Anda di halaman 1dari 8

ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN ILMU : KEMANUSIAN,

KEMASLAHATAN HIDUP BESERTA AYAT AL-QUR’AN DAN


HADISTNYA
Eka Padilah (E.20.32482) dan Silmi Apriani (E.2032491)

Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai
kemanusiaan atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung
dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian
yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata
“salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia
dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri
menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia
dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja
unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan
tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu
manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan
anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan
dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan
lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang
sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang
akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
Pembahasan
Pengertian Etika
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai suatu teori
ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang
buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan
usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan
hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu
masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan
tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai
etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata
kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua:
obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai
kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu
sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika.
Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang
melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan
semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat
begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam
Islam pada batas tertentu ialah aliran Muitazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan
disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek
tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat,
atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam
beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham
tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu
tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada
ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu
bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa
wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai
yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam.
Sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang
diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik
karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi
ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di
dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang
menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua cirri utama.
Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat
rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat
Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap
berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman
mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima
gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru, kesediaan buat

2
menyatakan pendapat, kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini
dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau, rasa ketepatan waktu yang
lebih baik, keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan
efisiensi, kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung,
menghargai kekuatan ilmu dan teknologi, dan keyakinan pada keadilan yang bisa
diratakan.
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang
dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan
dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral,
problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang
bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat
rasional dan universal. Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan
direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya,
tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif.
Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama
terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan
dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran
moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana
mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai
etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah
dalam acuan sikap batin.
Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting yaitu,
Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering
dipadankan dengan nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmaninah.
Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akan tumbuh
berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk
menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan
orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi
ujung tombak dari ketiga unsur di atas. Diantara pemberiaan edukasi etika kepada
anak diarahkan kepada beberapa hal di bawah ini:
1. Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku
orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam
mecari kebenaran dan sudah barang tentu sangat tergantung pada
sisi historisitas seseorang dalam hidup dan kehidupan.
2. Bila anak sudah mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka
dapat diberikan arahan lanjut dengan memberikan penjelasan apa
dan mengapa dan yang berkaitan dengan hokum kausalitas (sebab
akibat) Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja,
peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus,

3
tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk
diskusi tentang pemahaman keberagamaan.
3. Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang
tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus
ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang
pemahaman keberagamaan.Pembiasaan kepada hal-hal yang baik
dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak
menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk
sesuatu, manfaat dan mudharatnya, sesat dan tidaknya.
Etika Islam memiliki aksioma-aksioma, yaitu :
a. Unity (persatuan): konsep tauhid, aspek soskpl dan alam, semuanya milik
Allah, dimensi vertikal, hindari diskriminasi di segala aspek, hindari
kegiatan yang tidak etis
b. Equilibrium (keseimbangan): konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam
bertransaksi, tidak merugikan dan tidak dirugikan.
c. Free Will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun
menolak laizez fire (invisible hand), karena nafs amarah cenderung
mendorong pelanggaran sistem responsibility (tanggung jawab), manusia
harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Bila orang lain melakukan hal
yang tidak etis tidak berarti boleh ikut-ikutan.
d. Benevolence (manfaat/kebaikan hati): ihsan atau perbuatan harus yang
bermanfaat.

Konsep Etika Islam


Konsep etika Islam menurut Hammudah Abdallati berpusat pada beberapa
prinsip, diantaranya :
1. Tuhan sebagai pencipta dan sumber kebaikan, kebenaran dan kebagusan.
2. manusia adalah agen yang bertanggung jawab, bermartabat dan berharga
nagi pencipta.
3. Tuhan mencipta segala sesuatu duntuk manusia,
4. Tuhan tidak memberikan beban yang melampaui kemampuan manusia,
5. jalan tengah merupakan jaminan bagi integritas dan moralitas tinggi,
6. semua hal diizinkan untuk manusia kecuali yang dilarangnya,
7. puncak tanggung jawab manusia adalah Tuhan.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan gambaran relasi Tuhan-manusia-
alam. Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai pusat ciptaan, alam adalah ciptaan
yang berfungsi sebagai obyek bagi pusat ciptaan. Relasi Tuhan-manusia adalah

