PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
dilaksanakan dan dipertahankan, tapi bukannya dilanggar. Melakukan
pelanggaran terhadap kaedah hukum dinilai buruk, sebaliknya patuh
terhadap kaedah itu adalah baik. Olehnya itu kaedah hukum dpat juga
disebut sebagai kaedah etis. (Sudikno Mertokusumo,1991:36).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari nilai, fungsi etika, dan teori-teori etika?
2
2. Apakah pengertian dari moralitas dan unsur-unsur moralitas?
3. Apakah ada keterkaitan antara etika dan hukum?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan etika dan hukum?
5. Kemampuan manakah yang harus kita pakai untuk mengukur etika dan
moralitas?
6. Bagaimanakah kita membangun etika dan moralitas?
7. Apakah yang disebut norma moralitas yang benar dalam tinjauan
filsafat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nilai, fungsi etika, dan teori-teori etika;
2. Untuk mengetahui pengertian moralitas dan unsur-unsur moralitas;
3. Untuk mengetahui dan memahami keterkaitan antara etika dan hukum;
4. Memahami persamaan dan perbedaan etika dan hukum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. N
I
L
A
I
,
N
O
R
M
A
,
M
O
R
A
L
,
D
A
N
E
T
4
I
K
A
Nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadarinya maupun tidak.
Berbeda dengan fakta yang dapat diobservasi secara empirik, tidak
demikian halnya dengan nilai, karena nilai berkaitan dengan cita-cita,
keinginan, dan harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah) manusia. Nilai dengan demikian tidaklah konkret, dan dalam
praktiknya memang bersifat susbjektif.
Nilai yang abstrak dan subjektif tersebut, agar dapat lebih berguna
dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, perlulebih dikonkretkan
lagi. Untuk itu nilai harus dirumuskan ke dalam simbol-simbol tertentu,
yang tujuannya agar lebih mudah dipahami secara interpersonal. Wujud
yang lebih konkret dari nilai ini adalah norma. Dari norma-norma yang
ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan
pelaksanannya oleh kekuasaan eksternal (penguasa).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan erat dengan moral dan etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimiliknya.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin
dari sikap dan tingkah lakunya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, filsafat hukum adalah
cabang dari filsafat, bukan cabang dari ilmu hukum. Lili Rasjidi
melukiskan hubungan antara filsafat dan filsafat hukum dengan urutan-
urutan sebagai berikut : filsafat →filsafat manusia→filsafat tingkah laku
(etika)→filsafat hukum.1
1
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1990), hlm 7.
5
Jadi, filsafat hukum mempunyai kaitan yang erat dengan etika.
Sama dengan istilah filsafat (philos dan sophia, yang artinya cinta pada
kebijaksanaan), secara etimologis, etika juga berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ethos atau ta etika, yang artinya watak kebiasaan. Seringkali orang
menyamakan istilah etika dengan ajaran moral. Istilah yang terakhir ini
juga berasal dari bahasa Yunani, yakni mos (jamaknya mores), yang juga
bermakna sama dengan ethos.
Walaupun secara etimologis bermakna sama, dua istilah tersebut
tidaklah identik. Menurut Franz Magnis-Suseno, yang dimaksud dengan
ajaran moral adalah ajaran-ajaran wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau
tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Di lain pihak, etika adalah filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral.2
Habermas menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral itu “...di satu
sisi bertumpu pada hak setiap orang untuk melakukan apa yang
dianggapnya sah; di sisi lain dia bersandar pada keharusan, bahwa setiap
orang boleh mengejar tujuan-tujuan dengan manfaat untuk masing-masing
hanya jika sejalan dengan manfaat bersama.”3
Etika sebagai cabang filsafat, pertama-tama dapat didekati secara:
(1) deskriptif dan normatif. Karena itu ada yang disebut etika deskriptif
dan etika normatif. Di luar itu ada pendekatan ketiga, yang disebut
metaetika.
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas,
misalnya berupa adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan dilarang. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan atau subkultur tertentu dalam suatu periode sejarah, dan
2
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), Cet. Ke-3, hlm 14.
