Anda di halaman 1dari 13

FENOMENA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP SISWA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


TANGGUNG JAWAB DAN ETIKA MANAJEMEN
Dosen pengampu : Fadlun M.Pd.I

Di susun oleh :
Irfan Hanapi
Firdaus

INSTITUT NAHDLATUL ULAMA CIAMIS


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI MANEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
TAHUN 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pelecehan seksual menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat, karena kejadian


tersebut dapat terjadi dimana saja, seperti tempat kerja, jalanan, kendaraan umum dan bahkan di
internet. Kejahatan ini umumnya dilakukan oleh pria dan korbannya adalah wanita, tapi tidak
banyak juga dilakukan oleh wanita kepada pria atau kepada sesama jenis. Pelecehan seksual
merupakan prilaku rayuan yang tidak diinginkan penerima, dimana rayuan itu muncul dalam
bentuk halus, terbuka, kasar, dan bersifat searah Sebagaimana yang kita ketahui bahwa suatu
hasil senantiasa dipengaruhi oleh perencanaan, begitu pun pelaksanaan juga memiliki peran yang
sangat dominan. Selain itu, kedua hal tersebut akan terlihat manakala proses evaluasi berjalan
dengan baik. Dengan demikian evaluasi dari pelaksanaan program layanan bimbingan ini
hendaknya dipersiapkan dengan seksama.

Menurut Winarsunu (2008) Pelecehan seksual adalah prilaku seksual yang dilakukan oleh
sepihak dan tidak diingkan oleh korbannya. Berdasarkan aspek prilaku, Farley (1978)
menyatakan pelecehan seksual secara verbal lebih banyak dari pada secara fisik. Para ahli
menyatakan bahwa pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan yang tidak diinginkan
oleh korban, seperti merendahkan atau menghina, komentar yang cabul, komentar tentang tubuh.
Pelecehan seksual dalam bentuk fisik diantaranya adalah tatapan agresif pada bagian tubuh
sensitif, lirikan yang menggoda, rabaan remasan, cubitan, mendekap dan mencium. Gangguan
seksual ini terjadi karena kondisi dan situasi yang mendukung untuk terjadinya prilaku pelecehan
seksual.

Begal seks merupakan kata lain dari media untuk kejahatan pelecehan seksual di ruang
publik. Begal seks sama saja dengan kejahatan begal pada umumnya yaitu merampas barang
secara paksa, dalam kompleks begal seks juga terjadi perampasan terhadap harga diri seseorang.
Begal seks merupakan kejahatan dengan cara meraba bagian sensitif seseorang. Seperti
dikatakan Pangkahila (2019), begal seks terjadi karena tidak bisanya seorang pelaku menahan
nafsu yang berlebihan, akibatnya pelaku dan melakukan pelecehan seksual di jalan. Faktor ini
dilakukan karena pelaku mempunyai fantasi seks yang merugikan orang lain atau tidak
mempunyai pasangan untuk melampiaskan kebutuhan seksnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Pelecehan Seksual?
2. Apa jenis – jenis perbuatan bullying?
3. Faktor apa sajakah yang menjadi penyebab dan dampak dari adanya kasus pelecehan
seksual?
4. Bagaimanakah keterkaitan etikan dan tanggung jawab manajemen dengan kasus pelecehan
seksual ?
5. Bagaimanakah pencegahan yang dapat dilakukan atas kasus pelecehan seksual ?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian kasus pelecehan seksual.


2. Untuk mengetahui dan memehami jenis-jenis pelecehan seksual.
3. Untuk mengetahui dan memahami faktor penyebab dan dampak kasus pelecehan seksual.
4. Untuk mengetahui dan memahami keterkaitan antara kasus pelecehan seksual dengan etika
dan tanggung jawab manajemen.
5. Untuk mengetahui dan memahami pencegahan dari kasus pelecehan seksual.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pelecehan Seksual

Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang serius di hadapi peradaban modern saat
ini, karena adanya tindakan kekerasan seksual menunjukan tidak berfungsinya suatu norma pada
diri seseorang (pelaku) yang mengakibatkan dilanggarnya suatu hak asasi dan kepentingan orang
lain yang menjadi korbannya.

