Anda di halaman 1dari 5

Kekerasan Seksual dan Para Predator yang Merasa Diri Dominan

Hidup aman dan nyaman adalah hal yang wajib didapatkan semua orang,
dimana dan kapan pun itu. Namun hal itu kini sedang dipertaruhkan
kebenarannya, belakangan ini terungkap adanya sebuah teror menjijikan di
tempat suci yang kita sebut institusi pendidikan, dan teror itu bernama
kekerasan seksual.

Merebak Media di Instagram (30/10/21) mengunggah sebuah rangkuman


kejadian kekerasan seksual di institusi pendidikan formal dari tingkat Sekolah
Dasar (SD) sampai ke universitas, ada juga kejadian di institusi pendidikan non
formal yaitu pondok pesantren. Tempat yang seharusnya etika dan moral
dijunjung tinggi ternyata dapat jadi ladang aksi untuk si predator.

<embed postingan>

Beberapa kasus yang dirangkum Merebak Media di Instagram di antaranya


teridentifikasi terdapat hubungan hierarki antara si predator seks dan
korbannya, misalnya, pejabat kampus dengan mahasiswa, guru dan murid, atau
ustadz dan santrinya. Kasus di Universitas Udayana Bali mungkin di antaranya
menunjukan hal yang berbeda, si predator seks adalah mahasiswa dan
korbannya juga mahasiswa.

Lantas apa pengaruh hubungan hierarki dengan kekerasan seksual? Sebelum


menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk kita kenali dahulu apa sebetulnya
kekerasan seksual itu sendiri. Apakah ada perbedaan antara kekerasan seksual
dan pelecehan seksual? Ayo kita cari tahu.

Apa itu Kekerasan Seksual? Apakah Beda dengan Pelecehan Seksual?

Sering kita dengar tentang kekerasan dan pelecehan seksual secara terpisah,
seolah-olah hal itu menjadi dua hal yang berbeda. Namun sebetulnya pelecehan
seksual adalah bagian dari kekerasan seksual itu sendiri.

Pemerintah melalui penetapan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 menunjukan


reaksinya atas darurat kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan
tinggi di Indonesia. Walau spesifik ditujukan untuk lingkungan perguruan tinggi,
namun itu cukup untuk dijadikan rujukan atau pembuatan regulasi baru dalam
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di semua level pendidikan atau
bahkan sektor lainnya.
Pada Permendikbud tersebut dijelaskan bahwa, kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh
dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender, yang berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk
yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan
untuk melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Lalu, apa pengertian pelecehan seksual? Komisi Nasional Anti Kekerasan


Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam dokumen berjudul 15
Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengantar menggolongkan pelecehan
seksual sebagai salah satu dari lima belas jenis kekerasan seksual dan
memberikan definisi tersendiri untuk hal tesebut.

Menurut dokumen tersebut, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat


sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas
korban. Termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual,
mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau
sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan
martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan
keselamatan.

Kemudian lima belas kekerasan seksual yang dimaksud, di antaranya (1)


perkosaan; (2) intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
(3) pelecehan seksual; (4) eksploitasi seksual; (5) perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual; (6) prostitusi paksa; (7) perbudakan seksual; (8) pemaksaan
perkawinan termasuk cerai gantung; (pemaksaan kehamilan; (10) pemaksaan
aborsi; (11) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; (12) penyiksaan seksual; (13)
penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi
bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan
(15) kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.

Mengetahui definisi dan beragam jenis kekerasan seksual adalah langkah kuat
untuk mengenali dan menghalau tindakan tersebut. Apa pun jenis tindakannya
kita tidak boleh toleran kepada hal tersebut, ketidaktahuan dan sikap
mewajarkan sesuatu dapat memperpanjang nafas para predator seks di luar
sana. Tentunya hal ini perlu diperkuat juga dengan sistem dan pelayanan
hukum yang ramah untuk korban.
Jalan yang Salah itu Bernama Dominasi dan Ketimpangan

Perlu digarisbawahi bahwa kekerasan seksual tidak hanya menimpa suatu


gender tertentu. Data dan riset memang menunjukan wanita lebih banyak
menjadi korban, namun kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa laki-laki dan
transeksual juga dapat menimpanya. Semua gender dapat menerima ancaman
yang sama, karena setiap gender pada dasarnya memiliki organ seksualnya
masing-masing yang dapat dijadikan objek seksual oleh para predator seks.

Belakangan kasus yang menimpa laki-laki sempat ramai diberitakan atau


diperbincangkan, misalnya kasus perundungan dan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh karyawan KPI ke salah satu karyawannya lainnya, kasus Reynhard
Sinaga yang korbannya adalah 48 laki-laki, dan kasus Saiful Jamil yang
melakukan kekerasan seksual terhadap laki-laki di bawah umur. Penyebutan
kasus tersebut tidak berintensi untuk meninggi atau merendahkan kasus yang
menimpa salah satu gender, namun ini jadi pengingat bahwa begitu ganasnya
predator seks yang nyatanya dapat menyasar siapa pun juga.

Kita sudah lama diberi tahu bahwa kata 'nafsu' berarti dorongan paling dasar
untuk melakukan hal-hal yang merusak atau negatif. Kata 'nafsu' telah
berkonotasi negatif, padahal 'nafsu' adalah sama artinya dengan 'motivasi' yaitu
keinginan atau dorongan melakukan sesuatu. Kata 'nafsu' sudah terlanjur
diasosiasikan dengan dorongan atau hasrat seksual, dan kata itu sebetulnya
tidak cukup memadai jika digunakan untuk merepresentasikan motif seseorang
melakukan kekerasan seksual.

