Hidup aman dan nyaman adalah hal yang wajib didapatkan semua orang,
dimana dan kapan pun itu. Namun hal itu kini sedang dipertaruhkan
kebenarannya, belakangan ini terungkap adanya sebuah teror menjijikan di
tempat suci yang kita sebut institusi pendidikan, dan teror itu bernama
kekerasan seksual.
<embed postingan>
Sering kita dengar tentang kekerasan dan pelecehan seksual secara terpisah,
seolah-olah hal itu menjadi dua hal yang berbeda. Namun sebetulnya pelecehan
seksual adalah bagian dari kekerasan seksual itu sendiri.
Mengetahui definisi dan beragam jenis kekerasan seksual adalah langkah kuat
untuk mengenali dan menghalau tindakan tersebut. Apa pun jenis tindakannya
kita tidak boleh toleran kepada hal tersebut, ketidaktahuan dan sikap
mewajarkan sesuatu dapat memperpanjang nafas para predator seks di luar
sana. Tentunya hal ini perlu diperkuat juga dengan sistem dan pelayanan
hukum yang ramah untuk korban.
Jalan yang Salah itu Bernama Dominasi dan Ketimpangan
Kita sudah lama diberi tahu bahwa kata 'nafsu' berarti dorongan paling dasar
untuk melakukan hal-hal yang merusak atau negatif. Kata 'nafsu' telah
berkonotasi negatif, padahal 'nafsu' adalah sama artinya dengan 'motivasi' yaitu
keinginan atau dorongan melakukan sesuatu. Kata 'nafsu' sudah terlanjur
diasosiasikan dengan dorongan atau hasrat seksual, dan kata itu sebetulnya
tidak cukup memadai jika digunakan untuk merepresentasikan motif seseorang
melakukan kekerasan seksual.
Selain kasus yang terjadi di KPI, seperti yang dilaporkan Merdeka.com (3/3/2021)
kekerasan seksual karena sebuah hierarki atau relasi kuasa pernah terjadi pada
Oktober 2020, tepatnya dilakukan oleh seseorang berinisial JH yang merupakan
petinggi sebuah perbankan di Jakarta Utara, JH melancarkan aksi buasnya ke
dua sekertarisnya DF (25) dan EFS (23), selain itu JH juga pernah melakukan hal
bejat itu ke beberapa rekan bisnisnya.
Kasus tersebut telah ditangani oleh Polres Metro Jakarta Utara. Berdasarkan
penelusuran, Wakapolres Metro Jakarta Utara AKBP Nasriadi JH mengelabui
korbannya dengan pura-pura menjadi tatung atau dukun dan dapat meramal.
JH ternyata kelewat sakti, untuk dapat meramal para korban, korban harus
melepas pakaian dan telanjang terlebih dahulu.
Selain persoalan hierarki dan relasi kuasa, berdasarkan jurnal dengan judul
"Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual Pada Perempuan dengan
Pelatihan Asertif" ditulis oleh Noviani, dkk. (2018), dijelaskan bahwa beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah budaya
masyarakat yang menganggap anak laki-laki harus tumbuh dengan sikap
superior dan anak perempuan tumbuh dengan sikap inferior. Kita mungkin
mengenal hal itu dengan istilah patriarki.
Novianti dkk. juga menyebutkan bahwa, sikap menutup diri dan tidak
melawannya para korban kekerasan seksual dapat menumbuhkan keyakinan
pada predator seks bahwa yang mereka lakukan tidak merugikan korban. Hal ini
tentu tidak terbatas pada perempuan, begitu pun dengan korban laki-laki yang
memilih diam dan tidak melawan karena merasa hal yang dialaminya adalah aib
atau hal yang memalukan. Artinya kita sangat membutuhkan sistem pelayanan
aduan atau hukum yang dapat memfasilitasi korban dengan ramah dan
nyaman.