Anda di halaman 1dari 12

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN DAN KERANGKA PIKIR

A. Studi Kepustakaan

Sebagai satu landasan dalam penelitian ini penulis mengemukakan

beberapa konsep dan teori yang bermanfaat dalam membantu penulis menelaah

masalah yang menjadi tujuan dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya maka

berikut ini penulis akan uraikan :

1. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam hal ini peneliti mengambil skripsi terdahulu sebagai penelitian

tentang Penjambretan yang relevan dengan :

 Nila Rahmiati (2015) tentang “Analisis Reaksi Masyarakat Terhadap

Penjambretan yang Dilakukan oleh Anak dibawah Umur (Studi Kasus di

Polsek Sukajadi, Pekanbaru)”

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi ruang lingkup

penelitian. Penelitian terdahulu studi kasus hanya memfokuskan anak dibawah

umur. Maka faktor-faktor kriminogenik penjambretan pun dapat berbeda dengan

penelitian sebelumnya.

2. Konsep Kejahatan

Konsep kejahatan adalah salah satu masalah sosial yang selalu menarik

dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi menurut

asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak,

16
17

terdapat kecenderungan perkembangan peningkatan dalam bentuk dan jenis

kejahatan tertentu baik secara kualitas maupun kuantitas.

Berbicara tentang konsep dan penelitian tentang kejahatan itu sendiri,

masih terdapat kesulitan dalam memberikan definisi yang tegas karena masih

terdapat keterbatasan pengertian yang disetujui secara umum. Dalam pengertian

legal menurut Sue Situs Reid (1988), adalah suatu aksi atau perbuatan yang

didefinisikan hukum kriminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan

melalui suatu keraguan yang beralasan, bahwa seseorang tidak dapat dibebani

tuduhan telah melakukan suatu reaksi atau perbuatan yang dapat digolongkan

sebagai kejahatan. Dengan demikian, kejahatan adalah suatu perbuatan yang

disengaja atau suatu bentuk aksi atas perbuatan yang merupakan kelalaian, yang

kesemuanya merupakan pelanggaran atas hukum kriminal yang dilakukan tanpa

suatu pembelaan atau atas dasar kebenaran dan diberikan sanksi oleh negara

sebagai suatu tindak pidana berat atau tindak pelanggaran hukum yang ringan.

Dari uraian Sue Situs Reid diatas, tampaklah bahwa batasan dan

pengertian tentang kejahatan yang diberikannya adalah meliputi setiap aksi atau

perbuatan yang melanggar Undang-Undang saja, dalam hal ini adalah hukum

kriminal atau hukum pidana. Hal yang berbeda dengan batasan dan pengertian

Reid tentang kejahatan, datang dari definisi yang dikemukakan oleh Manheim

(1973), yang mengatakan bahwa batasan kejahatan, tidaklah hanya tindakan

melanggar hukum atau Undang-Undang saja, tetapi juga merupakan tindakan

yang bertentangan dengan “Conduct Norms” (norma perilaku), yaitu tindakan-


18

tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada pada masyarakat

walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam Undang-Undang.

Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut Manheim menggunakan

istilah “Morally Wrong” (penyimpangan moral) atau “The Deviante Behaviors”

(tingkah laku yang menantang)”. Untuk tindakan yang melanggar atau

bertentangan dengan norma-norma sosial, walaupun belum diatur dalam Undang-

Undang (hukum pidana). Sedangkan istilah “Legally wrong” (kesalahan yang

legal) atau “crime” untuk menuju setiap tindakan yang melanggar Undang-

Undang atau hukum pidana (Darmawan, 1994 : 2).

Untuk lebih jelasnya mengenai kejahatan, ada definisi mengenai konsep

kajahatan menurut beberapa ahli :

1) Menurut Bonger (1936) bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan anti


sosial yang secara sadar mendapatkan reaksi dari negara berupa pemberian
derita dan kemudian sebagai reaksi-reaksi terhadap rumusan hukum (legal
definition) mengenai kejahatan. (dalam Anwar, 2010 : 178).
2) Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. (Santosa dan
Zulfa : 9).
3) Sutherland merumuskan kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang
mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial termasuk didalamnya
proses pembuatan Undang-Undang. Jadi kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia
(Abdussalam, 2007 : 4).
Dari sudut pandang sosiologi, kejahatan merupakan suatu perbuatan yang

anti sosial dan amoral serta tidak dikehendaki oleh masyarakat, merugikan,

menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentang

(Darmawan, 2000 : 24). Kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis, ketamakan

dari si pelaku, dengan sama sekali tidak memperdulikan keselamatan orang lain.
19

Walaupun telah dibuat Undang-Undang yang bertujuan untuk mengendalikan

kejahatan, namun kejahatan terus ada.