3
Habermas 1985: 28.
6
sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberi
penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau (memenggal) kepala
manusia yang ditemukan dalam suatu masyarakat primitif, tetapi ia tidak
memberi penilaian apakah adat semacam itu dapat diterima atau harus
ditolak.4
Berbeda dengan etika deskriptif, pada etika normatif ini ia sudah
sampai pada penilaian-penilaian. Dengan perkataan lain, di sini sudah ada
pemihakan terhadap pandangan moralitas tertentu. Pengayauan kepala
seperti dicontohkan di atas, oleh pengemuka etika normatif, mungkin
sekali akan ditolaknya berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan kritis.
Etika normatif ini justru adalah bagian terpenting dari etika karena di
sinilah berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-
masalah moral.5
Pendekatan berikutnya adalah yang disebut metaetika (meta berarti
melebihi atau melampaui). Metaetika lebih bersifat sebagai filsafat analitis,
suatu aliran yang penting dalam filsafat abad ke-20, yang antara lain
dipelopori filsuf Inggris bernama George Moore (1873-1958). Dalam
metaetika, misalnya dianalisis pengertian istilah atau konsep “keadilan”
itu. Apakah “keadilan” yang dipergunakan dalam konteks tertentu
mengandung makna yang sama dengan “keadilan” dalam konteks yang
lain. Jika berbeda, bagaimana hal itu harus dijelaskan.
Baik etika deskriptif maupun etika normatif, sangat membutuhkan
bantuan metaetika ini. Dalam membuat argumentasi yang rasional dan
kritis, jelas diperlukan analisis-analisis mendalam tentang konsep, istilah,
kata, dan seterusnya, yang semuanya mempengaruhi pemahaman kita
tentang suatu masalah.
B. F
U
4
K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. Ke-2, hlm 15-16.
5
Ibid, hlm 17.
7
N
G
S
I
E
T
I
K
A
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran.
Bagian-bagiannya meliputi: 1.Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang
nyata, 2.Kosmologia yaitu kajian tentang alam, 3.Logika yaitu pembahasa
tentang cara berpikir cepat dan tepat, 4.Etika yaitu pembahasan tentang
tingkah laku manusia, 5.Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia. Dengan demikian,
jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Etika berusaha memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa kita ajukan. Pertama, apakah yang harus kita lakukan dalam
situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, kita akan mengatur pola
koeksistensi kita dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia macam
apa kita ini? Dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai pembimbing
tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai
bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya fractisida yang secara
legendaris dan historis mewarnai sejarah hidup manusia. 6
Jika tiga pertanyaan itu disarikan, sampailah pada satu fungsi
utama etika, yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis
6
A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April,
1992, hlm. 3-18.
8
dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.7 Disini terlihat
bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu
pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Pengertian demikian perlu
dicari dengan alasan: (1) kita hidup dalam masyarakat yang semakin
pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus
mengikuti moralitas yang mana, (2) modernisasi membawa perubahan
besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya
menantang pandangan-pandangan moral tradisional, (3) adanya pelbagai
ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-
masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup,
dan (4) etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak
menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka,
di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan
tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang
sedang berubah itu.
Berikut ini akan dijelaskan dua sifat etika :8
1. Non-empiris , yang menyatakan bahwa filsafat digolongkan sebgai
ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada
fakta atau konkret. Namun, filsafat tidaklah demikian, filsafat
berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan
apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis, yaitu bahwa cabang-cabang filsafat berbicara mengenai
sesuatu “yang ada”. Misalnya, filsafat hukum itu mempelajari apa
itu hukum. Akan tetapi, etika tidak terbatas pada itu, tetapi bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian, etika
7
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), Cet. Ke-3hlm 15.
8
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 27-29.
9
sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
manusia. Tetapi, ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti
menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis,
tetapi reflektif. Maksudnya, etika hanya menganalisis tema-tema
pokok, seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan
sebagainya.
