, Hal. 555.
4

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan dan juga untuk menyediakan informasi kepada

pihak-pihak yang berkepentingan serta untuk terselenggaranya tertib

administrasi pertanahan. Setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak

atas tanah wajib didaftar di Kantor Pertanahan demi tercapainya tertib

administrasi pertanahan yang akurat yaitu agar data-data yang menyangkut

tanah yang tercantum dalam sertifikat memiliki kesesuian dengan data di

lapangan dan tidak ada permasalahan dikemudian hari.

Pendaftaran peralihan hak atas tanah dapat dilakukan oleh pejabat

yang berwenang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan, yang

mana dalam peraturan tersebut pemerintah memberi amanah kepada

pejabat yang berwenang di bidang pertanahan, yakni Pejabat Pembuat Akta

Tanah yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan PPAT. Berdasarkan

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menentukan bahwa:

1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran


tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah
sebagai berikut:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
5

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);


e. pembagian hak bersama; dan
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
g. pemberian Hak Tanggungan.
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

PPAT mempunyai peranan besar dalam peralihan hak atas tanah

karena memiliki tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka

melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai

bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

yang merupakan akta otentik. Salah satu bentuk peralihan hak atas tanah

yang paling sering dijumpai adalah jual beli tanah, PPAT dalam menjalankan

jabatannya terutama dalam pembuatan akta jual beli tanah dituntut untuk

melakukan pengecekan riwayat tanah sebelum melakukan proses peralihan

hak atas tanah sebagaimana di atur dalam Pasal 54 ayat (1) Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Tindakan ini untuk

mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan di kemudian hari. Dalam

melakukan pengecekan riwayat tanah beberapa hal yang harus diperhatikan

yaitu, pastikan bahwa tanah tersebut memang dimiliki secara sah oleh si

penjual, memeriksa catatan peralihan hak atas tanah tersebut apakah

sebelumnya telah terjadi jual beli, hibah, atau terjadi sengketa.

Akta jual beli pemilikan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan

PPAT merupakan salah satu persyaratan untuk melakukan pendaftaran


6

peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan, hal ini berimplikasi pada

kepastian hukum tentang status tanah tersebut. Dalam melaksanakan

pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak, PPAT wajib

menyampaikan akta PPAT dan dokumen lain yang diperlukan kepada Kantor

Pertanahan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa:

1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal


ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen
yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah
disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat(1) kepada
para pihak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang juga dipertegas dalam ketentuan

Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, mengatur bahwa Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak

tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib

menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen- dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Artinya, selaku

pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang

dibuatnya kepada Kantor Pertanahan agar dapat dilaksanakan proses

pendaftaran peralihan haknya oleh Kantor Pertanahan.


7

PPAT sebagai pejabat umum wajib mematuhi peraturan

perundangundangan yang diamanatkan kepadanya untuk mencegah

penyimpangan hukum, namun ada kalanya PPAT justru tidak melakukan

kewajibannya sehingga merugikan pihak yang bersangkutan.

Pada praktiknya ditemukan bahwa selain membuat akta jual beli dan

menyampaikan akta jual beli ke Kantor BPN, seringkali juga penghadap atau

pembeli meminta bantuan kepada PPAT untuk mengurus pendaftaran dan

juga balik nama atas tanah yang telah dibelinya guna melakukan

pendaftaran dan balik nama ke kantor pertanahan. Pembeli pada umumnya

memberikan kuasa pengurusan balik nama kepada PPAT.

Terkait hal tersebut di atas, terdapat kasus seorang PPAT di Kota

Makassar yang telah membuat Akta Jual Beli No.115/2012 tertanggal 3 April

2012, dalam proses pembuatan aktanya PPAT tersebut telah memenuhi

prosedur hukum pembuatan akta otentik sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Namun PPAT tersebut mengabaikan

salah satu kewajibannya yaitu terkait hal yang diatur dalam Pasal 40

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

PPAT tersebut di atas, yaitu tidak melaksanakan ketentuan pada Pasal 40

ayat (1) dan (2) tersebut di atas, tidak menyampaikan akta yang dibuatnya

berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan

untuk didaftar dan tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai

telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada


8

para pihak yang bersangkutan. Hingga 8 (delapan) tahun setelah

diterbitkannya akta jual beli tanpa alasan yang jelas PPAT tersebut tidak

memohonkan pencatatan dan pendaftaran peralihan hak dan balik nama

sertipikat pada Kantor Pertanahan sebagaimana telah disepakati di awal

bahwa pembuatan Akta Jual Beli dan pengurusan balik nama sertipikat akan

dilakukan oleh PPAT. Walaupun pengurusan balik nama sertipikat bukan

merupakan kewajiban PPAT namun hal ini telah disepakati bersama di awal

transaksi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa PPAT tersebut

tidak melakukan pendaftaran akta jual beli yang telah dibuatnya, hal ini

menyebabkan pihak klien (pembeli) tidak dapat mengurus sendiri proses

balik nama karena akta jual beli tersebut belum didaftarkan oleh pihak PPAT.

Oleh karena pihak pembeli merasa dirugikan akan hal tersebut maka

pembeli mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Kota Makassar terhadap

PPAT dan penjual dengan nomor perkara : 262/Pdt.G/2019/PN Mks.

Pada kasus tersebut di mana pembeli sebagai penggugat telah

membeli 1 (satu) unit bangunan ruko di atas tanah seluas 115 M 2 (seratus

lima belas meter persegi) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan KM 9,

Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar,

Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 115/2012

tertanggal 3 April 2012 dan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 50 tanggal 19

Mei 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh PPAT XX yang didasarkan

Akta Surat Kuasa Menjual Nomor 08 tertanggal 18 Mei 2010 atas Sertipikat
9

Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah sesuai Surat Ukur Nomor

03487/Tamalanrea Indah/2009. Bahwa diajukannya gugatan ke Pengadilan

dari pembeli kepada PPAT XX karena pendaftaran dan balik nama sertipikat

tidak terlaksana dan tertunda selama 8 (delapan) tahun, nama pembeli tidak

tercatat sebagai pemilik hak atas tanah sesuai dengan AJB yang telah dibuat

oleh PPAT tersebut, karena PPAT tidak melakukan pendaftaran kepada

Kantor Pertanahan sesuai dengan yang telah disepakati di awal transaksi.

PPAT XX tersebut di atas juga tanpa alasan yang jelas telah sengaja

tidak memohonkan balik nama sertipikat padahal telah diminta oleh pembeli

disertai menyerahkan uang biaya balik nama untuk diajukan permohonan di

Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat yakni Kantor ATR BPN Kota

Makassar. Oleh karena PPAT tidak melaksanakan sesuai dengan yang

disepakati pada awal transaksi maka pembeli berniat memohonkan sendiri

balik nama sertipikat dan meminta kepada PPAT XX untuk menyerahkan

Sertipikat Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah namun ditolak oleh PPAT

tersebut tanpa alasan yang jelas. Dengan adanya permasalahan ini pembeli

sebagai penggugat merasa dirugikan dengan tidak didaftarkannya akta yang

telah dibuat PPAT tersebut dan tidak diprosesnya permohonan pencatatan

dan pendaftaran peralihan hak dan balik nama sertipikat yang telah

disepakati sebelum pembuatan akta jual beli yaitu segala proses pendaftaran

dan peralihan hak termasuk balik nama sertipikat dilimpahkan melalui kuasa

kepada PPAT, mengingat pembeli telah membayar secara tuntas dan lunas
10

harga ruko dan telah pula membayar Pajak Bumi dan Bangunan ruko

tersebut hingga saat ini.

Masalah ini jelas menimbulkan kerugian bagi pembeli selaku penggugat

yang telah membayar tuntas dan lunas harga jual beli ruko, telah membayar

biaya PPAT dan telah membayar PBB ruko sampai saat ini dan untuk

menyelesaikan masalah ini telah menyita pikiran, waktu dan biaya yang tidak

sedikit yang telah dikeluarkan oleh pembeli. Kerugian materiil dan non

materiil yang dialami oleh pembeli tersebut menjadi dasar diajukannya

gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh pembeli kepada

PPAT berdasarkan Pasal 1365 BW, oleh karena kesalahan PPAT tersebut

yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan Pasal

40 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan tidak melaksanakan kesepakatan yang

sejak awal transaksi telah disepakati bahwa segala proses pendaftaran

peralihan hak diserahkan kepada PPAT maka telah mengakibatkan kerugian

materiil dan non materiil terhadap pembeli.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang telah

memenuhi syarat jual beli tetapi tidak didaftarkan ke Kantor Pertanahan

oleh PPAT?
11

2. Bagaimana Implikasi hukum akta jual beli tanah dan atau bangunan yang

tidak didaftarkan oleh PPAT?

A.

B.
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengevaluasi dan menganalisis tanggung jawab PPAT terhadap

akta jual beli yang telah memenuhi syarat jual beli tetapi tidak didaftarkan

ke Kantor Pertanahan oleh PPAT.

2. Untuk mengevaluasi dan menganalisis Implikasi hukum akta jual beli

tanah dan atau bangunan yang tidak didaftarkan oleh PPAT.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat

akademis untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum pertanahan.

2. Manfaat Praktis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan masukan

kepada PPAT sehingga menyadari akibat-akibat yang dapat ditimbulkan

dan dengan demikian dapat menghindarkan PPAT dari kesulitan. Bagi

para pihak penelitian ini sedikit banyak diharapkan dapat membantu para

pihak agar terhindar dari kesulitan dan persengketaan.


12

E. Orisinalitas Penelitian

Keaslian penelitian ini memuat uraian sistematis mengenai hasil-hasil

karya ilmiah lainnya yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu atau

hampir sama namun objeknya berbeda. Berdasarkan hasil penelusuran

melalui internet yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa telah ada

yang membahas mengenai Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah

Terhadap Akta Jual Beli. Adapun judul-judul tersebut antara lain:

1. Tesis “Pendaftaran Akta Jual Beli yang Melebihi Jangka Waktu

Pendaftaran Tanah Di Kantor Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Kota Semarang”, penelitian ini dilakukan oleh Kusmaryanto

mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNISSULA,

pada tahun 2017. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

pertama, bagaimana pengaturan hukum pendaftaran akta jual beli yang

melebihi jangka waktu yang ditentukan demi terwujudnya kepastian

hukum? kedua, apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PPAT

berkaitan dengan akta jual beli yang melebihi jangka waktu yang

ditentukan demi terwujudnya kepastian hukum dan apakah solusi

penyelesaian masalah atas hambatan tersebut? Hasil penelitiannya

adalah: 1) Pengaturan hukum pendaftaran Akta Jual Beli yang melebihi

jangka waktu yang ditentukan demi terwujudnya kepastian hukum adalah

di mana jika pendaftaran akta jual beli melebihi 7 hari maka dimohonkan

lebih jelas ke Kantor Pertanahan setempat. Sesuai dengan ketentuan


13

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, ditentukan bahwa

pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan

Nasional, yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang

tugasnya meliputi bidang pertanahan. 2) Dalam pelaksanaan peralihan

hak milik atas tanah di Kantor Pertanahan dihadapai adanya berbagai

hambatan/kendala baik yang dihadapi oleh kantor Pertanahan seperti

kurangnya kesadaran masyarakat, citra buruk BPN serta alas hak

berbeda dengan data dilapangan. Kedala yang dihadapi masyarakat

seperti pemahaman masyarakat kurang, mahalnya biaya pendaftaran dan

adanya Investasi Undang-undang perpajakan (BPHTB dan biaya lain).

Untuk mengatasi kendala tersebut maka BPN membuat program-program

yang dapat menunjang terlaksananya pendaftaran tanah seperti

melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat dan melalui

program PRONA dan bekerjasama dengan pihak Dinas Penindustrian dan

Koperasi Kota/Kabupaten.

2. Tesis, Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Menyampaikan

Pemberitahuan Tertulis Mengenai Telah Disampaikannya Akta Ke Kantor

Pertanahan (Pasal 40 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Studi Kasus Di Kantor Pertanahan

Kota Malang). Penelitian ini dilakukan oleh Prestiani Restuning,

Mahasiswa Program Pasca sarjana Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya Malang, pada tahun 2015. Adapun rumusan


14

masalahnya adalah sebagai berikut: pertama, Mengapa dalam

implementasinya PPAT tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan

pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikan akta ke Kantor

Pertanahan? Bagaimana akibat hukum PPAT tidak melaksanakan

kewajiban menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah

disampaikan akta ke Kantor Pertanahan? Bagaimana upaya yang

dilakukan agar PPAT melaksanakan kewajiban menyampaikan

pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikan akta ke Kantor

Pertanahan? Hasil penelitiannya adalah: 1). Faktor-faktor PPAT tidak

melaksanakan kewajiban menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada

para pihak mengenai telah disampaikannya akta kepada Kantor

Pertanahan untuk didaftar, antara lain: a. Tidak diberikannya sanksi atas

pengabaian ketentuan tersebut; b. Tindakan pembiaran terhadap PPAT

yang mengabaikan ketentuan tersebut oleh Kantor Pertanahan; c.

Ketidaktahuan klien dan/atau ketidakpedulian klien akan haknya untuk

mendapatkan pemberitahuan tertulis tersebut; d. Mengikuti kebiasaan

praktik PPAT terdahulu. 2). Akibat hukum PPAT yang tidak melaksanakan

kewajiban menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak yang

bersangkutan mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan

adalah memberikan ketidakpastian hukum terhadap klien yang

bersangkutan; 3). Upaya yang dilakukan agar PPAT melaksanakan

kewajiban menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak,


15

mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan hanya berupa

pembinaan secara umum yang tidak terkait dengan kewajiban tersebut

atau bisa dikatakan tidak ada upaya yang dilakukan agar PPAT

melaksanakan kewajiban tersebut.

Perbedaan mendasar penelitian penulis dengan penelitian

sebelumnya adalah penelitian sebelumnya membahas mengenai

implementasi Pasal 40 ayat PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah, yaitu mengenai pelaksanaan aturan dan kendala yang dihadapi oleh

PPAT sehingga kewajiban yang diatur dalam Pasal 40 tersebut tidak

terlaksana dengan maksimal, dan pada karya ilmiah yang kedua fokus pada

kewajiban PPAT dalam menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai

telah disampaikannya Akta Jual Beli Ke Kantor Pertanahan Kota Malang,

yaitu ketentuan Pasal 40 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah, bagaimana implementasi pelaksanaan Pasal 40 ayat (2)

PP tersebut di Kota Malang. Sedangkan isu hukum dari penelitian penulis

adalah lebih memfokuskan kepada tanggung jawab PPAT terhadap akta jual

beli yang telah memenuhi syarat jual beli tetapi tidak didaftarkan ke Kantor

Pertanahan oleh PPAT dan bagaimana dampak tidak dilakukannya

pendaftaran tersebut terhadap akta jual beli yang dibuat. Pada penelitian ini

penulis juga membahas mengenai putusan gugatan perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual dan PPAT yang tidak

melakukan pendaftaran akta jual beli selama 8 (delapan) tahun sejak


16

ditandatanganinya akta jual beli. Oleh sebab itu, walaupun karya ilmiah

tersebut di atas juga membahas mengenai kewajiban PPAT dalam

melakukan pendaftaran akta yang telah dibuatnya berdasarkan Pasal 40 PP

Nomor 24 Tahun 1997, tetapi terdapat perbedaan yang sangat mendasar

dengan malasah yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah ini.
17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya di singkat

(PPAT), sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan Peraturan

Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan peraturan

tersebut, PPAT merupakan pejabat yang berfungsi membuat akta yang

bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atau

membebankan hak atas tanah. Dasar hukum mengenai Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Pengertian PPAT menurut Pasal 1 ayat (1)

menyebutkan bahwa “PPAT adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan

hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun.”

Pengertian PPAT juga dimuat dalam beberapa Peraturan

Perundang-Undangan, yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah


18

Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT)

menyebutkan bahwa:

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah


pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan
dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, menentukan “Pejabat Pembuat

Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.” Selanjutnya Pasal 1

angka 24 ketentuan umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta-akta tanah tertentu.

Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare

ambtenaren, yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 1

Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Menurut kamus hukum, salah satu arti

ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian tugas openbare

ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas bertalian dengan

kepentingan publik sehingga tepat jika openbare ambtenaren diartikan

sebagai pejabat publik. Khusus openbare ambtenaren yang

diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai pejabat yang


19

diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

publik. Dengan demikian, pejabat umum merupakan suatu jabatan yang

disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh

aturan hukum dalam pembuatan akta otentik.6

Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan “pejabat umum”

adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan

tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu. 7

Kegiatan tertentu yang dimaksud salah satunya adalah membuat akta

otentik. PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada

perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,

memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau

meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. 8 Sri

Winarsi juga menyatakan bahwa “PPAT merupakan pejabat umum

memiliki karakter yuridis, yaitu pejabat umum selalu berkaitan dengan

hukum publik, dikatakan sebagai hukum publik sebab sifat publik yang

dimaksud dinilai dari wewenang PPAT, pengangkatan PPAT dan

Pemberhentian PPAT.9 Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 2016, membedakan

PPAT menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

6
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Bandung: Citra Aditya. Hal. 126
7
Boedi Harsono, 2007, PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya. Jakarta: Renvoi. Hal.
11
8
Effendi Peranginangin, 2007, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press. Hal. 436
9
Urip Santoso, 2019, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana,
Hal.326
20

1) PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk


membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.
2) PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT.
3) PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka
pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

Menurut Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2016, untuk

diangkat menjadi PPAT harus memenuhi persayaratan sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia


b. Berusia paling rendah 22 (dua puluh dua ) tahun.
c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan
yang dibuat oleh Instansi kepolisian.
d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
e. Sehat jasmani dan rohani.
f. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua
kenotariatan atau lulusan program pendidikan khusus PPAT
yang diselenggarakan oleh kementrian yang menyelenggarakan
urusan di bidang agraria/pertanahan.
g. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai
karyawan pada kantor PPAT paling sedikit 1 (satu) tahun setelah
lulus pendidikan kenotariatan.

Adapun larangan untuk PPAT diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PP

Nomor 24 Tahun 2016, yaitu:

PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi:

a. Advokat, konsultan atau penasehat hukum


b. Pegawai negeri, pegawai badan usaha milik negara, pegawai
badan usaha milik daerah, pegawai swasta
21

c. Pejabat negara atau pegawai pemerintah dengan perjanjian


kerja (PPPK)
d. Pimpinan pada sekolah, perguruan tinggi negeri, atau perguruan
tinggi swasta
e. Surveyor berlisensi
f. Penilai tanah
g. Mediator dan/atau
h. Jabatan lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-
undangan.

Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran

tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam

Pasal 2 PP No 37 Tahun 1998 Jo. PP No 24 Tahun 2016, yaitu

melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat

akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang

akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 10 Adapun perbuatan

hukum yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah,

pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,

pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Hak Milik,

pemberian Hak Tanggungan dan Surat Keterangan Membebankan Hak

Tanggungan.11

Dari adanya tugas pokok tersebut mengenai kewenangan PPAT

diatur dalam Pasal 3 PP No 37 Tahun 1998 jo. PP No 24 Tahun 2016,

10
Urip Santoso, 2016, Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang, dan
sifat Akta), Cetakan kesatu, Jakarta: Prenadamedia Group. Hal. 97
11
Samun Ismaya, 2013, Hukum Administrasi Pertanahan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 179
22

yaitu:

1) Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat


Akta Tanah mempunyai kewenangan membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah
disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
2) PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukannya.

A.P Parlindungan menyatakan bahwa tugas PPAT adalah

melaksanakan suatu recording of deed conveyance, yaitu suatu

perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan

jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan

hak baru atas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik

atay Hak Pakai di atas Hak Milik) ditambah surat kuasa memasang Hak

Tanggungan.12 Pada dasarnya tugas PPAT dalam pendaftaran tanah

adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota

dalam mewujudkan salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 3 PP No 24 Tahun 1997, yaitu untuk terwujudnya

tertib administrasi pertanahan.13

Kewenangan PPAT dalam pembuatan akta otentik dibatasi oleh

luasnya daerah kerja PPAT. Daerah kerja mengenai batas wilayah kerja

PPAT diatur pada Pasal 12 ayat (1) PP No 24 Tahun 2016 menjelaskan

12
A.P. Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (berdasarkan PP No. 24
Tahun 1997), Cetakan ketigabelas, Bandung: Mandar Maju. Hal. 83
13
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan kesatu,
Jakarta: Kencana Prenada Media. Hal. 34
23

bahwa, “Daerah kerja PPAT adalah satu Wilayah Provinsi” Berdasarkan

pada aturan Pemerintah tersebut maka daerah kerja yang menjadi

kewenangan PPAT yang pada awalnya hanya sebatas

kabupaten/kotamadya berubah menjadi daerah kerja yang menjadi

kewenangan PPAT adalah satu wilayah Provinsi”.

Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya sehari-

hari, PPAT mempunyai kewajiban-kewajiban yang diatur oleh Peraturan

Perundang-Undangan, yaitu:

1. Pasal 26 ayat (3) PP No 37 Tahun 1998 menjelaskan bahwa:

“PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang


dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor
Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai Ketentuan Undang-
Undang atau Peraturan Pemerintah yang belaku selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pasal 9 ayat (1) PP No 24 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:

“PPAT yang merangkap jabatan sebagai Notaris di


Kabupaten/Kota selain pada tempat kedudukan PPAT wajib
mengajukan pindah tempat kedudukan Notaris atau berhenti
sebagai Notaris pada tempat kedudukan yang berbeda tersebut.”
3. Pasal 20 ayat (1) PP No 24 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:

“PPAT wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat


kedudukannya.”
Adapun aturan mengenai kewajiban PPAT yaitu berdasarkan

lampiran keputusan Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017

tertanggal 27 April tahun 2017 dalam keputusan tersebut memuat Kode


24

Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Keputusan Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 tersebut

memuat Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam

Pasal 3 Kode Etik Ikatan PPAT menjelaskan mengenai kewajiban

PPAT, setiap PPAT diwajibkan:

a) Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martaba dan


kehormatan PPAT;
b) Menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta
bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan kode etik;
c) Berbahasa Indonesia secara baik dan benar;
d) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat
dan Negara;
e) Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum;
f) Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan
tidak berpihak;
g) Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat
yang memerlukan jasanya;
h) Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat
menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara dan anggota masyarakat;
i) Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak
atau kurang mampu secara cuma-cuma;
j) Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai
dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat;
k) Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT
atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara
konstruktif;
l) Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada
25

hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya;


m) Menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-
satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
n) Melakukan registrasi, memperbaharui profil PPAT, dan
melakukan pemutakhiran data PPAT lainnya di Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahaan Nasional;
o) Dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan
suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di
dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien,
maka PPAT tersebut wajib:
1) Memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan
atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak
bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya
hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang
bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;
2) Segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang
membuat akta tersebut, maka kepada klien yang
bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai hal-hal
yang salah dan cara memperbaikinya;
A) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain:
1) Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Jabatan
PPAT;
2) Isi Sumpah Jabatan;
3) Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun
keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
Perkumpulan IPPAT, antara lain:
(1) Membayar iuran,
(2) Membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau
mantan PPAT meninggal dunia,
(3) Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang
dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan
IPPAT.
(4) Ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan kewajiban PPAT.

Dalam melaksanakan kewajibannya PPAT harus bertanggung

jawab atas akibat dari pekerjaan tersebut sesuai yang tercantum pada

Pasal 55 Peraturan Menteri Negera Agraria/Kepala Badan Pertanahan


26

Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyebutkan bahwa PPAT

bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan

jabatannya dalam setiap pembuatan akta. 14 Adapun untuk melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah telah diatur dalam Peraturan Menteri Negera

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018

tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pasal 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018, menegaskan bahwa:

Pengawasan berupa penegakan aturan hukum sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan di bidang PPAT dilaksanakan atas

temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan

PPAT atau terdapat pengaduan atas dugaan pelanggaran yang

dilakukan oleh PPAT. Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT

sebagaimana dimaksud di atas adalah pelanggaran atas pelaksanaan

jabatan PPAT, tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam

Peraturan Perundang-Undangan, melanggar ketentuan larangan yang

diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan dan/atau melanggar

14
Sigar Aji Poerana, Sanksi Bagi PPAT Yang Membuat Akta Tak Sesuai Data, diakses
dari: //www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fe7c8b0c2b9d/sanksi-bagi-ppat-yang-
membuat-akta-tak-sesuai-data/
27

Kode Etik.

Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang

melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2

Permen Agraria/Kepala BPN No 2 Tahun 2018 dapat berupa:

a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik, Hal ini

sesuai dengan PP No 24 Tahun 2016. Adapun akta otentik yang

dimaksud merujuk pada KUH Perdata Pasal 1868 “Suatu akta otentik

ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-

undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu

di tempat akta itu dibuat”.15 Sebagai akta otentik, akta PPAT

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat terdegradasi

kekuatan pembuktian menjadi seperti akta di bawah tangan. Degradasi

kekuatan bukti akta otentik menjadi kekuatan bukti di bawah tangan

dan cacat yuridis akta otentik yang mengakibatkan akta otentik dapat

dibatalkan atau batal demi hukum, terjadi jika ada pelanggaran

terhadapat ketentuan Perundang-Undangan.

Akta PPAT merupakan surat tanda bukti, yang dibuat dihadapan

PPAT, yang memuat tentang klausula-klausula atau aturan-aturan yang

15
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya:
Arkola, Hal. 149
28

berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak, di mana pihak

pertama berkewajiban untuk menyerahkan hak atas tanah dan/atau hak

milik atas satuan rumah susun, dan pihak kedua berkewajiban untuk

menyerahkan uang dan menerima hak atas tanah dan/atau hak milik

atas satuan rumah susun. Sehingga ada 5 (lima) unsur akta PPAT yang

tercantum dalam definisi tersbut yang meliputi, adanya surat tanda

bukti, adanya PPAT, adanya subjek hukum, adanya objek hukum, serta

memuat klausula-klausula atau aturan hukum yang berlaku bagi para

pihak.16

PPAT dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya membuat

suatu akta, dalam pembuatan akta tersebut haruslah dihadiri oleh para

pihak terkait ataupun kuasa dari para pihak sesuai dengan amanat

Peraturan Perundang-Undangan, maka dengan demikian prosedur

dalam pembuatan akta oleh PPAT merupakan suatu perbuatan hukum.

Secara normatif akta yang dibuat oleh PPAT dimuat pada aturan

perundang-undangan, yang mana aturan dalam perundang-udangan

tersebut:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 dalam Pasal 1 angka


4. “Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
2. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006 dalam Pasal 1 angka 4. “Akta PPAT adalah akta tanah yang
dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
16
Salim HS, 2016, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Jakarta:
Raja Grafindo Persada, Hal. 69
29

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun”.
3. Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
dalam Pasal 45 ayat (1). “Akta PPAT merupakan alat untuk
membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Oleh
karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta
PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai perbuatan
hukum tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum
dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan
perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka
pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran
tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan
atas alat bukti lain, misalnya putusan pengadilan atau akta PPAT
mengenai perbuatan hukum yang baru”..

Nilai-nilai pada akta PPAT dalam aturan-aturan yang disebutkan

mempunyai fungsi sebagai alat pembuktian, akta PPAT dapat

dinyatakan sah bilamana akta yang dibuatnya tekandung unsur-unsur

dan syarat sahnya persetujuan suatu akta yang sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan, lalu apabila syarat sahnya suatu

persetujuan tidak terpenuhi sesuai aturan dalam KUH Perdata Pasal

1320, akta PPAT yang tidak memenuhi unsur dan syarat sahnya suatu

perjanjian, baik syarat subjektif dan syarat objektif maka akta tersebut

batal demi hukum.

Menurut pandangan Sudikno Mertokusumo, beliau menyatakan

bahwa:

“akta dapat berfungsi sebagai fungsi formil dan sebagai fungsi


alat bukti, dikatakan dapat berfungsi sebagai fungsi formil karena
untuk sempurnanya suatu perbuatan hukum maka dibuatlah
suatu akta, dan dikatakan sebagai fungsi alat bukti karena akta
yang dari awal dibuat berfungsi sebagai alat bukti bilamana
terjadi sesuatu dikemudian hari maka akta dapat dijadikan
30

sebagai alat bukti, akan tetapi akta yang dibuat bukanlah


merupakan syarat sahnya untuk melakukan suatu perjanjian”. 17

Adapun mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, sesuai

pendapat Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997

bahwa Pasal 19 PP No 10 Tahun 1961 Jo. PP No 24 Tahun 1997

secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah satu alat bukti

dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah

tidaknya suatu jual beli tanah. Sesuai dengan PP No 24 Tahun 1997

menyebutkan bahwa pendaftaran jual beli dapat dilakukan dengan akta

sebagai bukti. Tanpa akta jual beli dari PPAT maka seseorang tidak

akan dapat memperoleh sertipikat meskipun jual belinya sah menurut

hukum. Oleh karena itu, selambat-lambatnya 7 hari kerja semenjak

tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT wajib mendaftarkan ke

Kantor Pertanahan untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak

ketiga.18

PPAT harus membuat 1 (satu) buku daftar untuk semua akta

yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap hari kerja PPAT dan

ditutup setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT

yang bersangkutan. PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai

akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada

17
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
Hal.161
18
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, Hal. 79
31

Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan

Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-

lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan (2) serta Pasal 62 ayat (1) PERKABAN

No 1 Tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaan PP No 37 Tahun

1998 tentang peraturan jabatan PPAT.

B. Peralihan Hak Atas Tanah

Pengertian peralihan hak atas tanah adalah memindahkan atau

beralihnya penguasaan tanah yang semula milik seseorang atau

sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya. 19 Suatu hak atas tanah

disebut dialihkan jika kepemilikannya berpindah kepada orang lain melalui

suatu perbuatan hukum sedangkan tanah dikatakan beralih akibat dari

suatu persitiwa hukum tertentu, misalnya karena terjadi kematian atau

meninggalnya seseorang maka harta peninggalannya beralih kepada ahli

warisnya. Beralihnya kepemillikan sebidang tanah kepada pemilik yang

baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum

dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek

hukum yang menimbulkan akibat hukum.20

Adapun peralihan hak atas tanah diatur dalam beberapa Peraturan

19
Djestylona Kobu Kobu, “Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah berdasarkan Hukum
Adat Suku Tobelodi Kabupaten Halmahera Selatan”, Lex Crimen, Vol. VI, No.2-Mar-Apr
2017. Hal. 41
20
Andy Hartanto, 2015, Panduan Lengkap Hukum Praktis: Kepemilikan Tanah, Surabaya:
Laksbang Justitia. Hal. 175
32

Perundang-Undangan yakni:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok

Agraria (UUPA). Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20

ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

lain”. Adapun tata cara peralihan hak atas tanah menurut Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA diatur dalam ketentuan

Pasal 26 yang pada intinya menyebutkan bahwa peralihan hak milik

dapat terjadi karena jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian

dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain

yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.

b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, yang mengubah ketentuan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan. Pemindahan/peralihan hak atas tanah yang

terjadi karena perjanjian jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat,

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak

yang mengakibatkan peralihan hak, penunjukan pembeli dalam lelang,

pelaksanaan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

hadiah, waris, penggabungan usaha, peleburan usaha, serta pemekaran

usaha.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Peralihan hak atas

tanah dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam
33

modal, hibah, pewarisan.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah Sesuai dengan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 yang menyebutkan “peralihan hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan

dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah.21

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang

Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam

Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan

bahwa:

“Peralihan atau pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum


yang bertujuan untuk memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak
lain. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
21
Angger Sigit Pramukti dan Erdha Widayanto, 2015, Awas Jangan Beli Tanah Sengketa,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Hal.49
34

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”22


Peralihan Hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa

wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak. Pemindahan hak adalah

suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk mengalihkan kepada

pihak lain hak atas tanah. Adapun peralihan hak dapat dilakukan dengan

cara pemindahan hak seperti: 23 (1) Lelang, (2) Tukar Menukar, (3) Hibah,

(4) Pewarisan, (5) Jual Beli (6) Peralihan hak karena penggabungan atau

Peleburan dan Pemindahan hak lainnya.

Berdasarkan jenis-jenis peralihan hak di atas beberapa akan

diuraikan sebagai berikut:

a. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum

dengan penawaran harga secara tertulis dan atau lisan yang semakin

meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului

dengan pengumuman lelang.24 Peralihan hak melalui pemindahan hak

dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan

risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang selambat-lambatnya 7

(tujuh) hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun

dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non eksekusi.

Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan kepada Kepala Kantor

22
Ibid
23
Mulyadi, 2011, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Hal. 9
24
Whimbo Pitoyo, 2012, Strategi Jitu Memenangkan Perkara Perdata dalam
Praktik Peradilan. Jakarta: Visimedia . Hal. 179
35

Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan

dilelang. Kepala Kantor Pertanhan mengeluarkan keterangan selambat-

lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala

Kantor Lelang.25

b. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan

Pewarisan merupakan suatu tindakan pemindahan hak milik atas

benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain

yang ditunjuknya dan/atau ditunjuk pengadilan sebagai ahli waris. 26

Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka

keterangan mengenai kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas

tanah karena pewarisan diatur dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa: (1) Pemeliharaan data

pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik

atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar (2)

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Kepada Kantor Pertanahan.

c. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah

Pasal 1666 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Hibah adalah suatu

persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu

barang secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, untuk

25
Istijab, 2019, Hukum Agraria dan Pendaftaran Tanah. Surabaya: Qiara Media. Hal.174
26
Anastasia Sihombing, 2015, Peralihan Hak Atas Tanah.
http://anastasiasihombing.blogspot.co.id/2015/03/peralihan-hak-atas-tanah.html.
36

kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. 27 Pada

dasarnya setiap orang dan/atau badan hukum diperbolehkan untuk

diberi/menerima hibah, kecuali penerima hibah tersebut oleh Undang-

Undang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta merta terjadi pada

saat tanah diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan

akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut Peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku.28

d. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli

Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah

adalah melalui proses jual beli. Jual beli dapat dikatakan suatu bentuk

perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan

sesuatu dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual penjual, dan

penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan demikian

perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan

dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli. Jadi

dalam hal ini terdapat 2 (dua) pihak yaitu penjual dan pembeli yang

27
Adrian Febrianto, Tata Cara Hibah Tanah dan Syarat yang Perlu Diketahui
https://blog.justika.com/pertanahan-dan-properti/tata-cara-hibah-tanah-dan-syarat-yang-
perlu-diketahui/
28
Doni Budiono & Rekan, Jenis-Jenis Peralihan Hak https://pdb-lawfirm.id/jenis-jenis-
peralihan-hak-atas-tanah/
37

saling timbal balik.29

Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga.

Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian

dalam KUHPerdata, perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada detik

tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah

pihak setuju tentang barang dan harga maka lahirlah perjanjian jual beli

yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal

1458 KUHPerdata yang berbunyi : Jual beli dianggap sudah terjadi antara

kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang

barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun

harganya belum dibayar”.30

Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari (burgerlijk wetboek)

KUHPerdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian

cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada

saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik tersebut perjanjian

sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian

atau yang sebelumnya.

Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu

perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga

29
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Jual Beli, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Hal.7
30
Salim HS, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Jakarta: Sinar Grafika. Hal.
157
38

yang telah dijanjikan. Inti dari jual beli berdasarkan Pasal 1457 KUH

Perdata bertitik tolak dari unsur esensial perjanjian jual beli, ini didasarkan

pada suatu pemikiran bahwa unsur benda bertalian dengan penyerahan

sedang unsur harga berkaitan dengan pembayaran. 31

Jual beli tanah yang dimaksud disini adalah jual beli hak atas

tanahnya. Dalam praktik disebut jual beli tanah. Secara yuridis yang

diperjual belikan adalah hak atas tanah tersebut bukan tanahnya. Memang

benar bahwa tujuan dari jual beli hak atas tanah adalah supaya pembeli

dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah tersebut. 32

Berdasarkan hukum tanah, objek tanah tersebut adalah hak penguasaan

atas tanah, yaitu hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban

dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai

tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang diperbuat yang

merupakan isi dari hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak

ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam

hukum tanah.33

Hukum tanah dalam sistem hukum adat meliputi 3 (tiga) bidang

yaitu perjanjian tanah, perjanjian yang menyangkut tanah dan bidang hak-

31
Moch. Isnaeni, 2015, Perjanjian Jual Beli, Surabaya: Revka Petra Media, Cetakan kesatu.
Hal. 59
32
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta:Kencana Prenada
Media Group. Hal. 358
33
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Edisi 1, Cetakan kesatu,Hal. 10
39

hak atas tanah.34 Dalam hal ini termasuk didalamnya jual beli yang

merupakan satu bentuk perjanjian terkait dengan tanah yang harus dibuat

oleh para pihak untuk memindahkan hak atas tanah tersebut. Tanah

sebagai bagian dari tubuh bumi yang bisa dimiliki dan dialihkan

perorangan/pribadi memiliki aturan tersendiri dalam mendapatkan hak milik

atas tanah tersebut, salah satunya yaitu melalui jual beli. Jual beli bisa

dilakukan berdasarkan hukum adat atau menurut UUPA.

Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan

perbuatan pemindahan hak yang sifatnya, tunai, riil, dan terang. Sifat tunai

berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada

saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata

dengan mulut saja belum terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan

Mahkamah Agung Nomor 271/K/SIP/1956 dan Nomor 840/K/SIP/1971. Jual

beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di hadapan

Kepala Desa/Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun

tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.

Sementara perbuatan hukum jual beli tanah disebut terang kalau dilakukan

dihadapan Kepala Desa/Kampung untuk memastikan bahwa perbuatan itu

tidak melanggar hukum yang berlaku.35

Transaksi jual tanah dalam sistem hukum tanah dapat dibagi

34
Darwin Ginting, 2010, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Bogor: Ghalia Indonesia, Hal.
43
35
Maria S.W Sumadjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi.
Jakarta: Kompas. Hal. 138
40

menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Jual lepas
Jual lepas adalah menyerahkan tanah untuk menerima
pembayaran sejumlah uang tunai tanpa hak menebus kembali, jadi
penyerahan itu berlaku secara seterusnya atau selamanya. 36.
2. Jual gadai
Jual gadai adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah
kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian
rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan dan mempunyai
hak untuk menebus kembali tanah tersebut. 37
3. Jual tahunan
Transaksi jual tahunan yaitu terjadi apabila pemilik tanah
menyerahkan tanah miliknya kepada orang lain untuk beberapa tahun
panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari
penggarapa (orang lain itu).38
Terkait dengan jual beli tanah, UUPA tidak menerangkan secara

jelas akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum

tanah nasional kita adalah hukum adat, berarti kita menggunakan konsepsi,

asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Maka pengertian jual

beli tanah menurut hukum tanah nasional adalah pengertian jual beli tanah

menurut hukum adat.39 Hukum adat yang dimaksud Pasal 5 UUPA tersebut

adalah hukum yang telah di hilangkan dari cacatnya atau hukum adat yang

36
Iman Sudiyat, 2007, Hukum Adat (Sketsa Asas), Yogyakarta: Liberty, Hal. 28
37
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Cetakan keduabelas, Hal. 32
38
Hazhiratul Qudsiah, 2017, Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat,
https://www.academia.eu/24528072/TransaksiTanah Menurut Hukum Adat
39
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika. Edisi 1, Cetakan keempat, Hal. 149
41

telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional. 40

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah, perpindahan hak milik atas tanah melalui jual

beli dilakukan oleh para penghadap dihadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya. 41 Kecuali, jika perpindahan

tersebut dilakukan melalui lelang maka dibuktikan dengan Berita Acara

Lelang yang dibuat oleh pejabat dari kantor lelang. 42 Dengan berlakunya

jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang. Akta jual beli yang

ditandatangani oleh para pihak membuktikan bahwa telah terjadi

pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai dengan

pembayaran harga dengan ini telah memenuhi syarat tunai dan

menunjukkan secara riil atau nyata perbuatan hukum yang bersangkutan

telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah

dilakukan perbuatan pemindahan hukum selama lamanya dan pembayaran

harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan

hukum pemindahan hak, maka akta tersebut menunjukkan bahwa pembeli

sebagai penerima hak yang baru.43 Akan tetapi hal itu, baru diketahui oleh

para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak

40
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika. Hal. 76
41
Ibid, Hal.77
42
Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana, Edisi 1,
Cetakan keempat, Hal. 92
43
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agaria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan. Hal. 296
42

karena administrasi PPAT sifatnya tertutup. 44

Syarat jual beli tanah menurut UUPA, ada 2 (dua) yaitu syarat

materiil dan syarat formil yaitu:

1. Syarat Materiil

Syarat meteriil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah

tersebut, anatara lain sebagai berikut: a. Pembeli berhak membeli

tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai

penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang

dibelinya, untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli

memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa

yang ada pada tanahnya tersebut, apakah hak milik atas tanah hanya

warga Negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang

ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA) b. Penjual berhak

menjual tanah yang bersangkutan.

2. Syarat Formil

Setelah semua persyaratan materiil terpenuhi maka PPAT akan

membuat akta jual belinya. Akta jual beli ,menurut Pasal 37 PP No. 24

Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Adapun prosedur jual beli tanah

menurut UUPA yaitu: a. Jual beli tanah itu diawali kata sepakat antara

calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu

tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan

44
Urip Santoso, 2008, Op.Cit, Hal. 77
43

melalui musyawarah diantara mereka sendiri. b. Setelah mereka

sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti

dengan pemberian panjer. Dengan adanya panjer, para pihak akan

mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut.

C. Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah merupakan persoalan yang sangat penting

dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses

lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. Pendaftaran tanah

bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum dikenal dengan

sebutan Rechts cadaster/Legal cadaster. Jaminan kepastian hukum

yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran ini meliputi kepastian

status hak yang didaftar, kepastian subjek dan kepastian objek hak.

Pendaftaran tanah menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun

pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi

pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA No 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah.45

Pendaftaran tanah adalah pendaftaran atau pembukuan bidang-

bidang tanah dalam daftar berdasarkan pengukuran dan pemetaan

yang seksama dari bidang-bidang itu. PP No 24 Tahun 1997 tentang

45
Rilly Juang Rumawung, 2019, Pengaturan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik Pada
Proses Kepemilikan Tanah Di Indonesia, Jurnal Lex Privatum Vol.VII/No.2/Feb/2019, Hal.
12
44

Pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa:

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh


pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Adapun yang termasuk dalam kegiatan pendaftaran tanah yang

diprogramkan oleh pemerintah yaitu dimulai dari mengumpulkan data-

data tanah, mengolah data tanah yang dikumpulkan, kemudian

menyimpan data hasil olahan dan yang terakhir penyajian data. Data-

data tentang pertanahan yang dimaksud merupakan tulisan, gambar,

angka yang dituliskan diatas kertas, berdasarkan data-data yang

dikumpulkan dibuatlah surat tanda bukti kepemilikan tanah. Dalam hal

pengumpulan data sampai penyajian data, yang didaftar bukanlah

tanahnya akan tetapi hak-hak atas tanah untuk menentukan status

hukumnya.46

Pendaftaran tanah dapat ditemukan dalam beberapa aturan

hukum yang berlaku dan digunakan di Indonesia, aturan hukum

tersebut diantaranya:

1. Pasal 19 Undang-undanng Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).

1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

46
Boedi Harsono, 2005, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, , Jakarta: Djambatan, Cetakan kesepuluh. Hal.73
45

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:

a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan

Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta

kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri

Agraria.

4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan

dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan

ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari

pembayaran biaya-biaya tersebut.

2. Pasal 23 Undang-undanng Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA),

diperuntukkan terhadap pemegang Hak Milik.

1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan

pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut

ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian


46

yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan

dan pembebanan hak tersebut.

3. Pasal 32 Undang-undanng Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA),

diperuntukkan terhadap Hak atas Guna Usaha

1) Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya,

demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut,

harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud

dalam Pasal 19

2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat

pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak

guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka

waktunya berakhir.

4. Pasal 38 Undang-undanng Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA),

diperuntukkan terhadap Hak atas Guna Bangunan.

“Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,


demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19”.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah.

Pasal 2 PP No 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran

tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,

mutakhir dan terbuka. Urip susanto menjelaskan asas-asas


47

pendaftaran dalam Pasal 2 PP No 24 Tahun 1997 tersebut di atas

yaitu:47

1) Asas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan


pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dipahami oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak
atas tanah.
2) Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian
hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3) Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak
yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan
kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah hanya bisa terjangkau oleh pihak yang
memerlukan.
4) Asas muktahir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan
datanya. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan
perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini
menuntut diperliharanya data pendaftaran tanah secara terus-
menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan
di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997

menetapkan bahwa: “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala

Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-

kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan Peraturan

Perundang-Undangan yang bersangkutan”. Dalam Pasal 6 ayat (2) ini

hanya disebutkan “kegiatan-kegiatan tertentu”, tidak disebutkan secara

47
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan kedua, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Hal. 17-18
48

tegas kegiatan-kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang menjadi

tugas PPAT untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.48

Objek pendaftaran tanah, diatur sebagai berikut: yang menjadi

obyek pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 9 PP No 24 Tahun

1997, meliputi antara lain:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna


Banguna, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai;
2. Tanah Hak Pengelolaan;
3. Tanah wakaf;
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
5. Hak Tanggungan
6. Tanah Negara;

Adapun manfaat dari pendaftaran tanah yaitu adanya jaminan

kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi pemegang

sertifikat hak atas tanah sehingga dapat dicegah dengan adanya

masalah-masalah pertanahan yang bisa menimbulkan pertengkaran-

pertengkaran dalam masyarakat serta memberi kemudahan kepada

pihak-pihak yang memerlukan data tentang tanah yang telah

didaftarkan di Badan Pertanahan Nasioanl. Bagi pemerintah

pendaftaran tanah akan memperlancar terselenggaranya tertib

administrasi pertanahan, serta meningkatkan pendapatan Negara. 49

Terselenggaranya pendaftaran tanah, memungkinkan bagi para

48
Suci Ananda Badu, 2017, Tugas Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Di Indonesia, Jurnal Lex Administartum Vol. V No.6, Hal.
83
49
Irawan Soerojo, 2003, Op.Cit, Hal.172
49

pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya

atas tanah yang dikuasainya. Demikian pula untuk memberikan jaminan

hukum dalam pendaftaran peralihan hak, diterbitkan berbagai

Peraturan Perundang-Undangan yang memberi jaminan terhadap

pendaftaran peralihan hak tersebut. maka pihak-pihak yang

bersangkutan dengan mudah pula akan dapat mengetahui status dan

kedudukan hukum dari pada tanah-tanah yang dihadapi, letak, luas,

batas-batas, siapa yang punya dan beban-beban apa yang ada di

atasnya..

D. Landasan Teori

Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini

mengenai tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang tidak

didaftarkan adalah Teori Pertanggungjawaban dan Teori Efektivitas,

yang diuraikan sebagai berikut:

1. Teori PertanggungJawaban

Menurut teori tanggung jawab yang dikemukakan oleh

Hans Kelsen, dia mengatakan bahwa, “Dalam hukum apabila

seseorang bertanggung jawab atas tindakan tertentu maka

seseorang tersebut bertanggung jawab atas sanksi dalam hal

tindakan yang bertentangan”.50


50
Somardi, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Jakarta: BEE Media Indonesia, Hal.81
50

Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa: “Kegagalan

untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut

kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandnag sebagai

salah satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras

kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki

dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.” 51

Menurut Hans Kelsen teori tanggung jawab berdasarkan buku

teori hukum murni dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

a. Pertanggungjawaban oleh Individu yaitu setiap orang individu


memiliki tanggung jawab atas segala tindakan pelanggaran yang
dibuatnya sendiri.
b. Pertanggungjawaban secara Kolektif yang dapat diartikan bahwa
setiap orang individu memiliki tanggung jawab atas segala
tindakan pelanggaran yang dibuat oleh orang lain.
c. Pertanggungjawaban yang didasarkan atas kesalahan yang dapat
diartikan bahwa setiap orang individu memiliki tanggung jawab
atas tindakan yang dilakukannya dengan sengaja dan dengan
perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain.
d. Pertanggungjawaban secara Mutlak yang dapat diartikan bahwa
setiap orang individu memiliki tanggung jawab atas tindakan yang
dilakukannya baik yang disengaja ataupun yang ridak
diperkirakan.52

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan

sebagai liability dan responsibility, istilah liability menunjuk pada

pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan

yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.53

51
Ibid. Hal. 83
52
Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni, Bandung: Nuansa & Nuansa Media, Hal.140
53
Ridwan HR, Op,cit, Hal.337
51

