156
Hamza Baharuddin
157
Hamza Baharuddin
dari perkataan Yunani Ethos yang berarti watak atau adat. Kata ini identik
dengan asal kata moral dari bahasa Latin mos (bentuk jamaknya adalah
mores). Yang juga berarti adat atau cara hidup. Jadi kedua kata tersebut (etika
dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan
atau praktek sekelompok manusia.3
Menurut W. Banning.4
In de ethiek is dus de vraag, wat is het juiste levensgedrag, wat behoor ik te doen
en te laten, wil dit gedrag zakelijk goed kunnen heten.
Apa yang dikemukakan W. Banning, pada prinsipnya bahwa dalam etika
dipermasalahkan tentang tata tertib, bagaimana cara hidup yang baik,
bagaimana memilah arah yang seharusnya dan yang tidak boleh dilakukan,
apa yang baik dana mana yang jahat.
Pemerintah yang bersih (clean government) terkait erat dengan
akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan
tanggungjawabnya. Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang
yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan yang
menyimpang dari etika administrasi publik (mal-administrasi). Jelasnya maladministrations, merupakan suatu tindakan administrasi publik yang
menyimpang dari nilai-nilai administrasi publik. Etika administrasi publik,
merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi
bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan
yang diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standar
penilaian untuk menilai apakah tindakan administrasi publik nilai baik atau
buruk. Wujud konkrit tindakan administrasi publik yang menyimpang dari
etika administrasi publik (mal-administration) adalah melakukan tindakan
korupsi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya.
Tom Fletcher, Paula Gordon, dan Shirley Hentzell menyusun suatu
tipologi perilaku pemerintahan. Tipologi mereka agak diubah dengan tujuan
untuk memberi kerangka analisis pencocokan koruptor, fungsionaris dan si
penghayat etika dengan perilaku mereka.
Pola-Pola Perilaku (S. Steinberg dan David T. Austern)5
Koruptor Tanpa Etika
Membuat orang enggan
berkomunikasi dengan terus
terang dan terbuka sehingga
menyebabkan tertahannya
informasi atau nasihat yang
mungkin sekali tidak disukai.
158
Penghayat Etika
berdasarkan Nilai
Memupuk komunikasi yang
jujur dan terbuka serta
pengungkapan diri dengan
cara memberikan contoh
menentukan nada penerapan
cara lain yang layak.
Menghambat perkembangan
dan sumbangan orang lain
Memastikan bahwa mereka
yang tidak bekerja demi
kepentingan umum
disingkirkan sebagai pegawai
negeri bila mereka tidak
mengubah cara mereka
Menggunakan kekuasaan
dengan cara otoriter,
memaksa, atau sewenangwenang.
Hamza Baharuddin
Memandang kekuasaan
sebagai tenaga yang kreatif dan
pembangkit diri yang harus
digunakan secara konstruktif
dan harus disebarkan,
digunakan dan dipupuk
dengan menggunakan strategistrategi pendidikan dan
normatif.
Berusaha menyelesaikan
bentrokan-bentrokan nilai
pribadi secara etis dan sah
tanpa mengorbankan kejujuran.
Dituntut oleh anggapan
mentalitas kedua tentang kerja
sama untuk mencapai mufakat
Mempertahankan kejujuran
dan keterbukaan dalam
mengkomunikasikan informasi
dan menahan informasi, hanya
bila dianggap perlu menurut
hukum atau etika.
159
Hamza Baharuddin
Memamerkan atau
mengabaikan keputusankeputusan pengadilan hakahak konstitusional, baik asasi
manusia, dan nilai-nilai
manusia
Menghapus, mengabaikan
atau melecehkan nilai-nilai
hidup, kesehatan dan
kebebasan
Mengabaikan atau
menurunkan nilai kebebasan
Menjalankan tugas,
memberikan pelayanan jasa,
menangani masalah-masalah
kemasyarakatan dengan cara
yang buruk, tidak manusiawi
cara ilmiah yang netral nilai,
dan tidak efektif. Akibatnya,
memboroskan pemanfaatan
sumber daya manusia, alam,
dan atau keuangan dan
material. Pada akhirnya,
pengaplikasian ilmu
pengetahuan dan teknologi
tidak melayani tujuan
kemanusiaan dan dipandang
sebagai tujuan tersendiri
Membiarkan usaha-usaha
organisasi yang ditandai oleh
biropatologi, di mana proses
dianggap lebih penting
daripada tujuan, kewenangan
lebih penting daripada
kenyataan, bahkan
menganggap presiden lebih
penting daripada kesesuaian.