Maka sulit kalau dikatakan bahwa pemerintah dapat melenyapkan

kejahatan, karena masyarakat selalu berproses maka kejahatan selalu hadir dalam

kehidupan masyarakat dan senantiasa terus berkembang sesuai perubahan zaman.

3. Faktor Kriminogen

Faktor Kriminogen adalah fenomena sosial yang kompleks yang didasari

oleh kondisi yang meningkatkan resiko kejahatan yang dilakukan dan memulai

karir kriminal. Faktor penyebab kejahatan tersebut dapat berupa usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, kesehatan mental, penyalahgunaan alkohol dan

narkoba, lingkungan sosial dan pengangguran. Jumlah faktor yang diidentifikasi

dalam penelitian sains sosial sangat luas. Faktor kriminogenik telah diidentifikasi

secara khusus dalam penelitian kriminologi, namun juga secara umum sosiologi,

psikologi, ekonomi dan ilmu politik. Identifikasi faktor kriminogenik sangat

penting dalam pencegahan kejahatan masyarakat

(https://sv.wikipedia.org/wiki/Kriminogena_faktorer).

Dengan demikian, faktor kriminogen adalah suatu perilaku atau kebiasaan

di dalam kehidupan bermasyarakat yang menyebabkan lahirnya suatu faktor atau

penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan.


20

4. Konsep Penjambretan

Jambret berasal dari bahasa Indonesia yang berarti renggut, rebut.

Menjambret, merenggut atau merebut (barang milik orang lain yang sedang

dipakai atau dibawa). Penjambret yaitu orang yang pekerjaannya menjambret

(Depdiknas, 2008 : 526).

Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), masalah

pencurian/pencopetan diatur dalam pasal 362 KUHP : “Barang siapa mengambil

barang, yang semuanya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

untuk memilikinya dengan melawan hukum, dihukum karena pencurian dengan

hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun”. Dalam pasal ini telah jelas diatur

bahwa pencurian/pencopetan pun dapat dihukum berat. Pencurian/pencopetan

yang hanya dihukum 3 bulan, merupakan pencurian ringan. Mengenai hal ini

diatur pasal 364 KUHP : “Pencurian yang tidak dilakukan di rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya dihukum penjara selama-lamanya 3

bulan”.

5. Konsep Teori

Definisi aktifitas rutin adalah kegiatan sehari-hari yang terus dilakukan

oleh seseorang secara terus-menerus. Dalam penelitian ini, aktifitas rutin yang

sering dilakukan di ruang terbuka akan selalu dibayangi dengan kejahatan

penjambretan. Hal ini terjadi karena kegiatan yang dilakukan seseorang

mengharuskan seseorang tersebut bepergian dengan melewati jalanan tertentu dan

berada dalam ruang publik secara terus-menerus.


21

Dalam teori “Aktifitas Rutin” oleh Markus Felson dan Robert K. Cohen

(1987) ada 3 elemen yang dapat mempengaruhi mudahnya munculnya kejahatan,

diantaranya adanya pelaku yang termotivasi, adanya target yang layak, dan

ketiadaan penjaga (Steven P. Lab, 2006 ; 111).

1. Adanya Pelaku yang Termotivasi

Adanya yang dilakukan merupakan dorong-dorongan pribadi yang

menjadikan kejahatan sebagai narasumber utama dalam mencapai tujuan tanpa

ada alasan-alasan dan sebab apapun. Kondisi seperti ini merupakan bakat

melakukan kejahatan bawaan sejak lahir (Masdiana, 2006 ; 59).

Sebagian besar orang yang menjadi pelaku kejahatan didasari karena niat

dan kemauan dari diri sendiri. Ini terjadi karena anggapan bahwa menjadi pelaku

kejahatan adalah pilihan hidup yang menguntungkan.

