Bila mendengar peristiwa bunuh diri, membuat hati merasa miris. Bagaimana tidak, sosok seseorang
yang tadinya memiliki peran dalam masyarakat, apakah sebagai seorang anak, orangtua, teman,
tetangga, keluarga, kerabat tiba-tiba terputus kehidupannya dengan dunia melalui cara yang
menyedihkan, yakni menghilangkan nyawanya sendiri. Betapa keputusan yang diambil tidak melihat
keberadaan Sang Pencipta sebagai satu-satunya yang mempunyai hak untuk mengambil nyawa
seseorang. Ketika bunuh diri itu dilakukan tidak saja oleh satu atau dua orang, dengan jangka waktu
tertentu, lalu diikuti oleh orang lain dengan motivasi dan cara berbeda, tentunya kenyataan ini
meupakan suatu fenomena atau fakta sosial meski untuk melihat kecenderungannya didasarkan pada
angka atau jumlah. Kita pernah mendengar ada orang yang bunuh diri di sebuah mall terkemuka di
Jakarta dan beberapa kota di Indonesia meski tidak pernah tahu apa motivasinya untuk melakukannya
ditempat keramaian, sebab tidak pernah mendapatkan jawabannya, yang kita ketahui mungkin masalah
yang dihadapi berdasarkan informasi dari keluaganya, seperti berita di Kompas, Sabtu 26 November
2011 hlm 26 yang memuat berita bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswi UPH yang
mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 9 Kondominium Golf Lippo Karawaci, Tangerang
Berdasarkan ilustrasi diatas Mengapa teori Diferrerential Association dari Sutherland dikelompokan
sebagai teori yang membahas proses sosial dan kejahatan ?
Nama : ALDI FACHREZA
Nim 043669478
Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan pertama kali oleh Edwin H Suterland
pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori ini berpendapat
bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya semua
tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform
dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari.
Teori ini dipengaruhi oleh tiga teori lain yaitu : ecological and culture transmission theory, symbolic
interactionism, and culture conflict theory. Dari pengaruh-pengaruh tersebut dapat disimpulkan bahwa
munculnya teori diferensiasi ini didasarkan pada :
1. Setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan;
2. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan;
3. Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan
Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih menekankan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial
serta asosiasi diferensial. Dalam versi pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai
“the contents of pattern presented in association would differ from individual to individual” (isi atau
konten yang disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain). Hal ini tidak
berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan seseorang berprilaku
kriminal. Yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan
bahwa kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain yang jahat pula.
Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang lebih menekankan pada semua tingkah
laku dapat dipelajari dan mengganti istilah social disorganization dengan differential social organization.
Teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua orangtuanya. Pola
perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.
Adapun kekuatan teori differential association atau differential social organization bertumpu pada
aspek- aspek berikut :
1. Teori ini relatif mampu menjelaskan sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial
2. Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya melalui proses belajar
menjadi jahat
3. Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional
KELEMAHAN DAN KRITIK AHLI TERHADAP DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU DIFFERENTIAL
SOCIAL ORGANIZATION THEORY
Kelemahan mendasar dari differential association theory atau differential organization theory adalah
sebagai berikut :
1. Tidak semua orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru atau memilih pola-pola
kriminal;
2. Teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter-karakter orang-orang
yang terlibat dalam proses belajar tersebut;
3. Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa individu lebih suka melanggar undang-undang dan
belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas;
4. Teori ini sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoretik tetapi juga harus menentukan
intensitas, durasi, frekuensi dan prioritas nya;
Adapun kritik-kritik yang dikemukakan para ahli terhadap differential association theory atau differential
organization theory adalah sebagai berikut :
1. Matza (1968 : 107) mengatakan bahwa Sutherland kurang peka tanggap terhadap pembaharuan
pemikiran dan kemasyarakatan, yaitu antara pelaku penyimpangan tingkah laku (deviant) dan
dunia yang konvensional;
2. Nettler (1984) mengemukakan bahwa Judul istilah asosiasi diferensial adalah menyesatkan
karena Ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan pergaulan antar individu, sebagaimana
halnya teori bad companion yang menghasilkan kejahatan;
3. Clinard, meskipun mengakui hipotesis teori asosiasi diferensial-menyatakan bahwa teori
tersebut tidak dapat menjelaskan secara memadai semua kasus pelanggaran hukum, terutama
terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap dan tidak dapat diperlakukan secara tepat
terhadap adanya perbedaan-perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah
pentaatan terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia perdagangan. Clinard secara
khusus menekankan pentingnya, certain personality trait dari seorang individu.
