Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH

PERKEMBANGAN DAN PENCEGAHAN MASALAH SOSIAL DAN KEJAHATAN


(Dosen: Dr.Sutrisno)

PEMROFILAN KRIMINAL DALAM KASUS KEJAHATAN SEKSUAL


P.Sonny Bhakti Wibowo1

1.1 Pendahuluan

.“Kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat
dibiarkan yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.”
----B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial
Cuplikan artikel diatas yang diambil dari salah satu surat kabar online sindonews.com
berisikan beberapa berita tentang kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan norma
kesusilaan. Di jaman sekarang ini banyak sekali terjadi kejahatan terutama yang berhubungan
dengan seksualitas, wanita menjadi salah satu pihak yang terlibat dan rentan dikatakan sebagai
korban kejahatan seksualitas. Kejahatan seksualitas sejak dahulu hingga sekarang selalu
mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri.
Persoalan kejahatan seksualitas bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam
masyarakat yang sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia ini. Dengan adanya
1
Mahasiswa Magister Ilmu Kepolisian STIK PTIK Angkatan ke-5
perkembangan itu dapat dipastikan terjadi perubahan tata nilai, dimana perubahan tata nilai yang
bersifat positif berakibat pada kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera, sedang
perubahan tata nilai bersifat negatif menjurus ke arah runtuhnya nilai-nilai budaya, Menurut Van
Bemmelen, kejahatan seksualitas adalah: “ Tiap-tiap perilaku yang bersifat tindak susila yang
merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan didalam suatu masyarakat tertentu.
Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakukan itu
dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut”.
Dewasa ini berkembangnya zaman merubah pemikiran para generasi mudanya untuk
cenderung senang mempertontonkan dan mengumbar bagian-bagian tubuh mereka yang
mengundang orang untuk melakukan pelecehan seksual. Salah satu masalah yang dihadapi
remaja dan menjadi masalah bagi lingkungannya adalah aktivitas seksual yang akhir-akhir ini
nampak menjurus pada hal-hal negatif. Dikatakan negatif karena para remaja bersikap dan
bertingkah laku yang menyimpang, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam
perilaku seksual disalurkan dengan sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum berumur,
dan sebagainya, demikian juga berkembangnya tehnologi juga banyak pengaruhnya terhadap
perilaku pelecehan seksual, teknologi yang seharusnya sangat berguna untuk hal-hal yang positif
apabila disalahgunakan dapat menjadi media utama berkembangnya hal-hal yang negatif seperti
halnya media internet yang banyak mempertontonkan konten-konten seksual pornografi,
pornoaksi, pelecehan seksual dsb
Pengungkapan kasus kejahatan seksual menjadi menarik dan punya daya tarik tersendiri
bagi seseorang untuk dipelajari dikarenakan seringkali munculnya kasus kejahatan seksual
selalu berhubungan dengan perilaku kejiwaan yang dialami oleh pelakunya, pengalaman hidup,
tekanan psikologis, usia, sejarah medis, yang semuanya memberikan pengaruh seseorang
berbuat baik yang direncanakan maupun yang tidak untuk berbuat sesuatu yang melanggar
kesusilaan, perlunya mempelajari pemrofilan kriminal ini untuk mengungkap kejahatan seksual
adalah untuk memberikan suatu pandangan terhadap beberapa kemungkinan teknik investigasi
yang dapat digunakan oleh penyidik agar dapat mempermudah arah dan ruang gerak
penyelidikannya sehingga dapat menentukan langkah progres report yang kongkrit terhadap
kemajuan suatu perkembangan kasus yang kejahatan seksual yang ditangani
2.1 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yakni :
1. Mengetahui, memahami dan mampu menjelaskan secara mendalam tentang kejahatan
seksual
2. Mengetahui, memahami dan mampu menjelaskan tentang pemrofilan kejahatan
3. Mengetahui, memahami dan mampu menjelaskan hubungan dan kegunaan pemrofilan
kejahatan dalam kasus kejahatan seksual
3.1 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan sesksual dan pemrofilan kejahatan ?
2. Bagaimanakah hubungan antara pemrofilan kejahatan yang dapat digunakan untuk
pengungkapan kasus kejahatan seksual ?
4.1 Pembahasan