4
relasi ketundukan, manusia harus tunduk pada Tuhan dan harus bertanggung
jawab kepadaNya atas perlakuannya terhadap alam.
Dalam memberikan amanat pengelolaan alam kepada manusia, Tuhan
tidak bersikap semena-mena. Manusia diberi anugerah berupa akal dan wahyu.
Demikian pula Tuhan tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan
manusia. Dengan akal manusia diharapkan dapat mengenal potensi diri, alam
sekitar, mengetahui watak dan hukum yang berlaku dalam alam dan kehidupan.
Dengan wahyu manusia diharapkan dapat bertindak dan mengatur alam dengan
benar sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Etika agama dalam hubungannya manusia dengan Tuhan, sesama, alam
Agama adalah sumber nilai-nilai etika yang tak pernh kering, karena
agama melihat hakikat manusia pada perbuatan baiknya. Dalam agama, tinggi
rendah seseorang tidak ditentukan oleh harta, ilmu ataupun kekuasaan, tetapi
ditentukan sepenuhnya oleh perbuatan baik atau taqwanya dan seberapa jauh
nilai-nilai etika menjiwai dan mewarnai segala tindakannya.
Oleh karena agama untuk manusia, dengan sendirinya etika atau moralitas
menjadi salah satu ajaran yang amat penting dalam agama apapun, dan dari sudut
pandangan etika atau moralitas, rasanya semua agama sepakat mempunyai
pandangan yang sama, semua agama memerintahkan pemeluknya berbuat baik
dan melarang berbuat jahat.
Dalam konsep filsafat Islam, ada empat hal pokok yang dibicarakan
agama, yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan. Etika agama pada dasarnya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan
dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam di sekitarnya serta hubungan
manusia dengan kebudayaan.

a) Etika Hubungan manusia dengan Tuhan


Etika agama menegaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan-nya
adalah hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya,hubungan antara makhluq
dengan al-Khaliq. Pada dataran ini, manusia pada hakikatnya tidak mempunyai
otoritas kekuasaan dan wewenang sedikit pun terhadapTuhan. Sekuat kuatnya
manusia untuk menentang Tuhan hanyalah akan melahirkan kesia-siaan, bahkan
kerugian besar, karena pada akhirya manusia tetap tunduk dan patuh pada hukum-
hukum Allah yang menghidupkan dan mematikannya. Manusia tidak pernah bisa
menolak, menentang dan melepaskan hukum-hukum itu. Secara individual
manusia tidak pernah berkuasa untuk menolak kelahirannya, bahkan untuk
memilih jenis kelamin, jalan rahim, tempat dan waktu kelahirannya, ia pun tidak
sanggup, ia lahir tanpa ada dan dimintai persetujuannya terlebih dahulu, mau atau
tidak.

5
Demikian pula halnya dengan kematiannya, ia tidak pernah mampu
merancangnya dengan tepat, kecuali Allah memang sudah menghendakinya untuk
mati sesuai dengan jalan hidupnya, banyak orang yang bunuh diri gagal ada pula
yang selamat dari kecelakaan yang sulit dibayangkan bisa selamat. Posisi manusia
terhadap Allah adalah lemah, fakir, tidak berkuasa, tidak bisa menolak atau
meniadakan Allah, mungkin saja ia tidak mangakui, dan tidak mempercayai
menolak bahkan mengingkari, tetapi bukan Allah sebenarnya yang ia tolak dan ia
ingkari, tetapi ilah atau tuhan yang ada dalam gambaran dan bayangan pikiran dan
perasaannya, yaitu persepsi dan penghayatannya terhadap tuhan yang salah,
karena tuhan yang ia tolak itu adalah tuhan ciptaannya sendiri, bukanTuhan Yang
Maha menciptakan termasuk menciptakan dirinya melalui mekanisme hukum-
hukum-Nya. Karena Allah sama sekali tidak tergantung dan tidak membutuhkan
pengakuan dan persembahan dari manusia.
Jika Allah menurunkan wahyu melalui para Nabi-Nya, dan menjelaskan
hukum-hukum kehidupan semuanya, itu semata-mata untuk kepentingan manusia
sendiri, dan merupakan wujud dan kasih sayang atau Rahman RahimNya kepada
manusia, agar manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Pabrik mobil
saja memberikan petunjuk teknik dan pedoman perawatan bagi mobil yang
diproduksinya, apalagi Allah Yang Maha Bertanggung Jawab. Oleh karena itu,
etika agama menetapkan keharusan manusia untuk tunduk dan patuh kepada
Tuhannya,karenamanusia diciptakan Tuhan mémang untuk berbakti dan
mengabdi kepada-Nya, melalui karya kreatifnya untuk kemanusiaan.

