Anda di halaman 1dari 6

Review Film “The Hunting Ground”

Judul film : The Hunting Ground


Sutradara : Kirby Dick
Produser : Amy Ziering
Penulis : Kirby Dick
Musik : Miriam Cutler
Sinematografi : Aaron Kopp
Thaddeus Wadleigh
Penyunting : Douglas Blush
Derek Boonstra
Kim Roberts
Distributor : The Weinstein Company
(RADiUS-TWC)
Tanggal rilis : 23 Januari 2015 (Festival Film Sundance)
27 Februari 2015 (Amerika Serikat)
Durasi : 103 menit
Negara : Amerika Serikat
Bahasa : Inggris
Sinopsis : Film The Hunting Ground merupakan film dokumenter pada
tahun 2015 yang mengangkat tema mengenai kasus-kasus
kekerasan seksual di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Film ini
selain mendapatkan resensi yang baik juga menimbulkan
kontroversi karena menyangkut nama baik beberapa perguruan
tinggi di Amerika Serikat yang juga menjadi penyebab banyaknya
kasus yang tidak terungkap. Oleh karena itu, film ini dianggap
membuka mata mengenai kejadian pelanggaran hak asasi manusia
yang selama ini diabaikan demi citra dan dukungan finansial bagi
kampus.
Kelebihan : 1. Film ini telah berhasil mengungkap kasus-kasus kekerasan
seksual di perguruan tinggi di Amerika Serikat.
2. Film ini juga membuka mata para penonton mengenai kejadian
pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini diabaikan demi
citra dan dukungan finansial bagi kampus.
3. Film ini telah melakukan kontribusi dalam memperjuangkan
keadilan terhadap wanita atau mahasiswi yang menjadi korban
dalam kekerasan seksual ini.
Kekurangan : -

Refleksi film :
The Hunting Ground merupakan salah satu film karya Kriby Dick dan produser Amy
Ziering. Film ini menceritakan kepada khalayak umum tentang bagaimana kehidupan para
mahasiswa di kampus-kampus di Amerika Serikat (USA).
Film ini mengambil sudut pandang yang sama sekali berbeda tentang kehidupan kampus di
USA. Film dokumenter ini mengambil sudut pandang kekerasan seksual yang jamak terjadi di
kampus USA. Terutama, wanita atau mahasiswi yang menjadi korban dalam kekerasan seksual
ini.
Erica Kinsman, salah satu mahasiswi korban pelecehan seksual yang menjadi salah satu
penyintas dan inti cerita dari film ini. Erica pertama kali melaporkan pemerkosa yang dilakukan
kepadanya oleh salah satu bintang football di kampusnya.
Namun, pihak kampus banyak diam dan tidak menanggapi laporan dari Erica dengan serius.
Pelaku pun dapat bertebaran bebas di lingkungan kampus dan di film tersebut dikatakan bahwa
si pelaku telah memerkosa sebanyak empat kali terhadap mahasiswi-mahasiswi yang berbeda.
Erica akhirnya berusaha mengumpulkan para penyintas di kampus-kampus USA dan
bersama mencoba menangani kasus-kasus pelecahan seksual lainnya. Ternyata banyak sekali
mahasiswi bahkan juga menampilkan para lelaki yang mengaku telah mengalami pelecahan
seksual. Hal ini, membuat Erica tertegun dan semakin membulatkan tekadnya untuk mengakhiri
sifat apatis dari kampus-kampus yang bersangkutan.
Kisah dari para penyintas di film The Hunting Ground mengambarkan betapa buruknya
penanganan kampus terhadap kasus-kasus seksis. Kampus di USA merasa laporan-laporan
tentang pemerkosaan hanyalah laporan palsu yang tidak dapat dipercaya. Namun, data di film
tersebut menunjukkan bahwa hampir lebih dari 90 persen laporan mengenai pemeroksaan adalah
benar adanya.
Kisah dari film The Hunting Ground pada dasarnya mengambarkan juga apa yang banyak
terjadi terhadap kasus pelecehan seksual kampus-kampus di Indonesia. Dapat saya ambil contoh
kasus "Agni UGM" yang sampai sekarang pelakunya masih berkeliaran bebas di UGM. Agni
sebagai korban pun hanya bisa pasrah walau upayanya yang rela menjadi whistleblower udah
mendapat cukup perhatian publik. UGM sendiri sebagai pihak kampus tidak banyak melakukan
upaya hukum terhadap si pelaku. Malahan, berita terbaru menyebutkan bahwa UGM sebagai
mediator telah berhasil membuat Agni memaafkan si pelaku yang telah melecehkannya.
Saya rasa ada yang aneh dengan sikap UGM tersebut. Bukannya mencoba melakukan upaya
hukum terhadap pelaku, malah melakukan upaya kekeluargaan yang pastinya membenani Agni
sebagai korban.
Saya pribadi yakin bahwa tidak hanya di UGM pelecahan-pelecehan terhadap mahasiswa
terjadi. Namun, mahasiswa di kampus-kampus seluruh Indonesia pasti juga mengalami hal yang
sama dengan Agni. Hanya saja masih tersimpan rapi kasus-kasus tersebut di tangan para korban
dan pelaku.
Di sinilah peran kita sebgagai mahasiswa diperlukan. Film The Hunting Ground telah
menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswa ternyata mampu membuat perubahan yang masif
di USA. Barack Obama selaku presiden pun berpidato kepada publik mengenai kasus-kasus
pelecehan yang sedang terjadi di kampus-kampus USA. Pada akhirnya, kampus-kampus di USA
mulai bersikap asertif terhadap pelecehan-pelecehan seksual. Perjuangan Erica pun berhasil
dengan diputarnya film tersebut di lembaga-lembaga pemerintahan USA untuk memotivasi
para anggota parlemen untuk melakukan sesuatu mengenai pelecehan di kampus.
Saya yakin kita juga mampu melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Erica dan
teman-temannya. Karena masalah ini perlu penanganan langsung dari pemerintahan pusat di
negeri ini.

