Anda di halaman 1dari 12

Hamza Baharuddin

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

EKSISTENSI MORAL DAN ETIKA


DALAM PERSPEKTIF DEMOKRASI ISLAM
Hamza Baharuddin
Fakultas Hukum dan Pascasarjana
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Email:
Abstrak
Dalam perspektif Islam demokratisasi nilai-nilai moral dan etika
meletakkan suatu kebebasan sampai kepada kemandirian individu,
untuk menerapkan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Islam memerintahkan
agar persoalan-persoalan kaum muslimin ditanggulangi melalui syura
atau konsultasi timbal-balik (musyawarah). Demokratisasi dalam kaitan
ini juga diartikan sebagai proses emansipasi (In deze zin wordt democratie
ook wel begrepen al seen emencipatie prosesi).
Keywords: Moral, etika, Demokrasi, Islam
I. Pendahuluan
erdapat dua terma penting yang harus dipahami dalam kajian ini.
Pertama, pengertian moral adalah kualitas dalam perbuatan manusia
yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau
buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan
manusia.1 Karena moral memberi makna bahwa manusia bebas dan
bertanggung jawab, mampu memilih tindakan-tindakannya. Apa yang tidak
ada selama ini agar ada kemungkinan konkret bagi moralitas, ialah
kemampuan orang untuk menentukan atau mendorong perilakunya sendiri.
Di sini pengaruh skeptisisme sangat besar. Banyak orang yang mencoba
menjelaskan perilaku immoral-nya sendiri, dan kadang perilaku immoralorang lain, berdasarkan hal-ihwal di luar kendali mereka. Bukan diri kita
sendiri yang kita salahkan sehubungan dengan berbagai kebiasaan buruk kita
melainkan berbagai trauma pada masa kecil yang pernah kita alami. Kita
berpaling ke lingkungan hidup kita, ke lingkungan sosial kita, ke dalam
keadaan ekonomi kita, ke berbagai pembawaan biologis atau genetis kita dan
sebagainya, untuk menjelaskan apa yang kita lakukan.
Namun barangkali mengherankan, ada alasan untuk mengatakan bahwa
moralitas dapat hidup berdampingan dengan ilmu pengetahuan. Alasan ini

156

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

Hamza Baharuddin

terutama muncul setelah ada peninjauan kembali atas pemahaman kita


mengenai ilmu pengetahuan sebagai wilayah umum dalam perhatian
manusia.
Pertama, ilmu pengetahuan tidak sama dan sebangun dengan ilmu fisika
mekanik. Pandangan usang ini memang mengharuskan setiap perilaku hanya
patuh pada satu hukum tertentu. Pandangan ini juga mengatakan bahwa pada
akhirnya segalanya dijelaskan hanya berdasarkan satu faktor, yakni materi
fisik yang bergerak. Seperti kata ahli neurofisika pemenang hadiah Nobel
Roger Sperry dalam bukunya, Science and Moral Priority, berbagai kemajuan
pengetahuan kita mengenai mekanisme syaraf otak dan kesadaran dalam
setengah abad terakhir meratakan jalan bagi pendekatan rasional dalam
bidang nilai-nilai. Ia menjelaskan bahwa model otak yang dikemukakannya
baru-baru ini :
... memberikan kekuatan mental dan kemampuan kepada manusia
untuk menentukan perilakunya sendiri. Selain itu, juga kebebasan dari
berbagai kekuatan luar dan kemampuan menguasai kekuatan molekul
kekuatan dan atom di dalam tubuh. Dengan kata lain, model itu
memungkinkan terwujudnya kemauan bebas kita artikan menentukan
sendiri segalanya. Setiap orang memang menentukan sendiri dalam
pikirannya apa yang akan dilakukannya, dan sering harus memilih
diantara berbagai alternatif.2
Tampaknya bila dipahami secara wajar, ilmu pengetahuan tidak
bertentangan dengan moralitas. Ilmu pengetahuan tentang kehidupan
manusia menunjukkan bahwa selama tidak lumpuh total, manusia dilihat
sebagai makhluk yang bertanggung jawab, makhluk bermoral-dan memang
benar. Tentu, masih banyak hal yang harus digali mengenai bagaimana
persisnya cara menyelaraskan temuan-temuan di berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti fisiologi, neurofisika, psikologi persepsi, kimia organik,
dan sebagainya, dengan apa yang disebut ilmu-ilmu moral, seperti ekonomi,
sosiologi, politik, dan etika. Namun ada hal yang menggembirakan, dua
persoalan yang tampaknya tetap ada dalam kehidupan manusia, yaitu cara
memahami dunia dan keharusan untuk berbuat baik di dalam dunia itu,
tampaknya, tidak bertentangan satu sama lain.
Kedua, pengertian etika adalah sama dengan kata kesusilaan, kata
dasarnya adalah susila kemudian diberi awalan ke dan akhiran an. Susila
berasal dari bahasa Sansekerta, su berarti baik, dan sila berarti norma
kehidupan. Jadi etika berarti menyangkut kelakuan yang menuruti normanorma kehidupan yang baik. Asal kata etika itu sendiri sebenarnya berasal
AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