Dalam teori ini lebih menitik beratkan pada arti dari pada

sebuah tanggung jawab yang mana tanggung jawab tersebut terlahir

dari ketetapan peraturan perundang-undangan, sehingga teori ini

dapat diartikan sebagai liability.54

Suatu konsep yang berkaitan dengan kewajiban hukum

seseorang yang secara hukum bertanggung jawab atas suatu

perbuatan tertentu, maka seseorang memikul tanggung jawab

hukum, artinya seseorang tersebut bertanggung jawab atas suatu

sanksi bila perbuatannya bertentangan dengan peraturan yang

berlaku.55

Negara dan pemerintahan yang didalamnya terdapat susunan

struktural jabatan yang tidak bisa terlepas dari tanggung jawab dan

dari tanggung jawab tersebut melekat pula yang namanya

kewenangan, dalam pandangan hukum publik kewenangan

tersebutlah yang menimbulkan adanya tanggung jawab. Busyra

Azheri pun mengatakan bahwa geenbevegdedheid zonder

verantwoordelijkheid; thereis no authority without responsibility; la

sulthota bila mas-uliyat” (tidak ada kewenangan tanpa

pertanggungjawaban).56

54
Busyra Azheri, 2011, Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi Mandatory,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hal.54
55
Hans Kalsen, 2006, Teori umum tentang Hukum dan Negara, Bandung: PT.Raja Grafindo
Persada. Hal. 95
56
Busyra Azheri, Op.cit, Hal.60
52

Teori yang melandasi pertanggungjawaban pejabat menurut

Kradenburg dan Vegtig, ada 2 teori yaitu:

1. Fautes de personalles theory, teori ini membebankan kepada


pejabat dengan kerugian yang dialami pihak ketiga karena
dengan tindakan yang diambil oleh pejabat sehingga
menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga. Dan dalam Fautes
de personalles theory, beban tanggung jawab hanya ditujukan
kepada oknum pribadi.
2. Fautes de services Theory, teori ini membebankan kepada
instansi pejabat dengan kerugian yang dialami pihak ketiga, dan
juga teori ini membebankan kepada pejabat yang dalam
pengaplikasiannya kerugian yang dialami pihak ketiga
disesuaikan apakah kesalahan dari kerugian tersebut kesalahan
berat ataupun kerugian atas kesalahan ringan. 57

Berat ataupun ringan dari pada kesalahan yang menimbulkan

kerugian berimplikasi terhadap tanggung jawab yang harus

dibebankan, Pembagian teori tanggung jawab berdasarkan tindakan

melanggar hukum terbagi ke dalam beberapa teori, yaitu:

1. International tort liability adalah Tanggung jawab karena


pelanggaran yang disengaja.
2. Negligence tort liability adalah Tanggung jawab karena
pelanggaran yang dilakukan disebabkan oleh kelalaian.
Berdasarkan terhadap konsep kesalahan yang berkaitan adanya
moral dan hukum yang sudah tercampur yang satu dengan yang
lainnya.
3. Stirck liability adalah Tanggung jawab karena pelanggaran yang
mengabaikan kesalahan berdasarkan tindakan kesalahan yang
dilakukan baik sengaja maupun tidak.58

Jika terjadi suatu kasus maka pelaku harus dikenakan sanksi

atas tindakan yang yang dilkakunnya dan karena perbuatannya

57
Ridwan HR, Op.cit, Hal.365
58
Abdul Kadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, Hal.336
53

tersebut maka pelaku harus bertanggung jawab. 59

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum

yang jelas, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak

dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subyektif. 60

Pentingnya kepastian hukum sesuai yang diatur pada Pasal 28 D

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga bahwa:

‘’Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.’’61
Prinsip kepastian hukum secara jelas telah diamanatkan oleh

konstitusi dan wajib hukumnya untuk diterapkan pada setiap

perumusan peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum harus

selalu dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak

menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif

adalah satu-satunya hukum. Kepastian hukum yang dimaksud

adalah hukum yang resmi diperundangkan dan dilaksanakan dengan

pasti oleh Negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang

dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus

dipenuhi.
59
Dhea Tri Febrina dan Ahars Sulaiman, 2019, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah, Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang PPAT, Jurnal PETITA Vol.
1 No. 1. Hal. 128
60
L.J. Van Apeldorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan X, Jakarta: Pradnya Paramita,
hlm. 11
61
Ibid., hlm. 12
54

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan negara hukum

memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-

peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun

dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan

kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas

dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legislatif, yang

dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral teruji

sehingga tidak mudah terjatuh di luar skema yang diperuntukkan

baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan

keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi

juga perilaku (matter of behavior).62 Kepastian hukum dirumuskan

dengan: Pertama, Berdasarkan kaidah hukum yang lebih tinggi; dan

Kedua, Terbentuknya yang sesuai dengan cara yang telah

ditetapkan.

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin

ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian

hukum mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas

mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan

perantara alat-alatnya; dan

b. Sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.


62
Friedrich. C. J, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, hlm. 240
55

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak

mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk,

yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya.

Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang

mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi

adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut untuk

menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.

Pada dasarnya, kepastian dalam atau dari hukum akan

tercapai jika hukum itu berdasarkan pada undang-undang, dalam

undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang saling

bertentangan. Undang-undang tersebut dibuat berdasarkan

kenyataan hukum dan undang-undang tersebut tidak ada istilah-

istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlainan. Selain itu,

disebutkan bahwa kepastian mempunyai arti bahwa dalam hal

konkret kedua pihak berselisih dapat menentukan kedudukan

mereka. Tugas hukum menjamin kepastian dalam hubungan-

hubungan yang terdapat dalam pergaulan kemasyarakatan.

Tugas dari hukum juga yaitu menjamin kepastian hukum

dalam hubungan-hubungan yang ada dalam masyarakat. Jika tidak

adanya kepastian hukum yang jelas maka masyarakat akan

bertindak sewenang-wenang pada sesamanya karena beranggapan

bahwa hukum itu tidak pasti dan tidak jelas. Kepastian hukum itu
56

sendiri juga menjadi dasar dari perwujudan asas legalitas. Berbeda

halnya dengan Sudargo Gautama yang berpendapat bahwa

kepastian hukum dapat dilihat dari dua sisi yaitu: 63

a. Dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip


pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah
pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan
apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan
hukum; dan
b. Dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan
hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih
dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.

Kepastian hukum juga sebagai suatu ketentuan atau

ketetapan hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan

kewajiaban setiap warga negara.Secara normatif suatu kepastian

hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara

pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian

tidak menimbulkan keraguraguan dan logis tidak menimbulkan

benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan

yang lainnya. Kekaburan norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian

aturan hukum, dapat terjadi multitafsir terhadap sesuatu dalam suatu

aturan.

Kepastian hukum juga menjadi ciri yang tidak dapat

dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum

tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi

digunakan sebagai perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri


63
Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 9
57

disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Kepastian hukum

akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan

ketentuan hukumyang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian

hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam

menjalankan perilaku. Dalam tata kehidupan bermasyarakat

berkaitan serta dengan kepastian dalam hukum.

Kepastian hukum merupakan kesesuaian yang bersifat

normatif baik ketentuan maupun putusan hakim. Kepastian hukum

merujuk pada pelaksana tata kehidupan yang dalam

pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak

dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif

dalam kehdupan masyarakat.

Pada intinya bahwa, kepastian hukum menekankan agar

hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan

oleh bunyi hukum/ peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat

ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.

Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada

dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh

namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh

kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan


58

tertentu.64 Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena

bertujuan ketertiban masyarakat.

Teori kepastian hukum menurut para ahli di atas yang

menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini. Dimana peraturan-

peraturan yang ada khusus yang terkait dengan pelaksanaan e-court

di pengadilan dapat memberikan kepastian hukum kepada

masyarakat pencari keadilan, agar terwujud ketertiban dan keadilan

bagi seluruh masyarakat Indonesia.

E. Kerangka Pikir

a. Alur Pikir

Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yakni:

tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang telah memenuhi

syarat jual beli tetapi tidak didaftarkan ke Kantor Pertanahan oleh

PPAT XX; dan Implikasi hukum akta jual beli tanah dan atau

bangunan yang tidak didaftarkan terhadap tugas dan fungsi PPAT

XX.

64
Sulardi, Yohana Puspitasari Wardoyo, 2015, Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan
Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak, Jurnal Yudisial Volume 8, Nomor 3, Komisis
Yudisial Jakarta, hlm. 258-259
59

Adapun variabel dasar bentuk tanggung jawab PPAT terhadap

akta jual beli yang telah memenuhi syarat jual beli tetapi tidak

didaftarkan ke Kantor Pertanahan oleh PPAT XX adalah tanggung

jawab administratif dan tanggung jawab perdata. Implikasi hukum

akta jual beli tanah dan atau bangunan yang tidak didaftarkan

terhadap tugas dan fungsi PPAT XX adalah akta jual beli sah dan

tetap mengikat, pelaporan kepada Pengawas dan Pembina PPAT,

Penjatuhan sanksi kepada PPAT.

Adapun output dari penelitian tentang Tanggung Jawab

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Terhadap Peralihan Hak Atas

Tanah Melalui Jual Beli Yang Tidak Didaftarkan adalah

terlaksananya jabatan PPAT yang profesional, sesuai dengan

peraturanperundang-undangan.

F. Bagan Kerangka Pikir

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Yang

Tidak Didaftarkan

Bentuk tanggung jawab PPAT


terhadap akta jual beli yang telah
memenuhi syarat jual beli tetapi
tidak didaftarkan ke Kantor Implikasi hukum akta jual beli
Pertanahan oleh PPAT: tanah dan atau bangunan yang
a.Kewenangan PPAT membuat tidak didaftarkan oleh PPAT:
AJB. a. Keharusan mendaftarkan
b.Tugas PPAT dalam proses akta peralihan hak dalam
pendaftaran tanah. administrasi pertanahan.
c. Prosedur pendaftaran AJB di b. Akibat dari akta jual beli
Kantor Pertanahan. yang tidak didaftarkan.
d.Tanggung Jawab Hukum
PPAT terhadap AJB yang
tidak didaftarkan atas
60

G. Definisi Operasional

1. Tanggung Jawab adalah keadaan di mana seseorang wajib

menanggung segala sesuatu sehingga kewajiban menanggung,

memikul jawab, menanggung segala sesuatu yang menjadi akibat.

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

3. Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau

memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Dalam hal ini kewenangan

PPAT adalah membuat akta-akta yang terkait dengan pertanahan.

4. Peralihan Hak adalah salah satu perbuatan hukum yang mana

perbuatan hukum tersebut bertujuan untuk memindahkan hak

pihak yang satu dengan pihak yang lainnya.

5. Jual Beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan

pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

6. Hak atas tanah adalah hak yang dimiliki seseorang dan

mempunyai wewenang terhadap tanah yang dimilikinya untuk

dipergunakan dan dimanfaatkan.

7. Pertanggungjawaban Hukum adalah pertanggungjawaban yang

mencakup tanggungjawab secara pidana, perdata dan

administrasi.
61

8. Akibat Hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh

karena suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subyek

hukum, baik perbuatan yang sesuai dengan hukum, maupun

perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.

9. Administrasi pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan

dengan pendataan pertanahan, pelaporan, dan pengelolaan data

pertanahan yang dilakukan secara sistematis.


62

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Dalam penyusunan Tesis ini, penulis menggunakan tipe penelitian

hukum empiris. Secara etimologi, “istilah penelitian hukum empiris

berasal dari Bahasa Inggris, yaitu empirical legal research, dalam

Bahasa Belanda disebut dengan istilah empirisch juridisch onderzoek,

dan dalam Bahasa Jerman disebut dengan istilah empirische juristische

recherche”.65 Penelitian hukum empiris ini merupakan sebuah metode

penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang

nyata dan untuk meneliti bagaimana hukum bekerja di masyarakat.66

B. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini

adalah pendekatan struktural. Pendekatan struktural adalah suatu

metode atau pendekatan terhadap bekerjanya hukum di masyarakat

berdasarkan struktur yang terdapat pada masyarakat. Teori struktur

fungsional ini melihat masyarakat sebagai sebuah keseluruhan sistem

yang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Merton

menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional ini memusatkan

65
HS. H. Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,Hal.185
66
Irwansyah, 2020, Penelitian Hukum, Pilihan Metode dan Praktek Penulisan Artikel,
Yogyakarta: Cetakan kesatu, Mirra Buana Media, Hal. 23
63

perhatiannya pada suatu kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur.

Menurutnya sasaran studi struktural fungsional ini antara lain adalah

peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang

terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur

sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya. 67

C. Lokasi Penelitian

Dalam rangka memperoleh data dan informasi terkait objek

penelitian tesis ini, maka peneliti melakukan penelitian di Kota Makassar,

yaitu di kantor-kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Makassar

dan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar. Alasan

penulis memilih lokasi penelitian tersebut adalah karena lokasi penelitian

tersebut berkaitan langsung dengan kasus yang penulis teliti, sehingga

tersedia cukup data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

D. Bahan Hukum Penelitian

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara

langsung (dari tangan pertama) berupa hasil wawancara peneliti

dengan nara sumber.

2. Data Sekunder
67
Irwansyah, 2021, Penelitian Hukum Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel ,
Yogyakarta: Mirra Buana Media, hlm. 206-207
64

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang

sudah ada.

E. Teknik Pengumpulan Data

Guna mengumpulkan data-data yang digunakan dalam rangka

penulisan tesis ini, maka pendekatan metode pengumpulan datanya

adalah sebagai berikut:

1. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan

melakukan interview/wawancara dengan pihak-pihak yang terkait

dengan masalah yang menjadi materi pembahasan. Interview

adalah mengadakan wawancara langsung dengan nara sumber,

yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Makassar sebanyak 3

(tiga) orang, Pejabat Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota

Makassar 1 (satu) orang, dan Majelis Pembina dan Pengawas

PPAT Daerah 1 (satu) orang.

2. Penelitian Kepustakaan

Dalam penelitian kepustakaan, penulis melakukan

pengkajian dan mengolah data-data yang tersebut dalam peraturan

perundang-undangan, jurnal dan kajian-kajian ilmiah serta buku-

buku yang berkaitan dengaan latar belakang permasalahan,

termasuk dapat mengumpulkan data melalui media elektronik dan


65

media-media informasi lainnya. Data yang telah ditelusuri dipilih

dan dipilah sesuai tingkat kepentingan (urgensi) dari penulisan tesis

ini.

F. Analisis Data

Data primer dan sekunder serta bahan hukum yang diperoleh

diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk selanjutnya disajikan

secara deskriptif dengan memadukan teori yang digunakan.


66

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual Beli yang Tidak

Didaftarkan Ke Kantor Pertanahan Oleh PPAT

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat adalah dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat

terkait pendaftaran dan sertifikasi tanah. Sesuai amanat dalam Pasal 19

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum hak

atas tanah, maka UUPA mengamanatkan kepada pemerintah untuk

menyelenggarakan pendaftaran tanah.

Pasal 19 ayat (1) UUPA mengatur bahwa “Untuk menjamin

kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah.” Peraturan Pemerintah yang dimaksud

dalam ayat (1) Pasal 19 UUPA tersebut adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah

diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,

Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah


67

untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya

sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk menyediakan informasi

kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar

dengan mudah, dapat memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya

tertib administrasi pertanahan.

Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan

dasar dan perwujudan, tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk

mencapai tertib administrasi tersebut di setiap bidang tanah dan satuan

rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib

didaftarkan. Pendaftaran tanah menciptakan hubungan seseorang

dengan tanah yang dimilikinya dan untuk memberikan kepastian hukum

maka diberikan tanda pemilikan tanah yang disebut sertipikat hak dan

untuk hak milik disebut sertipikat hak milik atas tanah. 68

Salah satu indikasi kepastian objek hak atas tanah ditunjukkan

oleh kepastian letak bidang tanah yang berkoordinat georeferensi dalam

suatu peta pendaftaran tanah, sedangkan kepastian subjek diindikasikan

dari nama pemegang hak atas tanah tercantum dalam buku pendaftaran
68
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana, hlm. 75.
68

tanah pada instansi pertanahan. Hal ini dianggap perlu karena kebutuhan

akan tanah dan permintaannya pun akan semakin meningkat sementara

persediaan yang terbatas dengan harga yang semakin meningkat sering

menimbulkan benturan kepentingan, yang kemudian menimbulkan

sengketa, konflik dan/atau perkara pertanahan. Timbulnya sengketa,

konflik dan/atau perkara pertanahan pada dasarnya merupakan salah satu

permasalahan dalam bidang pertanahan yang perlu diatasi karena dapat

menimbulkan konflik berkepanjangan bahkan perpecahan. 69

Oleh karena fungsi dan kedudukan tanah yang sangat penting

dalam kehidupan manusia, yaitu merupakan sumber kesejahteraan,

kemakmuran, dan kehidupan, serta kegunaan tanah yang begitu strategis,

mengakibatkan nilai tanah semakin tinggi. Tanah merupakan salah satu

sumber daya yang sangat diperlukan saat ini, hal ini disebabkan tingginya

populasi pertumbuhan manusia yang tentunya membutuhkan lahan untuk

tempat hidup yang bersifat primer. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan

tanah, hal inilah yang menjadikan tanah sebagai sumber konflik dalam

masyarakat.

