Anda di halaman 1dari 7

Nama : Mutiara Shofi

Nim : 170902087
Mata Kuliah : Patologi Sosial dan Kriminologi

Kejahatan dalam Perspektif Teoritis


Dari aspek sosiologis, kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial, yang berkenaan
dengan individu atau masyarakat (Hartanto, 2015:149). Banyak paradigma hadir menjelaskan
tentang keberadaan kejahatan (Firdausi dan Lestari, 2016:85). Menurut Muhammad secara
kriminologi, kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat
(dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi
sosial dari masyarakat (Mubarok, 2917:224). Kejahatan disebabkan oleh beberapa faktor
seperti ekonomi, pergaulan, kesempatan yang ada dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut yang
terjadi di Indonesia telah menunjukkan efek yang negatif. Banyaknya kalangan masyarakat
yang melakukan perbuatan yang salah semata-mata bertujuan ingin memenuhi kebutuhan
hidupnya (Pratama, 2017:124). Salah satu contoh dari kejahatan seperti Kejahatan Siber
(Cyber Crime). Kejahatan siber (Cyber Crime) terjadi akibat perilaku menyimpang pelalu
media sosial dalam penyalahgunaan media sosial dalam aspek kehidupan masyarakat
(Djanggih dan Nasrun, 2018:94). Kejahatan siber (cyber crime) bermula dari kehidupan
masyarakat yang ikut memanfaatkan dan cenderung meningkat setiap saat untuk
berkonsentrasi dalam cyberspace (Djanggih, 2013:58). Hal ini merupakan bagian dari makin
majunya perkembangan zaman, makin sarat pula beban sosial dan beban kriminalitas dalam
masyarakat. Perkembangan ini membawa dampak pada kehidupan sosial dari masyarakatnya,
dilain pihak pada tingkat kemajuan yang sedang dialami, juga membawa dampak timbulnya
berbagai bentuk kejahatan (Kristiani, 2014:372).