Analisa film :
Maraknya pemberitaan kasus tersebut telah menjadi suatu kemajuan dalam penanganan
hukum pada kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan di Amerika Serikat. Sebelumnya, di
negara demokratis dan maju tersebut, masih banyak kasus yang tidak terungkap terutama di
kalangan mahasiswa.
Penelitian (Koo, Nguyen, Andrasik, & George, 2015) menunjukkan bahwa hal tersebut dapat
dipicu oleh adanya keengganan bagi korban atau penyintas (survivor) untuk melaporkan apa
yang terjadi kepada pihak yang berwenang, terutama jika pemerkosaan tersebut terjadi pada para
mahasiswa dan di dalamnya melibatkan alkohol. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh konteks
budaya yang amat beragam di Amerika Serikat. Latar belakang budaya yang diangkat dalam
penelitian Koo yaitu dari etnis Asia-Amerika. Ada tiga faktor besar dalam budaya yang
mempengaruhi hal tersebut, yaitu pada sosiokultural level (relasi dengan orang tua yang tidak
terbuka mengenai seks, ekspektasi menjadi anak baik, mencegah orang tua menjadi tertekan,
tidak ingin mempermalukan orang tua, serta mempertimbangkan keharmonisan pertemanan jika
pelakunya adalah kenalan atau teman sendiri), institusional (ketidakpercayaan kepada polisi
karena prasangka terhadap minoritas dan sikap terhadap perempuan, serta keengganan mereka
untuk dilabeli bergangguan mental jika bercerita ke bantuan kesehatan mental seperti psikolog
atau psikiater), serta adanya faktor lain seperti emotional avoidance yang mereka anggap
mampu memperbaiki masalah dan lebih membuat cepat move onserta tidak adanya label yang
jelas mengenai apakah pemerkosaan di bawah pengaruh alkohol adalah betul-betul pemerkosaan
atau tidak.
Selain faktor budaya, adanya keengganan untuk mengungkapkan kasus tersebut juga datang
dari hal-hal yang terkait dengan tanggapan ketika mereka menceritakan. Tidak adanya
tanggapan hukum yang sesuai dan cenderung menyalahkan korban serta pemrosesan pelaku
yang cenderung lama dan belum tentu membuahkan hasil juga dianggap sia-sia. Selain itu, para
korban juga kadang merasa tidak nyaman dalam melakukan wawancara atau tanya jawab
seputar kejadian tersebut.
Menurut (Campbell, Adams, Wasco, Ahrens, & Sefl, 2009) melakukan penelitian mengenai
apa saja yang diinginkan oleh para korban ketika mereka diwawancara mengenai kasus yang
menimpa mereka. Pertama, mereka menginginkan agar pewawancara mengerti bahwa
pemerkosaan bisa terjadi pada siapa saja dan cara menghadapinya amat berbeda-beda. Dua,
proses penyembuhan adalah proses yang lama sehingga pewawancara perlu memahami tiap
keadaan penyintas saat itu. Tiga, adanya batasan empati bahwa pewawancara mungkin tidak
dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penyintas. Biasanya penyintas merasa kesal jika diberi
kata-kata “Saya mengerti…” atau “Saya tahu…”. Keempat, penyintas ingin agar pewawancara
mampu menunjukkan kehangatan dan dengan pengetahuan yang dimiliki tersebut dapat
menimbulkan rasa aman dan percaya sehingga penyintas dapat lebih terbuka.
Hal-hal di atas menjadi fokus mengenai masih pentingnya pengungkapan mengenai kasus
kekerasan seksual dan pemerkosaan yang terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang
adidaya dan dianggap maju. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat menjadi
acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan di negara lain termasuk
Indonesia.
Film The Hunting Ground (2015) merupakan film dokumenter karya Kirby Dick yang
menceritakan mengenai kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dialami oleh para
mahasiswi dan mahasiswa pada perguruan tinggi di Amerika Serikat yang sering tidak