Penyelenggaraan Pendaftaran tanah dalam masyarakat saat ini

menjadi tugas Negara. Pendaftaran tanah dilaksanakan oleh pemerintah

69
Iwan Permadi, 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Tanah Bersertipikat Ganda
Dengan Cara Itikad Baik Demi Kepastian Hukum, Jurnal Yustisia, Volume 5 No. 2 Mei-
Agustus, hlm. 451
69

untuk kepentingan rakyat, sebagai upaya memberikan jaminan kepastian

hukum di bidang pertanahan. Pelaksanaan Pendaftaran tanah dilakukan

oleh Kantor Pertanahan, dan dalam menjalankan tugas tersebut Kantor

Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu berdasarkan PP nomor 24 tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) sub b UUPA bahwa

sebagian tugas dan wewenang Pemerintah dalam hal pendaftaran tanah

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tugas, yaitu Pendaftaran Hak atas

Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan

suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah dan Pendaftaran Peralihan

Hak atas Tanah. Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin

kepastian hukum di mana PPAT mempunyai peranan yang penting. PPAT

sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai

pertanahan tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus

di bidang pertanahan.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa PPAT

mempunyai peranan yang penting dalam proses pendaftaran tanah, maka

selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, juncto Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat


70

Pembuat Akta Tanah, pada Pasal 2 diatur bahwa PPAT mempunyai tugas

pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan

membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang

akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah

yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang

dimaksud antara lain Jual beli, Tukar menukar, Hibah, Pemasukan ke

dalam perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pemberian hak

guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, Pemberian hak,

Pemberian kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut

sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib

pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan,

tertib penggunaan tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan

hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut pada proses penyelenggaraan

pendaftaran tanah diperlukan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah

satu pelaksanaan pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT, di

mana akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka

pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Akta PPAT wajib dibuat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran


71

pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

peralihan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya dilakukan dengan

akta PPAT. Peralihan tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan

penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus

memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat,

dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, menggunakan

dokumen, dibuat di hadapan PPAT.70

Akta PPAT adalah akta otentik dan sebagai sebuah akta otentik

terdapat persyaratan yang ketat dalam hal prosedur pembuatan, bentuk

dan formalitas akta yang harus dilakukan sehingga akta tersebut dapat

dikatakan sebagai akta otentik. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1868

KUHPerdata: “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam

bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat.” Sehingga

akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik yang dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya. Fungsi dari akta PPAT tersebut

adalah sebagai bukti, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang

bersangkutan dan sekaligus membuktikan berpindahnya hak atas tanah

yang bersangkutan kepada penerima hak. 71

70
Abdul Kadir Muhammad,1994, Hukum Harta Kekayaan , Cetakan I, Bandung,
Citra Aditya Bakti, hlm. 55-56.
71
Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Edisi 1.
Cetakan 2, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 143.
72

Selain diberi kewenangan untuk membuat akta, PPAT juga

memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Mengenai kewajiban PPAT

diuraikan sebagai berikut:72

1. PPAT wajib melakukan sumpah di hadapan pejabat yang


berwenang untuk itu.
2. PPAT wajib segera menyampaikan akta yang telah dibuatnya serta
dokumen lainnya yang diperlukan untuk pembuatan sebuah akta
lain kepada Kantor Pertanahan setempat untuk didaftarkan pada
Buku Hak Atas Tanah dan dicantumkan pada Sertipikat Hak Atas
Tanah yang bersangkutan.
3. PPAT wajib menyelenggarakan suatu Daftar Akta-akta yang telah
dibuat dan dikeluarkan menurut bentuk yang telah ditentukan oleh
peraturan yang berlaku.
4. PPAT wajib menjalankan petunjuk yang telah diberikan Kantor
Pertanahan dan pejabat yang mengawasinya.
5. PPAT dalam setiap bulannya wajib menyampaikan laporan
mengenai akta yang dibuatnya selama satu bulan kepada Kepala
Kantor Pertanahan setempat.
6. PPAT wajib memberikan bantuan kepada pihak-pihak dalam hal
pengajuan izin permohonan peralihan hak atau izin penegasan
konversi menurut aturan yang ditentukan.

Terkait dengan kewenangan PPAT dalam membuat akta-akta

tersebut di atas, PPAT juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap

akta-akta yang dibuatnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas,

yang salah satu kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 40 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa:

1. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal


ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-


72

Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, hlm. 507.
73

2. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah


disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat(1) kepada
para pihak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang juga dipertegas dalam

ketentuan Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, mengatur bahwa Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT

wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen- dokumen

yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Artinya,

selaku pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan

akta yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan agar dapat dilaksanakan

proses pendaftaran peralihan haknya oleh Kantor Pertanahan.

Adapun dokumen-dokumen yang dimaksud tersebut di atas

sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa dalam hal pemindahan hak atas

bidang tanah yang sudah bersertipikat atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun terdiri dari:

a. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang


74

ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya;


b. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan
permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;
c. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang
bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu
pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan;
d. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak;
e. Bukti identitas penerima hak;
f. Sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang dialihkan;
g. Izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2);
h. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang;
i. Bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut
terutang.

Tujuan dari penyampaian akta PPAT berikut dokumen-dokumen

yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan adalah untuk didaftar.

Tujuan didaftarnya akta dan dokumen-dokumen tersebut adalah agar tertib

administrasi pertanahan terlaksana dan menjaga konsistensi kepastian

hukum kepada masyarakat. Mengingat pentingnya akta-akta yang dibuat

oleh PPAT bagi masyarakat yang menginginkan sebuah kepastian hukum,

maka dalam menjalankan jabatannya PPAT dituntut untuk selalu bertindak

profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Penjelasan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa selaku pelaksana

pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya


75

kepada Kantor Pertanahan, agar dapat dilaksanakan proses

pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan. Kewajiban PPAT hanya

sebatas menyampaikan akta dengan berkas-berkasnya kepada Kantor

Pertanahan. Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan

sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri. Urusan

setelah akta didaftarakan oleh PPAT, maka selanjutnya menjadi urusan

pihak yang bersangkutan langsung. Kantor Pertanahan harus memberikan

tanda penerimaan atas permintaan permohonan pendaftaran serta akta

dari PPAT dan berkasnya yang diterima kepada PPAT yang bersangkutan.

PPAT yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada penerima hak

mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran peralihan hak

beserta akta PPAT dan berkasnya tersebut kepada Kantor Pertanahan

dengan menyerahkan tanda terima tersebut. Mengenai pengurusan

tentang penyelesaian permohonan pendaftaran peralihan hak selanjutnya

dilakukan oleh penerima hak atau oleh PPAT atau pihak lain atas

persetujuan atau permintaan dari penerima hak atas tanah. Namun praktik

pada umumnya penerima hak memberikan kuasa kepada PPAT untuk

melakukan pengurusan terkait peralihan hak atas tanah termasuk balik

nama sertipikat.

Terkait hal tersebut di atas, terdapat kasus seorang PPAT di Kota

Makassar yang telah membuat Akta Jual Beli No.115/2012 tertanggal 3

April 2012, dalam proses pembuatan aktanya PPAT tersebut telah


76

memenuhi prosedur hukum pembuatan akta otentik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun PPAT tersebut

mengabaikan salah satu kewajibannya yaitu terkait hal yang diatur dalam

Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah. PPAT tersebut di atas, yaitu tidak melaksanakan

ketentuan pada Pasal 40 ayat (1) dan (2) tersebut di atas, tidak

menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan tidak

menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya

akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang

bersangkutan. Hingga 8 (delapan) tahun setelah diterbitkannya akta jual

beli tanpa alasan yang jelas PPAT tersebut tidak memohonkan pencatatan

dan pendaftaran peralihan hak dan balik nama sertipikat pada Kantor

Pertanahan padahal telah diminta oleh pembeli selaku penerima hak. Oleh

karena pihak pembeli merasa dirugikan akan hal tersebut maka pembeli

mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Kota Makassar terhadap PPAT

dan penjual dengan nomor perkara : 262/Pdt.G/2019/PN Mks.

Pada kasus tersebut di mana pembeli sebagai penggugat telah

membeli 1 (satu) unit bangunan ruko di atas tanah seluas 115 M 2 (seratus

lima belas meter persegi) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan KM

9, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar,

Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 115/2012


77

tertanggal 3 April 2012 dan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 50 tanggal 19

Mei 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh PPAT XXX yang didasarkan

Akta Surat Kuasa Menjual Nomor 08 tertanggal 18 Mei 2010 atas Sertipikat

Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah sesuai Surat Ukur Nomor

03487/Tamalanrea Indah/2009. Bahwa diajukannya gugatan ke Pengadilan

dari pembeli kepada PPAT XXX karena pendaftaran dan balik nama

sertipikat tidak terlaksana dan tertunda selama 8 (delapan) tahun, nama

pembeli tidak tercatat sebagai pemilik hak atas tanah sesuai dengan AJB

yang telah dibuat oleh PPAT tersebut, karena PPAT tidak melakukan

pendaftaran kepada Kantor Pertanahan sesuai dengan yang telah

disepakati di awal transaksi.

PPAT XXX tersebut di atas juga tanpa alasan yang jelas telah

sengaja tidak memohonkan balik nama sertipikat padahal telah diminta

oleh pembeli disertai menyerahkan uang biaya balik nama untuk diajukan

permohonan di Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat yakni Kantor

ATR BPN Kota Makassar. Oleh karena PPAT tidak melaksanakan sesuai

dengan yang disepakati pada awal transaksi maka pembeli berniat

memohonkan sendiri balik nama sertipikat dan meminta kepada PPAT

XXX untuk menyerahkan Sertipikat Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah

namun ditolak oleh PPAT tersebut tanpa alasan yang jelas. Dengan

adanya permasalahan ini pembeli sebagai penggugat merasa dirugikan

dengan tidak didaftarkannya akta yang telah dibuat PPAT tersebut dan
78

tidak diprosesnya permohonan pencatatan dan pendaftaran peralihan hak

dan balik nama sertipikat yang telah disepakati sebelum pembuatan akta

jual beli yaitu segala proses pendaftaran dan peralihan hak termasuk balik

nama sertipikat dilimpahkan melalui kuasa kepada PPAT, mengingat

pembeli telah membayar secara tuntas dan lunas harga ruko dan telah

pula membayar Pajak Bumi dan Bangunan ruko tersebut hingga saat ini.

Masalah ini jelas menimbulkan kerugian bagi pembeli selaku

penggugat yang telah membayar tuntas dan lunas harga jual beli ruko,

telah membayar biaya PPAT dan telah membayar PBB ruko sampai saat

ini dan untuk menyelesaikan masalah ini telah menyita pikiran, waktu dan

biaya yang tidak sedikit yang telah dikeluarkan oleh pembeli. Kerugian

materiil dan non materiil yang dialami oleh pembeli tersebut menjadi dasar

diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh

pembeli kepada PPAT berdasarkan Pasal 1365 BW, oleh karena

kesalahan PPAT tersebut yang dengan sengaja tidak melaksanakan

kewajibannya berdasarkan Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan tidak

melaksanakan kesepakatan yang sejak awal transaksi telah disepakati

bahwa segala proses pendaftaran peralihan hak diserahkan kepada PPAT

maka telah mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil terhadap

pembeli.

Kejadian tersebut di atas menunjukkan bahwa PPAT XXX dalam

menjalankan jabatannya telah mengabaikan sikap tanggung jawab, jujur,


79

mandiri dan tidak berpihak, sebagaimana yang telah diatur dalam kode

etik PPAT, dengan tidak diserahkannya sertipikat asli Hak Milik

No.23301/Tamalanrea Indah oleh PPAT XXX kepada pembeli telah

bertentangan dengan kewajiban hukum PPAT tersebut, bertentangan

dengan hukum dan bertentangan dengan hak penggugat selaku pembeli.

Pembeli yang beritikad baik dan jujur haruslah dilindungi menurut hukum

atas apa-apa yang telah dibayarkannya secara tuntas dan lunas dalam jual

beli tersebut, di antaranya pembeli telah membayar biaya PPAT secara

tuntas dan lunas, membayar harga ruko sebesar Rp.1.650.000.000,- (satu

milyar enam ratus lima puluh juta rupiah) sehingga terlaksananya peralihan

hak ruko kepada pembeli selaku pemilik, telah membayar Pajak Bumi dan

Bangunan Ruko setiap tahunnya sampai saat ini, akibatnya dalam

menjalankan ruko sebagai tempat usaha menjadi terganggu dan selama 8

(delapan) tahun peralihan hak dan nama pembeli tidak dapat dimohonkan

agar tercatat dan terdaftar dalam Sertipikat Hak Milik

No.23301/Tamalanrea Indah ditempat dan sejak timbul masalah ini sejak

tahun 2013 telah mengeluarkan biaya Advokat sebesar Rp.350.000.000,-

(tiga ratus lima puluh juta rupiah) untuk menyelesaikan masalah ini. Akibat

kesalahan PPAT tersebut mengakibatkan pembeli tidak memperoleh

kepastian hukum terhadap hak atas tanahnya hingga saat ini padahal

selaku pembeli telah memenuhi segala kewajibannya.

Terdapat hubungan hukum antara PPAT yang membuat akta


80

dengan para pihak yang meminta jasa kepada PPAT untuk dibuatkan akta.

Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai

dua sisi, yaitu hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kewenangan atau

kekuasaan yang diberikan oleh hukum, suatu kepentingan yang dilindungi

oleh hukum dan dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau

layak diterima. Sedangkan kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan

yang bersifat kontraktual, dengan kata lain, kewajiban adalah sesuatu yang

sepatutnya diberikan.

Hubungan hukum antara PPAT dengan kliennya yang terdapat

dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal

ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan

akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada

Kantor Pertanahan untuk didaftar dan wajib menyampaikan pemberitahuan

tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana diatur dalam PP

tersebut. PPAT mempunyai hak dan kewajiban terhadap kliennya, begitu

pula sebaliknya seorang klien juga mempunyai hak dan kewajiban dalam

hubungan hukum tersebut. Kewajiban para pihak yang meminta dibuatkan

akta jual beli kepada PPAT, wajib membayar uang honorarium tertentu

kepada PPAT yang merupakan haknya. Kewajiban PPAT dalam hal ini

adalah menyampaikan akta yang dibuatnya berserta dokumen-dokumen

terkait selambat-lambatnya tujuh hari dan menyampaikan pemberitahuan


81

tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan kepada

para pihak yang bersangkutan.

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Andrie Saputra Prins

bahwa tidak dilaksanakannya kewajiban PPAT tersebut sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan suatu

kelalaian administrasi, dan pelanggaran administrasi karena PPAT tidak

melakukan pendaftaran sesuai dengan kewajibannya. BPN selaku

pengawas PPAT dapat memberikan teguran lisan ataupun tertulis kepada

PPAT tersebut, PPAT yang tidak melaksanakan pelaporan aktanya yang

merupakan suatu kewajiban maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal

12 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

bahwa pelanggaran PPAT tersebut yaitu tidak melaksanakan kewajiban

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diatur dalam Pasal 40

tersebut bahwa PPAT selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari wajib melaporkan

akta yang telah dibuatnya kepada kantor pertanahan, maka seharusnya

PPAT melaksanakan hal tersebut.73

Pelanggaran terhadap kewajiban yang dilakukan oleh PPAT

tersebut adalah pelanggaran administratif maka pengawas PPAT dapat

menjatuhkan sanksi administratif berupa tertulis kepada PPAT tersebut.


73
Berdasarkan hasil wawancara dengan Andrie Saputra Prins, Kepala Bidang Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah BPN Kota Makassar, pada tanggal 16 Maret 2022.
82

Apabila dalam menjalankan kewajiban pelaporan akta sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut terdapat kendala

yang terjadi akibat kesalahan para pihak maka seharusnya PPAT

memberikan alasan kepada BPN mengenai keterlambatan tersebut.