Semakin marak dan berkembangnya kekerasan seksual Komnas Perlindungan Anak dan
Perempuan menyebutkan beberapa bentuk kekerasan seksual diantaranya Perkosaan, Pelecehan
seksual, Eksploitasi seksual, Penyiksaan seksual, Perbudakan seksual serta Intimidasi/serangan
bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perksoaan.

Bentuk kekerasan seksual diatas disebutkan adanya pelecehan seksual, di dalam masyarakat
secara umum biasanya menyamakan kekerasan seksual dengan pelecehan seksual dengan suatu
tindakan yang sama. Pelecehan seksual dengan kekerasan seksual bisa dikatakan hampir sama,
akan tetapi sesungguhnya pelecehan seksual sebenarnya merupakan bagian dari bentuk
kekerasan seksual seperti yang disebutkan oleh Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan
tersebut diatas, namun tetapi di dalam hukum pidana tidak di perkenalkan istilah pelecehan
seksual melainkan kekerasan seksual saja yang di bagi menjadi persetubuhan dan pencabulan,
sebab pelecehan seksual merupakan bahasa yang akrab di masyarakat.

Pelecehan seksual adalah perilaku yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak
dikehendaki oleh penerima atau korbanya dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan,
perilakunya yang dapat digolongkan sebagai tindakan pelecehan seksual seperti pemaksaan
melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan yang berorientasi seksual atau seksualitas,
lelucon yang berorientasi seksual, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku
dan juga ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, tindakan-tindakan tersebut dapat
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung (implicit).

B. Jenis Jenis Pelecehan seksual

Bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi tiga jenis, sebagai berikut :

1. Pelecehan seksual Verbal Untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi layanan yang diberikan
itu dalam fungsinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua individu di sekolah dan
diluar sekolah.

1) Bercandaan, menggoda lawan jenis atau sejenis, ataupun mengajukan pertanyaan


seputar seksual didalam diskusi atau obrolan yang tidak dikhususkan membahas
seputar seksual.
2) Bersiul-siul yang berorientasi seksual.

3) Menyampaikan atau menanyakan pada orang lain tentang keinginan secara seksual
ataupun kegiatan seksual yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, yang membuat
orang itu tidak nyaman.

4) Mengkritik atau mengomentari bentuk fisik yang mengarah pada bagian-bagian


seksualitas, misalnya bentuk pantat ataupun ukuran kelamin seseorang.

2. Pelecehan seksual non verbal.

Bentuk pelecehan non verbal merupakan kebalikan dari verbal apabila dalam pelecehan
verbal adalah menggunakan kata-kata ataupun ajakan berbentuk tulisan dalam katagori non
verbal ini lebih menggunakan tindakan akan tetapi tidak bersentuhan secara langsung antara
pelaku dengan korbanya, misalnya :

1) Memperlihatkan alat kelamin sendiri dihadapan orang lain baik personal ataupun
dihadapan umum.

2) Menatap bagian seksual orang lain dengan pandangan yang menggoda.

3) Menggesek-gesekan alat kelamin ke orang lain

3. Pelecehan seksual secara fisik


Dalam katagori ini pelecehan seksual antara pelaku dan korban sudah terjadi kontak
secara fisik, dapat digolongkan perbuatan yang ringan dan berat misalnya :

1) Meraba tubuh seseorang dengan muatan seksual dan tidak di inginkan oleh korban.

2) Perkosaan atau pemaksaan melakukan perbuatan seksual.

3) Memeluk, mencium atau menepuk seseorang yang berorientasi seksual.