Seperti penjelasan polisi saat mengungkapkan motif seorang predator seksual di


Gang Joky, Lubang Buaya, Jakarta Timur pada tanggal 11 Oktober 2021 lalu.
Mengutip laporan Kompas.com (22/10/2021), Kapolres Jakarta Timur Komisari
Besar Erwin Kurniawan saat konferensi pers mengungkapkan bahwa, si predator
seks yang berinisial MR (19) memiliki motif untuk melakukan kekerasan karena
sedang nafsu dan juga sering menonton video porno.

Penjelasan tentang video porno dapat mendorong kekerasan seksual memang


memiliki bukti dan penjelasannya sendiri, namun, yang menjadi masalah ketika
kata 'nafsu' terlalu sering digunakan untuk dijadikan motif para predator seks.
Padahal ada istilah yang dapat dijadikan indikator tentang hasrat seksual yaitu
libido, atau lebih mudah katakan saja seseorang ingin memenuhi hasrat
seksualnya.
Sebelum hasrat seksual disalurkan sebetulnya ada hal yang penting untuk kita
sadari kenapa aktivitas seksual dapat dilakukan atas keinginan satu pihak saja
atau dengan kata lain tanpa persetujuan, yaitu sebuah rasa dominan dan rasa
berkuasa atas orang lain menjadi sebuah jalan utama para predator seks
menyalurkan hasratnya. Hal itu berkaitan sekali dengan relasi kuasa, hierarki,
bahkan budaya yang ada di masyarakat.

Psikolog dari Enlightmind Nirmala Ika Kusumaningrum saat diwawancarai


Health Liputan6.com (2/9/2021) tentang tanggapannya mengenai kasus
kekerasan seksual yang terjadi di tubuh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Nirmala mengatakan mengatakan bahwa, salah satu motif dari para predator
seks adalah untuk menunjukan relasi kuasa. Dia juga menjelaskan relasi kuasa
yang dimaksud adalah seperti susunan hierarki antara bos dengan anak buah,
senior dengan junior, atau mayoritas dengan minoritas di sebuah tempat kerja.

Selain kasus yang terjadi di KPI, seperti yang dilaporkan Merdeka.com (3/3/2021)
kekerasan seksual karena sebuah hierarki atau relasi kuasa pernah terjadi pada
Oktober 2020, tepatnya dilakukan oleh seseorang berinisial JH yang merupakan
petinggi sebuah perbankan di Jakarta Utara, JH melancarkan aksi buasnya ke
dua sekertarisnya DF (25) dan EFS (23), selain itu JH juga pernah melakukan hal
bejat itu ke beberapa rekan bisnisnya.

Kasus tersebut telah ditangani oleh Polres Metro Jakarta Utara. Berdasarkan
penelusuran, Wakapolres Metro Jakarta Utara AKBP Nasriadi JH mengelabui
korbannya dengan pura-pura menjadi tatung atau dukun dan dapat meramal.
JH ternyata kelewat sakti, untuk dapat meramal para korban, korban harus
melepas pakaian dan telanjang terlebih dahulu.

Kemudian yang menjadi penting adalah penuturan dari Nasriadi berikut,


"Karena ini dia [JH] merasa pimpinan punya kewenangan dia [JH] menganggap
semua anak buah bisa dilakukan sewenang-wenang. Merasa punya power,".
Pengakuan JH tersebut, sedikitnya membuktikan bahwa keadaan timpang, tidak
adil, atau hierarki vertikal dapat menjadi jalan untuk melakukan kekerasan
seksual karena para predator seks merasa diri dominan dan memiliki hak
istimewa.

Selain persoalan hierarki dan relasi kuasa, berdasarkan jurnal dengan judul
"Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual Pada Perempuan dengan
Pelatihan Asertif" ditulis oleh Noviani, dkk. (2018), dijelaskan bahwa beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah budaya
masyarakat yang menganggap anak laki-laki harus tumbuh dengan sikap
superior dan anak perempuan tumbuh dengan sikap inferior. Kita mungkin
mengenal hal itu dengan istilah patriarki.

Budaya di masyarakat tersebut yang kemudian menimbulkan keadaan timpang


atau tidak setara di antara laki-laki dan perempuan dalam sistem sosial
masyarakat kita. Contohnya ada keyakinan bahwa laki-laki harus kuat, berani,
dan tidak toleran dalam hal apapun, atau keyakinan tentang perempuan yang
harus lemah lembut, menutup diri, dan tugas pokoknya adalah mengurusi
urusan rumah tangga saja.

Novianti dkk. juga menyebutkan bahwa, sikap menutup diri dan tidak
melawannya para korban kekerasan seksual dapat menumbuhkan keyakinan
pada predator seks bahwa yang mereka lakukan tidak merugikan korban. Hal ini
tentu tidak terbatas pada perempuan, begitu pun dengan korban laki-laki yang
memilih diam dan tidak melawan karena merasa hal yang dialaminya adalah aib
atau hal yang memalukan. Artinya kita sangat membutuhkan sistem pelayanan
aduan atau hukum yang dapat memfasilitasi korban dengan ramah dan
nyaman.

Anda mungkin juga menyukai