Mengutamakan prosedur
sedemikian rupa sehingga
menghadiri tanggung jawab
atau merintangi tujuan
prosedur
Membiarkan kewenangan
organisatoris, usaha
pembuatan keputusan,
pelaksanaan, pemecahan
masalah dan pengaturan
keruwetan sehingga
pelaksanaan pemerintahan
dan pemecahan masalah serta
pemenuhan kebutuhan
160
Hamza Baharuddin
161
Hamza Baharuddin
Melaksanakan roda
pemerintahan tanpa
mempertimbangkan
ketanggapan dan sikap kritis
pemerintah terhadap
kepentingan umum atau
membuat pemerintah tidak
melayani atau tidak peduli
terhadap kepentingan umum.
Mementingkan kepeduliaan
semua politik, yakni membuat
kepentingan sendiri atau
kepentingan kelompok
menjadi suatu pola netral nilai
atau nihilistik (tanpa nilai,
tujuan, atau arti)
Melaksanakan pemerintahan
sedemikian rupa sehingga
pemerintah menjadi tidak
tanggap terhadap kebaikan
umum dalam arti bahwa pada
dasarnya pemerintah tidak
peduli terhadap apa yang baik
untuk umum
162
Melaksanakan tugas
pemerintahan dengan
memperhatikan nilai-nilai
sosial sehingga membuat
pemerintah tanggap terhadap
kebutuhan dan kepentingan
umum. Bahkan, membantu
pemerintah melayani
kepentingan umum dengan
memaksimalkan nilai-nilai
hidup, kesehatan dan
kebebasan individu dan
masyarakat sambil berusaha
untuk menggunakan sumber
daya sebaik-baiknya dalam
mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Menekankan hal-hal politis dan
menangani kebutuhan dan
masalah kemanusiaan serta
nilai-nilai kemanusiaan dan
demokratis yang diperlukan
bagi masyarakat bebas dan
kebebasan di dunia.
Bertindak untuk melindungi
dan
memelihara
serta
memajukan
kepentingan
umum
Bersifat mendukung
pemerintahan yang berorientasi
pada perubahan dan
Hamza Baharuddin
perkembangan yang sehat, yaitu
bekerja sama dengan mereka
yang ada dalam lingkungan
pemerintahan. Mereka pun
bertindak sebagai perantara/
pemikir yang juga berperan
untuk memecahkan masalah
masyarakat.
Tanggap terhadap mereka yang
berada dalam lingkungan
pemerintahan maupun mereka
yang berada di luarnya yang
merasa bahwa kepentingan
umum tidak dilayani dengan
baik.
163
Hamza Baharuddin
164
Hamza Baharuddin
kaitan dengan sejarah, dan dalam kaitan itulah ia memperoleh maknanya yang
utuh. Justru karena adanya latar belakang sejarah inilah perundang-undangan
di Barat berbicara tentang hak-hak asasi manusia dan bukan tentang
kewajiban-kewajiban warga negara. Bagi negara Islam, hak dan kewajiban
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang satu sama lain saling
berhubungan; karena salah satu di antaranya tidak dapat dipahami tanpa
melihat yang satunya lagi.9
Demokrasi yang islami adalah proses perubahan menuju pemerintahan
yang lebih demokratis. Tapahan pertama meliputi pergantian rezim nondemokratis. Pada tahapan kedua, elemen-elemen tertib demokrasi sudah
terbangun. Tahap ketiga, yaitu tahap konsolidasi, negara-negara demokrasi
baru lebih berkembang; akhirnya, praktek-praktek demokrasi menjadi bagian
dari nilai-nilai moral dan etika yang berpegang pada Al-Quran dan Hadist.