C. T
E
O
R
I
-
T
E
O
R
I
E
T
I
K
A
Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berari akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak . etika bukan
berasal dari ajaran moral, melainkan merupakan cabang ilmu filsafat
mengenai suatu pemikiran kritis dan mendasar dari yang baik, yang pantas
10
dan benardari ajaran moral. Etika merupakan suatu pertimbangan yang
sistematis tentang perilaku benaratau salah, kebajikan atau kejahatan yang
berhubungan dengan perilaku. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,
etika adalah 1) ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang
hak dan kewajiban moral. 2) kumpulan atau seperangkat asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai yang benar dan salah yang dianut
suatu golongan ataau masyarakat.9 Etika berurusan dengan orthopraxis,
yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu
dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran)
etika yang secara global bisa dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologis
(etika kewajiban) dan aliran teologis (etika tujuan atau manfaat). 10 Di luar
dua pembagian besar itu, sebenarnya masih dikenal pembagian dan
penamaan teori etika yang lain, seperti hedonisme, eudominisme, utilisme,
dan vitalisme.
9
Cecep Triwibisono, Etika Dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm. 1.
10
A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April,
1992, hlm. 7.
11
A.S, Keraf, Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), Cet. Ke-2, hlm. 31.
11
Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu
menekankan keuntungan pada “saya pribadi saja” sementara
utilitarianisme menekankan keuntungan pada “setiap orang, termasuk
saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari utilitarianisme dibandingkan
dengan egosime.
Etika lebih banyak bersifat teori, moral lebih bersifat praktik. Etika
membicarakan bagaimana seharusnya, sementara moral membicarakan
bagaimana adanya. Etika menyelidiki, memikirkan, dan
mempertimbangkan tentang yang baik dan yang buruk, sementara moral
menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan
sosial tertentu.
12
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis terhadap Hhukum), (Jakarta : PT RajaGrapindo
Persada, 2012), hlm. 82.
12
Franz Magnis-Suseno mengemukakan bahwa dengan ajaran moral
(ajaran-ajaran, khotbah,khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan an
ketetapan), entah lisan ataupun tulisan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertingkah agar ia menjadi manusia yang baik sedangkan etika
itu merupakan pemikiran yang mendasar tentang ajaran-ajaran moral.13
1. Idealisme Etis
13
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral), (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 14.
13
perkembangannya, idealisme juga diyakini memiliki implikasi-implikasi
secara etis, sehingga lahir pandangan tentang idealisme etis.14
a) Idealisme Rasionalistis
b) Idealisme Estetis, dan
c) Idealisme Etis.16
2. Deontologisme Etis
14
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan ( Yogykarta: Kanisius,
2002), hlm.176-177.
15
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: suatu tawaran kerangka berfikir (Bandung: PT Pefika
Aditama), hlm. 56.
16
H. De Vos, Pengantar Etika, terjemahan Soejono soemargono ( (ogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1987), hlm.
203-210.
14
kewajibannyalah untuk berbuat adil, bukan karena ia ingin dipuji oleh
masyarakat atau agar dinilai baik oleh atasannya.
3. Teologisme Etis
a) Egoisme, dan
b) Utilitarianisme (Utilisme)
Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu
menekankan keuntunagn pada “saya pribadi saja” sementara
utilitarianisme menekankan keuntungan pada “setiap orang, termasuk
saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari utilitarianisme dibandingkan
dengan egoisme. Cara berpikir utilitarianisme ini sebenarnya merupakan
penghalusan dari alturisme yang cenderung dinilai kurang realistis, yakni
menekankan keuntungan bagi “ setiap orang kecuali saya”.
15
Dalam praktik, egoisme dan utilisme sering kali bertumpang tindih,
sehingga sulit untuk dibedakan. Jeremy Bentham (1742-1832)
mengajarkan, bahwa utilisme ditunjukan untuk mengejar kemanfaatan
(baca: kebahagiaan) pribadi. Oleh karena itu, utilisme telah berhasil jika
dapat membuat mayoritas dari pribadi-pribadi dalam masyarakat tertentu
merasa bahagia. Walaupun demikian, pandangan Bentham tetaplah
bersifat individualistis.