Namun pada kasus PPAT XXX yang digugat oleh pembeli karena tidak

mendaftarkan AJB yang dibuatnya setelah 8 (delapan) tahun lamanya hal

tersebut tentu merupakan kesalahan PPAT, terdapat unsur kesengajaan

karena pihak pembeli telah meminta agar segera diproses namun pihak

PPAT tidak memberikan alasan mengapa AJB yang dibuatnya tidak

didaftarkan kepada Kantor Pertanahan.74

Menurut Endang Soelianti, terdapat beberapa faktor yang menjadi

kemungkinan sehingga menyebabkan PPAT terlambat melaporkan akta

yang dibuatnya beserta dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada

Kantor Pertanahan, antara lain adalah kelalaian PPAT itu sendiri misalnya

karena banyaknya akta yang dibuat sehingga lalai dan lupa, dokumen

pendukung belum lengkap, adanya kendala pada saat pembayaran pajak

sehingga tidak dapat tepat waktu menyampaikan akta beserta dokumen-

dokumen yang bersangkutan.75

Keterlambatan pendaftaran atau melaporkan akta yang dibuat

adalah suatu pelanggaran administrasi, apalagi akta tersebut tidak

Ibid
74

75
Berdasarkan hasil wawancara dengan Endang Soelianti,SNotaris dan PPAT di Kota
Makassar pada tanggal 16 Maret 2022.
83

didaftarkan oleh PPAT dan telah lewat 8 (delapan) tahun maka tentu saja

hal tersebut adalah sebuah pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan dan pelanggaran kode etik karena PPAT XXX tersebut tidak

bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya dan tidak beritikad baik

terhadap pembeli sebagai pihak dalam akta. Tujuan dari kewajiban

mendaftarkan akta yang telah dibuat adalah untuk memenuhi asas

publisitas, sehingga apabila tidak didaftar maka akta tersebut tidak

memenuhi asas publisitas. Pihak yang merasa dirugikan karena perbuatan

PPAT tersebut dapat melaporkan kepada Majelis Pengawas PPAT, dan

PPAT tersebut harus bertanggung jawab dalam jabatannya dan dapat

dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis. Apabila berulang kali pelanggaran

terhadap kewajiban tersebut terjadi maka perlu dipertimbangkan PPAT

yang melakukan pelanggaran untuk diskorsing.76

Menurut Niny Savitry, bahwa tidak dilakukannya pendaftaran AJB

kepada Kantor Pertanahan setelah akta dibuat mengakibatkan tidak ada

peralihan hak secara formal, formalitas atas kepemilikan suatu hak atas

tanah tidak terdaftar. Tugas utama seorang PPAT adalah membuat akta,

sehingga apabila seorang PPAT membantu untuk mendaftarkan balik

nama maka itu bagian dari pelayanan PPAT kepada klien. Proses balik

nama adalah salah satu rangkaian dari proses jual beli, dan pengurusan

balik nama tidak menjadi kewajiban PPAT. Namun apabila sejak awal telah

76
Ibid
84

disepakati bahwa setelah AJB dibuat para pihak sepakat untuk

memberikan kuasa kepada PPAT untuk melakukan proses balik nama

maka apabila PPAT tidak melaksanakannya maka para pihak yang merasa

dirugikan dapat melakukan laporan dan pengaduan kepada pengawas

PPAT.77

Menurut Ria Trisnomurti bahwa PPAT yang tidak melaksanakan

kewajibannya untuk melakukan pendaftaran sesuai dengan PP 24 tahun

1997 bertanggung jawab secara jabatan karena merupakan bagian dari

pelaksanaan jabatan PPAT yang salah satu kewajibannya adalah

melakukan pendaftaran akta yang telah dibuatnya kepada BPN. BPN tidak

boleh menolak apabila PPAT melaksanakan kewajibannya tersebut lewat

dari tujuh hari. Secara hukum hak atas tanah telah beralih dengan

dibuatnya AJB tersebut, namun karena belum didaftarkan maka peralihan

tersebut belum memenuhi syarat administrasi. Akibat hukum AJB yang

tidak didaftarkan tetap sah dan mengikat, namun belum memenuhi syarat

administrasi pendaftaran peralihan hak atas tanah. 78

Kesalahan PPAT XXX yang tidak mendaftarkan AJB yang telah

dibuatnya selama delapan tahun tergolong kesalahan administratif bukan

merupakan pelanggaran perdata/pidana, hanya kelalaian. Pendaftaran


77
Berdasarkan hasil wawancara dengan Niny Savitry, Notaris dan PPAT di Kota
Makassar, pada tanggal tanggal 16 Maret 2022.

78
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ria Trisnomurti, Notaris dan PPAT di Kota
Makassar pada tanggal 17 Maret 2022.
85

peralihan hak merupakan proses administratif, dalam hal ini terjadi

kelalaian PPAT dalam pelaksanaan jawabatannya dan juga merupakan

pelanggaran kode etik PPAT karena semua pelaksanaan kewajiban PPAT

terkait dengan kode etik PPAT. Klien yang merasa dirugikan karena hal

yang dilakukan oleh PPAT XXX dapat melakukan pengaduan/pelaporan

kepada pengawas PPAT. Namun apabila klien ingin mengajukan tuntutan

kepada PPAT tersebut itu adalah hak masyarakat untuk mengajukan

tuntutan ganti rugi.79

Sependapat dengan Niny Savitry, menurut Lola Rosalina bahwa

kewajiban PPAT adalah membuat akta dan melakukan pendaftaran bukan

tugas PPAT namun hanya jasa, kewajiban pendaftaran ada pada

pemegang hak sendiri, PPAT tidak wajib mengurus proses balik nama tapi

hanya membuat akta, kecuali klien meminta tolong, namun hal tersebut

bukan sebagai tugas pokok seorang PPAT. PPAT diberikan tugas untuk

membantu pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, dalam

melaksanakan tugasnya PPAT wajib menyampaikan proses selanjutnya

apa yang akan dilakukan, misalnya untuk melakukan proses balik nama.

Balik nama sertipikat sangat penting karena berhubungan dengan

kepastian hukum.80

Menurut Lola Rosalina bahwa perbuatan PPAT XXX yang tidak

Ibid
79

80
Berdasarkan hasil wawancara dengan Lola Rosalina, Notaris dan PPAT di Kota
Makassar pada tanggal 17 Maret 2022.
86

melakukan kewajibannya merupakan perbuatan melanggar hukum, dan

tergolong pidana apabila telah menerima uang jasa namun tidak

melaksanakan tugas, serta tergolong pelanggaran etika. Klien yang

merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap PPAT

tersebut.81

Penulis sependapat dengan para narasumber di atas bahwa

pelanggaran kewajiban PPAT yang telah diatur dalam Pasal 40 PP Nomor

24 Tahun 1997 merupakan pelanggaran administrasi, peralihan hak atas

tanah yang dilakukan melalui AJB yang dibuat oleh PPAT XXX tersebut di

atas tetap sah secara hukum namun memiliki risiko karena belum

dilakukan proses balik nama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh nara

sumber bahwa kewajiban proses balik nama adalah kewajiban para pihak

sendiri, namun dalam kasus ini telah disepakati dari awal bahwa segala

proses administrasi dalam peralihan hak atas tanah tersebut diserahkan

kepada PPAT XXX. Oleh karena telah ada kesepakatan dari awal maka

PPAT XXX wajib untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.

Tidak didaftarkannya AJB yang dibuat selama 8 (delapan) tahun

memang merupakan kesalahan administrarif, dan AJB yang dibuat oleh

PPAT XXX tetap dapat didaftarkan, namun pihak pembeli yang telah

beritikad baik telah mengalami kerugian materiil dan nonmaterial yang tidak

sedikit jumlahnya akibat tidak adanya kepastian hukum terhadap hak atas

81
Ibid.
87

tanahnya. Sertipikat hak atas tanah yang telah dibelinya belum terbalik

nama kepada pembeli padahal pihak pembeli telah menunggu selama 8

(delapan) tahun, dan selama itu pula pihak PPAT XXX tidak melakukan

proses apapun terhadap sertipikat tersebut dan menolak untuk

menyerahkan sertipikat asli kepada pembeli. Oleh karena hal ini maka

sudah tepat pembeli mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum

berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata kepada PPAT XXX.

Terhadap PPAT yang mengabaikan ketentuan Pasal 40 ayat PP

Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, seharusnya diberikan sanksi sebagaimana

yang diuraikan dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997, yang mengatur

bahwa PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan

ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39,

dan Pasal 40 serta ketentuan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau

Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran

tertulis hingga pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak

mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang

menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-

ketentuan tersebut.

Menurut Lola Rosalina yang merupakan salah satu anggota Majelis

Pengawas PPAT bahwa hingga saat ini belum pernah ada kasus yang

disidangkan terkait PPAT yang diadukan karena adanya gugatan di

pengadilan. Di Sulawesi Selatan sendiri pengawasan PPAT belum berjalan


88

dengan maksimal. Aturan mengenai PPAT lebih ketat daripada aturan

jabatan notaris tapi aturan mengenai PPAT belum dijalankan. Apabila

aturan mengenai pengawasan PPAT yang diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan Pengawasan

Pejabat Pembuat Akta Tanah dijalankan maka sangat baik karena

aturannya sangat baik, namun sayangnya aturan belum berjalan hingga

saat ini.82

Menurut Andrie Saputra Prins bahwa masih banyak PPAT yang

diketahui menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen- dokumen

yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan melewati jangka waktu

yang telah ditentukan. Hal tersebut tentu mengabaikan ketentuan dari

Pasal 40 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, namun juga banyak PPAT yang tepat waktu dalam melaksanakan

aturan tersebut.

Menurut penulis sejauh ini belum ada sanksi tegas yang diberikan

oleh Badan Pertanahan Nasioal (BPN) terhadap PPAT yang terlambat

menyampaikan akta yang dibuatnya, dan dalam praktiknya BPN selalu

memberi kelonggaran kepada PPAT. Padahal jika mengacu pada aturan,

melewati jangka waktu yang telah ditentukan hal itu berarti PPAT telah

melakukan pelanggaran kewajiban. PPAT yang diketahui sering


82
Berdasarkan hasil wawancara dengan Lola Rosalina, Notaris dan PPAT di Kota Makassar
pada tanggal 17 Maret 2022.
89

mengabaikan ketentuan tersebut seharusnya diberi sanksi berat dan BPN

harus tegas akan hal itu agar dapat memberi efek jera kepada PPAT yang

bersangkutan sehingga ke depannya tertib administrasi pertanahan dapat

terwujud.

Namun di sisi lain, aturan mengenai tidak diperbolehkannya Kepala

Kantor menolak semua pengajuan akta PPAT yang telah melewati batas

waktu yang telah ditentukan memberikan kelonggaran kepada PPAT yang

tidak tepat waktu dalam mendaftarkan akta yang dibuatnya kepada BPN.

Hal ini tentunya menjadi celah PPAT dapat melakukan pendaftaran

walaupun telah bertahun-tahun lamanya, tidak dilakukannya pendaftaran

terhadap akta yang telah dibuatnya, dalam kasus ini tidak didaftarkannya

AJB selama 8 (delapan) tahun tentunya menimbulkan risiko berupa

ketidakpastian hukum terhadap pihak yang berhak atas tanah tersebut yaitu

dalam kasus ini pembeli yang merasa dirugikan. Terdapat inkonsistensi

peraturan yaitu antara Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo. Pasal 103 ayat (1) Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menghendaki PPAT

wajib menyampaikan akta yang dibuatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh)

hari kerja setelah ditandatanganinya akta tersebut, dan Pasal 103 ayat (7)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional


90

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang

mengharuskan Kantor Pertanahan menerima akta yang diajukan oleh

PPAT untuk didaftarkan walaupun lewat dari 7 (tujuh) hari kerja. Hal

tersebut ditegaskan dalam Pasal 103 ayat (7) Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, mengatakan bahwa:

“Pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak yang dibuktikan


dengan akta PPAT harus juga dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Pertanahan sesuai ketentuan yang berlaku walaupun penyampaian
akta PPAT melewati batas waktu 7 (tujuh) hari.”

Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo. Pasal

103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas maka dapat dikenai

sanksi administratif.

Philipus M. Hadjon yang mengutip dari Tan Berg, menyatakan

bahwa dalam penegakan hukum administrasi terdapat dua instrumen

penting yaitu pengawasan sebagai langkah preventif, dan penegakan

sanksi yang merupakan langkah represif. Kedua instrumen tersebut


91

bertujuan untuk memaksakan kepatuhan. 83 Pengawasan terhadap PPAT

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 1

angka 2 menegaskan bahwa pembinaan adalah usaha, tindakan dan

kegiatan yang dilakukan oleh Menteri terhadap PPAT secara efektif dan

efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih baik. Sedangkan Pasal

1 angka 5 menegaskan bahwa pengawasan adalah kegiatan administratif

yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk

menjaga agar para PPAT dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan atau kelalaiannya

atas pelanggaran kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 PP

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu tidak

didaftarkannya Akta Jual Beli yang telah ditandatangani berserta

dokumen-dokumennya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak akta

tersebut ditandatangani kepada kantor pertanahan, atas pelanggaran

tersebut tidak saja dapat dikenakan sanksi administratif tapi juga tidak

menutup kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh para pihak yang

merasa dirugikan. Berkaitan dengan kesalahan dari PPAT XXX kesalahan

tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).

83
Ridwan HR,2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 310- 311.
92

Perbuatan PPAT XXX yang telah menyebabkan sebuah akta yang wajib

didaftarkannya kepada Kantor Pertanahan dapat dianggap sebagai

perbuatan melanggar hukum, dalam kasus ini berdasarkan fakta

persidangan terungkap bahwa PPAT XXX sengaja tidak melakukan

pendaftaran AJB dan tidak melakukan proses balik nama sertipikat

karena PPAT XXX memiliki hubungan kedekatan dengan pihak penjual

yang beritikad buruk dalam jual beli ini yang tidak mengakui bahwa benar

telah terjadi jual beli, padahal seharusnya pihak PPAT dalam

menjalankan profesinya harus bertindak mandiri, jujur dan bertanggung

jawab.

Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan

melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada

pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut harus

juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah

melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi

faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan

kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya

dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

Kriteria pertama dan kedua berhubungan dengan hukum tertulis

sedangkan kriteria ketiga dan keempat berhubungan dengan hukum tidak

terulis. Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan


93

melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:84

1. Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan

perbuatan);

2. Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan

hukum);

3. Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht

(perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);

4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena

kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).

Sejalan dengan Hoffman, Mariam Darus Badrulzaman

mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan

suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai

berikut:85

1. Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik

yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap

tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;

2. Perbuatan itu harus melawan hukum;

3. Ada kerugian;

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu

dengan kerugian;

84
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2012, hlm. 34
85
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung 2010, hlm. 9
94

5. Ada kesalahan;

Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan

melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut: 86

1. Adanya Suatu Perbuatan Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh

suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa

dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (aktif)

maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap

perbuatan melawan hukum tidak ada unsur “persetujuan atau kata

sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang

diperbolehkan”sebagaimana yang terdapat dalam kontrak”.

2. Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun

1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya,

yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;

b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si

pelaku;

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden);

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain

86
Ibid, hlm. 10-11
95

(indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk

verkeer betaamt ten aanzein van ander person of goed)

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku agar dapat dikenakan Pasal 1365

KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, undang-undang dan

yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung

unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut.

Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365

KUHPerdata, pembuat Undang-Undang berkehendak menekankan bahwa

pelaku perbuatan melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas

kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat

dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap oleh hukum

mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung

jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 87

a. Ada unsur kesengajaan;

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf

(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri,

tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya Kerugian Bagi Korban. Adanya kerugian (schade) bagi korban

juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan tentang perbuatan

melawan hukum dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena

87
Ibid, hlm. 11
96

wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian

karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil,

yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan

dinilai dengan uang.

5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian. Hubungan

kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi

juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.

Mencermati mengenai perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam

proses peralihan hak atas tanah, di mana PPAT tidak melakukan

pendaftaran terhadap akta jual beli yang telah dibuatnya sebagaimana diatur

dalam Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang

mengakibatkan pembeli tidak dapat mengurus proses balik nama sertipikat,

serta dengan sengaja menahan sertipikat dan tidak memberikan kepada

yang berhak yaitu pembeli, hingga mengakibatkan pembeli tidak

memperoleh kepastian hukum terhadap hak atas tanahnya, menyebabkan

kerugian bagi klien berupa kerugian materiil dan non materiil. Berdasarkan

pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur bahwa “tiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.” Pengertian perbuatan dalam Pasal 1365

KUHPerdata tersebut terjadi karena tindakan atau kelalaian untuk melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan.