b) Etika Hubungan Manusia dengan Sesama


Pada hakikatnya posisi manusia terhadap sesamanya adalah sama dan
sederajat, sama-sama sebagai ciptaan(makhluq) Allah, dan karenanya di hadapan
Allah semuanya sama, yang membedakannya hanyalah amal perbuatannya atau
taqwanya saja. Oleh karena itu, secara individual hubungan manusia dengan
manusia lainnya, masing – masing mempunyai kekuasaan yang sama, setiap
individu dengan individu lainnya tidak boleh saling memaksa apalagi merampas
hak-haknya. Hak individu untuk mempertahankan miliknya dilindungi oleh
hukum apa pun, karena hak itu adalah bagian dari hak-hak azasi manusia yang
wajib dilindungi. Perbedaan hak dan kewajiban seorang individu dalam kehidupan
sosial, lebih disebabkan karena perbedaan tugas dan pekerjaan atau profesinya,
sehingga hak dan kewajiban seorang dokter tentu berbeda dengan hak dan
kewajiban _pasiennya, demikian juga halnya guru dan murid, orangtua dan anak.
Perbedaan perbedaan itu sifatnya fungsinal dan profesional, tidak abadi dan tidak
mutlak, artinya akan berubah dengan adanya perubahan fungsi atau terjadinya alih
profesi. Dalam kaitan ini, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain,
hurriyatuka mahdudatun bihurriyati siwaku, dan etika untuk saling menghargai

6
dan menghormati hak-hak orang lain menjadi dasar dan landasan bagi
berlangsungnya hubungan dan komunikasi sosial yang sehat, dimana tidak ada
pemaksaan dan diskriminasi berdasarkann kemestian-kemestian hidup yang
ménjadi bawaan kodrati, seperti ras, suku, agama dan pandangan hidup seseorang.
Oleh karena itu, tidak ada paksaan dalam agama, masing-masing agama punya
hak untuk hidup dan masing masing pemeluk agama, seharusnya memaklumi
perbedaan agamanya masing-masing.
Pada hakikatnya iman itu tidak bisa dipaksakan, setiap orang mempunyai
jalan sendiri sendiri, Iman sendiri tidak sama, dan iman dalam diri seseorang bisa
bertambah dan juga bisa berkurang. Jika Tuhan menghendaki manusia semuanya
beriman (dalam sama versi iman) tentu mudah, tetapi kenyataanya lain, dan
karenanya beriman atau tidaknya seseorang adalah urusan Tuhan, bukan
urusan manusia.Di samping menghargai adanya perbedaan suku, ras dan agama,
etika agama juga melarang masing—masing, baik individu maupun kelompok
untuk menghina dan merendahkan satu dengan yang lainnya, karena pada
dasarnya manusia itu tidak ada yang sempurna, manusia terdiri dari darah dan
daging yang cenderung mudah tergelincir pada dorongan-dorongan tubuhnya,
manusia bukan malaikat dan juga bukan setan (syaithan), manusia di dalamnya
ada dorongan-dorongan baik dan buruk, tinggal bagaimana kepemimpinan ruh di
dalam dirinya
c) Etika Hubungan Manusia dengan Alam
Di lihat posisinya sebagai makhluq (ciptaan) Tuhan, manusia dan alam
pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang sama, bahkan bagian dari manusia
terbentuk dari unsur-unsur alam, sehingga manusia sering disebut sebagai micro-
cositios, alam kecil yang mewakili semua unsur alam besar. Alam diciptakan
Tuhan untuk manusia sebagai salah satu unsur yang membentuk dirinya,maka
alam semesta menjadi bagian dari diri manusia sendiri, dan manusia diharapkan
dapat menciptakan kemakmuran di bumi milik Allah ini. Oleh karena itu, manusia
dilarang Tuhan untuk membuat kerusakan di muka bumi, di samping bumi
seisinya milik Allah, maka kerusakan itu pun akan berakibat kerusakan bagi
sumberkehidupannya sendiri.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw.yang menjelaskan tentang


persoalan ini antara lain:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن َآَم ُنوا اَل َتْأُك ُلوا َأْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِإاَّل َأْن َتُك وَن ِتَج اَر ًة َع ْن َت َر اٍض ِم ْنُك ْم َو اَل َتْقُتُل وا َأْنُفَس ُك ْم ِإَّن‬
29 :‫َهَّللا َك اَن ِبُك ْم َر ِح يًم ا – النساء‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta di


antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan

7
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang
kepadamu.” (QS. An-Nisa’/4: 29)

195 :‫َو َأْنِفُقوا ِفي َس ِبيِل ِهَّللا َو اَل ُتْلُقوا ِبَأْيِد يُك ْم ِإَلى الَّتْهُلَك ِة َو َأْح ِس ُنوا ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن – البقرة‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu


menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-
Baqarah/2: 195)

‫َع ْن ُع َباَد َة اْبِن َص اِمِت َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقَض ى َأْن َال َض َرَر َو َال ِض َر اَر – رواه أحمد وابن‬
‫ماجة‬

“Dari Ubadah bin shamit r.a.; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak
boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas
kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Kesimpulan
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan
agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam
bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan
manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan
historisitas.
Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan
pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia
untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian,
kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu
cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk
mengabdi pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua
dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan
menyikapinya dengan bijak dan damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa
kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).

Anda mungkin juga menyukai