D. M
O
R
A
L
I
T
A
S
17
Shidarta, OP. Cit., hlm. 62.
16
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu.
E. U
N
S
U
R
-
U
N
18
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999), hlm. 118
19
Ibid, hlm. 119-120
17
S
U
R
M
O
R
A
L
I
T
A
S
Kualitas norma moral sebagaimana telah disinggung ditentukan
oleh beberapa unsur pokok, yaitu kebebasan, tanggungjawab, dan suara
hati. Semakin tinggi derajat kebebasan, tanggung jawab, dan kemurnian
suara hatinya, semakin baik kualitas moral yang bersangkutan.
1. Kebebasan
Kebebasan merupakan unsur penting dalam norma moral. Hal ini
sangat esensial, mengingat norma moral itu adalah norma yang otonom,
yang disebut oleh Kelsen dengan regulations of internal behavior. Jadi,
selalu ada pilihan (alternatif) bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku
berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya.
Walaupun diyakini bahwa manusia itu adalah makhluk yang bebas,
namun terdapat keraguan mengenai hal ini. Sehingga timbul pertanyaan,
“Benarkah manusia itu mempunyai kebebasan dalam bersikap dan
berperilaku?”
18
Pertama, ada pendapat yang mengatakan kebebasan seperti
dinyatakan tersebut sebenarnya tidak ada. Pemikiran demikian datang dari
aliran determinisme,20 baik yang bersifat materialis maupun religius.
Pendapat kedua yang bersebrangan dengan determinisme adalah
aliran antinomisme yang berpendapat bahwa manuisa itu adalah makhluk
yang bebas. Paling tidak, bebas dalam lingkup kodratnya sebagai manusia.
Semangat kebebasan (al-hurriyah), termasuk kebebasan berekspresi
bahkan dianggap salah satu semangat dasar dalam ajaran agama.
2. Tanggung Jawab
“Respondeo ergo sum” (Aku bertanggung jawab, jadi aku ada),
demikian tegas Emmanuel Levinas (1906-1995).21 Ucapan ini
menggarisbawahi betapa penting makna sebuah tanggungjawab.
Kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan
berperilaku. Oleh karena itu manusia wajib bertanggungjawab atas pilihan
yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral, baru akan mempunyai arti
apabila manusia tersebut mampu dan mau bertanggungjawab atas
pilihannya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditujukan bagi orang
yang dapat dan mau bertanggungjawab. Itulah sebabnya kita tidak pernah
meminta pertanggungjawaban atas sikap dan prilaku orang gila atau anak
di bawah umur, sekalipun kita mengetahui menurut moralitas kita yang
wajar, sikap dan perilaku orang itu tidak dapat diterima.
3. Suara Hati
Suara hati sering juga disebut dengan hati nurani. Dalam kosa kata
Latin, terdapat dua istilah yang berbeda untuk hati nurani dan suara hati,
yaitu kata synteresis dan conscientia. Kata synteresis lebih tepat diartikan
sebagai hati nurani, yaitu pengetahuan intuitif tentang prinsip-prinsip
20
Determinisme diperkenalkan dalam wacana fisafat oleh Sir William Hamilton. Dalam
bahasa Latin, determinare berarti menentukan batas atau membatasi. Determinisme beranggapan
setiap pertistiwa sudah ditentukan. Setiap kejadian (akibat) pasti mempunyai sebab (kausalitas).
Penjelasan lebih lanjut lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hlm. 159 161.
21
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX:Prancis, jilid II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hlm. 279-296.
19
moral. Menurut Aquinas, hati nurani berasal langsung dari Tuhan dan oleh
karena itu tidak mungkin keliru. Apabila manusia menghadapi situasi
konkret yang mengharuskan memilh sikap-sikap moral tertentu, maka
yang hadir pada saat itu adalah suara hati (conscientia).22
Jika hati nurani adalah “suara Tuhan” maka tidak demikian halnya
dengan suara hati itu. Suara hati memang suara kejujuran, tetapi tidak
identik dengan hakikatbkebenaran itu sendiri. Artinya suara hati mungkin
saja salah, tetapi “kesalahan” suara hati itu karena ketidaktahuan si pemilik
suara hati itu, bukan karena ia sengaja berbuat salah.