97

Berkaitan dengan tidak didaftarkannya AJB dan tidak dilakukannya proses

balik nama menyebabkan kerugian bagi klien sehingga klien yang merasa

dirugikan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal

1365 KUHPerdata tersebut.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa unsur kesalahan

dianggap ada, jika memenuhi salah satu di antara 3 (tiga) syarat yaitu ada

unsur kesengajaan, ada unsur kelalaian (negligence, culpa), tidak ada alasan

pembenar atau alasan pemaaf. Kesalahan mencakup dua pengertian, yakni

kesalahan dalam arti luas (terdapat kelalaian dan kesengajaan) dan

kesalahan dalam arti sempit (hanya berupa kesengajaan). Oleh karena

adanya kesalahan PPAT dalam melaksanakan kewajiban hukumnya

menyebabkan pelaksanaan hak seseorang menjadi terganggu, apabila

menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT bersangkutan

harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita oleh klien

tersebut dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Pada kasus

gugatan pembeli kepada PPAT XXX majelis hakim memberi putusan agar

PPAT XXX bertanggung jawab dengan memerintahkan kepada PPAT XXX

dengan seketika memohonkan pendaftaran dan pencatatan peralihan hak

dan balik nama buku asli Sertipikat Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah

dari atas nama penjual ke atas pembeli pada Kantor Badan Pertanahan

Nasional Kota Makassar dan memerintahkan kepada PPAT XXX dengan

seketika menyerahkan Sertipikat Hak Milik No.23301/Tamalanrea Indah atas


98

nama pembeli yang diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota

Makassar kepada pembeli selaku penggugat. Dalam kasus ini majelis hakim

tidak memerintahkan kepada PPAT tersebut untuk melakukan penggantian

biaya, ganti rugi dan bunga pada pembeli yang telah mengalami kerugian

materiil dan non materiil sebagaimana yang penggugat uraikan dalam

gugatannya.

Selain perbuatan melawan hukum, dalam hubungan antara PPAT

dengan kliennya terdapat hubungan kontraktual apabila terdapat perjanjian

di awal sebelum dilakukannya transaksi. Pada kasus ini, pihak klien (penjual

dan pembeli) dengan PPAT telah sepakat untuk dibuatkan akta jual beli dan

juga pengurusan balik nama sertipikat. Apabila dilihat dari konteks ini maka

PPAT telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan hal yang

telah diperjanjikan dengan klien yaitu melakukan pengurusan balik nama

sertipikat, walaupun proses balik nama sertipikat bukan merupakan

kewenangan dan tugas PPAT, namun apabila telah disepakati atau

diperjanjikan di awal transaksi maka PPAT wajib untuk melaksanakan hal

tersebut. Namun dalam peneltian ini, penulis menitikberatkan pada

pelanggaran PPAT terhadap kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 40 PP nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu

kewajiban menyampaikan akta yang dibuatnya kepada kantor pertanahan

dalam waktu tujuh hari setelah akta dibuat. Oleh karena adanya pelanggaran

ini mengakibatkan kerugian bagi pihak pembeli.


99

Tanggung jawab profesi PPAT dapat dikategorikan menjadi 2 (dua)

hal, yaitu tanggung jawab etik (tanggung jawab moral yang diatur dalam

kode etik PPAT dan tanggung jawab hukum. Adapun tanggung jawab hukum

ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Tanggung Jawab Administrasi

Kesalahan administrasi atau mal administrasi yang dilakukan oleh

PPAT dalam melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

tentunya akan menimbulkan konsekuensi hukum tertentu, yaitu PPAT

dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara hukum (administratif)

maupun secara moral.88 Pertanggungjawaban administratif oleh PPAT

yang terkait dengan kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya

dalam menjalankan wewenangnya yaitu membuat akta otentik adalah

dikenakannya sanksi administratif. Penjatuhan sanski administratif

tersebut berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari

jabatannya sebagai PPAT yang diatur di dalam Pasal 10 Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga ditetapkan dalam Pasal 6

ayat (1) Kode Etik PPAT, yakni bagi anggota yang melakukan

pelanggaran kode etik dapat dikenai sanksi yaitu teguran, peringatan,

pemberhentian sementara, diberhentikan dengan hormat dan

diberhentikan dengan tidak hormat. 89

88
Ridwan HR, 2006, Hukum Admistrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hal.335
89
Tamrin Muchsin, et.al, Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Hal Pendaftaran Tanah:
Sebuah Tinjauan Kewenangan Dan Akibat Hukum, Jurnal Madani Legal Riview, Vol. 4
No.1, 2020. Hal.76
100

b. Tanggung Jawab Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi masalah

pertanggungjawaban terhadap perbuatan melawan hukum menjadi 2

golongan yaitu:

1) Tanggung jawab langsung, hal ini diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata yang pada dasarnya menentukan bahwa barang

siapa melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada

orang lain mewajibkan orang yang salah karena salahnya

mengganti kerugian tersebut.90

2) Tanggung jawab tidak langsung, pada Pasal 1367 KUHPerdata,

seorang subjek hukum tidak hanya bertanggung jawab atas

kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga

atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang

yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-

barang dan setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk

kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk

kerugian yang disebabkan krena kelalaian atau kurang hati-

hatinya.

c. Tanggung Jawab Pidana

Syarat-syarat formil dari suatu akta PPAT yang dapat digunakan

90
Muhamad Sadi Is, 2016, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Sebagai Upaya
Penguatan Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Malang: Setara
Press. Hal. 33
101

sebagai dasar atau batasan untuk dapat memidanakan PPAT jika

memenuhi:91

1) Bahwa PPAT secara sengaja dan terbukti dengan sadar dan

terencana bahwa ia melakukan suatu tindak pidana menggunakan

akta yang dibuatnya.

2) Bahwa PPAT bersama dengan pihak yang berkaitan secara

sengaja dan sadar melakukan suatu tindakan yang merupakan

pelanggaran terhadap hukum.

Selain bertanggung jawab secara perdata, PPAT XXX tersebut juga

bertanggung jawab secara administratif. Kesalahan administrasi atau biasa

disebut dengan mal administrasi yang dilakukan oleh PPAT dalam

melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah tentunya akan

menimbulkan konsekuensi hukum, yakni PPAT dapat dimintai

pertanggungjawaban. Pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan:

a) pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT;


b) tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
c) melanggar ketentuan larangan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan; dan/atau
d) melanggar Kode Etik.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum

yang diberi kewenangan atas kewajibannya untuk bekerja dengan penuh

91
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasi terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Cetakan kedua, Bandung:Refika Aditama. Hal. 124
102

tindakan tanggung jawab, jujur, mandiri dan independent atau tidak berpihak

pada siapapun, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf f Kode

Etik PPAT. Selain hal tersebut, PPAT juga dilarang untuk melakukan

perbuatan atau tindakan yang melanggar ketentuan dalam Peraturan

Jabatan PPAT dan perundang-undangan lainnya sebagaimana Pasal 4 huruf

r angka 1 Kode Etik PPAT. Selanjutnya, PPAT sebagai pejabat umum yang

berwenang membuat akta otentik diharap untuk:

1. Membuat akta yang dapat dipergunakan sebagai dasar yang kuat bagi

pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak;

2. PPAT bertanggung jawab atas unsur kecakapan dan kewenangan

penghadap dalam Akta dan keabsahan perbuatan hukumnya sesuai data

dan keterangan yang disampaikan penghadap yang dikenal atau

diperkenalkan;

3. PPAT bertanggung jawab atas dokumen dan berkas yang dipergunakan

sebagai dasar melakukan tindakan hukum;dan

4. PPAT bertanggung jawab terhadap sahnya perbuatan hukum sesuai data

dan keterangan para penghadap serta menjamin otentisitas dan

bertanggung jawab atas permbuatan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional


103

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan

Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dapat berupa teguran tertulis,

pemberhentian sementara dan pemberhentian dengan hormat atau

pemberhentian dengan tidak hormat. Pada kasus tidak didaftarkkan akta

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah akta di tandatangani, maka Jenis

pelanggaran PPAT tersebut adalah tidak melaksanakan kewajiban yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu kewajiban

menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar selambat-lambatnya

7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan

dan sanksi tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Lampiran II

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyebutkan secara rinci jenis

pelanggaran dan sanksi yang dapat diberikan kepada PPAT yang melakukan

pelanggaran serta jangka waktu sanksi yang diberikan. Dalam lampiran

tersebut dijelaskan apabila PPAT tidak menyampaikan akta yang dibuatnya

berikut dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan dalam


104

waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani akta yang bersangkutan,

maka terhadap PPAT tersebut diberikan teguran tertulis.

B. Implikasi Hukum Akta Jual Beli Tanah dan Atau Bangunan yang Tidak
Didaftarkan Oleh PPAT
Pada proses peralihan hak melalui jual beli dibutuhkan akta yang

disebut Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT untuk memberikan jaminan

kepastian hukum sesuai Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menentukan bahwa

peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang

hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT

yang berwenang menurut kententuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa untuk

pendaftaran peralihan hak karena jual beli hanya dapat didaftarkan jika

dibuatkan akta oleh PPAT, karena akta PPAT merupakan salah satu syarat

mutlak untuk adanya pendaftaran peralihan hak atas tanah, adapun tujuan

pendaftaran akta peralihan hak atas tanah pada kantor pertanahan adalah

untuk memperoleh kepastian hukum berupa sertipikat atas nama pemegang

hak baru. Hal tersebut dilakukan agar dengan mudah dapat membuktikan

dirinya sebagai pemegang hak baru dan dengan mudah dapat memperoleh

data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai


105

bidang-bidang tanah tertentu dan yang sudah terdaftar sehingga dapat

terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Akta Jual Beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah

terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai

pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukan secara

nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah

dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan

perbuatan hukum pemindahan hak dan pembayaran harganya.

Suatu transaksi jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan

pembeli di hadapan seorang PPAT untuk dibuatkan akta jual beli hak atas

tanah adalah merupakan suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah

semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum,

antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum. Seperti misalnya

para pihak yang menghadap PPAT untuk dibuatkan akta jual beli, akan

membawa bersama dari peristiwa itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik

untuk penjual, pembeli dan PPAT yang bersangkutan. Pihak penjual dengan

serangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Pihak pembeli dengan

serangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Demikian pula pihak

PPAT dengan serangkaian hak dan kewajibannya.

Akibat hukum yang timbul karena adanya perbuatan hukum jual beli

akan membawa akibat peralihan hak milik atas tanah dari penjual kepada
106

pembeli. Pihak pembeli akan menerima uang dengan beralihnya hak atas

tanah tersebut. Seandainya terjadi wanprestasi dari salah satu pihak tersebut

akibat perbuatan seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat

hukum berupa pertanggung jawaban hukum.

Tujuan dari penyerahan akta PPAT berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan adalah untuk didaftar. Tujuan

didaftarkannya akta dan dokumen-dokumen tersebut adalah untuk menjaga

konsistensi kepastian hukum kepada masyarakat dan melakukan tertib

administrasi pertanahan. Mengingat pentingnya akta-akta yang dibuat oleh

PPAT bagi masyarakat yang menginginkan sebuah kepastian hukum, maka

sudah seharusnya PPAT bertindak profesional dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat.

Akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT merupakan akta

otentik. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pendaftaran Tanah Jo. Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyebutkan bahwa

PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta

autentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
107

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan

apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai

kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta PPAT

sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak,

yaitu dengan cara membacakan sehingga menjadi jelas isi akta tersebut,

serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap

peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak

penandatanganan akta.

Suatu akta dapat dikatakan akta otentik apabila telah memenuhi syarat-

syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam pembuatan akta

otentik harus memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1868

KUHPerdata yaitu akta tersebut harus dibuat oleh atau di hadapan seorang

pejabat umum, akta tersebut harus dibuat dalam bentuk yang telah

ditentukan di dalam undang-undang, Pejabat umum yang membuat akta

harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut, baik

kewenangan berdasarkan daerah (wilayah) kerjanya atau waktu pada saat

akta tersebut dibuat. Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah

merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur

pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa boleh di simpangi

sedikitpun. Penyimpangan dari tatacara dan prosedur pembuatan akta

otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan pembuktian akta itu.
108

Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta tidak

membuat sahnya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis tersebut dapat

digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari, karena suatu perjanjian harus

dapat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata. Akta PPAT terkait dengan keperluan penyerahan

secara yuridis (levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk levering).92

Kewajiban penyerahan surat bukti hak atas tanah yang dijual sangat penting

karena Pasal 1482 KUHPerdata menyatakan “kewajiban menyerahkan suatu

barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta

dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik,

jika itu ada”. Jadi, penyerahan sebidang tanah meliputi penyerahan

sertipikatnya. Peralihan hak atas tanah dari pemilik kepada penerima disertai

dengan penyerahan yuridis (juridische levering), merupakan penyerahan

yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan

syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, menggunakan

dokumen, dibuat oleh/di hadapan PPAT. 93

Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka

pemeliharaan data pendaftaran tanah. Adapun tujuan pendaftaran akta

peralihan hak atas tanah pada Kantor Pertanahan adalah untuk memperoleh

surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya yaitu berupa

sertipikat atas nama pemegang hak baru. Sehingga dapat memberikan


92
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, hlm. 79.
93
Op.Cit, Abdul Kadir Muhammad, hlm. 55-56
109

kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak baru,

agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

yang bersangkutan, selain itu untuk menyediakan informasi kepada pihak-

pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum

mengenai bidang-bidang tanah tertentu dan satuan rumah susun yang

terdaftar sehingga terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan tertib administrasi

pertanahan adalah melalui pengaturan mengenai kewajiban PPAT untuk

menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada kantor pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

sejak ditandatanganinya akta itu, hal tersebut diatur dalam Pasal 40 ayat

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Hal ini perlu dilakukan agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh

Kepala Kantor Pertanahan. Hal itu dikarenakan proses peralihan hak atas

tanah yang telah dilakukan oleh para pihak baru dapat dilakukan proses

pencatatan perubahan kepemilikan pemegang hak atas tanahnya dalam

sertipikat dan buku tanah apabila telah didaftarkan akta peralihan haknya

dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturang

perundang-undangan.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tujuan

dilakukannya pendaftaran salah satunya adalah untuk memenuhi asas


110

publisitas, apabila tidak didaftarkan dan bidang tanahnya tidak dikuasai

secara nyata oleh pemilik yang baru, maka dapat memberi peluang bagi

yang pihak yang beritikad tidak baik untuk menjual kembali tanah tersebut

kepada pihak lain ataupun pihak penjual dapat menyangkal telah

diadakannya jual beli walaupun pembeli telah membayar lunas harga yang

disepakati.

Seperti kasus yang telah dibahas sebelumnya di mana pihak pembeli

mengajukan gugatan terhadap penjual dan PPAT oleh karena penjual tidak

mengakui telah dilakukannya jual beli padahal akta jual beli telah

ditandatangani, dan pihak PPAT tidak melakukan pendaftaran akta tersebut

kepada Kantor Pertanahan sesuai yang diamanatkan oleh Pasal 40 PP

Nomor 24 Tahun 1997 yaitu harus didaftar selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari,

namun PPAT XXX tidak melakukan pendaftaran hingga telah lewat waktu 8

(delapan) tahun. Pihak pembeli tentunya tidak memperoleh kepastian

hukum, walaupun tanah tersebut telah dikuasai namun belum ada

penyerahan secara yuridis formal, sertipikat masih atas nama penjual dan

penjual kemudian menyangkal bahwa telah terjadi jual beli.

Akta yang dibuat harus disampaikan kepada Kantor Pertanahan paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja agar Kantor Pertanahan mengetahui bahwa

pemilik hak atas tanah tersebut telah beralih. Seharusnya PPAT XXX

mendaftarkan akta yang telah dibuatnya dalam jangka waktu yang ditentukan

karena jangan sampai ada perbuatan hukum lain yang dilakukan oleh pemilik
111

yang dapat merugikan pihak pembeli. Karena apabila terjadi sengketa, yang

dipersoalkan adalah bukti kepemilikannya. Bukti kepemilikan diakui hanya

yang tercatat pada sertipikat. Sementara perbuatan hukum yang termuat di

dalam akta tersebut secara hukum memang sudah beralih akan tetapi

pencatatan administrasinya belum terjadi. Sehingga akta yang dibuat harus

disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk dilakukan pencatatan pada

Buku Tanah dan agar dapat dilakukan proses pendaftarannya.