Bentuk lain pelecehan seksual pada anak selain yang dilakukan oleh orang dewasa dibagi
menjadi beberapa macam, yaitu :

1) Inces
Perilaku seksual yang dilakukan dalam lingkup keluarga dekat dimana dalam
keluarga dekat tidak diperbilehkan adanya hubungan perkawinan, misalnya ayah
dengan anak, ibu dengan anak, saudara kandung, kakek atau nenek dengan cucu dan
juga berlaku antara paman dengan keponakan atau bibi dengan keponakan. Selain
dengan adanya hubungan darah hal ini berlaku juga pada hubungan perkawinan
misalnya anak dengan ayah atau ibu tiri.
Dampak dari inces selain meninggalkan trauma, mengganggu perkembangan anak
karena belum waktunya melakukan aktifitas seksual juga akan merusak garis
keturunan apabila anak korban pelecehan seksual tersebut hingga mengalami
kehamilan, tentunya akan mengalami kebingungan dalam silsilah keluarga dan akan
mendapatkan cemooh an dari masyarakat sekitar.

2) Pedofilia
Kelainan seksual yang ditandai dengan rasa ketertarikan terhadap seksual orang yang
telah masuk dalam usia dewasa terhadap anak-anak, hal ini bisa diakibatkan karena 2
faktor yaitu akibat pengalaman masa kecil seseorang yang tidak mendukung tingkat
perkembangannya atau pengalaman seseorang yang pada masa kecilnya yang pernah
menjadi korban pelecehan oleh seorang pedofil juga. Penderita pedofilia belum tentu
memiliki kecenderungan melakukan aksi pelecehan seksual terhadap anak sebab
beberapa di antaranya hanya memliki ketertarikan saja namun tidak melakukan tindak
pidana seperti kekerasan seksual pada anak.

3) Pornografi anak
Layaknya pornografi pada umumnya pornografi pada anak juga hampir sama, hanya
saja anak-anak yang menjadi objek atau subjek dari pornografi tersebut, contoh
sederhana adalah anak-anak di paksa melihat atau mendengar gambar, video, atau
tindakan seksual secara nyata bahkan termasuk membaca tulisatulisan yang mengarah
pada aktivitas seksual, hal ini karena patut diduga bahwa seorang anak belum
sewajarnya menerima informasi seksual.

Pornografi di Indonesia sendiri di atur dalam UndangUndang No. 44 Tahun 2008


tentang Pornografi yang dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Sehingga
pornografi dapat masuk dalam jajaran pelecehan seksual anak apabila si anak dipaksa
melihat atau menjadi hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tersebut diatas.

4) Extrafamilial sexual abuse


Berbeda dengan inces, perbedaan terletak pada pelaku kejahatannya. Extrafamilial
sexual abuse dilakukan bukan dalam lingkup keluarga melainkan dalam lingkup
umum seperti sekolah, penitipan anak, ataupun tempat bermain. Dalam kategori ini
sudah banyak sekali contoh yang terjadi di masyarakat misalnya kasus pelecean
seksual di Jakarta International School (JIS) yang justru dilakukan di kamar mandi .
C. Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual

Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual :

1. Faktor Keluarga
Penelitian ini menunjukkan rata-rata yang mengalami kekerasan seksual yaitu anak-anak
broken home, atau berasal dari keluarga tidak utuh, faktor ekonomi, dan juga faktor
lingkungan yang tidak baik. Keadaan emosional muncul dari sakit hati yang datang
dengan perceraian. Sakit hati yang dialami atau dirasakan oleh korban itulah yang
menjadi pemicu munculnya emosi. Keluarga juga besar pengaruhnya terhadap pemicu
permasalahan dalam kasus pelecehan seksual.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sekitar yang kurang baik juga menjadi penyebab terjadinya pelecehan
seksual. Apalagi sering kita lihat sekarang ini, betapa banyak anak yang salah pergaulan,
sehingga salah jalan dan berani melakukan sesuatu di luar batas kendalinya. Bisa juga
karena dorongan dari teman-teman di sekitarnya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati
dalam bersosialisasi dengan orang lain, kita harus bisa memilih lingkungan yang baik,
memilih teman atau saudara yang baik.(Kayowuan Lewoleba & Helmi Fahroz, 2020)
3. Faktor Individu
Faktor individu ini terjadi karena kepribadian anak itu sendiri, baik itu internal maupun
eksternal. Bisa terjadi karena kondisi keluarga ataupun lingkungan masyarakat yang
kurang baik. Faktor internal meliputi anak dengan kebutuhan khusus, anak itu terlalu
polos, mudah terpengaruh, anak terlalu bergantung kepada orang dewasa, dan lain-lain.