Franz Magnis-Suseno menyebutkan tiga lembaga normatif yang
mengajukan norma-norma (dalam arti yang lebih abstrak berupa nilai-
nilai) mereka kepada kita.23
Pertama, adalah masyarakat, termasuk pemerintah, guru, orang tua,
teman sebaya, dan pemuka agama. Lembaga normatif tersebut baik secara
implisit maupun eksplisit, akan menyatakan apa yang baik dan tidak baik
menurut mereka. Tentu saja nilai-nilai yang diberikan oleh orangtua,
misalnya tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh
teman sebaya.
Ke dua, adalah ideologi termasuk agama di dalamnya. Kode etik
profesi juga ada dalam kategori lembaga normatif ke dua ini. Agama,
khususnya bagi bangsa Indonesia memegang peranan yang cukup dominan
dalam memasok nilai-nilai dlam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, adalah superego24 pribadi. Seperti perasaan malu pada diri
seseorang apabila yang berangkutan melakukan suatu perilaku tidak
terpuji. Perasaan malu atau bersalah ini muncul secara spontan, tanpa
melalui proses perenungan terlebih dulu (karena memang telah
22
Franz Magnis-Suseno, Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 91.
23
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:..., Op. Cit., hlm. 49-52.
24
Istilah superego berasal dari Sigmund Freud. Ia juga menyebutkan tiga lembaga yang
memengaruhi struktur kepribadian seseorang, yaitu: (1) id (Es), (2) ego (Ich), dan (3) superego
(Ueberich). Id adalah alam bawah sadar manusia, sedangkan ego adalah aktivator yang
menggerakkan alam bawah sadaritu dengan menghubungkannya dengan realitas. Superego
merupakan internalisasi (pembatinan) dari ego.
20
terinternalisasi dalam diri yang bersangkutan), dan juga bukan karena ada
pihak lain yang telah menegur atau memberi sanksi. Lemaga normatif ke
tiga ini banyak dipengaruhi oleh seberapa jauh kadar kedalaman
keterlibatannya pada lembaga normatif pertama dan ke dua.
H
U
K
U
M
1. Persamaannya adalah :
a) Hukum dan etika sama-sama berfungsi sebgai alat untuk mengatur
tertib hidup dalam masyarakat. Kedua jenis ini sama sama megatur
tertibnya pergaulan antara sesama atau masyarakat.
b) Hukum danetika sama-sama mempelajari dan menjadikan objek
tingkah laku manusia. Kedua jenis ini sama-sama menyoroti
25
Dr. H. Burhanudin salam, Etika Sosial asas moral dalam kehidupan manusia, (Rineka
Cipta), h.129-135
21
tingkah laku warga negara dalam hidup bersama, ada tidaknya
gejala yang mengganggu ketertiban umum.
c) Keduanya memberikan batasan, yaitu batas gerak hak dan
wewenang seseorang dalam pergaulan hidup, supaya jangan saling
merugikan. Hukum negara memberikan sanksi hukuman berupa
penjara, kurangan dan lain sebagainnya bagi pelanggar, sedangkan
hukum etika memberikan sanksi berupa label bahwa orang itu
penjahat.
d) Keduanya bersumber dari pengalaman. Bahwa masing-masing dari
kedua jenis ini menggunakan pengalaman untuk menambah,
mengurangi ketentuan – ketentuan yang ada didalamnya, seperti
halnya pada awal mula tidak ada undang-undang perkawinan tapi
sekarang karena dianggap perlu maka diadakan.
e) Keduanya menggugah kesadaran manusiawi. Kedua jenis ini
menghendaki agar nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi
dihargai dan dijaga, artinya jangan sampai ada yang merugikan dan
dirugikan hak-haknya, sehingga akan tercipta kesadaran manusia
dan menjadi manusia yang baik seutuhnya.