157

Hamza Baharuddin

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

dari perkataan Yunani Ethos yang berarti watak atau adat. Kata ini identik
dengan asal kata moral dari bahasa Latin mos (bentuk jamaknya adalah
mores). Yang juga berarti adat atau cara hidup. Jadi kedua kata tersebut (etika
dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan
atau praktek sekelompok manusia.3
Menurut W. Banning.4
In de ethiek is dus de vraag, wat is het juiste levensgedrag, wat behoor ik te doen
en te laten, wil dit gedrag zakelijk goed kunnen heten.
Apa yang dikemukakan W. Banning, pada prinsipnya bahwa dalam etika
dipermasalahkan tentang tata tertib, bagaimana cara hidup yang baik,
bagaimana memilah arah yang seharusnya dan yang tidak boleh dilakukan,
apa yang baik dana mana yang jahat.
Pemerintah yang bersih (clean government) terkait erat dengan
akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan
tanggungjawabnya. Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang
yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan yang
menyimpang dari etika administrasi publik (mal-administrasi). Jelasnya maladministrations, merupakan suatu tindakan administrasi publik yang
menyimpang dari nilai-nilai administrasi publik. Etika administrasi publik,
merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi
bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan
yang diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standar
penilaian untuk menilai apakah tindakan administrasi publik nilai baik atau
buruk. Wujud konkrit tindakan administrasi publik yang menyimpang dari
etika administrasi publik (mal-administration) adalah melakukan tindakan
korupsi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya.
Tom Fletcher, Paula Gordon, dan Shirley Hentzell menyusun suatu
tipologi perilaku pemerintahan. Tipologi mereka agak diubah dengan tujuan
untuk memberi kerangka analisis pencocokan koruptor, fungsionaris dan si
penghayat etika dengan perilaku mereka.
Pola-Pola Perilaku (S. Steinberg dan David T. Austern)5
Koruptor Tanpa Etika
Membuat orang enggan
berkomunikasi dengan terus
terang dan terbuka sehingga
menyebabkan tertahannya
informasi atau nasihat yang
mungkin sekali tidak disukai.

158

Fungsionaris Netral Nilai atau


Beretika Relatif
Mengutamakan fakta,
penalaran, dan kebenaran yang
berlaku dari sudut pandang
empiris, sambil cenderung
memisahkan semua kepedulian
akan kejujuran dan keterbukaan

Penghayat Etika
berdasarkan Nilai
Memupuk komunikasi yang
jujur dan terbuka serta
pengungkapan diri dengan
cara memberikan contoh
menentukan nada penerapan
cara lain yang layak.

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

Membuat orang enggan


bekerja dengan baik

Menghambat perkembangan
dan sumbangan orang lain
Memastikan bahwa mereka
yang tidak bekerja demi
kepentingan umum
disingkirkan sebagai pegawai
negeri bila mereka tidak
mengubah cara mereka

Menggunakan kekuasaan
dengan cara otoriter,
memaksa, atau sewenangwenang.