D. Dampak Pelecehan Seksual

Finkelhor dan Browne mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual
yang dialami oleh anak-anak, yaitu:

1. Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan


seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan
kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas
orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002) menemukan
bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan
seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah
tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama
jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi
buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan
tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak
mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada
tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang
berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4. Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri
yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa
bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban
sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya
akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan
minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).

E. Keterkaitan Tanggung Jawab Dan Etika Manajemen Terhadap Kasus Pelecehan


Seksual

Tanggung jawab dan etika manajemen berperan besar dalam penanganan kasus pelecehan
seksual di sekolah. Pertama, tanggung jawab dalam hal ini mengacu pada kewajiban individu
atau lembaga untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan atau terjadi di lingkungan
mereka. Ketika kasus pelecehan seksual terjadi di antara siswa, maka sekolah dan para pelaku
penegak hukum di sekolah memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus tersebut secara
tegas dan adil.

Di sisi lain, etika manajemen berperan dalam memberikan arahan yang jelas tentang
bagaimana kasus-kasus pelecehan seksual harus ditangani, termasuk pencegahan, tindakan
pencegahan, dan penegakan hukum terkait kasus tersebut. Hal ini termasuk memastikan bahwa
semua kebijakan dan prosedur yang relevan telah ditetapkan dan dijalankan, serta memberikan
perlindungan yang diperlukan bagi siswa yang menjadi korban.

Kasus pelecehan seksual di antara siswa juga membutuhkan pendekatan yang sensitif dan
empati dari pihak sekolah, serta perlunya mendukung korban untuk melaporkan kasus tersebut.
Tanggung jawab dan etika manajemen juga berperan dalam mengamankan bukti, menjaga
kerahasiaan, dan menyelenggarakan proses penyelidikan yang adil dan obyektif.

Selain itu, tanggung jawab dan etika manajemen juga berperan dalam memberikan
dukungan dan perlindungan kepada korban, termasuk memastikan akses terhadap layanan
kesehatan dan dukungan psikologis yang diperlukan. Selain itu, pihak sekolah juga memiliki
tanggung jawab untuk berkomunikasi dengan orang tua atau wali siswa terkait kasus pelecehan
seksual dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Dengan demikian, tanggung jawab dan etika manajemen dalam kasus pelecehan seksual di
antara siswa sangatlah penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan
mendukung bagi semua siswa, serta menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di
lingkungan pendidikan.

Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual di antara siswa, tanggung jawab dan etika
manajemen memiliki peran yang sangat penting. Pertama, tanggung jawab memastikan bahwa
semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan kasus tersebut bertanggung jawab atas tindakan
mereka dan memberikan perlindungan serta perawatan yang diperlukan kepada korban. Hal ini
melibatkan penyusunan kebijakan dan prosedur yang jelas tentang bagaimana kasus pelecehan
seksual harus ditangani, termasuk pencegahan, penanganan, dan pelaporan kasus tersebut.

Etika manajemen juga memainkan peran penting dalam memastikan bahwa semua langkah
yang diambil dalam menangani kasus pelecehan seksual didasarkan pada prinsip-prinsip moral
yang benar, termasuk keadilan, kesetaraan, dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang
berlaku. Hal ini mencakup memberikan dukungan dan perlindungan kepada korban, melibatkan
pelatihan bagi staf dan siswa tentang pencegahan pelecehan seksual, serta menerapkan sanksi
yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual.