KESIMPULAN DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY ATAU
Kesimpulan yang dapat diambil dari differential association theory atau differential social organization
theory adalah sebagai berikut :
Tindak pidana terorisme menurut pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Terorisme sendiri telah menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia sejak terjadinya Bom Bali
pertama pada November 2002. Dengan makin meluasnya jaringan operasi yang serius, radikalisme, dan
militansi hingga hari ini terorisme masih menjadi momok. Dalam kaitannya dengan Differential
association, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang pelaku tindak pidana terorisme
melewati proses belajar yang membentuk ideologi dan menjadikannya sebuah rasionalisasi dalam
melakukan terorisme. Seringkali ideologisasi tersebut terjadi dalam proses pemasyarakatan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, sehingga Lapas menjadi School of Radicalism. Ketika kita berbicara mengenai
tindak pidana terorisme maka kita akan berbicara mengenai sebuah tindak pidana dengan karakteristik
yang berbeda dimana perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepahaman mengenai tindak pidana
yang dilakukan serta mengandung adanya ideologi yang menyimpang. Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan yang berbeda bagi narapidana terorisme demi tercapainya salah satu tujuan pemidanaan
yaitu memasyarakatkan narapidana sehingga dapat kembali diterima oleh masyarakat dan tidak
mengulangi kembali perbuatannya (residivis).
Sebelum tahun 2008 di LP Cipinang ada hak-hak istimewa yang diberikan kepada para narapidana
terorisme diantaranya kemudahan mendapatkan kunjungan, kebebasan untuk mendapatkan makanan,
bahan bacaan berupa kitab-kitab dan buku-buku bertema jihad, serta kesempatan untuk memiliki
handphone bagi hampir semua narapidana teroris. Bahkan narapidana terorisme diberikan kesempatan
untuk membentuk semacam pesantren di lingkungan masjid di dalam LP dimana Abu Tholut, seorang
residivis yang terkenal karena berkali-kali melakukan pengulangan Tindak Pidana terorisme pernah
menjadi kepala sekolahnya. Dan disinilah proses Differential association terjadi. Pesantren ini pernah
memiliki murid sebanyak 300 orang narapidana biasa (non-terorisme). Tanpa disadari lapas menjadi
sebuah lahan recruitment oleh jaringan teroris ketika itu. Dan hal ini sesuai dengan dalil dalam teori
differential association atau differential social organization yaitu tingkah laku kriminal dipelajari dalam
interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi, jadi tidak serta merta seseorang yang hidup
dalam lingkungan kriminal menjadi kriminal tetapi juga dipelajari bersama orang lain dalam komunikasi
verbal maupun non verbal.
Selain itu, tingkah laku kriminal biasa dipelajari dalam kelompok orang-orang dekat seperti keluarga
ataupun teman dekat, ddan diketahui bersama banyak dari jaringan terorisme yang terbentuk dari
lingkaran keluarga ataupun teman dekat, dimana komunikasi yang intensif berperan besar dalam
ideologisasi para pelaku tindak pidana terorisme. Albert Reiss dan A. Lewis menemukan bahwa
kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung pada apakah temannya melakukan hal yang
sama.
Tingkat differential association sendiri dipengaruhi oleh intensitas kontak, lamanya, dan makna dari
proses tersebut kepada suatu individu. Dalam konteks school of radicalism, seseorang dalam keadaan
terkungkung dan kurang informasi mendapatkan pencerahan dari seseorang yang dilihat lebih mengerti
kemudian melakukan komunikasi yang intens dan lama lebih mudah menerima ideologi yang
menyimpang tersebut. Itulah kenapa lapas dapat dikatakan turut menyuburkan kaderisasi jaringan
terorisme.
Pelajaran yang didapat tentunya bukan hanya soal teknik melakukan tindak pidana tetapi juga
rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap dan di point inilah ideologisasi terjadi. Sehingga berbeda
dengan tindak pidana yg lain, untuk memasyarakatkan kembali pelakunya perlu adanya proses de-
ideologisasi. Dimana de-ideologisasi tersebut dilakukan untuk membersihkan rasionalisasi, motif,
dorongan, serta sikap yang membentuk ideologi si pelaku tindak pidana terorisme.
Sumber : Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo, jakarta
Halaman 75