Tidak mampu memecahkan


atau tidak berusaha
memecahkan bentrokanbentrokan nilai pribadi secara
etis dan sah
Dituntut oleh berbagai
anggapan mentalitas utama
tentang pemaksaan,
kompromi dan persaingan
ketat
Mempermainkan informasi,
menahan atau melencengkan
informasi untuk menghindari
hukum atau tujuan
perundang-undangan,
menyembunyikan informasi
yang diperlukan orang lain
dalam pemerintahan, bahkan
untuk umum atau siapa pun
yang berhak mendapatkannya
Tidak tertarik untuk
mengetahui secara terperinci
kejadian-kejadian sehari-hari
atau untuk memahami benarbenar apa yang perlu
dilakukan untuk melindungi
atau melayani kepentingan
umum

dari tujuan kemasyarakatan


yang lebih besar
Mendasarkan sistem insentif
pada suatu definisi yang sangat
sempit mengenai penilaian
bekerja dengan baik
Dengan efektif menghambat
perkembangan dan sumbangan
orang lain
Tidak menganut konsep
kebaikan untuk berdasarkan
kepentingan umum dan tidak
melihat adanya cara yang sah
untuk menetapkan persyaratan
yang didasarkan pada penilaian
untuk menentukan kepentingan
umum dan non kepentingan
umum
Memandang kekuasaan dalam
kerangka keadilan setara
dengan menyamakan tata
hubungan kekuasaan, bersikap
lebih peduli pada proses
keadilan daripada tujuan
manusiawi dan sosial yang
hendak dicapai.
Mengutamakan proses dan
hukum dalam penyelesaian
bentrokan, bahkan mungkin
dengan mengandalkan kondisi
etika.
Dituntut oleh paduan tidak
sempurna anggapan mentalitas
utama dan anggapan mentalitas
kedua

Hamza Baharuddin

Membuat orang termotivasi


untuk bekerja dengan baik

Memupuk perkembangan dan


sumbangan orang lain.
Memastikan bahwa mereka
yang tidak bekerja demi
kepentingan umum
disingkirkan sebagai pegawai
negeri bila mereka tidak
mengubah cara mereka

Memandang kekuasaan
sebagai tenaga yang kreatif dan
pembangkit diri yang harus
digunakan secara konstruktif
dan harus disebarkan,
digunakan dan dipupuk
dengan menggunakan strategistrategi pendidikan dan
normatif.
Berusaha menyelesaikan
bentrokan-bentrokan nilai
pribadi secara etis dan sah
tanpa mengorbankan kejujuran.
Dituntut oleh anggapan
mentalitas kedua tentang kerja
sama untuk mencapai mufakat

Menempuh cara yang berbedabeda sesuai dengan arus yang


berlaku

Mempertahankan kejujuran
dan keterbukaan dalam
mengkomunikasikan informasi
dan menahan informasi, hanya
bila dianggap perlu menurut
hukum atau etika.

Tidak merasa terikat atau


berkewajiban untuk melayani
kepentingan umum menurut
pengertian kebaikan dan konsep
kepentingan umum. Sebaliknya
tertarik pada pengaplikasian
pengetahuan dan pemahaman
yang mempertegas nilai-nilai
bisnis dan nilai-nilai ilmu
pengetahuan beserta proses

Merasa terikat atau


berkewajiban untuk melayani
kepentingan umum, bertindak
demikian rupa sehingga
mempertinggi nilai-nilai hidup,
kesehatan, dan kebebasan
individu dan masyarakat.

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

159

Hamza Baharuddin

Memamerkan atau
mengabaikan keputusankeputusan pengadilan hakahak konstitusional, baik asasi
manusia, dan nilai-nilai
manusia
Menghapus, mengabaikan
atau melecehkan nilai-nilai
hidup, kesehatan dan
kebebasan

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam


masing-masing
Secara efektif tidak
memperdulikan hak
konstitusional dan hak asasi
manusia

Menghapus, mengabaikan atau


melecehkan nilai-nilai hidup,
kesehatan dan kebebasan secara
efektif

Mengabaikan atau
menurunkan nilai kebebasan

Secara efektif mengabaikan atau


menurunkan dan merongrong
nilai-nilai kebebasan

Menjalankan tugas,
memberikan pelayanan jasa,
menangani masalah-masalah
kemasyarakatan dengan cara
yang buruk, tidak manusiawi
cara ilmiah yang netral nilai,
dan tidak efektif. Akibatnya,
memboroskan pemanfaatan
sumber daya manusia, alam,
dan atau keuangan dan
material. Pada akhirnya,
pengaplikasian ilmu
pengetahuan dan teknologi
tidak melayani tujuan
kemanusiaan dan dipandang
sebagai tujuan tersendiri
Membiarkan usaha-usaha
organisasi yang ditandai oleh
biropatologi, di mana proses
dianggap lebih penting
daripada tujuan, kewenangan
lebih penting daripada
kenyataan, bahkan
menganggap presiden lebih
penting daripada kesesuaian.
Mengutamakan prosedur
sedemikian rupa sehingga
menghadiri tanggung jawab
atau merintangi tujuan
prosedur