4.2 Kejahatan Seksual

Sebelum kita membahas berkaitan dengan klasifikasi kejahatan seksual terlebih dahulu
kita harus memahami pengertian dari kejahatan seksual, Menurut Grifin dan West (2006,
halaman 143-144) mengemukakan pendapatnya tentang definisi dari kejahatan seksual adalah
suatu istilah yang mengidentifikasikan banyaknya kemungkinan pelanggaran terhadap seseorang
maupun komunitas masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan seksual

Dalam sejarah, setiap budaya mencoba menentukan tingkah laku mana saja yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan seksual dengan sesuai dengan pemahaman dari masing-masing
yang paling dapat mencerminkan sikap dan kepercayaan mereka. Penentuan terhadap kategori
kejahatan seksual tersebut termasuk juga dengan sanksi yang diberikannya tidaklah sama atau
statis. Selalu berbeda-beda dan terus berkembang secara radikal dalam berbagai budaya dan
generasi yang berbeda-beda, seperti contoh yang paling terlihat misalnya dalam kebudayaan
timur yang benar-benar selalu mengedepankan norma-norma adat, norma sosial dimasyarakat
dalam memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan, sementara norma hukum yang berlaku
adalah sebagai solusi terakhir bilamana intensitas perbuatan kejahatannya sudah tidak dapat
ditolerir lagi. Ide terkait penentuan tingkah laku kejahatan seksual beserta hukumannya di tiap-
tiap negara selalu berganti setiap saat. Sebagai contoh, dulu hukum Taurat Musa menegaskan
hukuman mati bagi kedua belah pihak dewasa yang sudah menikah apabila melakukan
perzinahan. Sedangkan hukum klasik Romawi menegaskan hukuman hanya bagi pihak si istri
dan bukan pihak suami, bahkan sekarang muncul wacana bahwa pelaku kejahatan seksual yang
mana secara mayoritas dilakukan oleh Laki-laki dilakukan hukuman kebiri.
Sebagai faktor utama yang menentukan apakah suatu tindakan itu termasuk kejahatan
seksual adalah terkait persoalan kerelaan (persetujuan). Kerelaan atau persetujuan yang
dimaksud di sini adalah tindakan pemberian izin dengan kesadaran penuh terhadap
konsekuensinya. terkecuali para pekerja seks komersil tidak dapat dikategorikan sebagai
kejahatan seksual dikarenakan persetujuan melakukan kontak seksual dengan seseorang tanpa
melalui tahap-tahap perasaan menjadi bagian dari profesinya. Meskipun demikian kejahatan
seksual tidak melulu dilakukan oleh seseorang yang tak dikenal, tetapi juga dilakukan oleh
kenalan, rekan, keluarga atau bahkan pasangan.
Kategori-kategori didalam kejahatan seksual terdapat 4 kategori diantaranya :
1. Non-Konsensual dimana kejahatan seksual ini dilakukan dengan unsur
pemaksaan dengan menggunakan kekerasan fisik seperti pemerkosaan
atau penyerangan seksual.
2. Psikologis bentuk-bentuk kejahatan seksual seperti pelecehan seksual,
perdagangan manusia, mengintip, mengawasi, voyeurisme
3. Penggunaan posisi kepercayaan untuk tujuan seksual, seperti pedofilia,
incest, necrofilia
4. Perilaku yang dianggap oleh pemerintah/penguasa negara tidak senonoh
Kategori diatas didasarkan dari ciri-ciri pelaku kejahatan seksual dengan masing-masing
keterlibatan perilakunya, tujuannya, kemampuan dalam melakukan, intensitas dan parahnya
tindakan perlakuan tersebut. beberapa pelaku kejahatan seksual memiliki ketertarikan khusus
terhadap perilaku seksual menyimpang yang dapat dilacak pada masa remajanya. Sedangkan
pelaku yang lain melakukannya karena dorongan ketertarikan atas penyimpangan pengalaman
seksual sementara yang dilatarbelakangi oleh kecemasan, konflik, stress, atau krisis dalam
hubungan cinta di usia dewasanya.
Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan seksual dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Perkosaan
Berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas atau
membawa pergi (Haryanto, 2007) secara umum pemerkosaan adalah suatu
tindakan kriminal dimana si korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual,
khususnya penetrasi dengan alat kelamin, diluar kemauannya sendiri.