Lebih jauh lagi, tanggung jawab dan etika manajemen juga berperan dalam
mengkomunikasikan informasi tentang kasus pelecehan seksual kepada seluruh komunitas
sekolah dengan jujur, transparan, dan sesuai dengan kebijakan perlindungan data yang berlaku.
Ini merupakan bagian integral dari tanggung jawab sekolah untuk menciptakan lingkungan yang
aman dan mendukung bagi semua siswa.

Dalam konteks kasus pelecehan seksual di antara siswa, penting untuk memastikan bahwa
ada pemahaman yang jelas tentang tanggung jawab dan etika manajemen, serta
mengimplementasikan prosedur yang efektif dalam menangani kasus tersebut. Ini tidak hanya
melibatkan respons yang cepat dan adil terhadap kasus yang terjadi, tetapi juga upaya
pencegahan untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Secara keseluruhan, tanggung jawab dan etika manajemen memainkan peran yang sangat
penting dalam menangani kasus pelecehan seksual di antara siswa. Hal ini melibatkan penerapan
kebijakan dan prosedur yang jelas, dukungan dan perlindungan terhadap korban, serta penegakan
hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
tanggung jawab dan etika manajemen secara konsisten, sekolah dapat menciptakan lingkungan
yang aman dan mendukung bagi semua siswa, serta memberikan pesan yang jelas bahwa
pelecehan seksual tidak akan ditoleransi dalam lingkungan pendidikan.

F. Pencegahan Terhadap Kasus Pelecehan Seksual

Pencegahan pelecehan seksual merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh
individu, masyarakat, dan pemerintah. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil
untuk mencegah kasus pelecehan seksual:
1. Edukasi dan kesadaran: Edukasi merupakan kunci untuk mencegah pelecehan seksual.
Mengedukasi masyarakat tentang apa itu pelecehan seksual, bagaimana mengidentifikasi
tanda-tanda pelecehan, dan bagaimana merespons serta melaporkannya sangat penting.
Sekolah, tempat kerja, keluarga, dan masyarakat secara umum harus menyediakan
pendidikan tentang pentingnya pencegahan pelecehan seksual.

2. Mendorong pembicaraan terbuka: Menciptakan lingkungan di mana orang merasa nyaman


untuk berbicara tentang pelecehan seksual dapat membantu dalam pencegahan. Ini dapat
dilakukan melalui kampanye kesadaran, kelompok diskusi, atau acara publik yang bertujuan
untuk mengatasi stigma dan meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual.

3. Pembentukan kebijakan dan peraturan yang jelas: Organisasi, lembaga pemerintah, dan
tempat kerja harus memiliki kebijakan dan peraturan yang jelas terkait dengan pelecehan
seksual. Hal ini termasuk prosedur pelaporan, penanganan kasus, dan sanksi bagi pelaku
pelecehan seksual. Kebijakan yang kuat dan penerapan peraturan yang konsisten dapat
menjadi langkah yang efektif dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual.

4. 4. Melibatkan komunitas: Komunitas dapat memainkan peran penting dalam pencegahan


pelecehan seksual dengan cara mendukung korban, mengadakan acara kesadaran,
memfasilitasi pencarian bantuan, dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang.
Kolaborasi antara lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan kelompok
masyarakat lokal juga dapat membantu dalam memperkuat upaya pencegahan.

5. Mengajar keterampilan interpersonal: Membantu individu untuk mengembangkan


keterampilan komunikasi yang sehat, pengambilan keputusan yang bijaksana, serta
pengetahuan tentang batas pribadi dan orang lain dapat menjadi langkah yang efektif dalam
pencegahan pelecehan seksual. Pelatihan ini dapat dilakukan di sekolah, tempat kerja, atau
lembaga masyarakat untuk semua usia.