Menjalankan tugas, memberikan


pelayanan jasa, menangani
bermacam masalah ke
masyarakatan seolah-olah
dituntut oleh nilai produktivitas
bisnis dan nilai kemanusiaan
demi produktivitas

Membiarkan kewenangan
organisatoris, usaha
pembuatan keputusan,
pelaksanaan, pemecahan
masalah dan pengaturan
keruwetan sehingga
pelaksanaan pemerintahan
dan pemecahan masalah serta
pemenuhan kebutuhan

160

Memastikan bahwa usaha-usaha


organisasi-organisasi
dipusatkan pada proses, bukan
pada tujuan organisasi karena
keinginan untuk menerapkan
nilai-nilai yang ada dalam bisnis
daripada melayani kepentingan
umum dengan maksimal
Lebih mengutamakan proses
daripada tujuan, bahkan
mengutamakan proses untuk
mencapai kebaikan umum
daripada makna kebaikan
umum
Membiarkan penitikberatkan
proses dan struktur yang
merintangi penindakan tegas
dan pemecahan atau
pengurangan masalah-masalah
masyarakat yang rumit

Bertindak sesuai dengan


hukum dan hak-hak
konstitusional serta normanorma hak asasi manusia

Bertindak sesuai dengan


kepentingan umum sehingga
nilai-nilai hidup, kesehatan,
dan kebebasan individu
maupun masyarakat teraplikasi
dengan maksimal.
Mendasarkan tindakannya
pada penghormatan tegas pada
kebebasan individu dan
kebebasan masyarakat
Menjalankan tugas,
memberikan pelayanan,
menangani masalah-masalah
kemasyarakat dengan baik
secara manusiawi, penuh
tanggap, efektif sehingga
menghemat sumber daya
manusia, alam dan atau
keuangan dan material. Dengan
demikian, pengaplikasian ilmu
pengetahuan dan teknologi
melayani tujuan kemanusiaan
yang digunakan dengan caracara yang manusiawi.

Memastikan bahwa usahausaha organisasi ditandai oleh


kesehatan organisasi atau
birokrasi, dimana tujuan,
pelayanan, kenyataan, dan
kesesuaian lebih penting
daripada proses kewenangan,
bentuk atau presiden.
Mengutamakan tujuan,
pengabdian, kenyataan, dan
kemampuan menyesuaikan dan
mengutamakan pengabdian
pada kebaikan umum
Pengaturan dan pembagian
tugas dan permasalahan dengan
baik sehingga urusan
pemerintah dapat dilaksanakan
dengan baik, tanggap, dan
efektif.

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam


manusia dan masyarakat tidak
mungkin dapat dilakukan
secara layak
Mengutamakan tujuan dan
pengabdian meskipun kurang
menekankan tanggung jawab
dan kewajiban negeri untuk
melayani kepentingan
masyarakat

Mendorong atau ikut dalam


permainan birokratif untuk
keuntungan pribadi atau
birokrasi

Tidak berusaha memecahkan


masalah-masalah mengenai
kepentingan umum

Tidak mencari pemecahan


karena mungkin atau
diperkirakan pemecahan itu
tidak akan disenangi atau
akan membawa akibat yang
tidak diinginkan

