Anda di halaman 1dari 5

KORELASI PELECEHAN SEKSUAL

DENGAN PAKAIAN KORBAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Guru : R.Sitorus

Oleh Kelompok
Adrian Valentino Manalu (01)
Cecilia Clementine Purba (05)
Gabie Patricia Pardede (12)
Only Tamauli Sianturi (29)

KELAS X IPA 4
SMA BUDI MULIA PEMATANGSIANTAR
2022/2023
1. Penjabaran
Pelecehan seksual adalah kasus yang tak habis habis di bahas dan marak kasusnya khususnya
di Indonesia. Pelecehan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan,
menyerang tubuh, karna ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan efek trauma pada korban.
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual sesungguhnya merujuk kepada tindakan bernuansa
seksual yang kemudian disampaikan melalui kontak fisik atau kontak nonfisik yang menyasar kepada
bagian tubuh seksual atau seksualitas seorang. Tindakan ini sendiri termasuk siulan, main mata,
komentar atau ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi materi pornografi serta
keinginan seksual, colekan atau sentuhan pada bagian tubuh sehingga menimbulkan rasa tidak
nyaman.
Pelecehan seksual sendiri disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, yang pertama
adalah faktor Keluarga, penelitian ini menunjukkan rata-rata yang mengalami kekerasan seksual
yaitu anak-anak broken home, atau berasal dari keluarga tidak utuh, faktor ekonomi, dan juga faktor
lingkungan yang tidak baik. Keadaan emosional muncul dari sakit hati yang datang dengan perceraian.
Sakit hati yang dialami atau dirasakan oleh korban itulah yang menjadi pemicu munculnya emosi.
Keluarga juga besar pengaruhnya terhadap pemicu permasalahan dalam kasus pelecehan seksual. Yang
kedua adalah faktor Lingkungan, faktor lingkungan sekitar yang kurang baik juga menjadi penyebab
terjadinya pelecehan seksual.Faktor yang ketiga adalah faktor Individu, faktor individu ini terjadi
karena kepribadian anak itu sendiri, baik itu internal maupun eksternal.
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana pun dan kapan pun, tidak hanya di malam hari dan
tempat sepi, bahkan di lingkungan sekitar rumah, di tempat kita menuntut ilmu seperti sekolah maupun
di rumah kita sendiri sering terjadi pelecehan seksual. Bahkan pelaku dari kasus pelecehan seksual bisa
saja berasal dari orang terdekat kita, seperti Ayah, Paman, tetangga, guru dan lainnya. Kasus kekerasan
atau pelecehan seksual hingga kini masih sering terjadi dan biasanya kasus ini dialami oleh perempuan
dan anak anak. Beberapa kelompok masyarakat sering memperdebatkan Faktor gaya berpakaian
seseorang adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kasus pelecehan seksual. Namun
kenyataanya faktor gaya berpakaian seseorang bukanlah menjadi faktor utama pemicu pelecehan
seksual. Adapun faktor utama yang memicu dari pelecehan seksual adalah murni dari keinginan dan
pikiran kotor dan nafsu bejat pelaku pelecehan seksual. Tapi, memang tak bisa dipungkiri juga, orang
berpakaian terbuka juga menjadi sasaran pelaku pelecehan seksual namun memang kasus nya sedikit.
Oleh karna itu faktor gaya berpakaian korban pelecehan seksual bukan menjadi faktor utama pemicu
pelecehan.
Sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Muslim dan juga penduduk yang
mayoritas masih menganut budaya timur membuat stigma beberapa kelompok masyarakat terhadap
cara berpakaian seseorang adalah faktor yang mendorong terjadinya pelecehan seksual, orang yang
berpakaian terbuka dianggap sebagai pemicu hausnya nafsu bejat para pelaku kekerasan seksual.
Beberapa kelompok masyarakat beranggapan kalau berpakaian terbuka artinya diri nya sendiri yang
memancing oknum-oknum pelaku pelecehan seksual untuk melancarkan aksi nya. Menurut beberapa
kelompok masyarakat berpendapat “Tidak ada asap tanpa adanya api” dalam artian tidak ada
pelecehan seksual tanpa adanya pakaian yang ‘mengundang’ dari korban.
Budaya, menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut
melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga
dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena
melaporkan pemerkosaan tersebut karna pandangan masyarakat tentang pelecehan seksual itu karna
pakaian yang dikenakan korban itu sendiri. Ketika menyalahkan korban, yang umum nya adalah
perempuan masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual
yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya
mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan
toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman. Di Indonesia,
kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui
hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih
dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki
menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Lingkungan
masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape
culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui
penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan
atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon. Bercanda tentang
perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik
dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan
atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya. Disadari atau tidak, kebiasaan ini
membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan atau korban pelecehan.
Setiap insan manusia bebas/berhak dalam menggunakan atau merepresentasikan diri nya
melalui gaya berpakaiannya sendiri. Secara umum pakaian tidak berperan dalam mencegah atau
meperbesar kemungkinan terjadinya sebuah kekerasan seksual . Setiap orang memiliki kebebesan atau
hak dalam berpakaian. Pakaian tertutup maupun terbuka bukan menjadi alasan terjadinya pelecehan
seksual. Menurut Komisioner Komisi Nasional Perempuan Siti Aminah Tardi , menilai korelasi antara
pelecehan seksual dengan pakaian bersifat mitos. Bahkan, menurutnya, pernyataan tersebut hanya
sebagai tameng bagi pelaku untuk menyalahkan korban.“Satu dekade terdapat 45.000 kasus kekerasan
seksual yang diadukan ke Komnas Perempuan. Dari kasus tersebut menyatakan tidak semua korban
memakai baju yang terbuka,” kata Siti Menurutnya, kasus kekerasan seksual dapat menimpa siapa
saja. Sehingga, tidak ada korelasinya dengan cara berpakaian.
Menurut Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 24 jam, terdapat 35 perempuan yang menjadi
korban pelecehan seksual. Saat korban melaporkan kejadian tersebut malah korban yang disalahkan,
pertanyaan yang didapatkan seperti “pakaian apa yang kamu pakai pada kejadian tersebut?”. Padahal
menurut survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman, menyimpulkan bahwa tidak ada
kaitannya antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual.
Namun, tetap saja masyarakat khususnya yang beragama Muslim tetap berpekulasi tentang
pelecehan seksual ini selalu menyalahkan perempuan karena cara berpakaiannya, khususnya bagi
perempuan yang berpakaian terbuka yang mengundang syahwat. Kesalahan dari korban yang menurut
keyakinan agama yang mengartikan membuka aurat, adalah 'lampu hijau' untuk kita melakukan
kesalahan yang tidak lain yaitu pelecehan. Membuka aurat suatu kesalahan dalam sudut pandang
agama dan pelecehan seksual juga kesalahan dalam sudut pandang agama dan sosial. Sebagai manusia
yang dianugerahi syahwat ataupun ketertarikan terhadap lawan jenis, agama mengajarkan bagaimana
menundukkan pandangan bagi pria dan menutup aurat bagi perempuan. Keduanya dilakukan untuk
menghindari terjadinya fitnah (kekacauan). Ketidakmampuan kita menundukkan pandangan tidaklah
berarti jaiz (boleh) bagi kita melakukan pelecehan. Yang kedua, mengenai argumen korban tidak
memakai pakaian yang menutup aurat sehingga wajar jika dilecehkan karena tidak mematuhi perintah
agama. Beberapa kelompok masyarakat yang beragama Islam meyakini bahwa menutup aurat
merupakan perintah agama, apabila membuka aurat berarti sudah melanggar perintah agama.
Sehingga wajar saja masyarakat berspekulasi kalau pakaian adalah faktor pemicu pelecehan seksual
pada korban.

2. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan yang masih sering terjadi.
Pelecehan bisa terjadi dikarenakan nafsu bejat atau hasrat serta pikiran kotor seseorang yang kurang
baik. Namun beberapa kelompok masyarakat justru menyalahkan korban atas faktor cara berpakaian
korban yang dinilai masyarakat mengundang niat pelaku untuk melancarkan aksi nya sehingga
terjadinya pelecehan seksual. Namun, pada dasarnya motif terjadinya pelecehan seksual dikarenakan
individu yang memiliki kepribadian yang kurang baik. Seharusnya masyarakat tidak menyudutkan
maupun menyalahkan kembali korban. Para korban membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang
disekitarnya. Mereka juga tidak pernah berharap menjadi korban pelecehan tetapi masih banyak orang
yang menyalahkan korban, terkhusus yang berpakaian terbuka. Pemerintah, tidak tinggal diam dalam
meredakan kasus pelecehan seksual ini. Upaya pemerintah dalam mengurangi pelecehan seksual ini
adalag melalui adanya dibuatnya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual. Pelecehan sama sekali tidak dapat ditoleransi.Bahkan Negara saja menjamin perlindungan
korban pelecehan seksual. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban pelecehan seksual
diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban. Sebagai manusia
yang memiliki akal seharusnya kita mampu berpikir secara jernih dan bertindak dengan bijak. Marilah
kita mendukung korban pelecehan seksual dan ada untuk mereka yang menjadi korban kasus
pelecehan. Serta marilah menjadi manusia yang mampu berpikir dengan baik dan bertindak dengan
bijak.

Anda mungkin juga menyukai