1. Teori Anomie
J. J. M. van Dick, H. I. Sagel Grande, dan L.G. Toornvliet (1996: 133-143) ber pendapat
bahwa teori anomi tergolong dalam kumpulan teori- teori keterbelakangan masyarakat. Teori
lain yang tergolong dalam teori-teori keterbelakangan masyarakat adalah teori subkultur
delinkuen, teori Cloeard dan Ohlin, dan teori kriminologi ekologis. Teori anomi
dikemukakan oleh Sosiolog Perancis, Emille Durkheim (1858-1917), dan Robert Merton.
Pendapat Durkheim dikemukakan lebih dulu dibandingkan Merton. Durkheim menggunakan
istilah anomi untuk menyebut suatu kondisi yang mengalami deregulasi. Menurutnya
perubahan sosial yang cepat dan mencekam dalam masyarakat mempunyai pengaruh besar
terhadap semua kelompok dalam masyarakat. Nilai-nilai utama dan nilai yang sudah
diterima oleh masyarakat menjadi kabur bahkan lenyap. Keadaan tersebut mendorong
terjadinya ketidakpastian norma bahkan ketiadaan norma. (Dick, Grande, and Toornvliet
1996: 133) Durkheim menggambarkan konsep anomi sebagai kondisi dalam masyarakat
yang terjadi keputusasaan atau ketiadaan norma. Anomi juga merupakan akibat perubahan
bermasyarakat yang cepat. Anomi ada pada tiap-tiap masyarakat dan menjelma bukan hanya
dalam bentuk kejahatan tetapi juga dalam kasus bunuh diri. Semua ini terjadi karena
ketidakhadiran norma-norma sosial, dan ketiadaan pengawasan sosial yang dapat
mengendalikan perilaku menyimpang. (Widodo, 2013:66).
Teori anomi dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mencari penyebab orang
melakukan kejahatan siber (cyber crime). Teori anomi beranggapan bahwa kejahatan muncul
karena dalam masyarakat tidak ada norma yang mengatur suatu aktivitas tersebut
(normlesness). Berdasarkan uraian Agus Rahardjo, dalam praktik ada sekelompok orang
yang menolak kehadiran hukum untuk mengatur kegiatan di dunia maya (virtual). Menurut
kelompok ini, dunia virtual adalah ruang yang bebas sehingga pemerintah tidak mempunyai
kewenangan campur tangan dalam aktivitas tersebut, termasuk mengatur dengan sarana
hukum. Landasan pemikiran ini diilhami oleh Declaration ofltidepence of Cyberspace dari
John Perry Ballow dan Hacker Manifesto dari Loyd Blankeship atau The Mentor. (Rahardjo,
1976:220). Selanjutnya dijelaskan bahwa pendapat pro dan kontra tentang ada atau tidak
adanya hukum yang dapat mengatur kejahatan siber (cyber crime) tersebut berpangkal pada
kesenjangan antara karakteristik kejahatan dengan hukum pidana konvensional. Karakteristik
penggunaan internet sebagai basis kegiatan bersifat lintas batas sehingga sulit untuk
diketahui yurisdiksinya, padahal hukum pidana konvensnional yang berlaku di Indonesia
banyak yang bertumpu pada batasan-batasan tentorial. Ketentuan hukum pidana
konvensional tersebut temyata tidak dapat menyelesaikan kasus dalam aktivitas dan internet
secara optimal (Rahardjo, 1976:220). Namun demikian, karena saat ini sudah banyak
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang cyber crime, maka sebenarnya anomi
(yang diartikan sebagai ketiadaan norma secara objektif) tidak menjadi dasar rasionalitas
pelaku kejahatan siber (cyber crime). Tetapi, jika anomi diartikan sebagai “anggapan”
individu bahwa tidak ada norma (secara subjektif) tentang kejahatan siber (cyber crime) di
Indonesia maka teori dan anggapan tersebut dapat dipahami.
2. Teori Differential Association
Teori asosiasi diferensial (Differential Association Theory) dikemukakan oleh seorang
sosiolog Amerika Serikat, Edwin H. Sutherland pada tahun 1939 yang kemudian
disempurnakan pada tahun 1947. Teori ini bertitik tolak atas tiga teori : ecological and culter
transmission theory, symbolic interactionism dan culture conflict theory. Dari pengaruh teori-
teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya teori asosiasi differensial adalah
didasarkan pada :
a. Bahwa setiap orang akan menerima dan mengakui pola pola perilaku yang dapat
dilaksanakan.
b. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan.
c. Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan
Teori asosiasi diferensial dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mencari penyebab
orang melakukan cyber crime. Menurut teori tersebut, pada dasarnya kejahatan merupakan
hasil dari suatu proses pembelajaran dan komunikasi yang berlangsung dari seseorang pada
kelompok intim. Teori tersebut sejalan dengan karakteristik pelaku kejahatan siber (cyber
crime), yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Sue Titus Reid, bahwa “They may have learned
their acts from others in the same employ; thus, differential association cannot be ruled out.
(Reid, 1976). Pelaku kejahatan telah mempelajari tindakan pihak lainnya dalam pekerjaan
yang sama; begitu pula prinsip asosiasi diferensial tidak dapat dikesampingkan dalam
mempelajari kejahatan.