Terlalu banyak memperhatikan


proses permasalahan sehingga
proses menjadi tujuan
tersendiri, mengutamakan
keikutsertaan dan desentralisasi
sehingga kedua hal tersebut
menjadi tujuan tersendiri dan
menimbulkan demokratisasi
ganda: memajukan beberapa
proses yang melekat pada
demokrasi perwakilan, namun
merintangi proses-proses yang
lain. Selain itu, tidak
memperhitungkan masalah
pertanggungjawaban dan
perlunya memberikan tanggung
jawab pada tindakan
pemerintah terhadap pegawai
negeri, mengutamakan prosesproses yang diperkirakan
menjamin pertanggungjawaban,
bukan inti pertanggungjawaban
dan pengabdian kepentingan
umum.
Memperhalus aturan-aturan
main menurut jalur-jalur
berorientasikan ilmiah, yaitu
dengan mendefinisikan ilmu
sebagai pemisahan liku,
rasionalisme, dan empirisme
dari nilai-nilai dan kepedulian
manusia
Mengambil pendekatan yang
mengutamakan keseluruhan
atau berorientasi pada proses
pendekatan kepentingan umum,
bukan pendekatan yang
mengutamakan kebaikan umum

Menangani masalah, bila hal ini


secara pragmatis dan politis
mungkin membiarkan
efektivitas dan efisien nilai-nilai
mendominasi pemilihan
masalah-masalah yang harus
ditangani

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Hamza Baharuddin

Memastikan bahwa tujuan dan


pengabdian lebih penting
daripada proses, menekankan
tanggung jawab dankewajiban
para pegawai negeri untuk
melayani kepentingan umum,
selain menunjukkan cara-cara
untuk memastikan
pertanggungjawaban.

Mengekang atau menghindari


permainan birokrasi untuk
meraih keuntungan pribadi atau
birokrasi

Mencari pemecahan masalah


yang memfokuskan
kepentingan umum; mengambil
pendekatan bagi kepentingan
umum, dengan mempedulikan
pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan perseorangan dan
masyarakat.
Dituntut oleh kejujuran dan
kesadaran yang idealis serta
melakukan pemecahan masalah

161

Hamza Baharuddin

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

Melaksanakan roda
pemerintahan tanpa
mempertimbangkan
ketanggapan dan sikap kritis
pemerintah terhadap
kepentingan umum atau
membuat pemerintah tidak
melayani atau tidak peduli
terhadap kepentingan umum.
Mementingkan kepeduliaan
semua politik, yakni membuat
kepentingan sendiri atau
kepentingan kelompok
menjadi suatu pola netral nilai
atau nihilistik (tanpa nilai,
tujuan, atau arti)

Melaksanakan pemerintahan
sedemikian rupa sehingga
pemerintah menjadi tidak
tanggap terhadap kebaikan
umum dalam arti bahwa pada
dasarnya pemerintah tidak
peduli terhadap apa yang baik
untuk umum

Tidak melakukan tindakan


apa pun untuk menanggapi
informasi, pengertian dan
pengetahuan yang timbul
untuk mencegah hilangnya
jiwa dan bahaya-bahaya
terhadap kesehatan
dankebebasan. Tidak
bertindak ketika dimulainya
pemecahan suatu masalah
yang sedang berkembang
dalam masyarakat.
Tidak bersikap sebagai
panutan dan penanggung
jawab untuk melindungi,
memelihara dan memajukan
sumber daya manusia dan
alam
Tidak memiliki kemampuan
untuk menanggulangi krisiskrisis. Selain itu, tidak dapat
menduga datangnya krisiskrisis dan mengambil langkahlangkah pencegahan sebelum
krisis-krisis itu muncul.
Dengan kata lain tidak dapat
menumbuhkan kemampuan
pencegahan atau tindakan
preventif
Menyemarakkan suasana
kompetisi tidak sehat
sehingga ikut menyebabkan

Tidak melindungi dan


memelihara serta memajukan
kepentingan umum.
Memperlihatkan sikap yang
pilih-pilih perhatian terhadap
semua jenis informasi,
pengertian, dan pengetahuan
yang berpengaruh pada
pemeliharaan nilai-nilai
kemanusiaan dan pemecahan
masalah kemanusiaan.