2. Adanya Target yang Layak

Meiler dan Meithe (1993) ada kaitan antara aktifitas rutin dengan

kerentanan menjadi korban kejahatan. Anggota masyarakat yang melakukan

kegiatan sehari-hari dan bekerja di sektor publik memungkinkan orang melakukan

kontak dengan kejahatan. Begitu juga dengan gaya hidup yang dapat dibaca oleh

pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan biasanya melakukan proses pengamatan

terlebih dahulu terhadap korban (Masdiana, 2006 ; 20).

Lesley (1989) menyatakan semakin banyak orang membuka diri untuk

berinteraksi dengan orang lain dan berada di tempat-tempat tertentu, maka orang
22

itu sangat rentan menjadi korban kejahatan adalah tempat ramai, seperti terminal,

stasiun, dan persimpangan-persimpangan jalan. Tempat-tempat yang rentan ini

sebaiknya mendapatkan perhatian pihak aparat kepolisian (Masdiana, 2006 ; 20).

Gaya hidup seseorang dipenuhi oleh budaya, orientasi hidup, dan cara

pandang (overview) dalam hidupnya. Kebiasaan menggunakan waktu (time),

kebiasaan menggunakan ruang (space), dan kebiasaan beraktifitas (action).

Waktu-waktu ibadah ritual (sholat, pergi ke gereja, kuil dan tempat ibadah lain),

waktu bekerja, dan waktu bepergian berpotensi digunakan untuk melakukan

kejahatan (Masdiana, 2006 ; 20).

Aktifitas masyarakat yang dilakukan secara terus-menerus baik itu bekerja,

pergi ke pasar, mengantar anak ke sekolah, dan sebagainya pada suatu jalan

tertentu, tanpa disadari kita telah mengundang perhatian para pelaku kejahatan

khususnya penjambretan. Apalagi kegiatan ini dilengkapi dengan hal yang bersifat

barang berharga maka sesungguhnya masyarakat telah menjadi target yang layak

bagi para pelaku penjambretan. Gaya hidup yang semakin modern seperti

penggunaan HP yang berlebihan, memakai perhiasan secara berlebihan, bergaya

dan berpakaian menggunakan tas yang dapat memperlihatkan status ekonomi di

tempat keramaian membuat masyarakat telah memberikan kesempatan bagi para

pelaku kejahatan penjambretan.

3. Ketiadaan Penjaga

Kebiasaan beraktifitas memungkinkan orang menjadi korban kejahatan.

Ada kejahatan dilakukan saat korban sedang bekerja, pergi ke pasar, bersekolah,
23

dan lain-lain. Pelaku kejahatan yang cerdas pasti melakukan aksinya didasarkan

pada pengamatan ilmiah tentang karakteristik individu, kebiasaan berperilaku

calon korban, dan tingkat “pengawalan” korban. Jika sistem pengamanan

lingkungan tidak memungkinkan proteksi terhadap korban atau calon korban,

maka pelaku kejahatan dapat dengan mudah melumpuhkan korban (Masdiana,

2006 ; 66).

Umumnya, tingkat kerentanan perempuan menjadi korban kejahatan lebih

besar dibandingkan laki-laki. Penyebabnya adalah kebanyakan perempuan tidak

bisa berbuat apa-apa jika terjadi kejahatan khususnya penjambretan pada dirinya.

Maka dalam hal ini, perempuan harus lebih peka terhadap dirinya sendiri untuk

melakukan pencegahan. Reaksi masyarakat di sekitar juga diperlukan karena

menjadi sistem pengamanan setelah diri sendiri.

