Anda di halaman 1dari 25

BAHAN KULIAH ETIKA PROFESI HUKUM

A. Pengertian Etika
Pembicaraan tentang etika bagi setiap profesi termasuk profesi hukum berkaitan dengan
norma kehidupan antar manusia, yang sangat erat hubungannya dengan hak asasi manusia
(human rights), hak asasi manusia adalah hak dasar anugerah Tuhan yang melekat sejak lahir.
Esensi etika adalah norma hidup antar manusia supaya manusia yang satu memperlakukan
manusia lainnya sebagai manusia. Demikian juga sebaliknya.
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Ethikos, etos” yang berarti adat,
kebiasaan, praktik1. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk
jamak inilah terbentuk kata Etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal usul kata ini, maka etika berarti
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau, ilmu tentang adat kebiasaan2.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjunya disebut KBBI) Etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Moral
merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari
ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga dan yang
terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan sebagai fungsi kontrol untuk
penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan direalisasikan3.
Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya, setempat yang diyakini
kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Hal tersebut
akan lebih mudah kita pahami manakala mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak
bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk
atau salah karena melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Jadi kata etika dipakai dalam dua pengertian, yaitu:
1. Sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang diterima sebagai pegangan bagi perilaku
masyarakat. Dalam hal ini etika sama artinya dengan moral atau moralitas, seperti dalam
ungkapan “hal itu tidak etis”.

1
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 12
2
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 13
3
A. Purwa hadiwardoyo, Moral dan masalahnya, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal 13
2. Etika adalah ilmu. Etika adalah studi tentang moralitas dan etika dalam arti pertama.
Etika mempelajari kehidupan baik dan buruk dalam arti moral dan menentukan yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus
selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi
etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika
deskriptif. Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang
prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah
kebebasan, tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan
prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun
etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika
sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.
B. Macam-macam Etika
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau pelbagai pendekatan ilmiah tentang
tingkah laku manusia. Ada 3 pendekatan ilmiah tentang moralitas yaitu, etika deskripsi, etika
Normatif dan Metaetika.
1. Etika Deskriptif
Mempelajari dan menguraikan atau mempelajari moral sesuatu masyarakat, kebudayaan dan
bangsa tertentu dalam suatu periode sejarah ia melukiskan adat istiadat, anggapan-anggapan
tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan dan dilarang.
2. Etika Normatif
Secara sistematis berusaha menyajikan serta membenarkan suatu sistem moral. Disini
para ahli tidak bertindak sebagai penonton netral , seperti dalam etika deskriptif tapi ia
melibatkan diri dengan memberikan penilaian tentang perilaku manusia.
3. Metaetika
Erat hubungannya dengan etika normatif. Sampai tahap tertentu etika normatif dan etika
deskriptif mencakup juga kegiatan metaetika. Metaetika adalah studi tentang etika normatif, ia
terkadang disebut etika analitis , karena ia menganalisa. Metaetika mengkaji makna istilah-istilah
moral dan logika dari penalaran moral.
C. Fungsi Etika
Pada dasarnya etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar bisa
mencapai tujuan hidupnya. Fungsi utama etika yaitu untuk membantu kita mencari orientasi
secara kritis dalam berhadapan dengan berbagai moralitas yang mungkin membingungkan bagi
seseorang. Fungsi ini berangkat dari rumusan etika adalah pemikiran sistematis tentang
moralitas, dan dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan sesuatu pemikiran yang
lebih mendasar dan kritis4.
Fungsi etika juga memegang peranan penting. Pendidikan profesional tidak lengkap tanpa
pendidikan mengenai tanggung jawab dan etika profesional tersebut. Menurut Magnis Suseno
etika adalah pemikiran sistemmatis tentang moralitas ,dan yang dihasilkan secara langsung
bukan kebaikan melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis F.Magnis Suseno
menyatakan ada empat alasan yang menlatarkan belakanginya.
1. Etika dapat membantu dalam mengali rasionalitas dan moralitas agama,seperti mengapa
Than memerintahkan ini bukan itu
2. Etika membantu dalam mengintterprestasikan ajaran agama yang saling bertentangan
3. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah masalah baru
dalam kehidupan manusia
4. Etika dapat membantu mengadakan diaolog antar agama karena etika memndasarkan
pada rasionallitas bukan wahyu
D. Pengertian Profesi Hukum
Profesi dalam kamus besar bahasa indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Jenis profesi yang dikenal
antara lain : profesi hukum, profesi bisnis, profesi kedokteran, profesi pendidikan (guru).
menurut Budi Santoso ciri-ciri profesi adalah :
1. Suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang
dan diperluas.
2. Suatu teknis intelektual.
3. Penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis.
4. Suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi.
5. Beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan.
6. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri.

4
Franz magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, hal 23
7. Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan
kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota.
Dalam sistematika etika sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, menurut hemat
penulis, dapatlah diketahui bahwa etika profesi termasuk dalam bidang kajian etika sosial yakni
etika yang mebicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat masyarakat.