Jenis kejahatan perkosaan dapat dibagi sebagai berikut :
a. Pemerkosaan saat berkencan, merupakan hubungan seksual secara paksa
tanpa persetujuan oleh orang yang dikenal seperti teman, anggota
keluarga, atau pacar
b. Pemerkosaan dengan menggunakan obat-obatan, digunakan untuk
membuat hilangnya kesadaran dari korban yang menjadi tujuan pelaku
untuk kemudian menuntaskan hasratnya
c. Pemerkosaan fisik wanita, pemerkosaan yang dilakukan karena ketidak
berdayaannya seorang pelaku untuk menuntaskan hasratnya karena
melihat bentuk tubuh wanita
d. Pemerkosaan anak-anak, pelaku menentukan targetnya kepada seseorang
yang belum dapat dikatakan dewasa, masih dalam usia anak-anak dan
biasanya perlakuan ini dikarenakan penyimpangan perilaku psikologis
seseorang dan seringkali dilakukan oleh orang-orang terdekat korban
e. Pemerkosaan massal, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang
terhadap satu korban
f. Pemerkosaan dalam perang, perkosaan yang dilakukan ketika saat-saat
perang untuk menurunkan martabat, moral dan menurunkan semangat
juang musuh
g. Pemerkosaan oleh suami/istri, perkosaan yang dilakukan dalam
hubungan rumah tangga
h. Staturory rape, hubungan seks dengan orang usia tertentu, bisa kepada
lansia atau anak dibawah umur
2. Penganiayaan anak dibawah umur
Penganiayaan anak di bawah umur merupakan sub kelas tertentu dari kejahatan
seksual. Merujuk pada kontak seksual apapun dengan anak kecil atau remaja di
bawah umur di bawah usia sadar (Torres dan Van der Walt, 2009,). Aktifitas ini
meliputi jangkauan yang amat luas pelanggaran seksual kriminal dari mulai
perzinahan hinga pedopilia. Ia juga mewakili persentase terbesar pelaku
kejahatan seksual tertuduh (Lindsay dan rekan, 2004).
3. Bestialitas (penyimpangan seksual dengan menggunakan obyek hewan/binatang)
Dapat dikatakan juga zoerasti yaitu aksi seksual apapun yang dilakukan dengan
binatang, sementara zopilia atau lebih dikenal dengan nama bestialti preferensial
diartikan sebagai “keinginan yang jelas untuk melakukan hubungan sek dengan
binatang” (Earls dan Lalumiere, 2009). Dalam sejumlah yuridiksi, kejahatan
seksual terhadap binatang ini merupakan kejahatan kriminal dalam esensinya
sendiri. Sementara dalam yuridiksi yang lain, bestialiti diperlakukan sebagai
kejahatan properti (kepemilikan) dan pelakunya hanya dituntut sebagai pelanggar
kepemilikan orang lain tanpa izin.
4. Voyeurisme
merupakan salah satu pelangggaran seksual tanpa kontak badan, seperti
melakukan kegiatan masturbasi di muka umum, pornoaksi, berbuat tidak senonoh
di tempat-tempat umum, Istilah ini juga merujuk pada ketertarikan seksual
dengan melakukan praktik mengintip orang lain yang sedang melakukan hal
privasi semisal melepas pakaian Hal ini termasuk ketika si pelaku melakukannya
dengan cara mengintip lewat jendela dengan harapan melihat orang dalam
berbagai posisi tidak berbusana, mengambil gambar orang lain di kamar mandi,
dan melihat orang lain dalam ruangan ganti pakaian tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan (Torres dan Van der Walt, 2009).
5. Fetishisme
Seksual fetish merupakan kejahatan seksual dengan tertarik benda-benda yang
menimbulkan fantasi erotis atau seksual. Menurut Lowenstein ,2002, objek-objek
yang sering digunakan dalam area fetish adalah sepatu, bra, celana dan lain
sebagainya. Terkadang untuk mendapatkan objek-objek fetish tersebut, pelaku
memaksakan diri untuk memasuki rumah orang lain tanpa izin untuk
mendapatkan bra atau celana yang pernah di pakai oleh seorang wanita.
6. Necrophilia
Salah satu kejahatan seksual yang merupakan penyimpangan perilaku kejiwaan
dari si pelaku dimana mempunyai hasrat untuk melakukan hubungan seksual
dengan jasad seseorang yang telah mati
7. Perilaku kejahatan seksual yang dilakukan oleh wanita
Mayoritas kejahatan seksual didominasi oleh pelaku yang berkelamin pria,
namun didalam beberapa kasus obyek sasarannya lebih ditujukan kepada laki-laki
dengan pelaku seorang wanita yang mempunyai hasrat seksual yang tinggi