Park yakin benar bahwa kota dapat digunakan sebagai bahan pustaka

untuk mempelajari kejahatan. Karena kota merupakan suatu organism sosial

tempat dimana masyarakat ketetanggaan dapat bertahan. Persoalannya, mengapa

kejahatan berkembang dan meluas dalam daerah tertentu sementara di daerah lain

kejahatan tidak berkembang. Atas hal ini, Park dan koleganya Burgess merujuk

pada konsep “Zona Konsentrasi” menurut pekerjaan penduduknya dan

karakteristik kelas. Mereka mencermati bagaimana zona perkotaan berubah dari

waktu ke waktu dan apa dampak dari proses perubahan tersebut bagi tingkat

kejahatan.
24

Park dan Burgess menunjukkan bahwa zona transisi adalah sumber utama

kejahatan perkotaan. Pada zona ini, dapat ditemui tingkat kenakalan remaja yang

tinggi dan berbagai masalah sosial lainnya. Memahami bentuk, sifat atau karakter

kejahatan perkotaan akan membei kemungkinan bagi kita untuk mengetahui ciri-

ciri kejahatan perkotaan. Atas dasar itu, dapat dirumuskan berbagai kebijakan

untuk melakukan pencegahan maupun penanggulangannya.

Sepanjang kejahatan perkotaan diartikan sebagai perbuatan yang dapat

dipidana menurut perundang-undangan yang berlaku, maka secara umum tidak

ada perbedaan yang mendasar antara kejahatan perkotaan dengan kejahatan yang

bukan kejahatan perkotaan, atau kejahatan pada umumnya. Pencurian,

pembunuhan, penganiayaan, penipuan, penggelapan, perkosaan dapat terjadi

dimana saja. Namun harus diakui bahwa ada pula bentuk-bentuk kejahatan

tertentu yang hanya mungkin terjadi atau sekurang-kurangnya dipermudah oleh

lingkungan perkotaan.

Tanpa mengurangi adanya karakter khas seseorang, secara umum dapat

dikatakan bahwa dorongan untuk melakukan kejahatan tidak semata-mata karena

memang tersimpan tingkah laku jahat, tetapi juga ada faktor-faktor nilai, keadaan

dan lingkungan yang tak jarang justru menjadi faktor yang sangat berperan untuk

mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan.


25

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir atau kerangka teoritis adalah upaya untuk menjelaskan

gejala atau hubungan antar gejala yang menjadi perhatian atau suatu kumpulan

teori dan model literature yang menjelaskan hubungan dalam suatu masalah

tertentu (Silalahi, 2006 : 84). Kerangka teoritis disusun melalui literatur,

merupakan logikal konstruk yang digunakan untuk menjelaskan masalah yang

telah dirumuskan, dengan demikian suatu fenomena dapat dijelaskan (Silalahi,

2006 : 84). Kerangka berpikir adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang

menjadi objek permasalahan. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan

pustaka dan hasil penelitian yang relevan.

Gambar II.1 : Kerangka Pikir

Adanya Pelaku
Yang Termotivasi

Penjambretan di jl.
Cut Nyak Dien, Kecamatan
Sukajadi, Pekanbaru tahun
2017
26

Adanya Target Ketiadaan Penjaga


Yang Layak

Sumber : Modifikasi Penulis Tahun 2018

C. Konsep Operasional

Untuk menggunakan konsep teoritis yang telah dicantumkan dan untuk

memperjelaskan pengertian, maka penulis mencoba umtuk mengoperasionalkan

konsep tersebut untuk guna mempermudah pemahaman dalam penelitian ini.

Penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan langsung dengan

penelitian baik variable maupun indikatornya, yakni sebagai berikut :

1. Faktor Kriminogen

Faktor Kriminogen adalah fenomena sosial yang kompleks yang didasari

oleh kondisi yang meningkatkan resiko kejahatan yang dilakukan dan memulai

karir kriminal. Faktor penyebab kejahatan tersebut dapat berupa usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, kesehatan mental, penyalahgunaan alkohol dan

narkoba, lingkungan sosial dan pengangguran. Jumlah faktor yang diidentifikasi

dalam penelitian sains sosial sangat luas. Faktor kriminogenik telah diidentifikasi

secara khusus dalam penelitian kriminologi, namun juga secara umum sosiologi,

psikologi, ekonomi dan ilmu politik. Identifikasi faktor kriminogenik sangat

penting dalam pencegahan kejahatan masyarakat.

2. Penjambretan
27

Penjambretan adalah jambret berasal dari bahasa Indonesia yang berarti

renggut, rebut. Menjambret, merenggut atau merebut (barang milik orang lain

yang sedang dipakai atau dibawa). Penjambret yaitu orang yang pekerjaannya

menjambret (Depdiknas, 2008 : 526).

Anda mungkin juga menyukai