Lalu apakah yang dikatakan profesi itu sendiri? Dan bagaimana dengan kata bekerja,
apakah berbeda dengan profesi? Profesi berbeda dengan pekerjaan. Sebelum kita mempersoalkan
tentang hakikat profesi, terlebih dahulu perlu diungkapkan bahwa manusia sendiri adalah
makhluq yang senang bekerja. Pengertian berkerja di sini harus ditafsirkan secara luas, tidak
hanya dalam arti fisik, tetapi juga psikis.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta menyimpulkan bahwa bekerja merupakan kebutuhan
bagi setiap manusia, khususnya bagi manusia yang memasuki usia produktif. Dengan bekerja
manusia akan memperoleh kepuasan dalam dirinya. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang ingin
dicapai oleh manusia atas pekerjaan, semakin keras upaya yang diperlukan, dengan kata lain
bahwa pekerjaan yang mendatangkan kepuasan yang tinggi itu menuntut persyaratan yang tinggi
pula lalu semakin tinggi tuntutan persyaratannya, semakin psikis pula sifat pekerjaannya 5.
Persyaratan-persyaratan yang dilekatkan kepada pekerjaan itu pula yang menyebabkan suatu
pekerjaan mempunyai bobot kualitas berbeda dengan pekerjaan lain sehingga dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi persyaratan suatu pekerjaan maka semakin berkualitas pekerjaan tersebut.
Nah, nilai kualitas pekerjaan yang tertinggi itulah yang disebut dengan profesi.
Profesi hukum adalah profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang
memungkinkan manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu tergantung
pada kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan adalah
kebutuhan dasar manusia; dan Keadilan merupakan Nilai dan keutamaan yang paling luhur serta
merupakan unsur esensial dan martabat manusia.
Pengemban profesi hukum itu mencakup 4 (empat) bidang karya hukum, yaitu:
a. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan yang melibatkan profesi hakim,
Advokat, dan Jaksa);
b. Pencegahan konflik (perancangan hukum);

5
Soerjanto Poespowardojo, menuju kepada manusia seutuhnya dalam bunga rampai sekitar manusia, gramedia,
Jakarta, 1994, hal 72
c. Penyelesaian konflik secara informal (mediasi, negoisasi); dan
d. Penerapan hukum di luar konflik.
Profesi hukum di Indonesia meliputi semua fungsionaris utama hukum seperti Hakim,
Jaksa, Advokad, Notaris, Kepolisian dan Jabatan lain. Apabila terjadi penyimpangan atau
pelanggaran kode etik, maka mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai
dengan tuntukan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi ada dewan kehormatan yang akan
mengoreksi pelanggaran kode etik.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan
perkembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur.
Frans Margins Suseno (1975) mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang
mendasari keperibadian profesional hukum.
1. Kejujuran
2. Otentik
3. Bertanggung jawab
4. Kemandirian moral
5. Keberanian moral
Untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum merupakan sarana yang
mewujud dalam berbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum.
Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu
sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah-kaidah
hukumnya serta penegakannya merupakan produk dari perjuangan manusia dalam upaya
mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam dinamika kesejahteraan manusia, hukum dan tata
hukumnya tercatat sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam proses pengadaban dan
penghalusan dari budi manusia.
Pengemban profesi hukum memiliki dan menjalankan otoritas profesional yang bertumpu
pada kompetensi teknikal yang lebih superior. Sedangkan masyarakat yang tersandung masalah
hukum dan bersinggungan dengan profesi tersebut tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak
berada dalam posisi untuk menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi tekhnikal pengemban
profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, masyarakat yang tersandung masalah
hukum dan bersinggungan dengan profesi tersebut berada dalam posisi tidak ada pilihan lain
kecuali untuk mempercayai pengemban profesi terkait. Mereka harus mempercayai bahwa
pengemban profesi akan memberi pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat
serta tidak akan menyalahgunakan situasinya, melainkan secara bermartabat. Dan, secara
bermartabat akan mengarahkan seluruh pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam
menjalankan jasa profesionalnya.
E. Penegak Hukum
1. Arti penegak hukum
Pengertian penegak hukum dapat dirumuskan sebgai usaha melaksanakan hukum sebgai
mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran
memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakan kembali. Penegakan hukum dilakukan
dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:
1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbut lagi
(percobaan);
2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);
3. Penyisihan atau pengecualian (pencabutan hak-hak tertentu);
4. Pengenaan sanksi badan (pidana, penjara, pidana mati);
Dalam pelaksanaannya tugas penegekan hukum, penegakan hukum wajib menaati norma-
norma yang telah ditetapkan. Notohamidjojo menggunakan empat norma yang penting dalam
penegakan hukum, ytaitu: kemanusiaan, keadilan, kepatautan, dan kejujuran.
a. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut agar dalam penegakan hukum manusia senantiasa
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki keluhuran pribadi. Dihadapan hukum, manusia
harus dimanusiakan, artrinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi
dan sekaligus sebagai mahlik social. Martabat manusia yang terkandung didalam hak-hak
manusia menjadi prinsip dasar hukum, yaitu dasar kenmanusiaan dal adil dan beradab.