mendapatkan perhatian dari para pemangku jabatan di universitas. Film ini mendapatkan
tanggapan yang positif dari para reviewer terutama mengenai pesannya yang dianggap kuat.
Sebuah panggilan untuk memulai suatu aksi dan mengatakan bahwa film tersebut memiliki
potensi untuk mempengaruhi aktivisme dan kebijakan publik.
Meski demikian, terdapat juga kontroversi di dalam film ini, salah satunya adalah tanggapan-
tanggapan yang negatif dari perguruan tinggi yang namanya disebut dalam film seperti Harvard
Law School dan Florida State University. Maraknya kasus-kasus serupa di Indonesia meski
tidak selalu dalam konteks perguruan tinggi atau di dalam setting pendidikan yang tidak
terungkap menjadi dasar mengapa film ini dipilih sebagai suatu bentuk perjuangan dalam
menyuarakan kasus-kasus yang tidak terungkap sebelumnya. Hal ini juga untuk membantu
memahami bagaimana efek psikologis dan dampak lain yang ditimbulkan oleh ketiadaan
tanggapan secara hukum yang seharusnya pada kasus yang sensitif.
Berdasarkan ikon, indeks, dan simbol, hal-hal yang tercantum pada film “The Hunting
Ground” ini merupakan rangkaian dari adanya kekerasan seksual di perguruan tinggi di Amerika
Serikat dan bagaimana hal tersebut ditanggapi. Pada awalnya, ikon-ikon mengindekskan dan
menyimbolkan gambar atau scene yang tidak mendukung para penyintas kekerasan seksual
seperti kurangnya tanggapan dari universitas dan efek psikologis yang semakin buruk dengan
perlakuan tersebut. Akan tetapi, terdapat ikon-ikon lanjutan yang mengindekskan dan
menyimbolkan adanya perjuangan dari para penyintas hingga mereka mendapatkan keadilan
dari pemerintah.
Dari segi semiotika bahasa dan gerak, pada awalnya juga menangkap hal-hal seperti adanya
keputusasaan, marah, trauma, dan kesedihan bagi para penyintas dan arogansi dan koalisi antara
pihak penguasa (universitas dan pelaku atau para tertuduh). Walau demikian, pada akhirnya
terdapat perjuangan yang tidak mudah menyerah dan ekspresi-ekspresi gerak yang puas dan
membahagiakan saat tujuan penyintas untuk didengarkan tercapai.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih ada harapan mengenai penanganan yang lebih
layak tentang kekerasan seksual yang terjadi di Amerika Serikat yang juga dapat menjadi
harapan bagi negara lain.
Film ini nerupakan film yang berlatarbelakang di Amerika Serikat, sehingga konteks
budayanya berbeda dengan negara seperti di Indonesia, seperti misalnya terlihat dalam
adanya fraternities dan mahasiswa atlet. Konteks keterbukaan untuk melakukan testimonial
hingga asertivitas dan pejuangan hingga ke pemerintah tampaknya masih perlu dikaji lagi jika
di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meski film ini memuat harapan mengenai
adanya penanganan kasus kekerasan seksual yang layak, perlu adanya acuan lain yang
digunakan jika ingin menerapkan harapan dan perjuangan mengenai penanganan hukum
kekerasan seksual di Indonesia. Selain itu, di dalam ini meski dikaji mengenai efek
psikologisnya, tidak lagi dibahas mengenai penanganan psikologis apa yang sebaiknya
dikenakan pada para penyintas agar mereka juga mendapatkan bantuan secara legal dan
psikologi hingga menyeluruh.

Sumber:

Campbell, R., Adams, A., Wasco, S., Ahrens, C., & Sefl, T. (2009). Training Interviewers for
Research on Sexual Violence. Violence Against Women, XX (X): 1-23.
Koo, K., Nguyen, H., Andrasik, M., & George, W. (2015). The Cultural Context of
Nondisclosure of Alcohol-Involved Acquaintance Rape Among Asian American
College Women: A Qualitative Study. Journal of Sex Research, 52 (1): 55-68.
Tayangan Film "The Hunting Ground"

Anda mungkin juga menyukai