terhadap lawan jenisnya
Ketujuh jenis kejahatan seksual yang telah disebutkan adaalah jenis kejahatan yang
sudah teridentifikasi dan didasari dari beberapa kasus-kasu yang terdata selama tahun per tahun
tidak menutup kemungkinan masih banyak jenis kejahatan seksual yang belum dapat
teridentifikasi, hal tersebut membuat para ahli, ilmuwan, penyidik yang harus senantiasa
berpikir dan melakukan riset secara terus menerus untuk dapat memetakan dan menemukan
kejahatan seksual jenis baru agar dapat dipelajari dan ditemukan formula pencegahannya,
diantaranya yang juga akan dibahas dalam makalah ini yakni criminal profiling sebagai metode
pembelajaran terhadap kasus-kasus kejahatan seksual yang melihat dari riwayat, latar belakang,
rekam jejak, rekam medis kejiwaan pelaku sebagai bagian dari psikologi forensik.
4.3 Criminal Profiling
Definisi dari pemrofilan kriminal adalah merupakan suatu pekerjaan untuk
menyimpulkan rincian ciri-ciri fisik (tinggi dan berat badan, cacat rupa) demografis (usia,jenis
kelamin, latar belakang etnis) dan keperilakuan (kepribadian termasuk motivasi, gaya hidup,
fantasi, proses seleksi korban, serta perilaku sebelum dan perilaku sesudah tindak kejahatan)
dari kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan aksi-aksinya pada tempat kejadian peristiwa
(O’Toole,1999 ; Snook, Gendreau, Bennel & Taylor,2008) dimana berarti pemrofilan kriminal
adalah kegiatan penelitian dengan mengumpulkan data-data yang ada untuk kemudian dirangkai
menjadi satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain dan mengarah kepada identifikasi
terhadap pelaku kejahatan yang menjadi target sasaran dalam sebuah kasus kejahatan. Oleh
sebab itu seorang petugas profiler adalah petugas yang mempunyai syarat-syarat kemampuan
berpikir secara forensik (think like a criminal), memiliki penguatan didalam bank database, serta
menguasai pola-pola kejahatan yang dapat menggambarkan sebuah crime scene
Berbicara mengenai pemfrofilan kriminal tidak terlepas dari 2 (dua) hal penting yang
menjadi syarat pokok keberhasilan dari tugas profiler itu sendiri yakni scene yang terbagi
sebagai primary scene dan secondary scene
1. Primary scene didasarkan kepada wilayah, tempat, sesuatu dimana insiden itu terjadi
atau dimana sebagian besar konsentrasi terhadap bukti-bukti kejahatan ditemukan
2. Secondary scene didasarkan kepada benda-benda yang ditemukan disekitar tempat
kejadian peristiwa yang berkaitan dengan insiden yang ditemukan.
Sedangkan metode dalam pengumpulan data-data keseluruhan proses pemfrofilan
kriminal tidak berbeda dengan layaknya sebuah metode penelitian dimana dilakukan dengan
proses kualitatif dan kuantitatif, proses pengumpulan data profil kriminal dengan menggunakan
metode kualitatif lebih mendasarkan kepada sumber data yang ditemui yakni subjek, informan,
written documents, dan un-written documents (Koentjoro, 2008) dimana didalam prosesnya
seorang profiler mampu untuk merangkai sumber-sumber temuan yang ada untuk dirangkai dan
saling mengait satu dengan yang lain sampai ditemukan kepada suatu kesimpulan yang menjadi
tujuan dari proses profiling tersebut dilakukan, sedangkan metode kuantitatif mendasarkan pada
orientasi profiler terhadap data-data statistik, dimana data-data ini diperoleh melalui penilaian
terhadap pelaku-pelaku kejahatan dengan modus operandi yang sama dibandingkan
kemiripannya dengan yang sedang diinvestigasi, indikator-indikator pelaku kejahatan yang
dinilai dari perilaku, kejiwaannya, hubungan pelaku dengan korbannya yang kemudian disusun
sedemikian rupa menggunakan metode statistik sehingga didapatkan sebuah kesimpulan
terhadap pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi.
Patrick dan Turvey (2008) mengidentifikasi dua fase utama pemrofilan, fase pertama
dapat dikatakan sebagai fase investigasi, yang melibatkan fitur-fitur cerdas dari pelaku yang
tidak diketahui atas kejahatan yang diketahui, dimana dalam tahap investigasi ini ada 7 (tujuh)
tujuan utama yakni :