Dalam perspektif demokrasi Islam nilai-nilai moral dan etika selalu
menjadi ukuran penting bagi kemajuan partisipasi politik masyarakat, karena
dengan partisipasi politik tersebut diterjemahkan sebagai dukungan terbuka
(overt support) terhadap kepentingan demokrasi yang dianggap memiliki
political efficaci (efektifitas pengaruh politik yang melegitimasi). Partisipasi
politik dalam bentuknya yang tertutup (covert support) menjadi kurang
populer, karena sifatnya yang tidak atraktif terhadap nilai-nilai moral dan
etika. Hal ini tergambar dari ciri-ciri masyarakat tradisional yang lebih suka
dengan hal-hal yang demonstarif, dan kompresif, yang dalam konteks
demokratisasi adalah kecenderungan untuk mencapai modernitas demokrasi
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Aktualisasi nilai-nilai moral dan etika, tidak dapat ditawar dalam hal-hal
universal yang mencerminkan idealisme terbaik dalam sejarah peradaban
manusia. Nilai-nilai moral dan etika sebagai bagian esensial dari demokrasi,
merupakan pilihan normatif politik dari sebuah hak untuk menggapai yang
benar dan menolak apa yang salah, yang jika dilihat dalam konteks negara
hukum demokratis dapat memperlihatkan motif dan perilaku bangsa. Tatkala
pemerintahan yang otoriter mempertontonkan wujudnya sebagai instrumen
vulgar yang eksploitatif demi langgengnya kekuasaan, maka persoalan moral
dan etika segera saja muncul ke depan. Dan moralitas dan etikal spiritnya
itulah yang harus lebih didominasikan. Buah dari moralitas dan etikal spirit
itu adalah wujud demokratisasi yang menampakkan pemerintahan yang jujur,
bersih, yang selalu mencegah prilaku inmoral dan tidak etis. Dan pada
akhirnya dengan moralitas dan etikal spiritnya itulah akan menghasilkan
AL-FIKRVolume 15 Nomor 2 Tahun 2011
165
Hamza Baharuddin
kesejahteraan rakyat (promote the general welfare). Dalam kaitan inilah Mackie10
mengatakan The coherent view out lined is there fore no more than a bare theoretical
possitibility and we shall in the end have to fall back on a purely secular morality.
Dalam Surah Al-Nisa ayat 59 yang artinya Wahai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang
kekuasaan di antara kamu.
III. Penutup
Secara konsepsional dapat dibangun sebuah proposisi dasar bahwa,
aktualisasi nilai-nilai moral dan etika merupakan wujud demokratisasi dalam
perspektif Islam adalah bahwa kaum muslim merupakan suatu masyarakat
egalitarian dan efektif atau suatu persaudaraan yang sederajat.
Perintah syura bainahum harus diputuskan melalui diskusi dan
konsutasi bersama, bukan diputuskan oleh seorang individu atau golongan elit
yang tidak mereka pilih atau setujui.
Endnotes ;
1 Mandeville, Enquiry into the Origin of Moral Virtue, (New York: Prometheus Books,
1989), h.17.
2 Ibid.
3 Inu Kencana Syafiie at.al, Ilmu Administrasi Publik dalam H.Muhammad Said, Etika
Masyarakat Indonesia,( Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 215.
4 Banning, Typen van Zedeleer, Gravenhage, Boekencentrum, Sebagaimana dikutip oleh
Inu Kencana Syafiie, dkk, Ibid, h. 216.
5 Sheldon S. Steinberg dan Davit T. Austern, Government, Ethics and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Penerjemah R. Suroso, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1999), h. 75-83.
6 Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics (Barnes & Nobles, INC, 1966), h. 144.
7 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), h.
239.
8 Fazlur Rahman, Cita-cita Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 164-165.
9 Ishomuddin, Melacak Arkeologi dan Kontroversi Pemikiran Politik dalam Islam, (Unmuh
Malang, 2001), h. 84-85.
10 J.L. Mackie Ethics, Penguin Books, 1990). h. 232.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al Karim
Banning, Typen van Zedeleer, Gravenhage, Boekencentrum, 1984.
C.F. Strong, Modern Political Constitutuons : An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Form, Sidgwick & Jakson Limited,
London, 1963.
166
Hamza Baharuddin
167