Manusia menuntut kodratnya adalah baik, namun kondisi hidup yang kadangkala memaksa
manusia berbuatrjahat-justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Untuk mempertahankan
hidup, maka dia mencuri hak orang lain walaupun dia sadar bahwa mencuri hak orang lain itu
dilarang oleh hukum positif. Menurut pertimbangannya, daripada mati kelaparan lebih baik
bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang harus dipertahankan.
b. Keadilan
Menurut Thomas Aquinas, keadilan adalah kebiasaan untuk memberikan kepada orang
lain apa yang menjadi haknya berdasarkan kebebasan kehendak. Kebebasan kehendak itu ada
pada setiap manusia. Hak dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat. Adanya hak
mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap manusia melekat pada kodrat manusia itu
sendiri, bukan semata-mata berasal dari luar diri manusia . jadi, adanya hak itu dapat diketahui
dari dua sisi. Pada satu sisi hak itu melekat pada diri karena kodrat manusia, sedangkan pada sisi
lain hak itu merupakan akibat hubungan dengan pihak lain melalui kontrak, keputusan hukum.
Hak karena kodrat bersifat mutlak, sedangkan hak karena kontrak, keputusan hukum bersifat
relative.
Hak pada sisi pertama sering disebut hak kodrat yang berasal dari hukum kodrat (ius
naturale). Hak pada sisi lainnya disebut hak kontrak yang berasal dari hukum positif. Thomas
aquinus menyatakan bahwa segala sesuatu yang bertentengan dengan hak kodrat selalu dianggap
tidak adil. Manusia mempunyai hak kodrat yang berasal dari tuhan, tetapi juga mempunyai
kewajiban kodrat terhadap orang lain. Apabila hak kodrat itu dijelmakan kepada hukum positif,
maka segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum positif selalu dianggap tidak adil.
Keadilan merupakan salah satu bentuk kebaikan yang menuntun manusia dalam
berhubungan sesama manusia. Seorang disebut adil bila mengakui orang lain sebagai orang
yang mempunyai hak yang seharusnya dipertahankan atau diperolehnya. Keadilan juga dapat
dalam bentuk kewajiban, sebagai hutang yang harus dibayar kepada orang lain. Sanksi pidana
terhadap pelaku kejahatan berfungsi sebagai pembayaran kembali untuk memulihkan
pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi mengalihkan keadilan
yang dirusak oleh pelaku kejahatan. John Kaplan seperti dikutip oleh muladi dan barda nawawi
menyatakan, pemidanaan mengandung arti bahwa hutang penjahat telah dibayar kembali.
c. Kepatutan (equity)
Pada dasarnya kepatutan merupakan suatu koreksi terhadap keadilan legal. Keadilan legal
adalah keadilan yang menerbitkan hubungan antara individu dan masyarakat atau Negara. Yang
diperlukan oleh manusia adalah koreksi atau perhatian khusus kepada dirinya. Kepatutan
memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadaan manusia individual dalam penerapan
keadilan, kepatutan merupakan kebaikan yang menggerakan manusia untuk berbuat secara
rasional dan menggunakan keadilan. Kepatutan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum
terutama dalam situasi dan kondisi khusus. Dengan menggunakan kepatutan, hubungan yang
meruncing antara manusia dikembalikan kepada proporsi yang sewajarnya.
d. Kejujuran
Penegak hukum harus jujur dalam menegakan hukum atau melayani pencari keadilan dan
menjauhkan diri dari perbuatan curang. Kejujuran berkaitan dengan kebenaaran, keadilan,
kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dn ketulusan pribadi seseorang yang sadar
akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran
mengarahkan penegakan hukum agar bertindak benar, adil, dan patut. Kejujuran adalah kendali
untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati
nurani (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut hati nurani. Benar
menurut akal diterima oleh hati nurani.
Penegak hukum yang jujur melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, dan itu menurut
pertimbangannya adalah baik. Kejujuran itu dibuktikan oleh:
1. Perbuatan rasional (benar);
2. Pelayanan terhadap pencari keadilan manusiawi (beradab);
3. Bicaranya lemah lembut dan ramah (sopan);
4. Wanita diperlakukan secara wajar dan sopan (senonoh);

F. Kode etik Profesi Hukum


Etika atau kode etik profesi hukum adalah norma moral yang harus ditaati oleh mereke
yang berprofesi dibidang hukum. Untuk membuat hukum yang baik diperlukan oleh orang-orang
yang memiliki moral dan etika yang baik. Demikian juga untuk melaksanakan dan
penegakkannya. Beberapa contoh bidang-bidang profesi penegak hukum antara lain:
1. Kode etik Hakim
Kode etik profesi hakim adalah norma etika yang berlaku dan harus ditaati oleh hakim,
organisasi ini dibuat oleh organisasi mereka yang berprofesi sebagai hakim, yaitu Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), dalam munas IKAHI VIII di Bandung tanggal 30 Maret 2001 diputuskan
profesi kode etik hakim Indonesia. Dalam kode etik tersebut antara lain dinyatakan:
a. Kode etik profesi hakim dan pedoman tingkah laku
b. Maksud dan tujuan
c. Sifat hakim
d. Sikap hakim
e. Kewajiban dan larangan hakim
f. Komisi Kehormatan profesi hakim
g. Sangsi
h. Pemeriksaan

1. Kode Etik Polisi


Etika Kepolisian
a. Pengertian
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait dengan norma dan
nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat. Sedang pengertian kepolisian pada
intinya adalah aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum
,keselamatan dan keamanan masyarakat. Jadi Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku
polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak
hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.
b. Aplikasi
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi,
sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan
tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia
dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Etika
kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan
baik.
Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya, walaupun
usianya lebih tua. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang
dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, antara
Negara yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan
kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya
polisi (Police Cultura) yang dominant pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya.