1. Menilai sifat dan nilai bukti forensik dan perilaku sebuah kejahatan tertentu atau
serangkaian kejahatan yang terkait
2. Mengurangi kemungkinan kolam tersangka
3. Memprioritaskan penyelidikan ke dalam tersangka yang tersisa
4. Menghubungkan kejahatan yang mungkin terkait dengan mengidentifikasi indikator
TKP dan pola perilaku (yaitu modus operandi [MO] dan tanda tangan)
5. Menilai potensi peningkatan perilaku kriminal pengganggu terhadap kejahatan yang
lebih serius atau lebih brutal
6. Menyediakan penyidik dengan petunjuk dan strategi yang menurut investigasi
relevan
7. Membantu keseluruhan investigasi tetap berada di jalurnya dan tanpa gangguan
dengan memberikan wawasan yang segar

Fase kedua adalah tahap pengujian, yang melibatkan penyedia informasi tentang
kejahatan atau serangkaian kejahatan di mana terdapat pelaku yang dicurigai untuk kemudian
dapat digunakan untuk membantu pengembangan strategi wawancara dan interogasi yang tepat
sebagai barang bukti yang akan digunakan di pengadilan . fase pengujian dalam sebuah
penyelidikan adalah untuk (Petherick dan Turvey, 2008):

1. Menilai sifat dan nilai bukti forensik serta perilaku sebuah kejahatan tertentu atau
serangkaian kejahatan yang terkait
2. Mengembangkan strategi wawancara atau interogasi
3. Membantu mengembangkan wawasan ke dalam fantasi dan motivasi pelaku
4. Mengembangkan wawasan ke dalam motif dan maksud pelaku sebelum, saat, dan setelah
dilakukannya sebuah kejahatan (yaitu tingkat perencanaan, bukti tindakan penyesalan
dan pencegahan, dll.)
5. Menghubungkan kejahatan yang mungkin terkait dengan mengidentifikasi indikator TKP
dan pola perilaku (yaitu modus operandi [MO] dan tanda tangan

- Pemrofilan Kriminal Induktif

Yang dimaksud dengan pemrofilan kriminal melalui argumen induktif yaitu menetapkan
suatu kesimpulan dari karakteristik pelaku melalui bukti fisik atau temuan penelitian
bahkan pengalaman dari seorang profiler. Sebuah argumen induktif yang baik akan
memberikan dukungan yang kuat atas kesimpulan yang yang diberikan.

- Pemrofilan Kriminal Deduktif

Yang dimaksud dengan argumen pemrofilan deduktif adalah argumen yang bergantung
pada proses yang lebih ilmiah dan sistematis di mana karakteristik pelaku adalah
perpanjangan langsung dari bukti fisik dan perilaku yang tersedia (Turvey, 2008a).
argumen deduktif bersifat terstruktur sehingga kesimpulannya secara implisit terkandung
di dalam premis, dan kecuali alasan tidak valid, kesimpulannya mengikuti sebagai hal
yang biasa.