2. Perbedaanya adalah :
a) Hukum negara itu tertulis sedangkan hukum etis itu tidak tertulis.
Hukum negara itu tertulis layaknya KUHP dan lain sebagainya
yang menentukan aturan dan sanksi dalam kehidupan masyarakat
sehingga jelas dan konkrit adanya, meskipun hukum etika tidak
tertulis tapi dia berperan penting karena jauh sebelum seseorang
hendak melakukan kejahatan hukum etika akan berbisik di hatinya
“jangan berbuat jahat kelak kamu akan dicap sebagai penjahat dan
aka dihukum”. Akan tetapi apabila dia melanggar hukum etika
yang berbisik di hatinya, maka bukan hanya hukuman fisik saja
yang dia terima melalui hukuman negara berupa penjara , akan
tetapi di jiwanya terdapat penyesalan dan itu berupa hukuman etika
di dalam dirinya sendiri.
22
b) Pada hukum negara, sifatnya objektif, tegas, hukum etika sifatnya
subjektif, fleksibel/luwes. Dalam KUHP seringkali bunyi pasal
diawali dengan “barang siapa..” yang mengartikan siapa saja .
artinya apabila dia membunuh karena adiknya diperkosa itu akan
tetap dikenakan sanksi penjara meskipun dapat dikurangi karena
keadaan itu, tapi dalam hukum etika bisa saja itu dianggap sebagai
sesuatu yang baik karena mempertahankan kehormatan
keluarganya.
c) Hukum negara bersifat menuntut sedangkan hukum etika bersifat
memberi tuntutan. Hukum negara ditujukan kepada jenis kejahatan
yang dilakukan sedankan sehingga bersifat menuntut karena
memang jenis sanksi berbeda disetiap jenis kejahatan, akan tetapi
beda halnya dengan hukum etika yang memberikan tuntutan
melalui peringatan di hati seseorang yang akan melakukan
kejahatan dengan peringatan berupa bisikan hati bahwa itu
perbuatan jahat maka jangan kerjakan, maka secara tidak langsung
seseorang itu mempunyai tuntutan untuk tidak mengerjakan.
d) Hukum negara memerlukan bukti untuk menjatuhkan vonis, hukum
etika tidak memerlukan bukti fisik. Ketika didepan sidang
pengadilan, jaksa penuntut umum tidak bisa memberikan bukti
konkrit bahwa seseorang itu melakukan tindak kejahatan maka dia
akan terbebas meskipun pada hakikatnya dia melakukan tindakan
itu, lain halnya dengan hukum etika, seseorang yang melakukan
kejahtan baik dia diketahui atau tidak perbuatannya hukum etika
berbisik dihati orang itu bahwa dia adalah penjahat karena
perbuatannya.
e) Hukum negara membutuhkan aparatur negara untuk menegakan
hukum itu, sedang hukum etika tidak memerlukan aparat, artinya
hanya kesadaran jiwanya saja. Hukuman negara akan tegak bila
adany aparatur negara yang menegakannya seperti jaksa, hakim,
polisi, dan lain sebagainya. Ada kalanya meskipun ada aparatur
23
negara akan tetapi masih saja para penjahat lolos dalam sidang
pemeriksaan karena alasan yang didukung oleh ketentuan pasal-
pasal yang mendukungnya juga. Lain halnya dengan hukuman
etika, meski seseorang bisa kabur dari hukuman negara akan tetapi
hukuman etika selalu berbisik bahwa “mau kemana kau pergi
wahai pembunuh, wahai koruptor, wahai hakim yang menerima
suap, wahai pejabat yang menyelewengkan amanah, kau adalah
penjahat dan aku yang menyaksikan kejahatan mu.” Karena
memang hati nurani tidak mengenal sogok dan dusta.
Kemudian setelah menjabarkan perbedaan dan persamaan
antara moral dan hukum disini penulis ingin menyampaikan pemikiran
pemikiran penulis dengan mengutip dan membaca beberapa buku.
Bahwa bila ditelusuri adanya hukum itu pada hakikatnya berasal dari
pada pengalaman manusia, berupa keinginanya untuk aman, untuk
tidak dirugikan, untuk hidup tertib, untuk bisa memenuhi haknya dan
untuk tidak dilanggar haknya, singkatnya adalah manusia
menginginkan keadilan, maka dibentuklah hukum untuk itu. Dari sini
tepatlah apa yang dikatakan di dalam beberapa literatur dan
sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa
cita hukum tidak lain dari pada keadila, artinya hukum lahir dari pada
keadilan yang didambakan oleh manusia. Sekarang mengapa manusia
ingin akan keadilan? Ingin akan ketentraman? Ingin akan ketertiban?
Ingin supaya haknya tidak dirugikan ?, karena memang pada dasarnya
manusia menghendaki mana yang baik dan mana yang buruk, mana
yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk dikerjakan, atau dengan
kata lain hukum moral sudah jauh berbicara dibanding dengan hukum
negara perihal kebaikan dan keburukan, akan tetapi tidak dipungkiri
manusia mempunyai hawa nafsu yang kadang membunuh moralnya,
membunuh suara hatinya padahal susara hati adalah pusat martabat
kemanusiaan sebagai manusia yang utuh (Imanuel Kant ). 26 sehingga
26
G.P Shindunata, dkk, Sesudah Filsafat, ( yogyakarta : kansisus, 2006) h. 42
24
apabila hukum moral tidak dikonkritkan menjadi hukum negara maka
tidak ada sanksi yang pasti. untuk itu lahirlah hukum negara yang
terkodifikasi sebagai alat memenuhi hukum moral yang sudah sejak
awal berbicara. Oleh karenanya antara legalitas dan moralitas sungguh
sulit untuk dipisahkan karena pada hakikatnya mereka adalah dua
kutub magnet antara positif dan negatifnya saling membutuhkan,
artinya adalah untuk membuat suatu legalitas yang baik perlu tentunya
moral yang baik, dan untuk menjalankan legalitas yang baik itu pun
perlu moral yang baik. Sehingga tidak ada lagi UU yang
mementingkan satu pihak saja, dan tidak ada lagi para penjahat yang
melanggar UU yang ada, atau bisa juga tingkat pelanggarannya minim.
25
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moral.
2. Etika dalam hubungannya dengan filsafat dapat dipahami bahwa istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk.
3. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-
kesadaran dan penngalaman moral secara deskriptif sedangkan Etika
normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau
norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan.
4. Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan
sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila
atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika
filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah
laku manusia.
B. Saran
Makalah kami ini belum cukup sempurna, untuk pembaca, jangan
pernah merasa puas dengan makalah kami, harus tetap mencari tahu lagi
tentang materi ini karena cangkupannya luas sekali. Penulis sangatlah
mengharapkan Kritikan maupun saran yang membangun agar makalah
yang kami buat bisa lebih baik dan lebih sempurna lagi. Penulis mohon
maaf bila ada penulisan atau kata-kata yang belum tepat, karena kami pun
masih dalam tahap pembelajaran.
26
DAFTAR PUSTAKA
A, Rachmat. 1992. Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat. Pro Justitia.
A.S, Keraf. 1993. Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi
Luhur. Yogyakarta: Kanisius.
________. 1996. Filsafat Barat Abad XX: Prancis. jilid II. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
27
Shindunata, G.P, dkk. 2006. Sesudah Filsafat. Yogyakarta: Kansius.
Wilujeng, Sri Rahayu. 2016. Filsafat, Etika Dan Ilmu: Upaya memahami
Hakikat Ilmu Dalam Konteks Keindonesiaan. Vol. No. Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro
Yahfizham. 2012. Moral, Etika Dan Hukum: Implikasi Etis Dari Teknologi
Informasi Dan Komunikasi. Vol. 6. No. 1, Fakultas Tarbiyah IAIN-
SU Medan.
28