Menurut Andrie Saputra Prins bahwa akta jual beli yang tidak

didaftarkan dan telah lewat waktu untuk melakukan pendaftaran

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tetap dapat

didaftarkan walaupun telah lewat tujuh hari, keterlambatan pendaftaran tidak

membatalkan akta jual beli, akta tersebut tetap sah, hak penjual dan pembeli

harus tetap dilindungi.94

Tanpa adanya akta PPAT proses pendaftaran peralihan hak dan balik

nama tidak dapat dilakukan karena PPAT adalah satu-satunya pejabat yang

berwenang untuk membuat akta yang terkait pertanahan. Menurut Endang

Soelianti walaupun PPAT tidak melakukan pendaftaran akta yang dibuatnya

atau melakukan pendaftaran namun terlambat, hal tersebut tidak

membatalkan akta menjadi batal demi hukum, sertipikat masih bisa tetap

dibalik nama kepada pembeli walaupun AJB telah dibuat 8 (delapan) tahun

yang lalu. PPAT jelas melakukan pelanggaran, namun tidak berdampak


94
Berdasarkan hasil wawancara dengan Andrie Saputra Prins, Kepala Bidang Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah BPN Kota Makassar, pada tanggal 16 Maret 2022.
112

terhadap akta. PPAT bertanggung jawab untuk mendaftarkan AJB dan

pengurusan balik nama sertipikat apabila diminta oleh klien. Walaupun PPAT

melalaikan tanggung jawab tapi tidak berdampak apa-apa terhadap kekuatan

pembuktian akta yang dibuatnya, tidak ada akibat hukum terhadap AJB yang

tidak didaftarkan AJB tersebut tidak batal, tetap sah dan mengikat para

pihak.95

Apabila AJB telah ditandatangani namun akta tersebut belum

didaftarkan secara hukum kepemilikan hak atas tanah telah beralih namun

belum memenuhi syarat administrasi. Implikasi hukum terhadap akta jual beli

yang dibuat oleh PPAT namun tidak didaftarkan adalah akta tersebut tetap

sah.96 Kewajiban pendaftaran adalah bagian dari proses administratif dan

tidak memperngaruhi keabsahan dan kekuatan pembuktian akta jual beli

tersebut selama proses pembuatan akta jual beli tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Akta jual beli tetap sah dan mengikat para

pihak sepanjang tidak ada yang membuktikan sebaliknya mengenai akta jual

beli tersebut.

Penulis sependapat dengan ketiga nara sumber di atas bahwa implikasi

hukum akta jual beli tanah yang tidak didaftarkan oleh PPAT adalah tetap

sebagai akta otentik namun tidak memenuhi syarat administrasi pendaftaran

tanah dan memiliki risiko yang mungkin akan timbul apabila tidak segera

95
Berdasarkan hasil wawancara dengan Endang Soelianti,SNotaris dan PPAT di Kota
Makassar pada tanggal 16 Maret 2022.
96
Ibid
113

dilakukan proses pendaftaran. Walaupun tidak berpengaruh terhadap

keabsahan akta jual beli namun dengan tidak didaftarkannya peralihan hak

yang terjadi maka risiko yang timbul adalah besarnya kemungkinan sengketa

yang akan terjadi di kemudian hari sebagaimana yang teah dijelaskan di

atas. Apabila PPAT tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyampaikan

akta yang dibuatnya tepat waktu sebagaimana yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan maka hal tersebut mengakibatkan para pihak tidak

memperoleh kepastian dan perlindungan hukum atas perbuatan hukum yang

dilakukannya. Dengan tidak disampaikannya akta yang dibuat sesuai dengan

jangka waktu yang telah ditentukan, maka proses pendaftaran hak atas

tanah dan perubahan kepemilikan hak atas tanah juga dapat terhambat.

Sehingga dalam administrasi pertanahan atau pencatatan dalam buku tanah

dianggap tidak pernah terjadi suatu perbuatan hukum apapun antara para

pihak, sehingga tidak dapat memberikan kepastian dan perlindungan

hukum terhadap para pihak khususnya pembeli yang telah beritikad baik.

Akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tetap merupakan akta otentik dan

tidak terpengaruh terhadap tidak dilakukannya pendaftaran akta tersebut

kepada Kantor Pertanahan. Akta tersebut tetap memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna. Akta otentik memiliki memiliki 3 (tiga) kekuatan

pembuktian yang sempurna, di antaranya kekuatan pembuktian lahiriah

(uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht)


114

dan kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht). Adapun 3 (tiga)

kekuatan pembuktian tersebut sebagai berikut di bawah ini: 97

a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

Sebagai asas berlaku acte publica probant sese ipsa yang

berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta

memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau

dapat dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini

berarti bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada

pembuktian sebaliknya. Beban pembuktian terletak pada siapa yang

mempersoalkan otentik atau tidaknya suatu akta tersebut. Beban

pembuktian ini terikat pada ketentuan khusus seperti yang ditur dalam

Pasal 138 HIR (Pasal 164 Rbg, Pasal 148 Rv). Kekuatan pembuktian lahir

ini berlaku bagi setiap kepentingan atau keuntungan dan terhadap setiap

orang dan tidak terbatas bagi para pihak ketiga saja.

b. Kekuatan Pembuktian Formil (Formele Bewijskracht)

Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari apa

yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian

tentang kebenaran dari keterangan pejabat sepanjang mengenai apa

yang dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang telah pasti adalah

tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan. Pada

97
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedelapan,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 163-164
115

akta pejabat (ambtelijk acte) tidak terdapat pernyataan atau keterangan

dari para pihak, tetapi pejabatlah yang menerangkan. Maka bahwa

pejabat menerangkan demikian itu sudah pasti bagi siapapun. Dalam hal

akta para pihak (partij acte) bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak

dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum di atas tanda tangan

mereka.

c. Kekuatan Pembuktian Materil (Materiele Bewijskracht)

Akta pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan kebenaran apa

yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Apabila pejabat mendengar

keterangan pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah berarti telah

pasti pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari

kebenaran isi keterangan tersebut. Di sini pernyataan dari para pihak tidak

ada. Kebenaran dari pernyataan pejabat serta akta itu dibuat oleh pejabat

adalah bagi siapapun. Jadi, keterangan yang disampaikan pihak yang

bersangkutan harus dinilai “benar berkata” yang kemudian

dituangkan/dimuat dalam bentuk akta berlaku sebagai yang benar.

Apabila ternyata keterangan pihak yang bersangkutan “tidak berkata

benar” maka hal tersebut adalah tanggung jawab para pihak yang

bersangkutan, bukan pada pejabat umum tersebut. 98

Sehubungan dengan sifat akta otentik sebagaimana disebutkan di atas,

dari aspek fungsinya, akta otentik mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi
98
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Bandung: Citra Aditya, hlm. 126.
116

formal dan fungsi sebagai alat bukti. Akta sebagai fungsi formal (formalitas

causa) artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap

apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus

dituangkan dalam bentuk akta adalah perbuatan hukum yang disebutkan

dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian utang piutang.

Kemudian fungsi lainnya, yaitu fungsi sebagai alat bukti (probationis causa)

fungsi ini merupakan fungsi yang paling penting, sebab dibuatnya akta oleh

para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di

kemudian hari sebagai alat pembuktian yang sempurna. 99 Sifat tertulisnya

suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian akan

tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. 100

Dengan demikian, akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti

kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh

hakim, yaitu akta yang dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu

tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. 101

Akta jual beli yang dibuat di hadapan PPAT merupakan salah satu akta

otentik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh

mempunyai peranan sangat penting dalam perbuatan hukum peralihan hak

atas tanah. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik tersebut

semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian

99
Herry Susanto, 2010, Peran Notaris dalam Menciptakan Kepatutan dalam Berkontrak,
Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 54
100
Op.Cit. Sudikno Mertokusumo, hlm. 162.
101
Ibid, hlm. 55.
117

hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial baik tingkat regional,

nasional, maupun internasional. Melalui akta otentik ditentukan secara jelas

hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan

pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Meskipun terjadi juga sengketa

yang tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut,

akta otentik yang merupakan bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi
102
sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara.

PPAT mempunyai tugas untuk membantu pelaksanaan pendaftaran

tanah melalui pembuatan akta-akta otentik atas perbuatan hukum mengenai

hak atas tanah, namun akta tersebut tetap berada dalam lingkup hukum

perdata, bukan hukum publik. Akta-akta PPAT bukan merupakan Keputusan

Tata Usaha Negara (KTUN), karena bukan merupakan penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang

berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkret, indvidual,

dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum. Akta PPAT merupakan produk dari pejabat umum sebagai bukti

adanya perbuatan hukum mengenai hak atas tanah untuk dijadikan bukti dan

untuk keperluan pendaftaran tanah.103

Pada kasus gugatan yang dilakukan oleh pembeli kepada PPAT XXX

yang secara sengaja tidak melakukan pendaftaran terhadap Akta Jual Beli

Supriadi, Hukum Agraria, 2016, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 170.


102

103
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Yogyakarta: Laksbag
Pressindo, hlm. 59.
118

yang dibuatnya dan berdampak terhadap kerugian yang dialami pembeli

berupa kerugian materiil dan non materiil, majelis hakim menyatakan sah

secara hukum Akta Jual Beli No.115/2012 tanggal 3 April 2012 dan Akta

Pengikatan Jual Beli No.50 tanggal 19 Mei 2010 dan Akta Surat Kuasa

Menjual No.08 tanggal 18 Mei 2010 dengan segala akibat hukumnya. Akta-

akta tersebut dianggap sah oleh majelis hakim dan tetap memiliki kekuatan

pembuktian sebagai akta otentik dan tetap mengikat para pihak.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tanggung Jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli yang tidak didaftarkan ke

Kantor Pertanahan adalah berupa tanggung jawab administratif dan

tanggung jawab secara perdata. PPAT bertanggung jawab secara

administratif karena pelanggaran terhadap Pasal 40 PP Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah pelanggaran administratif, pihak

yang merasa dirugikan dapat melakukan pelaporan kepada Majelis

Pengawas PPAT dan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada PPAT yang

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah berupa

teguran tertulis. Oleh karena kesalahan yang dilakukan oleh PPAT XXX
119

menyebabkan kerugian bagi pembeli maka pihak yang merasa dirugikan

dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada PPAT tersebut. Dalam

kasus ini majelis hakim memberi putusan agar PPAT XXX bertanggung

jawab dengan memerintahkan kepada PPAT XXX dengan seketika

memohonkan pendaftaran dan pencatatan peralihan hak dan balik nama

buku asli Sertipikat dan segera menyerahkannya kepada pembeli.

2. Implikasi hukum akta jual beli tanah dan atau bangunan yang tidak

didaftarkan oleh PPAT adalah tidak mengakibatkan akta jual beli tersebut

batal demi hukum. Akta jual beli yang tidak didaftarkan tetap sah, akta

tetap berlaku dan tetap bisa didaftarkan di kemudian hari. Akta jual beli

tersebut tetap sebagai akta otentik namun tidak memenuhi syarat

administrasi pendaftaran tanah dan memiliki risiko dapat menyebabkan

timbulnya sengketa di kemudian hari.

B. Saran

1. Kepada Kantor Pertanahan hendaknya bertindak tegas dalam

memberikan sanksi kepada PPAT yang tidak melaksanakan

kewajibannya dalam mendaftarkan aktanya, sanksi yang diberikan

sebaiknya lebih berat agar menimbulkan efek jera terhadap PPAT yang

tidak menjalankan jabatannya secara tidak bertanggung jawab.

2. Kepada para pihak khususnya pembeli hendaknya meminta bukti berupa

pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor


120

Pertanahan setelah ditandatanganinya akta jual beli, agar PPAT

melaksanakan kewajibannya tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

Abdul Kadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung:


Citra Aditya Bakti

Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan


Umum, Malang: Banyumedia Angger Sigit Pramukti dan Erdha
Widayanto, 2015, Awas Jangan Beli Tanah Sengketa, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.

Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,


Jakarta: Sinar Grafika

Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,


Jakarta: Sinar Grafika. Edisi 1, Cetakan keempat

Andy Hartanto, 2015, Panduan Lengkap Hukum Praktis: Kepemilikan Tanah,


Surabaya: Laksbang Justitia.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar


Maju
121

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agaria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaanya, Jakarta:
Djambatan.

_____________, 2007, PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya.


Jakarta: Renvoi.

_____________, 2005, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Cetakan kesepuluh, Jakarta:
Djambatan

_____________, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


UUPA dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,

_____________, 2013, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Jakarta: Djambatan

Busyra Azheri, 2011, Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi


Mandatory, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Darwin Ginting, 2010, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Bogor: Ghalia
Indonesia

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Jual Beli, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasi terhadap Notaris


sebagai Pejabat Publik, Cetakan kedua, Bandung:Refika Aditama

Hans Kalsen, 2006, Teori umum tentang Hukum dan Negara, Bandung:
PT.Raja Grafindo Persada

HS. H. Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Iman Sudiyat, 2007, Hukum Adat (Sketsa Asas), Yogyakarta: Liberty

Irwansyah, 2020, Penelitian Hukum, Pilihan Metode dan Praktek Penulisan


Artikel, Yogyakarta: Cetakan kesatu. Mirra Buana Media

Maria S.W Sumadjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Kompas.

Moch. Isnaeni, 2015, Perjanjian Jual Beli, Surabaya: Revka Petra Media,
Cetakan kesatu
122

Muhammad Ilham Arisaputra. 2015. Reforma Agraria Di Indonesia. Cetakan


Pertama. Jakarta: Sinar Grafika

Mulyadi, 2011, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Semarang: Badan Penerbit


Universitas Diponegoro

Muhamad Sadi Is, 2016, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Sebagai


Upaya Penguatan Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Malang: Setara Press

Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni, Bandung: Nuansa & Nuansa
Media

Ridwan HR, 2006, Hukum Admistrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo


Persada

Samun Ismaya, 2013, Hukum Administrasi Pertanahan, Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Toneko, 2011, Hukum Adat Indonesia,


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soedharyo Soimin, 2011, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta:


Sinar Grafika. Cetakan Kesepuluh. Pasal 1458

Somardi, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Jakarta: BEE Media
Indonesia

Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada. Cetakan keduabelas

Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia,


Yogyakarta: Liberty

Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah,


Jakarta:Kencana

____________, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta:


Kencana, Edisi 1, Cetakan keempat

____________, 2012, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), Jakarta:


Kencana, Edisi 1, Cetakan kesatu
123

Whimbo Pitoyo, 2012, Strategi Jitu Memenangkan Perkara Perdata dalam


Praktik Peradilan. Jakarta: Visimedia

2. Jurnal

Dhea Tri Febrina dan Ahars Sulaiman, 2019, Tanggung Jawab Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli
Tanah, Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 Tentang PPAT, Jurnal PETITA Vol. 1 No.
1.

Djestylona Kobu Kobu, “Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah


berdasarkan Hukum Adat Suku Tobelodi Kabupaten Halmahera
Selatan”, Lex Crimen, Vol. VI, No.2-Mar-Apr 2017.

Harris Yonata Parmahan Sibuea, 2011, Arti Penting Pendaftaran Tanah


Untuk Pertamakali, Jurnal Negara Hukum, Vol.2 No 2

Tamrin Muchsin, et.al, Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Hal


Pendaftaran Tanah: Sebuah Tinjauan Kewenangan Dan Akibat
Hukum, Jurnal Madani Legal Riview, Vol. 4 No.1, 2020.

Suci Ananda Badu, 2017, Tugas Dan Kewenangan Pejabat Pembuat


Akta Tanah (PPAT) Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Di
Indonesia, Jurnal , Jurnal Lex Administartum Vol. V No.6

Sigar Aji Poerana, Sanksi Bagi PPAT Yang Membuat Akta Tak Sesuai
Data, diakses dari:
//www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fe7c8b0c2b9d/san
ksi-bagi-ppat-yang-membuat-akta-tak-sesuai-data/

Yulia Vera Momuat, 2014, Eksistensi dan Akibat Hukum Pasal 1266
Kitab Undangundang Hukum Perdata Dalam Perjanjian
Terhadap Debitur Yang Tidak Aktif Dalam Melaksanakan
Perjanjian, Jurnal UAJY

La Ode Angga, 2016, Akibat Hukum Tidak Adanya Pengaturan


Pengawasan dan Evaluasi Penataan Ruang Dalam Perda
RT/RW Provinsi Maluku, Jurnal Kajian Hukum, Vol.1 No.2

3. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


124

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok


Agraria

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran


Tanah

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006


Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas


Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan PPAT

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Perubahan Atas Aturan


Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
PPAT

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan


Jabatan PPAT

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran


Tanah

4. Website

Adrian Febrianto, Tata Cara Hibah Tanah dan Syarat yang Perlu
Diketahui https://blog.justika.com/pertanahan-dan-properti/tata-
cara-hibah-tanah-dan-syarat-yang-perlu-diketahui/

Doni Budiono & Rekan, Jenis-Jenis Peralihan Hak https://pdb-


lawfirm.id/jenis-jenis-peralihan-hak-atas-tanah/

Hazhiratul Qudsiah, 2017, Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat,


https://www.academia.eu/24528072/TransaksiTanah Menurut
Hukum Adat

Made Anggara, 2013, Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena
Jual Beli dihadapan Camat Sebagai PPAT Sementara Setelah
Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomot 24 Tahun 1997 Di
Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, Lampung:
Universitas Atma Jaya
125

Anda mungkin juga menyukai