Kecendrunga itu antara lain :
- Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian hasil optimal (efektifitas),
sehingga sering mengabaikan efisiensi.
- Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga, sehingga harus bertanya dengan detail.
Sedangkan sikap curiga ini mengandung makna waspada dengan dasar pengertian
etika.
- Disatu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak jujur, tidak professional, di pihak lain
banyak petunjuk bahwa polisi harus mendukung dan menunjukkan solidaritas
pada lingkungan.
- Pragmatisme yang banyak mendatangkan keberhasilan, sering membuai polisi
dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu sendiri.
c. Pengembangan Etika Kepolisian
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk
agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
- Membangun masyarakat
Mewujudkan masyarakat yang mampu berbuat etis tidaklah mudah, karena harus
memperhitungkan segenap unsur pendukung eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan
mengasumsikan bahwa terdapat banyak dimensi prilaku masyarakat yang baik dan mendukung
etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak dimensi itu yang paling signifikan bagi
pelaksanaan tugas polisi adalah berupa dimensi hokum, kepatuhan mereka kepada hokum dan
sikap menolak gangguan keamanan atau pelanggaran hukum.
Dari hukum yang baik itulah, etika atau prilaku masyarakat yang terpuji dapat terbentuk,
yang pada gilirannya akan mengembangkan aplikasi etika kepolisian.
- Membentuk polisi yang baik
Bibit-bibit atau calon polisi yang baik adalah dididik, dilatih, diperlengkapi dengan baik
dan kesejahteraan yang memadai. Calon yang baik hanya dapat diperoleh dari masyarakat yang
terdidik baik, persyaratan masuk berstandar tinggi, pengujian yang jujur dan fair (penuh
keterbukaan), dan bakat yang memadai berdasarkan psikotes.
- Membentuk pimpinan polisi yang baik
Pada dasarnya, sama dan serupa dengan proses membentuk individu polisi yang baik
diatas. Namun, untuk pimpinan yang berstatus perwira harus dituntut standar yang lebih tinggi.
Semakin tinggi pangkatnya maka semakin tinggi pula standar persaratannya, khususnya unsur
kepemimpinannya.
d. Kode Etik
Prof.djoko Soetono, SH dalam pidatonya di Ploron dengan judul “Tri Brata,
Mythos,Logos,Etos,Kepolisian Negara RI dan kalau di sarikan mengandung pokok-pokok
pemikiran yang sejalan dengan pokok pikiran Don L.Kooken dalam bukunya “Ethis in
PliceService” yang berpendapat bahwa Etika Kepolisian itu tidak mungkin dirumuskan secara
universal semua dan berlaku sepanjang masa maka, rumusannya akan berbeda satu dengan yang
lain. Namun suatu Kode Etik kepolisian yang baik adalah rumusan yang mengadung pokok
pikiran sebagai berikut :
1. Mengangkat kedudukan profesi kepolisian dalam pandangan masyarakat dan untuk
memperkuat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian.
2. Mendorong semangat polisi agar lebih bertanggung jawab.
3. Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari masyarakat pada tugas-
tugas kepolisian.
4. Mengalang suasana kebersamaan internal kepolisian untuk menciptakan pelayanan yang
baik bagi mayarakat.
5. Menciptakn kerjasama dan kordinasi yang harmonis dengan sesama aparat pemerintah
agar mencapai keuntungan bersama(sinegi).
6. Menempatkan pelaksanaan tugas polisi sebagai profesi terhormat dan memandang
sebagai sarana berharga dan terbaik untuk mengabdi pada masyarakat.
Pokok pikiran ini dinilai sebagai cita-cita yang tinggi dan terhormat bagi kepolisian,
dasar da pola piker pemikiran yang diangap bersifat universal. Sehingga Internasional
Association of Chief of Police (IACP) atau Asosiasi Kepala-Kepala Kepolisian Iternasional yang
selalu mengadaknan pertemuan rutin setiap tahun di Amerika Serikat, menganggap masalah ini
penting untuk dibahas dan disepakati untuk dijadikan pedoman perumusan Kode Etik
Kepolisian, IACP, FBI, dan The Peace Officers Association of The State of California Inc
(Persatuan Petugas Keamanan California) mensepakati dijadikan pokok-pokok pikir pedoman,
namun namun rumusan akhirnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan instansi
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn sarana untuk :
1. Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian
dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
2. Mencapai sukses penugasan
3. Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
4. Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan
berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.
2. Kode etik Jaksa
Sebagai pelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai jaksa berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep/074/j.a.7/1978 tanggal 17 Juli 1978 disahkan Panji
Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambang cita-
cita kejaksaan dan pengikat jiwa korps kejaksaan. Pada panji tersebut terdapat lambang korps
kejaksaan.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur
dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas
moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita
akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika
setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga
dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin
dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam
memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang
penegakan hukum.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin
tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan jaksa
agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Dalam kode perilaku jaksa antara lain disebut:
a. Kewajiban pasal (3)
b. Mentaati kaidah hokum, peraturan perundang-undang dan peraturan kedinasan yang
berlaku
c. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang
diatur dalam KUHAP.
d. Berdasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan kebenaran
e. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ ancaman, opini public secara langsung
atau tidak langsung
f. Bertindak secara objektif dan tidak memihak
g. Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa
maupun korban
h. Membangun dan memelihara hubungan antara aparat penegak hokum dan mewujudkan
system peradilan pidana terpadu
i. Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau financial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung
j. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan
k. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
l. Menghormati dan melindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan
sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undang dan instrument hak asasi
manusia yang diterima secara universal.
m. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana
n. Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan
o. Yang bertanggung jawab secara eksternal kepada public sesuai dengan kebijakan
pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran
b. Larangan (pasal 4)
Dalam menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
- Menggunakan jabatan dan atau kekuasaanya untuk kepentingan pribadi atau pihak
lain
- Merekayasa fakta-fakta hokum dalam penanganan perkara
- Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik
atau dan psikis
- Meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan serta melarang
keluarganya meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan sehubungan
dengna jabatannya
- Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau
mempunyai hubungan pekerjaan, partai, atau financial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung
- Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun
- Membentuk opini public yang dapat merugikan kepentingan kepenegakan hokum
- Memberikan keterangan kepada public kecuali terbatas pada hal-hal teknis
perkara yang ditangani
1) Sanksi
Jaksa yang melanggar akan diberikan sanksi yang sesuai dengan pasal 5, yaitu;
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa terhadap Kode Perilaku Jaksa dapat berupa tidak
melaksanakan kewajiban dan/atau melakukan perbuatan yang dilarang. Jaksa yang tidak
melaksanakan kewajiban dan/atau melakukan perbuatan yang dilarang dapat dijatuhi
tindakan administratif.
(2) Penjatuhan tindakan administratif kepada Jaksa berdasarkan Kode Perilaku Jaksa tidak
menghapuskan pemberian sanksi pidana, antara lain berdasarkan KUHP, Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi, dsb; pemberian sanksi berdasarkan Undang-Undang
Kejaksaan dan turunannya serta pemberian hukuman disiplin pegawai negeri berdasarkan
PP 30 Tahun 1980.
(3) Tindakan administratif berupa pembebasan dari tugas-tugas Jaksa berarti pencabutan
segala wewenang yang melekat pada fungsi Jaksa.
(4) Tindakan administartif berupa pengalihtugasan pada satuan unit kerja yang lain
maksudnya adalah pengalihtugasan pada satuan unit kerja yang kelasnya lebih rendah
paling singkat selama 1 (satu) tahun, dan paling lama 2 (dua) tahun. Setelah masa
menjalani tindakan administratif selesai, maka Jaksa yang bersangkutan dapat
dialihtugaskan lagi ketempat yang setingkat dengan pada saat sebelum menjalani
tindakan administrative.
2. Kode Etik Advokat
Adokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan. Hak Imunitas Advokat adalah hak advokat yang tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk
kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Hak atas informasi dalam menjalankan
profesinya advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi
pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan untuk pembelaan kepentingan lainnya.
Advokat dalam menjalankan tugas dilarang membeda-bedakan karena jenis kelamin,
agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Advokat tidak dapat
diidentikan dengan kliennya dalam membela perkara kliennya. Advokat wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahui dari kliennya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Advokat berhak atas kerahasian hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas
dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas
komunikasi elektronik. Advokat juga wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
diberitahukan oleh klien, dan tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara
advokat dan kliennya.
Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas
dan martabat profesinya. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan
kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Advokat yang menjadi pejabat negara tidak
melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.
3. Kode Etik Notaris
Dasar hukum mengenai keberadaan Notaris/lembaga notariat terdapat pada Buku Ke-
empat KUH Perdata tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa. Dikenal adanya alat bukti tertulis,
alat bukti tertulis yang paling kuat adalah berbentuk akta otentik.
Yang dimaksudkan dengan akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata) adalah suatu akta
yang didalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai / pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik ini ditentukan, dengan undang-undang.
Notaris diatur dalam NOTARIS REGLEMENT S. 1860 No. 3 yang menggantikan Instructie
voor Notarissen in Indonesia S. 1822 No. 11. Yang disebut NOTARIS adalah pejabat umum
yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan, dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan prosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pada
pejabat atau orang-orang lain.
Inti tugas Notaris sebagai Pejabat Umum adalah mengatur secara tertulis dan autentik
hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa-jasa notaris,
yang pada asasnya sama dengan tugas hakim memberi putusan tentang keadilan para pihak yang
bersengketa.
Notaris merupakan jabatan bebas dari pengaruh tekanan, maka jabatan notaris diangkat
oleh kepala negara. Notaris dalam membuat grosse akta tertentu dicantumkan kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini membawa konsekwensi mempunyai
kekuatan eksekutorial.
G. Upaya penegakan hukum pelanggaran kode etik terhadap penegak hukum
Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tetapi tidak mempunyai sangsi yang
keras. Keberlakuan kode etik porfesi semata-mata berdasarkan moral anggota profesi, berbeda
dengan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa dan dibekali dengan
sangsi yang keras. Jika seseorang tidak patuh kepada peraturan perundang-undangan dia akan
dikenai sangsi oleh negara, karena tidak mempunya sangsi keras, maka pelanggar kode etik
profesi tidak merasakan akibat dari perbuatannya. Malahan dia merasa seperti tidak apa-apa dan
tidak berdosa.