Pemrofilan kriminal merupakan sebuah alat forensik yang dapat dipelajari dan digunakan
oleh siapa saja, dan biasanya digunakan oleh seseorang yang mendalami ilmu psikologi forensik
karena kompetensi psikologi memegang peranan yang penting dalam sukses atau tidaknya
kegiatan pemrofilan kriminal ini, kendati demikian pemrofilan kriminal hanya merupakan salah
satu metode pengungkapan kasus kejahatan yang sedang diinvestigasi, ketergantungan trhadap
kelengkapan data-data yang ada yang menentukan berhasil atau tidaknya teknik pemrofilan
kriminal ini digunakan, manakala dalam sebuah intitusi yang berwenang melakukan investigasi
memiliki bank data yang lengkap tentunya kemungkinan keberhasilan akan lebih besar
4.4 Hubungan antara pemrofilan kejahatan yang dapat digunakan untuk
pengungkapan kasus kejahatan seksual
Seperti yang telah disampaikan bahwa metode pemrofilan kejahatan salah satu teknik
yang dapat menentukan pengungkapan sebuah kasus kejahatan, dalam hal pengungkapan
kejahatan seksual kegunaan daripada pemrofilan kriminal berguna untuk memberikan informasi
yang dibutuhkan penyidik untuk memetakan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat mengarah kepada pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi, beberapa kasus
kejahatan yang telah terjadi diuraikan berdasarkan kemiripan sumber-sumber temuan primary
scene dan secondary scene kejahatan yang telah terjadi, mulai dari situasi tempat kejadian
perkara, mengenai lokasi, waktu, keadaan sekitar, beberapa hubungan relasi, alat yang
digunakan, MO yang ada, kemiripan dengan korban-korban sebelumnya (ciri fisik, tinggi badan,
usia, kebiasaan tingkah laku, lokasi pekerjaan) semua data-data yang diperkirakan mampu untuk
mengarahkan kepada teridentifikasinya pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi, kejahatan
seksual adalah bentuk kejahatan yang unik untuk dipelajari dan diungkap karena bentuk-bentuk
kejahatannya dipengaruhi oleh pola perilaku psikis seseorang yang tidak mudah untuk bisa
diprediksi secara kasat mata, hal-hal yang menyangkut masalah kejiwaan hanya seseorang yang
bersangkutan yang mengerti akan keadaan dirinya, pengalaman masa lalu yang pahit, pergaulan,
lingkungan sekitar yang membentuk kepribadian, tekanan kejiwaan seseorang, semua adalah
faktor-faktor yang menentukan keinginan seseorang untuk melakukan suatu kejahatan atau tidak
melakukannya, bukan tidak mungkin pada suatu saat seseorang menjadi korban kejahatan
seksual manakala hal tersebut menjadi suatu pengalaman yang membuat keadaan trauma,
bilamana tidak ada bimbingan/terapi pasca traumatis pada lain kesempatan justru seseorang
tersebut menjadi pelaku kejahatan, beberapa rekam jejak dari sebuah kejahatan yang melibatkan
pelaku dengan korbannya adalah juga termasuk dalam data base yang harus dimiliki untuk
kekayaan data tersebut, Di negara Amerika terdapat satuan unit khusus yang menangani tentang
pemrofilan kriminal yang berada dibawah FBI dimana satuan unit khusus tersebut dinamakan
Behavioral Analysis Unit (BAU) dimana didalamnya terdapat agen-agen yang sudah melalui
tahapan seleksi khusus yang rata-rata mempunyai latar belakang pendidikan spesifik yang
berhubungan dengan forensik, psikologi, kriminologi, yang dilatih untuk dapat mengembangkan
pola pikir yang mampu menganalisa sebuah kejahatan untuk diurai dan diinterpretasikan hingga
mengerucut membentuk rangkaian analisa yang masuk dalam logika terhadap terjadinya suatu
kejahatan, sehingga apabila seorang investigator ingin mendapatkan sebuah gambaran terhadap
kasus kejahatan yang sedang ditangani dengan bimbingan dan kemampuan dari unit BAU ini
dapat membantu memperkecil ruang gerak penyelidikannya. Satu hal yang perlu dikritisi
didalam pengunaan pemrofilan kriminil adalah tentang kesinambungannya, ketelitiannya, dan
kemauannya untuk selalu mempelajari hal-hal yang baru, mencermati setiap detail yang ada, dan
mengumpulkannya untuk dijadikan data-data yang berguna sehingga apabila seorang profiler
sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut dapat dipastikan perannya akan sangat berguna demi
kemajuan investigasi.
5.1 Kesimpulan
Kegunaan pemrofilan kriminal menjadi salah satu alternatif didalam teknik investigasi
yang dapat digunakan oleh petugas penyidik dalam menginvestigasi kasus yang sedang
ditanganinya, dalam hal penanganan kasus kejahatan seksual, peran pemrofilan kriminal
menjadi sesuatu yang penting dan mampu mendukung arah investigasi yang lebih terfokus
sehingga kemungkinan-kemungkinan terungkapnya suatu kasus dapat diprediksi
keberhasilannya, pemrofilan kriminal juga membantu mengidentifikasi dan dapat dijadikan
bahan referensi bagi seorang psikolog untuk membuat daftar analisa terhadap para pelaku
maupun korban kejahatan seksual agar dapat dipelajari dan ditemukan bentuk-bentuk baru dari
perilaku-perilaku kejiwaan sekaligus dapat digunakan untuk membantu menolong korban
kejahatan seksual yang mengalami trauma sehingga dapat dibantu penyembuhannya untuk dapat
kembali hidup normal
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku, Artikel, dan Bahan Kuliah:

Simandjuntak, B, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial ,1981

Bahan Ajaran Mata Kuliah Pencegahan dan Perkembangan Masalah Sosial dan Kejahatan (Sex
Crimes & Criminal Profiling) STIK-PTIK 2015

Anda mungkin juga menyukai