162

Bersikap acuh tak acuh atau


tidak peduli akan masalah
kemanusiaan

Melaksanakan tugas
pemerintahan dengan
memperhatikan nilai-nilai
sosial sehingga membuat
pemerintah tanggap terhadap
kebutuhan dan kepentingan
umum. Bahkan, membantu
pemerintah melayani
kepentingan umum dengan
memaksimalkan nilai-nilai
hidup, kesehatan dan
kebebasan individu dan
masyarakat sambil berusaha
untuk menggunakan sumber
daya sebaik-baiknya dalam
mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Menekankan hal-hal politis dan
menangani kebutuhan dan
masalah kemanusiaan serta
nilai-nilai kemanusiaan dan
demokratis yang diperlukan
bagi masyarakat bebas dan
kebebasan di dunia.
Bertindak untuk melindungi
dan
memelihara
serta
memajukan
kepentingan
umum

Bersikap sebagai panutan dan


penanggung jawab untuk
melindungi, memelihara dan
memajukan sumber daya
manusia dan alam

Lebih banyak memperhatikan


proses dan struktur masalah
dari pada tujuan dan inti yang
hendak dicapai

Mampu mengambil berbagai


cara dan tindakan untuk
menanggulangi krisis-krisis.
Bahkan, telah merencanakan
tindakan preventif sebelum
krisis-krisis itu timbul

Sesungguhnya, golongan ini


tidak punya arah, kosong, tanpa
tujuan jangka panjang. Pada

Bersifat mendukung
pemerintahan yang berorientasi
pada perubahan dan

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam


makin rumitnya
penyelesaiannya masalahmasalah dan memperlemah
susunan masyarakat

umumnya, menganut paham


peningkatan yang terpotongpotong yang sama sekali tidak
berkaitan dengan tujuan
pengembangan secara
keseluruhan.

Tidak tanggap terhadap


keluhan masyarakat bahwa
pemerintah tidak mengabdi
pada kepentingan umum.

Mengutamakan proses untuk


bersikap tanggap, namun tidak
merasa terikat untuk melayani
kepentingan umum, bahkan
melayani kebaikan dalam arti
apa yang baik untuk umum

Hamza Baharuddin
perkembangan yang sehat, yaitu
bekerja sama dengan mereka
yang ada dalam lingkungan
pemerintahan. Mereka pun
bertindak sebagai perantara/
pemikir yang juga berperan
untuk memecahkan masalah
masyarakat.
Tanggap terhadap mereka yang
berada dalam lingkungan
pemerintahan maupun mereka
yang berada di luarnya yang
merasa bahwa kepentingan
umum tidak dilayani dengan
baik.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah


dihadapkan pada tuntutan banyak perubahan menyangkut; responsibilitas
personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi pada hasil
layanan, menjalankan penegakan hukum, orientasi ke budaya inovasi dan
diversifikasi. Melihat dari adanya beberapa kriteria yang dibutuhkan dalam
perbaikan manajemen pemerintahan tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai
moral dan etika adalah merupakan kata kunci dalam upaya meningkatkan
kualitas dan etika pelayanan atau proses modernisasi sektor publik, disamping
secara normatif ditentukan pula oleh keputusan politik pemerintah sebagai
konsekuensi proses demokratisasi.
II. Demokrasi dalam Konsep Islam
Secara etimologi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau rakyat
berkuasa. Dalam Dictionary of American Ploitics,6 demokrasi diartikan sebagai
pemerintahan oleh rakyat atau rule by the people atau pemerintahan dengan
dasar persetujuan dan persamaan politik (as government by consent and political
equality). Demikian pula dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia7, demokrasi
adalah pemerintahan rakyat, dalam bentuk pemerintahan negara yang
segenap rakyat ikut serta pemerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan pula bahwa demokrasi
menunjukkan adanya peran serta atau partisipasi aktif rakyat dalam
pemerintahan.
Al-Quran8 menetapkan
prinsip syura untuk memadukan proses
pengambilan keputusan masyarakat. Namun sayang sekali, selama berabadabad telah tumbuh kesalahpahaman di kalangan orang-orang muslim
menyangkut watak syura yang disebabkan praktik-praktik dan strukturstruktur yang menyesatkan dan salah jalan yang diambil dari luar tanpa
AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