6. Mendukung korban: Penting untuk mendukung korban pelecehan seksual dengan


memberikan akses yang mudah ke bantuan medis, konseling, dan dukungan hukum.
Masyarakat juga harus menghilangkan stigma dan menawarkan dukungan emosional kepada
korban untuk membantu mereka pulih dari dampak psikologis dan emosional pelecehan
seksual.

7. Meningkatkan tanggung jawab sosial: Memberdayakan individu untuk bertindak saat


melihat tindakan pelecehan seksual, mengajak mereka untuk menjadi bagian dari upaya
untuk mencegah dan melaporkan kasus pelecehan sangat penting. Memiliki komunitas yang
bertanggung jawab sosial dapat membantu mencegah terjadinya pelecehan seksual dengan
meminimalkan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.
8. Kampanye kesadaran publik: Kampanye kesadaran publik yang terus-menerus dapat
membangun kesadaran tentang pelecehan seksual dan mengubah sikap masyarakat
terhadapnya. Melalui media massa, kampanye daring, dan kegiatan pemberdayaan
masyarakat, kita dapat mengubah pandangan dan perilaku yang memungkinkan pelecehan
seksual.

9. Melibatkan pria dan anak laki-laki: Penting untuk melibatkan pria dan anak laki-laki dalam
upaya pencegahan pelecehan seksual. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan
yang mendorong kesetaraan gender, mengajarkan respek terhadap perempuan, dan
menghilangkan stereotip gender yang memberi ruang bagi terjadinya pelecehan seksual.

10. Mendorong perlindungan hak asasi manusia: Mendorong perlindungan hak asasi manusia
juga merupakan bagian integral dari upaya pencegahan pelecehan seksual. Memastikan
bahwa hukum dan kebijakan mencakup perlindungan terhadap pelecehan seksual, serta
memperjuangkan keadilan bagi korban, adalah langkah penting dalam mendukung
pencegahan pelecehan seksual.

Setiap langkah dalam pencegahan pelecehan seksual memerlukan kolaborasi antara individu,
lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan
yang aman dan mendukung bagi semua orang. Dengan melakukan hal ini, kita dapat bergerak
menuju masyarakat yang bebas dari pelecehan seksual.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Pelecehan seksual adalah perilaku yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak
dikehendaki oleh penerima atau korbanya dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan,
perilakunya yang dapat digolongkan sebagai tindakan pelecehan seksual seperti pemaksaan
melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan yang berorientasi seksual atau seksualitas,
lelucon yang berorientasi seksual, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku
dan juga ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, tindakan-tindakan tersebut dapat
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung (implicit).

Tanggung jawab dan etika manajemen berperan besar dalam penanganan kasus pelecehan
seksual di sekolah. Pertama, tanggung jawab dalam hal ini mengacu pada kewajiban individu
atau lembaga untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan atau terjadi di lingkungan
mereka. Ketika kasus pelecehan seksual terjadi di antara siswa, maka sekolah dan para pelaku
penegak hukum di sekolah memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus tersebut secara
tegas dan adil.

Setiap langkah dalam pencegahan pelecehan seksual memerlukan kolaborasi antara individu,
lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan
yang aman dan mendukung bagi semua orang. Dengan melakukan hal ini, kita dapat bergerak
menuju masyarakat yang bebas dari pelecehan seksual.

V
DAFTAR PUSTAKA

Aprillita, K. W. S. (2012). Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Pelecehan Seksual Pada


Remaja.http://repository.unair.ac.id/120124/ 00.09

Kayowuan Lewoleba, K., & Helmi Fahrozi, M. (2020). Studi Faktor-Faktor Terjadinya
TindakKekerasan Seksual Pada Anak-Anak. Esensi Hukum, 2(1), 27–48.
https://doi.org/10.35/esensihukum.v2i1.20

Hariadi, Sri Sanituti. 2000. Tindak Kekerasan terhadap Anak : Masalah dan
UpayaPemantauannya. Surabaya. Lutfansah Mediatama

Noviana, I (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Jurnalchild
Sexual Abuse: Impact And Hendlin

Anda mungkin juga menyukai