3. Teori Kontrol Sosial


Teori kontrol merupakan suatu klasifikasi teori yang mengklaim tidak bertanya mengapa
orang melakukan tindak pidana, tetapi mengapa mereka tidak melakukan tindak pidana?
Teori-teori ini mengasumsikan setiap orang memiliki keinginan untuk melakukan tindak
pidana dan menyimpang, dan berusaha untuk menjawab mengapa beberapa orang menahan
diri dari melakukannya John Hagan menegaskan bahwa teori kontrol sosial bertolak dari
asumsi bahwa setiap individu di masyarakat mempunyai peluang sama untuk menjadi orang
yang melanggar hukum atau orang yang yang taat hukum. Teori kontrol sosial mengajukan
pertanyaan men- dasar, mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa ada
orang yang taat pada hukum. (Hadisup rapto, 1997:31). Menurut teori kontrol sosial, manusia
mempunyai kebebasan untuk bertindak, dan penentu tingkah laku seseorang adalah ikatan-
ikatan sosial yang sudah terbentuk. Larry J. Siegel menulis, a peson ‘s bond to society
prevents him or her from violating social rules. If his bond weakens, we person is free to
commit crime (Siegel:212). Menurut Hirschi, The social bond, comprises four elements,
attachment, commitment, involevmen, and bilief (Hirschi, 1969:16). Berdasarkan pendapat
ini bahwa ikatan sosial yang menjadi salah satu penyebab terjadinya tingkah laku jahat terdiri
atas 4 (empat) unsur, yaitu keterikatan, ketersangkutan yang terkait dengan kepentingan
sendiri, keterlibatan, norma dan nilai.
Teori kontrol sosial dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mcncari faktor-faktor
yang menyebabkan orang melakukan kejahatan siber (cyber crime). Menurut teori ini, pelaku
melakukan kejahatan karena ikatan sosial dalam diri seseorang tersebut melemah atau bahkan
seseorang tersebut sudah tidak mempunyai ikatan sosial dengan masyarakatnya. Hal ini
terjadi terutama pada kalangan remaja
4. Teori Pengendalian Sosial
Teori Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada teori-teori yang
menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan lingkungan masyarakatnya sebagai
faktor yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan. Kejahatan dianggap sebagai hasil dari
kekurangan kontrol sosial yang secara normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial:
keluarga, agama, pendidikan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori
Pengendalian Sosial dapat dibagi menjadi dua, yaitu Containment Theory dan Social Bond
Theory.
Containment Theory yang digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat
beberapa cara pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-
norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern),
yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan godaan untuk melakukan
kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap nroma-nroma yang berlaku. Ada juga
pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari
tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap
berada dalam ikatan tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan
demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan
terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi masyarakat.
Social Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat
kejahatan karena terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral
yang  seharusnya mengikat mereka ke dalam suatu pola hidup yang patuh kepada hukum
(Conklin, 1969). Ikatan sosial yang dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen
utama. Keempat elemen itu adalah attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul karena
adanya rasa hormat terhadap orang lain; commitment, yaitu pencarian seorang individu akan
tujuan hidup yang ideal dan konvendional; involvement, yaitu keterlibatan individu di dalam
kegiatan konvensional dan patuh; dan belief, yaitu keyakinan atas nilai dan norma sosial.
Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui hubungan emosional alamiah
dengan orang tua, guru, teman sebaya. (Bynum & Thompson, 1989).
Berdasarkan pengertian teori di atas, dapat dibaca bahwa Teori Pengendalian Sosial
memiliki kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang menekankan kepada kesepakatan
nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Individu tidak
melakukan kejahatan karena adanya kesadaran untuk tidak melanggar norma hukum yang
telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan sosialnya. Paradigma yang digunakan dalam
pencarian dan penelusuran kebenaran ini adalah Paradigma Positivis. Penelitian yang
dilakukan oleh Hirschi menunjukkan bahwa anak-anak delinkuen mempunyai keterikatan
yang kurang dengan orang tuanya dibandingkan anak-anak yang non-delinkuen. Hasil
penelitian ini memberikan penegasan kepada hubungan sebab-akibat yang menjadi fokus
perhatian dari Perspektif Konsensus dan Paradigma Positivis

5. Teori Labelling
Teori labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan, metode
yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort”, atau melakukan interview terhadap
pelaku kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labeling, terfokuskan pada
dua tema, pertama : menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label,
kedua : pengaruh atau efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang
telah dilakukannya.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu
kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu
tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu,
kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di
mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu
primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan
reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan
yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga
menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert
penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri
dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang
diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam perspektif itu dikatakan
bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan
pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya
tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses
interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma
Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari
kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas
dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori
labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses
labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.

6. Teori Konflik
Pada dasarnya konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan khususnya yang
timbul dari tidak adanya control seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Adanya
legitimasi corak yang ada dari distribusi penghasilan. Konflik ini didasarkan pada
menghilangkan dominasi yang mengacaukan hubungan, kebiasaan mendominasi yang
mengacaukan hubungan masyarakat serta orang orang proletar dapat mengungkapkan
kelihannya satu sama lain. Dalam pandangan terhadap konflik dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu Penghindar Konflik, Menghadapi Konflik, dan Pembuat Konflik.

7. Teori Subculture
Pada dasarnya teori ini membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta
perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an
dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah di Amerika.

8. Teori Interaksionisme Simbolik


Teori ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Blumer
mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan,
bahasa, dan pikiran. Premis ini nantinya mengutarakan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan
sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Premis Pertama : Bahwa manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia lainnya yang
pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Premis Kedua : Bahwa pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara
mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah.
Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui
penggunaan bahasa dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Premis Ketiga : Bahwa interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai
perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif

Anda mungkin juga menyukai