Sering terjadinya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena
beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat maupun
karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, disamping sifat manusia yang konsumerisme
dan imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Atas dasar faktor tersebut,
maka dapat di jabarkan hambatan penegakan etika profesi hukum, Antara lain:
1. Pengaruh sifat kekeluargaan
2. Pengaruh jabatan.
3. Pengaruh konsumerisme.
4. Karena lemah Iman.
5. Pengaruh sifat kekeluargaan
Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang sama terhadap
anggota keluarga dan ini dipandang adil, berbeda dengan perlakuan terhadap orang bukan
keluarga. Hal ini berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik
profesi, yang seharusnya memberikan perlakuan yang sama terhadap klien.
2. Pengaruh jabatan
Seyogyanya, salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat kepada atasan.
Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seorang hakim memegang dua fungsi sebagai
pegawai negeri sipil dan sebagai hakim. menurut kode etik hakim, hakim memutus perkara
dengan adil tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.
Perkara yang diperiksa oleh hakim diatas ternyata ada hubungan dengan seorang pejabat
yang atasannya sendiri. Dalam kasus ini disatu pihak hakim cenderung hormat kepada atasan dan
bersedia membela atasan sebab jika tidak mungkin hakim tersebut akan dipersulit naik pangkat
atau dimutasikan. Dilain pihak, pejabat mempunyai pengaruh terhadap bawahan dan karena itu
mengirim nota pada hakim agar menyelesaikan perkara tersebut dengan sebaik-baiknya yang
berkonotasi pada membela atasan. Seharusnya hakim berlaku adil dan tidak memihak, namun
ternyata memihak atasannya. Dalam hal ini kode etik profesi di abaikan oleh profesional.
Seharusnya masalah
3. Pengaruh Konsumerisme
gencarnya perusahaan-perusahaan mempromosikan produk mereka melalui iklan media
masa akan cukup berpengaruh terhadap peningkstsn kebutuhan yang tidak sebanding dengan
penghasilan yang diterima oleh penegak hukum. Hal ini mendorong penegak hukum berusaha
memperoleh penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional, yaitu
dengan mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya.
Seharusnya pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan kerja
ekstra apa saja yang dapat menjadi sumber penghasilan tambahan baik berkenaan dengan profesi
maupun diluar profesi. Kerja keras adalah konsep manusia dan ini menjadi lambang martabat
manusia. Hal ini merupakan sumber penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi.
4. Pengaruh lemah Iman
Salah satu syarat menjadi profesional adalah takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-NYA. Ketakwaan ini adalah dasar moral manusia,
jika manusia mempertebal iman dan takwa maka didalam diriakan tertanam modal yang menjadi
rem untuk berbuat buruk, dengan takwa manusia semakin sadar bahwa kebaikan akan dibalas
dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Dengan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan
tergiur dengan berbagai macam bentuk materi disekitarny. Dengan iman yang kuat kebutuhan
materi akan dipenuhi secara wajar dan itulah kebahagiaan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kode etik profesi adalah bagian dari hukum positif,
tetapi tidak memiliki upaya memaksa yang keras. Hal ini merupakan kelemahan kode etik
profesi bagi aparat penegak hukum yang lemah iman. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka
upaya alternatif yang dapat ditempuh ialah memasukkan upaya pemaksa yang keras kedalam
kode etik profesi. Alternatif tersebut dapat di tempuh dengan dua cara, yaiu dengan memasukkan
klausul atau kedudukan pada hukum positif undang-undang didalam rumusan kode etik profesi.
Atau legalisasi kode etik profesi melalui pengadilan Negeri setempat.
a. Klausula Penundukkan pada Undang-Undang
Setiap Undang-undang mencantumkan dengan tegassangsi yang diancamkan kepada
pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain selain
taat, jika terjadi pelanggaran berati warga yang bersangkutan bersedia dikenai sangsi yang cukup
memberatkan atau merepotkan baginya.
b. Legalisasi Kode etik profesi
Kode etik profesi adalah semacam perjanjian bersama semua anggota bahwa mereka
berjanji untuk memenuhi kode etik yang telah dibuatkan bersama. Dalam rumusan kode etik
tersebut dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh
dewan kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk
memperoleh legalisasi ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua
pengadila negeri setempat agar kode etik tersebut di sah kan dengan akta penetapan pengadilan
yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk mematuhi kode etik terbut. Jadi,
kekuatan berlaku dan mengikat. Apabila ada yang melanggar kode etik maka dengan surat
perintah, pengadilan memaksakan pemulihan itu.
4. Kode Etik Hakim
a. Teori Kode Etik Profesi Hakim
Sebagai seorang hakim, maka ia dianggap sudah mengetahui hukum. Inilah yang
dimaksud dari asas hukum Ius curia novit. Seorang hakim dituntut untuk dapat menerima dan
mengadili berbagai perkara yang diajukan kepadanya. Bahkan seorang hakim dapat dituntut jika
menolak sebuah perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini juga diatur dalam Algemene
Bepalingen van Wetgeving, pasal 22 dan pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara
perdata secara perdamaian.
Jika seorang hakim tidak dapat menolak sebuah perkara yang belum ada hukumnya atau
karena hukumnya yang tidak/kurang jelas, bagaimanakah dia akan mengadili kasus tersebut?
Apakah yang menjadi dasar bagi seorang hakim untuk mengadili perkara tersebut? Pertanyaan-
pertanyaan seperti inilah yang akan coba dijawab dalam pembahasan ini.
