Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 3 SESI 7

KRIMINOLOGI

NAMA : Imam Pratama

NIM : 044589785

PERTANYAAN

Bila mendengar peristiwa bunuh diri, membuat hati merasa miris. Bagaimana tidak,
sosok seseorang yang tadinya memiliki peran dalam masyarakat, apakah sebagai seorang
anak, orangtua, teman, tetangga, keluarga, kerabat tiba-tiba terputus kehidupannya dengan
dunia melalui cara yang menyedihkan, yakni menghilangkan nyawanya sendiri. Betapa
keputusan yang diambil tidak melihat keberadaan Sang Pencipta sebagai satu-satunya yang
mempunyai hak untuk mengambil nyawa seseorang. Ketika bunuh diri itu dilakukan tidak
saja oleh satu atau dua orang, dengan jangka waktu tertentu, lalu diikuti oleh orang lain
dengan motivasi dan cara berbeda, tentunya kenyataan ini merupakan suatu fenomena atau
fakta sosial meski untuk melihat kecenderungannya didasarkan pada angka atau jumlah.
Kita pernah mendengar ada orang yang bunuh diri di sebuah mall terkemuka di Jakarta
dan beberapa kota di Indonesia meski tidak pernah tahu apa motivasinya untuk
melakukannya di tempat keramaian, sebab tidak pernah mendapatkan jawabannya, yang
kita ketahui mungkin masalah yang dihadapi berdasarkan informasi dari keluarganya,
seperti berita di Kompas, Sabtu 26 November 2011 hlm 26 yang memuat berita bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang mahasiswi UPH yang mengakhiri hidupnya dengan melompat
dari lantai 9 Kondominium Golf Lippo Karawaci, Tangerang

Pertanyaan:

1. Coba saudara uraikan fenomena bunuh diri dengan pendekatan Teori Anomi?
2. Berdasarkan ilustrasi diatas mengapa teori Diferrerential Association dari Sutherland
dikelompokkan sebagai teori yang membahas proses sosial dan kejahatan ?

3. Jelaskan perbedaan perspektif konflik dan perspektif fungsional menurut Ralf


Dahrendorf ?

JAWABAN

1. Coba saudara uraikan fenomena bunuh diri dengan pendekatan Teori Anomi?

Fenomena bunuh diri menggunakan pendekatan teori anomi ini yaitu dikarenakan bahwa
adanya penyimpangan yang dialami oleh korban sehingga adanya berbagai ketegangan dalam
struktur sosial sehingga ada individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang,
lalu berakhir dengan bunuh diri. Sesuai dengan arti dari teori anomi ini bahwa penyimpangan
adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu yang
mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh
Robert Merton pada sekitar tahun 1930-an, di mana konsep anomi itu sendiri pernah digunakan
oleh Emile Durkheim dalam analisisnya tentang suicide unomique.

Munculnya keadaan anomi, oleh Merton diilustrasikan sebagai berikut (Elly M.Setiadi,
2011):

1. Masyarakat industri modern lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang


diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.

2. Apabila hal tersebut tercapai, maka mereka dinggap sebagai orang yang telah mencapai tujuan-
tujuan status atau cultural (cultural golds) yang dicita-citakan oleh masyarakatnya. Untuk
mencapai tujuan-tujuan status tersebut, ternyata harus melalui akses atau cara kelembagaan yang
sah.

3. Namun ternyata, akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat, terutama lapisan masyarakat bawah.
4. Akibat dari keterbatasan akses tersebut, maka muncul situasi anomi, yaitu: situasi di mana tidak
ada titik temu antara tujuan-tujuan status/kultural dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut.

5. Dengan demikian, anomi adalah keadaan atau nama dari situasi di mana kondisi sosial/situasi
masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk
mencapai tujuan-tujuan status tersebut jumlahnya sedikit.

Memang, pada dasarnya untuk mencapai tujuan status (kesuksesan hidup) seseorang harus
melalui cara-cara yang sah, dan di benak setiap orang akan selalu tersirat mimpi atau keinginan
untuk meraih kesuksesan tersebut. Situasi anomi tersebut dapat berakibat negatif bagi sekelompok
masyarakat, di mana untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui
cara-cara yang tidak sah, di antaranya melakukan penyimpangan atau kejahatan.

2. Berdasarkan ilustrasi diatas mengapa teori Diferrerential Association dari Sutherland


dikelompokkan sebagai teori yang membahas proses sosial dan kejahatan ?

Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan pertama kali oleh Edwin
H Suterland pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori ini
berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial.
Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah
laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan bagaimana sesuatu itu
dipelajari. Teori ini dipengaruhi oleh tiga teori lain yaitu : ecological and culture transmission
theory, symbolic interactionism, and culture conflict theory.

Dari pengaruh-pengaruh tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya teori diferensiasi


ini didasarkan pada : ·Setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat
dilaksanakan; ·Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi
dan ketidakharmonisan; ·Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Teori asosiasi diferensial ini memiliki 2 versi. Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih
menekankan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam versi
pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents of pattern presented
in association would differ from individual to individual” (isi atau konten yang disajikan dari
sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain). Hal ini tidak berarti bahwa hanya
kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal. Yang
terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa
kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain yang jahat pula. Pada
tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang lebih menekankan pada semua tingkah
laku dapat dipelajari dan mengganti istilah social disorganization dengan differential social
organization. Teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua
orangtuanya. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang
akrab.

Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut :

1.Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari);

2.Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess of communication;


(Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi);

3.The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups
(Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim);

4.When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime,
which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of
motives, drives, rationalizations, and attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran
termasuk juga teknik melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus
dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap);

5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as
favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan
hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan);

6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law
over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang menjadi delinkuen disebabkan
pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum
melebihi definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);

7.Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (Asosiasi yang
berbeda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas);

8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns
involves all of the mechanism that are involved in any other learning (Proses pembelajaran
perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh
mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya);

9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by
those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs
and values (Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-
nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan dan nilai
nilai yang sama)

Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah laku jahat dapat
dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk
melakukan kejahatan dan alasan alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut.

3. Jelaskan perbedaan perspektif konflik dan perspektif fungsional menurut Ralf


Dahrendorf ?

Perspektif Konflik :

Dahrendorf melihat teori konflik sebagai perspektif alternatif yang dapat digunakan
menurut situasi. Bila kita tertarik terhadap konflik, kita dapat menggunakan teori konflik; bila kita
ingin meneliti ketertiban kita harus menggunakan perspektif fungsional. Pendirian ini tampaknya
tak memuaskan, karena ada tuntutan yang sangat besar terhadap perspektif teoritis yang mampu
menerangkan konflik dan ketertiban sekaligus. - Meski belum ada satu upaya konsiliasi yang
memuaskan, sekurangnya mengesankan adanya semacam kesepakatan di kalangan sosiolog bahwa
yang diperlukan adalah sebuah teori yang menerangkan baik konsensus maupun pertikaian. -
Asumsinya adalah bahwa dengan kombinasi maka kedua teori ini akan menjadi lebih kuat
ketimbang masing-masing berdiri sendiri. Karya paling terkenal yang mencoba mengintegrasikan
kedua perspektif ini berasal dari Lewis Coser, The Function of Social Conflict (1956)

Perspektif Fungsional :

Dahrendorf memulai dengan fungsional struktur, dimana ia melihat sistem sosial sebagai
penjaga kesatuan, dan dengan kerjasama sukarela, kesepakatan bersama, maupun kedua-duanya.
Pada teoritis konflik, yang menganggap bahwa kesatuan masyarakat dijaga oleh adanya kekuatan
yang memaksa. Misalnya, beberapa kedudukan dalam masyarakat yang diserahkan pada
kekuasaan dan kewenangan. Disinilah, Dahrendorf memusatkan pada struktur sosial yang luas,
kedudukan yang ada dalam masyarakat mempunyai jumlah wewenang berbeda-beda. Perlu kita
ingat, bahwa wewenang tidak terletak pada individu, melainkan terletak pada kedudukan dan
kewenangan yang ada, serta kuat pengaruhnya. Coba kita lihat, pada posisi jabatan setiap
perusahaan, pasti mempunya wewenang yang paling atas sampai ke yang paling bawah. Kesemua
mereka tuntuk pada kedudukan yang tertinggi dalam struktur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Rezfan, Abila, (2017). Teori Anomie. https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-


anomie/12379

Eka, Ariansyah, (2014). Teori Asosiasi Diferensial (Differenti Differential Association Theory)
Dalam Kriminologi.
https://www.kompasiana.com/ariansyahekasaputra/54f96eaaa3331178178b4d9b/teori-asosiasi-
diferensial-differential-association-theory-dalam-kriminologi

Tanpa Nama, (2020). Teori Konflik Dalam Perspektif Ralf Dahrendorf, Ada 3 Tipe Kelompok.
https://www.sosiologi.info/2020/06/teori-konflik-ralf-dahrendorf-tiga-tipe-kelompok.html

Anda mungkin juga menyukai