163

Hamza Baharuddin

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

memperhatikan etos islam. Orang pada umumnya berpendapat bahwa arti


syura adalah seseorang, penguasa, bermusyawarah dengan orang-orang yang
dalam penilaiannya, merupakan gudang kearifan, tanpa ada kewajiban untuk
melaksanakan nasehat mereka. Pertama-tama, gambaran tersebut mengubah
sama sekali struktur syura. Al-Quran memandang orang-orang yang beriman
sebagai orang-orang yang urusan-urusannya diputuskan melalui
musyawarah (amruhum syura bainahum) (QS. 42:38). Jadi, syura bukan berarti
bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, melainkan nasihat
timbal-balik melalui diskusi bersama. Hal ini secara langsung menunjukkan
bahwa kepala eksekutif tidak dapat sama sekali menolak keputusan yang
diambil melalui syura.
Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan diatas, lembaga syura
(permusyawaratan) itu memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk
mengemukakan kritik agar kritik tersebut bertujuan baik dan bersifat
membangun. Pemerintahan melalui permusyawaratan sama sekali tidak
berarti bahwa di dalamnya tidak ada peluang untuk mengajukan kritik
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah serta pelaksanaannya. Tak satu
suara pun boleh didiamkan begitu saja dan tak satu pun pendapat boleh
ditekan asal terpenuhi satu-satunya syarat : bahwa kritik atau oposisi itu
masih ada dalam kerangka saling percaya mempercayai dan bertujuan
konstruktif dan menguntungkan. Yang tidak dapat dibenarkan adalah sikap
yang bernada subversif, menimbulkan kebencian dan menghasut rakyat untuk
menggulingkan pemerintah dengan cara-cara yang tidak konstitusional atau
menanamkan perasaan putus asa pada rakyat (QS. 4:83). Perbuatan-perbuatan
seperti inilah yang dianggap sebagai kejahatan-kejahatan yang paling besar
terhadap negara. Semua hak asasi manusia yang diakui secara universal sudah
barang tentu harus diberikan dan dijamin oleh pemerintah atas dasar syura
itu, yaitu dengan percaya-mempercayai. Memang dalam pemerintahan
semacam itu, pernyataan pemberian hak-hak asasi manusia kepada rakyat
terdengar agak aneh atau bahkan berlebih-lebihan. Sebab, saling percayamempercayai berarti saling harga-menghargai hak-hak orang lain untuk
menentukan pilihan secara bebas, memperoleh kehidupan yang layak, hak
milik, hak untuk dihormati, dan sebagainya. Memberikan atau menjamin
hak-hak asasi manusia agaknya merupakan gejala baru yang muncul di Barat
sebagai reaksi kekuasaan tanpa batas dan sewenang-wenang (total despotism)
yang berlaku di Barat pada zaman pertengahan. Sebagaimana halnya dengan
sekularisme, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia pun mempunyai

164

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

Hamza Baharuddin

kaitan dengan sejarah, dan dalam kaitan itulah ia memperoleh maknanya yang
utuh. Justru karena adanya latar belakang sejarah inilah perundang-undangan
di Barat berbicara tentang hak-hak asasi manusia dan bukan tentang
kewajiban-kewajiban warga negara. Bagi negara Islam, hak dan kewajiban
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang satu sama lain saling
berhubungan; karena salah satu di antaranya tidak dapat dipahami tanpa
melihat yang satunya lagi.9
Demokrasi yang islami adalah proses perubahan menuju pemerintahan
yang lebih demokratis. Tapahan pertama meliputi pergantian rezim nondemokratis. Pada tahapan kedua, elemen-elemen tertib demokrasi sudah
terbangun. Tahap ketiga, yaitu tahap konsolidasi, negara-negara demokrasi
baru lebih berkembang; akhirnya, praktek-praktek demokrasi menjadi bagian
dari nilai-nilai moral dan etika yang berpegang pada Al-Quran dan Hadist.
Dalam perspektif demokrasi Islam nilai-nilai moral dan etika selalu
menjadi ukuran penting bagi kemajuan partisipasi politik masyarakat, karena
dengan partisipasi politik tersebut diterjemahkan sebagai dukungan terbuka
(overt support) terhadap kepentingan demokrasi yang dianggap memiliki
political efficaci (efektifitas pengaruh politik yang melegitimasi). Partisipasi
politik dalam bentuknya yang tertutup (covert support) menjadi kurang
populer, karena sifatnya yang tidak atraktif terhadap nilai-nilai moral dan
etika. Hal ini tergambar dari ciri-ciri masyarakat tradisional yang lebih suka
dengan hal-hal yang demonstarif, dan kompresif, yang dalam konteks
demokratisasi adalah kecenderungan untuk mencapai modernitas demokrasi
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Aktualisasi nilai-nilai moral dan etika, tidak dapat ditawar dalam hal-hal
universal yang mencerminkan idealisme terbaik dalam sejarah peradaban
manusia. Nilai-nilai moral dan etika sebagai bagian esensial dari demokrasi,
merupakan pilihan normatif politik dari sebuah hak untuk menggapai yang
benar dan menolak apa yang salah, yang jika dilihat dalam konteks negara
hukum demokratis dapat memperlihatkan motif dan perilaku bangsa. Tatkala
pemerintahan yang otoriter mempertontonkan wujudnya sebagai instrumen
vulgar yang eksploitatif demi langgengnya kekuasaan, maka persoalan moral
dan etika segera saja muncul ke depan. Dan moralitas dan etikal spiritnya
itulah yang harus lebih didominasikan. Buah dari moralitas dan etikal spirit
itu adalah wujud demokratisasi yang menampakkan pemerintahan yang jujur,
bersih, yang selalu mencegah prilaku inmoral dan tidak etis. Dan pada
akhirnya dengan moralitas dan etikal spiritnya itulah akan menghasilkan
AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

