Anda di halaman 1dari 3

Nama : Noviyanti Azis

NIM : 1710521011
Review Movie Pink

Kekerasan berbasis gender adalah fenomena sosial yang terjadi atas tatanan sosial yang
kompleks seperti moral sosial-keagamaan, perspektif budaya, latar belakang ekonomi, ideologi
dan dukungan sistem hukum. Kekerasan ini sebagian besar terjadi berdasarkan prinsip Patriarki
sehingga laki-laki menjadi pelaku dan perempuan menjadi korban. Kasus-kasus seperti ini,
menjadi sangat biasa terjadi di beberapa negara seperti Denmark dan Finlandia, Zimbabwe,
Australia, Kanada, Selandia Baru, India, Inggris dan Wales, Amerika Serikat, Swedia dan Afrika
Selatan mengingat banyak kasus yang terdaftar di kepolisian negara tersebut setiap tahunnya.
Meskipun umumnya kasus yang tidak terlaporkan terindikasi sangat tinggi mengingat
pertimbangan korban selain trauma psikis, pandangan sosial terhadap dirinya dan keluarganya
menjadi beban sosial yang sangat sulit ditanggung oleh korban karena seringkalinya terjadi
Victim Blaming. Perilaku menyalahkan korban terjadi ketika korban dari suatu tindakan
kejahatan justru bertanggung jawab untuk kejahatan yang mereka dapatkan dan sering berlaku
dalam konteks kekerasan seksual dengan parameter seberapa layak seorang perempuan melalui
ketersediaan melakukan kontak romantic berdasarkan kesetujuan kedua belah pihak, jenis
pakaian yang dipakai saat kejadian dan mengundang atau menemani teman kencan ke tempat
tinggalnya. Sehingga terjadi ketidakpercayaan atas pengakuan dan pengaduan korban dan
berbalik menyalahkan korban atas tindakannya bahkan tidak jarang mendapatkan perlakuan
direndahkan secara verbal maupun fisik.
Film Pink yang ditayangkan pada 2016 lalu, sedikit mengubah cara pandang masyarakat
dan aparat hukum atas kasus-kasus pelecehan dan pemerkosaan yang seringkali terjadi di negara
India. Dimana prinsip patriarki dan kekuasaan atas nama kekayaan keluarga sangat dominan.
Sehingga, seringkali terjadi pengabaian dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memutar balikkan
korban menjadi pelaku. Film ini, di sutradarai oleh Aniruddha Roy Chowdhury dan di tulis oleh
Ritesh Shah atas produksi Rashmi Sharma Telefilms. Meskipun terdapat beberapa pemotongan
verbal sebagai syarat kelulusan sertifikat penayangan. Namun, pesan moral dalam film tersebut
tersampaikan dengan sangat baik. Terdapat cukup banyak dialog dalam Film ini yang menarik.
Terutama penyampaian pesan yang disebutnya 5 golden rules, pernyataan penutup sidang
tuntutan oleh pengacara dan puisi epilog pada akhir film. Seperti Dialog penutup dari
persidangan yang menjadi sangat fenomenal ketika film ini ditayangkan yaitu ‘No means No’.
Pernyataan ini cukup banyak menarik perhatian para partisi Pendidikan bahkan terbentuk
sebuah buku yang menjadi dasar dari pernyataan tersebut oleh Gautam Chintamani berjudul
Pink: The Inside Story yang melibatkan Tim Produksi dan beberapa aktor dalam film tersebut.
Dikisahkan suatu peristiwa dari tiga perempuan Minal Arora, Falak Ali dan Andrea. Peristiwa
tersebut mengakibatkan tiga perempuan ini harus melibatkan diri dalam perseteruan hukum yang
alot dengan berbagai pertimbangan yang tidak satupun berpihak pada posisi mereka. Mulai dari
laporan yang tidak ditanggapi, pengaduan yang diabaikan hingga perlakuan diskriminasi atas
identitas mereka yang merupakan seorang perempuan yang memiliki kemandirian, pekerjaan,
Pendidikan dan tumbuh dari lingkungan yang menurut masyarakat sekitar tidak baik dan tidak
terhormat. Hingga suatu hari peristiwa inipun menuju kepersidangan karena ketidakpuasan dari
pelaku yang pada dasarnya telah melakukan tindakan terror, asusila, penculikan bahkan
perkosaan. Dengan tuntutan tindakan asusila, percobaan pembunuhan dan perencanaan
pembunuhan, salah satu perempuan bernama Minal-pun ditahan.
Seorang pensiunan pengacara yang simpati akan hal yang menimpa ketiga perempuan
tersebutpun turut membantu. Pria berusia lanjut yang kesehariannya mengamati perilaku
masyarakat sekitar, melihat bahkan melaporkan salah satu peristiwa yang menimpa Minal ketika
itu. Namun, laporan tersebut mendapatkan pengabaian dan jaminan yang di ajukan oleh Andrea
dan Falak tidak ditanggapi dengan serius. Fakta inilah yang membuat Pensiunan pengacara
bernama Deepak Sehgal memutuskan untuk mengajukan diri sebagai pembela ketiga perempuan
tersebut. Dengan kecakapan dan karismanya persidanganpun berhasil dimenangkan oleh Deepak
Sehgal dengan tuntutan pelecehan seksual dan penolakan atas tuduhan percobaan pembunuhan
yang di ajukan oleh pihak pelaku.
Rhona K.M Smith menyebutkan tiga prinsip hak asasi manusia yaitu kesetaraan, non
diskriminasi dan kewajiban positif setiap negara. Tiga pedoman ini, menjadi latar belakang
tindakan pergerakan sosial seperti anti-apartheid, feminism, gerakan politik dan lainnya.
Terutama gerakan Feminisme yang dikenal atas pergerakan perjuangan kesetaraan gender.
Kesetaraan atas hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara sosial, ekonomi
maupun politik. Namun, perubahan atas pergerakan ini tidak dapat serta merta mengubah
keseluruhan pandangan masyarakat tentang perempuan dan ketidakadilan yang terjadi. Ruang
Publik dan Ruang Privat yang telah terbagi sejak dahulu dan turun temurun mengakar dan
terimplementasi menjadi kebiasaan sehingga cukup sulit untuk memperbarui dan
memperlihatkan bahwasanya terdapat perubahan dominasi dan keyakinan atas sifat feminim dan
maskulin dibelahan dunia lainnya atau dizaman lainnya atau pada suku, etnis lainnya.
Dalam film Pink, stereotipe atau pelabelan menjadi indikasi yang merugikan.
Diskriminasi akan dirinya yang seorang perempuan, berpenampilan nyentrik dan seorang penari
kemudian tumbuh dalam lingkungan yang dikenal di masyarakat sebagai lingkungan tidak
terhormat (peran perempuan cukup dominan diwilayah kelahiran mereka) dan apa tidak lagi
kehidupan yang cukup bebas dimasa remaja, mengakibatkan ketidakhormatan tersebut
melabelinya. Sehingga, pertemuan antara dirinya dan teman remajanya yang ketika itu mengenal
Minal dengan baik tanpa izin darinya menceritakan asal usul Minal pada pelaku dan turut pula
menyakini label tersebut sehingga peristiwa percobaan perkosaan dan tindakan pembelaan diri
hingga melukai pelaku terjadi.
Analisis secara semiotik (Roland Barthes) dalam film tersebut memperlihatkan berbagai
denotatif dan konotatif diskriminasi gender. Mulai dari ketidakseimbangan hukum, sosial,
budaya antara laki-laki dan perempuan. Dimana terjadi hampir diseluruh wilayah penganut
Patriarki. Diskriminasi penampilan dan karakter perempuan antara terhormat dan tidak terhormat
yang pada dasarnya tidak ada penjelasan secara tepat atau defenisi secara tepat atas hal tersebut.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi laki-laki. Pendidikan, kehormatan dan hak bersosialisasi
serta kebebasan dalam bekerja seakan diciptakan secara naluriah untuk laki-laki bahkan dalam
masyarakat yang telah terbilang modern. Sehingga melahirkan kekeliruan atribut yang justru
merugikan bahkan dapat mengindikasikan kejahatan lainnya atas ketidakpercayaan aparat dan
lingkungan. Ekspektasi yang lahir dari pemikiran tradisional selalu membayangi langkah sosial
perempuan oleh perempuan lainnya bahkan membayangi identitas sebuah kelompok perempuan
dengan individu yang berada disekitarnya. Sehingga seringkali menghadirkan ketidakadilan
sosial, ekonomi dan politik sedangkan HAM telah hadir disetiap negara yang menyatakan
kewajiban dan hak Individu, kelompok dan negara yang seyogyanya memiliki identitas masing-
masing dan tidak mampu di deskreditkan sebagai suatu hal yang sama dengan hal lainnya, bukan
tentang laki-laki atau perempuan bukan pula tentang feminim dan maskulin.