Hal pertama yang perlu kita ketahui ialah bahwa sebagai seorang penegak hukum , maka
seorang hakim mempunyai fungsi yang penting dalam menyelesaikan sebuah perkara, yakni
memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Namun dalam memberikan putusan tersebut,
hakim itu harus berada dalam keadaan yang bebas. Bebas maksudnya ialah hakim bebas
mengadili, tidak dipengaruhi oleh apapun atau siapapun.hal ini menjadi penting karena jika
hakim memberikan putusan karena dipengaruhi oleh suatu hal lain diluar konteks perkara maka
putusan tersebut tida mencapai rasa keadilan yang diinginkan,.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang hakim, terdapat beberapa sayarat yang
harus dipenuhi oleh sorang hakim. Syarat-syarat tersbut ialah tangguh, terampil dan tanggap.
Tangguh artinya tabah dalam menghadapi segala keadaan dan kuat mental, terampil artinya
mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih
berlaku, dan tanggap artinya dalam melakukan pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan
cepat, benar serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.
Atas dasar persyaratan-persyaratan tersebut, pada tahun 1986 diadakan Rapat Kerja Para
Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibawah pimpinan Mahkamah Agung. Hasil
dari rapat tersebut ialah kode kehormatan hakim. Kode kehormatan hakim inilah yang menjadi
kode etik bagi setiap hakim yang ada di Indonesia. Kemudian pada tanggal 23 bulan maret tahun
1988, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) menyetujui kode kehormatan hakim tersebut.
Persetujuan ini menjadi pengokohan terhadap kode kehormatan hakim tersebut.
Kode kehormatan hakim tersebut berisi sikap batin dan lahiriah yang harus ditaati oleh
seorang hakim atau biasa disebut dengan tri prasetya hakim. Tri prasetya hakim inilah yang
menjadi dasar bagi seorang hakim dalam memberikan sebuah putusan terhadap sebuah perkara.
Isi dari tri prasetya hakim tersebut ialah :
1. Janji Hakim.
“Saya berjanji :
a. Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat hakim
Indonesia;
b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan akan berpegang teguh pada Kode
Kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa saya bersedia menerima sanksi, apabila saya mencemarkan citra, wibawa
dan martabat hakim Indonesia.
2. Pelambang atau Sifat Hakim.
a. Kartika = Percaya (Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa), artinya
percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
b. Cakra = Adil (Senjata ampuh dari Dewan Keadilan yang mampu memusnahkan segala
kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan). Jadi didalam kedinasan seorang hakim harus :
1). Adil.
2). Tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak).
3). Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
4). Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani.
5). Sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan.
Sedangkan di Luar Kedinasan seorang hakim harus :
1). Saling harga menghargai.
2). Tertib dan Lugas.
3). Berpandangan luas.
4). Mencari saling pengertian.
1. Candra (Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam
kegelapan) berarti Bijaksana atau Berwibawa.
Didalam Kedinasan :
1). Berkepribadian.
2). Bijaksana.
3). Berilmu.
4). Sabar.
5). Tegas.
6). Disiplin.
7). Penuh pengabdian pada pekerjaan.
Diluar kedinasan.
1). Dapat dipercaya.
2). Penuh rasa tanggung jawab.
3). Menimbulkan rasa hormat.
4). Anggun dan berwibawa.
1. Sari (Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi luhur
atau berkelakuan tidak tercela.
Didalam Kedinasan :
1). Tawakal
2). Sopan
3). Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas.
4). Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan).
5). Tenggang rasa.
Diluar Kedinasan :
1). Berhati-hati dalam pergaulan hidup
2). Sopan dan susila
3). Menyenangkan dalam pergaulan
4). Tenggang rasa
5). Berusaha menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.
1. Tirta = air (yang membersihkan segala kotoran didunia) yang mensyaratkan hakim harus
jujur.
Didalam kedinasan :
1). Jujur
2). Merdeka = berdiri diatas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-
bedakan orang.
3). Bebas dari pengaruh siapapun juga.
4). Sepi ing pamrih.
5).Tabah.
Diluar Kedinasan :
1). Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
2). Tidak boleh berjiwa mumpung
3). Waspada.
3. Sikap Hakim.
Pegangan mengenai sikap hakim dibedakan dalam 2 (dua) bidang yaitu :
1. Dalam Kedinasan, dibagi dalam 6 bagian :
1). Sikap hakim dalam persidangan;
(a). Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang
berlaku.
(b). Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau anti pati
terhadap pihak-pihak yang berperkara.
(c). Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan
maupun perbuatan.
(d). Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.
2). Sikap hakim terhadap sesama rekan;
(a). Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan.
(b). Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.
(c). Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim.
(d). Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan.
3). Sikap hakim terhadap bawahan/pegawai;
(a). Harus mempunyai sifat kepemimpinan terhadap bawahan.
(b). Membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan.
(c). Harus mempunyai sifat sebagai seorang bapak/Ibu yang baik terhadap bawahan.
(d). Memelihara kekeluargaan antara bawahan dengan hakim.
(e). Memberi contoh kedisiplinan terhadap bawahan.
4). Sikap hakim terhadap atasan;
(a). Taat kepada pimpinan atasan.
(b). Menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan oleh atasan dengan jujur dan iklas.
(c). Berusaha memberi saran-saran yang membangun kepada atasan.