165

Hamza Baharuddin

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

kesejahteraan rakyat (promote the general welfare). Dalam kaitan inilah Mackie10
mengatakan The coherent view out lined is there fore no more than a bare theoretical
possitibility and we shall in the end have to fall back on a purely secular morality.
Dalam Surah Al-Nisa ayat 59 yang artinya Wahai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang
kekuasaan di antara kamu.
III. Penutup
Secara konsepsional dapat dibangun sebuah proposisi dasar bahwa,
aktualisasi nilai-nilai moral dan etika merupakan wujud demokratisasi dalam
perspektif Islam adalah bahwa kaum muslim merupakan suatu masyarakat
egalitarian dan efektif atau suatu persaudaraan yang sederajat.
Perintah syura bainahum harus diputuskan melalui diskusi dan
konsutasi bersama, bukan diputuskan oleh seorang individu atau golongan elit
yang tidak mereka pilih atau setujui.
Endnotes ;
1 Mandeville, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, (New York: Prometheus Books,
1989), h.17.
2 Ibid.
3 Inu Kencana Syafiie at.al, Ilmu Administrasi Publik dalam H.Muhammad Said, Etika
Masyarakat Indonesia,( Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 215.
4 Banning, Typen van Zedeleer, Gravenhage, Boekencentrum, Sebagaimana dikutip oleh
Inu Kencana Syafiie, dkk, Ibid, h. 216.
5 Sheldon S. Steinberg dan Davit T. Austern, Government, Ethics and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Penerjemah R. Suroso, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1999), h. 75-83.
6 Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics (Barnes & Nobles, INC, 1966), h. 144.
7 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), h.
239.
8 Fazlur Rahman, Cita-cita Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 164-165.
9 Ishomuddin, Melacak Arkeologi dan Kontroversi Pemikiran Politik dalam Islam, (Unmuh
Malang, 2001), h. 84-85.
10 J.L. Mackie Ethics, Penguin Books, 1990). h. 232.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al Karim
Banning, Typen van Zedeleer, Gravenhage, Boekencentrum, 1984.
C.F. Strong, Modern Political Constitutuons : An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Form, Sidgwick & Jakson Limited,
London, 1963.
166

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

Eksistensi Moral dan Etika dalam Perspektif Demokrasi Islam

Hamza Baharuddin

Fazlur Rahman, Cita-cita Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000


H.Muhammad Said, Etika Masyarakat Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960
Ifran Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, PT. Alumni, Bandung.
Ishomuddin, Melacak Arkeologi dan Kontroversi Pemikiran Politik dalam Islam,
Unmuh Malang, 2001
Inu Kencana Syafiie, dkk, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta, 1999
J.L. Mackie Ethics, Penguin Books, 1990.
Mandeville, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, Published. 1989, by
Prometheus Books, Buffalo, New York.
Sheldon S. Steinberg dan Davit T. Austern, Government, Ethics and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Penerjemah R. Suroso, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1999.
Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes & Nobles, INC, 1966
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam, London : Cristoper, t. th.
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.

AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011

167

Anda mungkin juga menyukai