Referensi:
Alifia Putri Yudanti, Ikko Anata, Yohanes Enggar. 2022. 10 Negara dengan Kasus Pemerkosaan Tertinggi. Artikel
Tren laman Kompas.com. 19 Oktober, 2022. Akses:
https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/19/220000665/10-negara-dengan-kasus-pemerkosaan-
tertinggi?page=all
Ani Purwanti. 2020. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Bildung Nusantara. ISBN: 978-623-7148-623
Deepa A. 5 Rules That Big B Perfectly Highlighted In “Pink”! You’ll Definitely Agree With Him!. Artikel RVCJ
Media. Akses: https://www.rvcj.com/5-rules-big-b-perfectly-highlighted-pink-youll-definitely-agree/amp/
Diah Atika. 2017. Teori dan Prinsip Hak Asasi manusia. 22 Oktober, 2017. Akses:
https://www.academia.edu/16610574/Teori_dan_Prinsip_Hak_Asasi_Manusia
Dialog dan terjemahan dapat dilihat: https://karyakarsa.com/intandai/no-means-no-pesan-kuat
Erika Putri Wulandari. Hetty Krisnani. 2020. Kecenderungan Menyalahkan Korban (Victim-Blaming) Dalam
Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan Atribusi. Social work Jurnal vol
10/2. ISSN: 2339-0042 dan 2528-1577.
Gautam Chintamani. 2017. Pink: The Inside Story. Harper Collins. ISBN 9352770390. Akses:
https://www.scribd.com/book/427476630/Pink-The-Inside-Story
Halimatus Sakdiyah. 2018. Diskriminasi Gender dalam Film Pink: Analisis Semiotik Roland Barthes. Skripsi
program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya. Akses: https://core.ac.uk/download/pdf/154750019.pdf
Wikipedia_

Anda mungkin juga menyukai