(d). Mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan / mengemukakan pandapat kepada atasan
tanpa meninggalkan norma-norma kedinasan.
(e). Tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
5). Sikap Pimpinan terhadap sesama rekan hakim;
(a). Harus memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya.
(b). Membimbing bawahan dalam pekerjaan untuk memperoleh kemajuan.
(c). Harus bersikap tegas, adil serta tidak memihak.
(d). Memberi contoh yang baik dalam perikehidupan, didalam maupun diluar dinas.
6). Sikap hakim keluar/terhadap instansi lain.
(a). Harus memelihara kerjasama dan hubungan yang baik dengan instansi-instansi lain.
(b). Tidak boleh menonjolkan kedudukannya.
(c). Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.
(d). Tidak menyalahgunakan wewenang dan kedudukan terhadap instansi lain.
1. Diluar Kedinasan, dibagi dalam 3 bagian :
1). Sikap pribadi hakim sendiri;
(a). Harus memiliki kesehatan rohani dan jasmani.
(b). Berkelakuan baik dan tidak tercela.
(c). Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
(d). Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat.
(e). Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
2). Sikap dalam rumah tangga;
(a). Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan yang tercela, baik menurut norma-norma hukum
kesusilaan.
(b). Menjaga ketentraman dan keutuhan rumah tangga.
(c). Menyesuaikan kehidupan runah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.
(d). Tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
3). Sikap dalam Masyarakat.
(a). Selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat.
(b). Dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong royong.
(c). Harus menjaga nama baik dan martabat hakim.
Sedangkan sikap-sikap lahiriah dari hakim sebagai seorang pemimpin persidangan, yaitu :
1. Ing Ngarso Sung Tulodo.
2. Ing Madyo Bangun Karso.
3. Tut Wuri Handayani.
Agar sifat-sifat dan sikap-sikap hakim sebagaimana dikemukakan diatas dapat terwujud,
diperlukan pembinaan jiwa korps hakim, yang meliputi :
1. Hakim harus memegang teguh rahasia jabatan korps;
2. Dilarang memakai nama korps untuk kepentingan pribadi atau golongannya;
3. Hakim harus memupuk rasa setiakawan dan kekeluargaan.
Hal-hal tersebut menjadi kode etik profesi hakim yang harus ditaati. Namun ada
pertanyaan lain yang muncul setelah kita membahas tentang kode etik tersebut. Pertanyaan itu
ialah siapakh yang mengawasi pelaksaan kode etik tersebut? Apakah tindakan yang akan
dilakukan jika ada pelanggaran terhadap kode etik tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga akan coba dijawab dalam pembahasan ini. Sebab
sebagai sebuah pembahasan kode etik hakim, sangat penting juga untuk membahas pengawasan
terhadap kode etik hakim tersebut. Dalam melaksanakan kode etik profesi hakim, dibentuklah
majelis kehormatan hakim. Majelis kehormatan hakim ini diadakan pada tingkat mahkamah
agung dan pengadilan tinggi. Tugasnya ialah:
1. Menegakkan ketentuan-ketentuan dalam Kode Kehormatan Hakim baik secara preventif,
maupun secara Represif. Keputusan di dalam Majelis berdasarkan kebijaksanaan dengan
mengutamakan cara musyawarah. Diupayakan jangan sampai terjadi suatu pelanggaran
terhadap kode kehormatan (lebih baik pencegahan), jika terjadi pelanggaran dilakukan
tindakan rehabilitasi dan usaha-usaha perlindungan.
2. Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah Agung menyelesaikan soal-soal yang
menyangkut seorang hakim agung atau hakim tinggi.
3. Majelis Kehormatan Hakim pada Pengadilan Tinggi menyelesaikan soal-soal yang
menyangkut seorang hakim pengadilan negeri.
Dalam menjalankan pengawasan terhadap hakim sebenarnya terdapat lembaga-lembaga
lainnya, yakni lembaga pengawasan internal dan lembaga pengawasan eksternal. Lembaga
internal terdiri dari, WASKAT, WASNAL, dan Majelis kehormatan hakim. Sedangkan
pengawasan eksternal dilakukan oleh dewan kehormatan hakim.
Sedangkan sanksi bagi hakim yang melanggar kode etiknya ialah sebagai berikut :
1. Memberikan rekomendasi jika ada laporan hakim tersebut melakukan perbuatan atau
tindakan yang melanggar kode etik, adalah dengan melakukan Mutasi terhadap hakim
tersebut ke daerah yang sangat terpencil, dengan harapan hakim tersebut akan mengambil
pelajaran dari perbuatan yang telah dilakukan.
2. Bahkan ada yang dibebas-tugaskan sebagai hakim jika terlibat kasus atau perkara dan
perkara tersebut diajukan di Pengadilan, biasanya hakim tersebut dibebas tugaskan
terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung sampai
perkara atau kasus yang ditangani selesai diputus di Pengadilan. Jika hakim tersebut
terbukti bersalah maka akan dicopot atau dipecat dari jabatannya, tapi kalau tidak terbutki
bersalah maka biasannya dilakukan rehabilitasi dan hakim tersebut akan menjalankan
tugasnya sebagai hakim seperti semula.
3. Melakukan pemecatan atau pencopotan jabatan sebagai hakim jika ternyata
menyalahgunakan jabatannya yang diberikan kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai