Anda di halaman 1dari 8

KEKERASAN SEKSUAL DAN VIKTIMISASI KORBAN PEREMPUAN: ANALISIS

MELALUI LENSA TEORI KRIMINOLOGI FEMINISME


Keisha1
Departemen Pascasarjana Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Email penulis 1keishalie20@gmail.com

ABSTRAK

Kekerasan seksual adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan juga hukum. Penelitian ini akan
berfokus pada membahas isu dan fenomena kekerasan seksual yang menekankan pada subjek perempuan,
bagaimana potensi pemerasan korban terjadi, melalui lensa teori kriminologi feminis. Tujuannya adalah untuk
mengkaji fenomena perempuan sebagai korban kekerasan seksual dan seberapa rentannya mereka terhadap
pemerasan, sehingga kami menemukan paparan, pandangan mengenai penyebab, dan saran tentang bagaimana
menghindarinya. Menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan wawancara tak terstruktur oleh
beberapa ahli relevan tentang topik tersebut. Kesimpulan dari pendapat para ahli adalah masih ada persepsi di
mana perempuan dianggap sebagai subjek yang lemah dan subordinat, stigmatisasi terhadap korban, dan budaya
pemerkosaan yang membuat perempuan takut melaporkan, sumber daya manusia dan penegakan hukum selama
proses pelaporan dan peradilan rentan terhadap pemerasan korban.
Kata kunci : Kekerasan Seksual, Viktimisasi, Kriminologi Feminisme

ABSTRACT
Sexual violence is an act that violates human rights and also laws. This study will focus on discussing issues and
phenomena of sexual violence focusing on female subjects, how potential victimization of victims occurs,
through the lens of feminist criminology theory. The goal is to examine the phenomenon of women as victims of
sexual violence and how vulnerable they are to victimization, so that we find exposure, views of the causes, and
suggestions on how to avoid it. Using a descriptive qualitative research method with unstructured interviews by
several relevant experts on the topic. The conclusion of the expert opinions is that there is still a perception
where women are seen as weak and subordinate subjects, judgmental stigma towards victims, and rape culture
that makes women afraid to report, human resources and law enforcement during the reporting and judicial
process are vulnerable to making victims victimized.
Keywords: Sexual Violence, Victimization, Feminism Criminology

PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan salah satu
bentuk kejahatan yang melanggar hak asasi manusia
dan memiliki dampak yang merusak bagi individu
serta masyarakat secara luas. Kekerasan seksual
tidak hanya menyiksa secara fisik, psikis atau
mental juga seksual seseorang, serta merendahkan
martabat seseorang. Kekerasan seksual dapat
dipahami bahwa perbuatan tersebut merupakan
pelanggaran dari hak asasi manusia (HAM) yang Sumber: KemenPPPA, 2024
dimana seharusnya manusia berhak mendapatkan
rasa aman, dan terlepas dari ancaman atau bentuk Grafik 2. Korban Kekerasan Seksual
kekerasan apapun dan dari siapapun. Namun, Berdasarkan Gender
menurut data data yang yang diperoleh Kementerian
Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA)
menunjukkan bahwa jenis kekerasan yang paling
banyak dialami oleh korban kekerasan yakni
kekerasan seksual, ditampilkan pada grafik berikut:

Grafik 1. Tingkat Jenis Kasus Kejahatan


Kekerasan

Sumber: KemenPPPA, 2024


Kemudian, korban dari kekerasan tertinggi yakni g. Tindak pidana perdagangan orang yang
condong lebih banyak pada jenis kelamin ditujukan untuk eksploitasi seksual;
perempuan (1.527) dengan korban laki-laki (371). h. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah
Meskipun telah ada undang-undang dan tangga;
peraturan yang mengatur tentang kekerasan seksual, i. Tindak pidana pencucian uang yang tindak
penegakan hukum dalam kasus-kasus ini seringkali pidana asalnya merupakan Tindak Pidana
menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya laporan, Kekerasan Seksual; dan
stigma, prosedur hukum yang rumit, dan j. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara
ketidakpercayaan terhadap sistem hukum seringkali tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan
menjadi hambatan dalam menegakkan keadilan bagi Seksual
korban kekerasan seksual. Di sisi lain, melalui teori sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
kriminologi feminisme berfungsi untuk memahami perundang-undangan.
dan memberikan kerangka pikir dasar mengenai Kejahatan seksual maraknya didominasi
alasan dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi oleh kaum laki-laki. Menurut Komisi Nasional Anti
kejahatan kekerasan seksual tersebut, khususnya Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
pada gender perempuan. Perempuan) menyatakan bahwa kasus kekerasan
seksual merupakan masalah terparah dalam daftar
TINJAUAN PUSTAKA kasus kekerasan terhadap perempuan, hal ini dilatar
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 belakangi oleh tingginya patriarki di Indonesia.
Tahun 2022, Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU Menurut Suharsih seorang aktivis perempuan dari
TPKS) didefinisikan sebagai segala perbuatan yang Parahita Institute, menjelaskan bahwa budaya
memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur patriarki merupakan budaya sejak kecil, di mana
dalam undang-undang ini dan perbuatan kekerasan perempuan merupakan subordinat yang boleh
seksual lainnya sebagaimana diatur dalam dikuasai dan tidak lebih kuat dari laki-laki. Sehingga
undang-undang sepanjang ditentukan dalam dari situ menyebabkan tingginya angka kekerasan
undang-undang ini. seksual di Indonesia. Akres memandang dalam teori
Jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual ini bahwa luasnya dominasi laki-laki dalam
diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana masyarakat menyebabkan kejahatan terhadap
Kekerasan Seksual Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang perempuan. Penekanan pada perbedaan kekuasaan
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana antara laki-laki dan perempuan menyebabkan
Kekerasan Seksual. Berdasarkan ketentuan tersebut, perempuan masuk dalam tipe lemah dari kejahatan
jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual adalah (Salma, 2022).
sebagai berikut: Berbicara tentang Feminis Marxis-Sosialis,
a. Pelecehan seksual nonfisik; Galtung (2010) pernah menyatakan feminisme telah
b. Pelecehan seksual fisik; memberikan kontribusi besar dalam upaya
c. Pemaksaan kontrasepsi; mereduksi kekerasan. Feminis menyumbang dengan
d. Pemaksaan sterilisasi; membuat patriarki terlihat dengan jelas,
e. Pemaksaan perkawinan; mengingatkan pada fokus Marxis pada struktur yang
f. Penyiksaan seksual; menghubungkan sarana dan mode produksi. Galtung
g. Eksploitasi seksual; (2010) juga mengatakan “...dengan mengidentifikasi
h. Perbudakan seksual; dan patriarki sebagai pola dasar kapitalisme dan
i. Kekerasan seksual berbasis elektronik. militerisme. Dari sudut patriarki perdamaian negatif
Selain itu, jenis-jenis tindak pidana adalah kombinasi yang sangat kejam antara
kekerasan seksual lainnya yang terdapat dalam Pasal kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, kekerasan kultural: merugikan dan menyakiti,
yaitu: membunuh mengalahkan, semua jenis ketidakadilan
a. Perkosaan; yang mengarah ke segala macam ketidaksetaraan,
b. Perbuatan cabul; dan pembenaran, dan beberapa di antaranya
c. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan bersumber dari tafsir kitab suci.” (Eriyanti, 2017).
cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi Viktimisasi adalah suatu proses penimbulan
seksual terhadap anak; korban yang dapat disebabkan oleh berbagai hal,
d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang misalnya viktimisasi yang disebabkan oleh kriminal
bertentangan dengan kehendak Korban; kekerasan dan hal lainnya (Sopacua, 2015).
e. Pornografi yang melibatkan Anak atau Viktimisasi merupakan suatu kajian dari
pornografi yang secara eksplisit memuat viktimologi, yang dimana viktimisasi itu sendiri
kekerasan dan eksploitasi seksual; membahas mengenai proses penimbulan korban.
f. Pemaksaan pelacuran; Menurut J. E. Sahetapy (1982) viktimisasi adalah
sebagai penderitaan, baik secara fisik maupun psikis
atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Perbuatan yang dilakukan oleh perorangan, suatu dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak
kelompok tertentu, suatu komunitas tertentu, bahkan 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di
juga pihak pemerintah, sehingga korban bukan saja Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut
perorangan, melainkan kelompok orang atau meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak
komunitas tertentu atau sebagian rakyat yang 21.753 kasus. Lima bentuk kekerasan terhadap
menderita, bukan saja secara fisik melainkan perempuan diantaranya; kekerasan fisik,
inklusif dalam arti finansial, ekonomi, sosial, agama penelantaran, kekerasan mental, trafficking dan
dalam arti psikis secara luas. eksploitasi dan kekerasan seksual. Ternyata, kasus
kekerasan yang sering terjadi adalah kasus
METODOLOGI PENELITIAN kekerasan seksual. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Dalam penelitian ini, digunakan metode Korban (LPSK) menyoroti banyaknya kasus
penelitian kualitatif deskriptif, yang mana ini dipilih kekerasan seksual terjadi di sekolah berbasis asrama
untuk mendapatkan informasi dan data yang lebih maupun yang berbasis agama. Kasus kekerasan
mendalam dalam upaya eksplorasi dan memetakan seksual di sekolah berbasis asrama agama paling
suatu penjelasan fenomena yang kami akan lihat. banyak terjadi di Jawa Barat (OpenDataJabar,
Disini kami menggunakan kualitatif deskriptif atas 2023).
dasar kelebihan penelitian seperti fleksibilitas dan
prosedural penelitian yang lebih sederhana terutama Grafik 4. Pengaduan Kasus Kekerasan kepada
dengan utilisasi waktu yang singkat untuk Komisi Nasional Perempuan (Komnas
melakukan penelitian, terlebih kelebihan penelitian Perempuan)
kualitatif yang dapat lebih mendalam melihat narasi
pengalaman subjek penelitian dengan pandangan
yang subjektif dari suatu fenomena (Kim &
Bradway, 2017).
Alasan menggunakan pendekatan
penelitian deskriptif kualitatif dikarenakan dalam
penelitian ini dibutuhkan paparan melalui
narasumber yang berupa ahli, yang diharapkan dapat
memberikan pandangan yang mendalam dan jelas
untuk memahami fenomena ini. Untuk mendapatkan
data dan informasi yang diinginkan, penelitian ini
menggunakan metode wawancara tidak terstruktur,
yang mana disesuaikan dengan Sumber: CATAHU 2023, Komnas Perempuan
pertanyaan-pertanyaan terbuka dalam topik dan
tema yang peneliti inginkan yang mana Menurut data pelaporan yang dihimpun
pertanyaan-pertanyaan ini dapat peneliti adaptasikan dari data lembaga layanan dan Badilag, secara
pada respon atau jawaban yang diberikan nantinya, umum terlihat adanya penurunan jumlah pengaduan
dan ini diharapkan dapat memberikan data dengan kasus dari tahun sebelumnya (2022), yaitu dari
konteks unik dan mendalam. 459.094 kasus menjadi 457.895, namun perubahan
tersebut bukanlah perubahan yang drastis atau
HASIL DAN PEMBAHASAN terlihat secara signifikan. Tidak adanya perubahan
angka yang signifikan ini membuktikan masih kritis
Grafik 3. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap keadaan di Indonesia terkait kejahatan kekerasan
Perempuan di Indonesia seksual. Sementara pengaduan ke Komnas
Perempuan meningkat menjadi 4371 dari 4322
kasus. Dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas
Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus
/hari.
Sebanyak 339.782 dari total pengaduan
tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG),
yang 3442 di antaranya diadukan ke Komnas
Perempuan. Kekerasan di ranah personal masih
mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99% atau
336.804 kasus. Pada pengaduan di Komnas
Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61%
atau 2.098 kasus. Untuk kasus di ranah publik,
Sumber: DataIndonesia.id tercatat total 2978 kasus dimana 1.276 di antaranya
dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Sementara
itu, kasus kekerasan di ranah negara hanya dibandingkan tahun sebelumnya Dalam hal
ditemukan di Komnas Perempuan, dengan pembatalan perkawinan terdapat persoalan
peningkatan hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di penelantaran yang melanggar hak-hak perempuan
2021 menjadi 68 kasus di 2022. Data pengaduan dalam perkawinan dan istri memberanikan diri
Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 untuk membatalkannya. Di tahun-tahun
menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk sebelumnya, pembatalan perkawinan tidak ada di
kekerasan terhadap perempuan yang dominan data Badilag yang menunjukkan adanya tren baru.
(2.228 kasus/38.21%) diikuti kekerasan psikis Terkait putusan izin poligami juga meningkat pada
(2.083 kasus/35,72%). Sedangkan data dari lembaga tahun 2022 dibandingkan tahun 2021 yaitu terjadi
layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk peningkatan 24.6%. Hal ini perlu menjadi kajian
fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan yang lebih mendalam untuk memastikan izin
seksual (4102 kasus/26.52%%). poligami tidak menjadi celah untuk membiarkan
Jika dilihat lebih terperinci pada data kekerasan terhadap istri. Selanjutnya, meskipun
pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, angka dispensasi perkawinan turun 12,3%
kekerasan seksual selalu yang tertinggi yakni 1.127 dibandingkan tahun lalu, perkawinan anak masih
kasus, sementara di ranah personal yang terbanyak merupakan persoalan genting. Ada catatan tentang
kekerasan psikis 1.494 kasus. Berbeda dengan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada
lembaga layanan, data tahun 2022 ini menunjukkan anak-anak yang kemudian dinikahkan menjadi
bahwa di ranah publik dan personal yang paling perhatian utama bagi semua pihak.
banyak berbentuk fisik 6 (enam).. Data pengaduan Dalam hal karakteristik korban dan pelaku
ke Komnas Perempuan dibagi menjadi 3 (tiga) masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, bahwa
ranah; ranah personal terdapat 2098 kasus, ranah korban cenderung lebih muda dan lebih rendah level
publik 1276 kasus dan ranah negara 68 kasus. pendidikannya dari pelaku. 8.6% dari jumlah pelaku
Kekerasan personal paling dominan setiap tahunnya. merupakan orang-orang yang diharapkan menjadi
Walaupun pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2023, pelindung, tauladan dan perwakilan negara seperti
kekerasan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru, dosen Aparat
(PRT) dimasukkan ke dalam ranah publik yaitu Penegak Hukum (APH), polisi, TNI, tenaga
kekerasan di tempat kerja Kesehatan dan tokoh agama. Pada 2022 Komnas
Hal ini sesuai dengan advokasi RUU PRT Perempuan mencatat terbitnya 20 (dua puluh)
yang hendak menekankan bahwa kekerasan yang kebijakan yang memuat diskriminasi baik secara
dialami oleh PRT tidak cukup diakomodir oleh langsung maupun tidak langsung terhadap
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam perempuan. Kebijakan diskriminatif masih
Rumah Tangga (UU PKDRT) sehingga perlu adanya menggunakan pola pengaturan yang sama, yaitu
urgensi perlindungan bagi PRT dalam konteks potensi kriminalisasi, kontrol terhadap tubuh
hubungan kerja. Komnas Perempuan berpandangan perempuan melalui pembatasan hak berekspresi dan
bahwa kehadiran peraturan yang komprehensif akan berkeyakinan, serta pembatasan kehidupan
menjamin pengakuan dan perlindungan PRT. Tiga beragama yang berdampak pada pembatasan dan
poin utama yang ditekankan untuk pengaturannya atau pembedaan atas dasar agama.
dalam Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (UU PPRT), yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Wawancara Narasumber Ahli
(1) adanya pengakuan PRT sebagai pekerja, (2) No Nama Profesi/Jabatan
perlindungan bagi PRT yang tidak hanya terbatas 1 Siti Aminah Komisioner dan
pada perlindungan atas diskriminasi dan kekerasan Tardi Ketua Reformasi
berbasis gender, tapi juga pada adanya pengaturan Hukum dan
terkait perjanjian kerja, jaminan atas hak dan Kebijakan Komnas
perlindungan sosial, dan pemenuhan hak-hak Perempuan
pekerja lainnya, serta (3) pengaturan terhadap 2 Prof. Dr. Teguh Dosen Universitas
pemberi kerja dan penyalur kerja demi memastikan Prasetyo, SH., Pelita Harapan dan
keseimbangan posisi tawar dan menghapuskan M.Si Anggota DKPP RI
perdagangan orang. 2017- 2022
Sementara itu data dari Badilag Pihak dan Rekan
mengkategorikan penyebab perceraian secara lebih (Paralegal, Advokat,
spesifik, yang dapat digunakan untuk mengetahui 3 Irfan Yusuf Penyuluh Sosial
kondisi perempuan dalam perkawinan. Penyebab Adisti Ahli Muda, Analisis
tertingginya perceraian menurut data Badilag adalah Diyah Perlindungan
adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus Nanda Perempuan) dari
sebanyak 281.323 kasus. Sementara itu jumlah cerai Margareth Kementerian
gugat mengalami peningkatan sebanyak 10.9% Pemberdayaan
Perempuan dan perempuan tidak boleh tercela, ia harus suci, dan
Perlindungan Anak sebagainya. Sedangkan pria dilekatkan pada konsep
Republik Indonesia maskulinitas, ditempatkan pada posisi superioritas
(KemenPPPA)
dalam masyarakat dan diposisikan untuk mengatur,
mengontrol termasuk norma dan perempuan (seperti
Berdasarkan hasil wawancara dengan
dalam ranah rumah tangga atau suatu hubungan
narasumber ahli pertama, Beliau mengkritik dan
teman, pacar atau kerja), seperti dalam kasus-kasus
berpendapat terkait faktor-faktor apa saja yang
kekerasan seksual yang lebih didengar adalah
memicu terjadinya kekerasan seksual terhadap
pandangan laki-laki, termasuk dengan mitos tentang
perempuan, yakni yang pertama, melihat dari
kekerasan seksual yang dibuat, misalnya
perspektif feminisme, kekerasan seksual merupakan
dikarenakan pakaian perempuan yang terbuka,
salah satu bentuk ketidakadilan dan kekerasan
padahal selama pengalaman Ibu Siti menemani
berbasis gender, dikarenakan relasi antara
korban dalam kasus kekerasan seksual, pakaian
perempuan dan laki-laki tidak setara, di masyarakat
sama sekali tidak menjadi faktor pemicu, karena
kita, laki-laki ditempatkan pada posisi yang lebih
korban yang menggunakan pakaian yang sangat
superior dibandingkan perempuan, oleh karena itu
tertutup pun juga dapat menjadi korban. Mitos
mereka mempunyai kontrol dan mengatur tubuh,
lainnya juga yang ada di masyarakat yakni pelaku
organ reproduksi dan seksualitas perempuan,
biasanya orang yang tidak dikenal, di tempat yang
kemudian perempuan diatur dan dikonstruksikan
gelap sepi malam hari, namun tidak diajarkan bahwa
untuk melayani kepentingan laki-laki. Perempuan
pelaku bisa saja ialah orang terdekat kita, seperti
yang ditempatkan pada posisi subordinat sebagai
keluarga.
objek seksual lakilaki, dan rentan terkena serangan
Komnas perempuan juga mendorong agar
seksual apapun bentuknya. Maka perempuan
peningkatan jumlah SDM perempuan dalam bidang
ditempatkan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki.
kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Juga memastikan
Faktor lainnya yakni seperti faktor sosial
pedoman mengadili perempuan dalam hukum
ekonomi, pendidikan, faktor kerentanan korban,
diimplementasikan secara langsung dan benar dalam
misalnya penyandang disabilitas, tunawicara, etnis,
pengadilan, agar tidak terjadinya viktimisasi korban,
agama dan seksualitas minoritas. Kerentanan yang
baik sejak masa pelaporan maupun di pengadilan.
dimiliki perempuan jika berlapis akan menjadi target
Lalu yang terakhir upaya untuk mengurangi atau
sasaran korban kekerasan seksual lebih besar. Jika
meminimalisir sebisa mungkin korban kekerasan
masuk kedalam faktor pendidikan, tidak terbatas
seksual dan kekerasan seksual lainnya, yakni budaya
pendidikan pelaku baik tinggi atau rendah, dapat
atas rape culture perlu dihilangkan, agar korban
memungkinkan menjadi pelaku kekerasan seksual,
tidak selalu menjadi pihak yang terbebani dan takut
namun kami lebih melihat kepada kuasa yang
disalahkan. Serta mendorong pendidikan dalam
dimilikinya. Seperti contoh jika pelaku seorang
masyarakat sangat dalam hal edukasi masyarakat
laki-laki, memiliki posisi yang tinggi seperti dosen
bagaimana untuk menjaga diri sendiri dari tindak
atau dokter, pejabat, yang disegani orang, memiliki
kekerasan seksual, apa yang harus dilakukan ketika
citra yang baik, perawakan yang baik, justru
menjadi korban, dan diajari pemahaman bahwa
berpotensi sekali untuk melakukan kekerasan
setiap manusia memiliki kesetaraan, kontrol
seksual dikarenakan orang lain yang mendengar jika
manfaat, dan partisipasi yang sama dalam
ia adalah pelaku kekerasan seksual, akan sulit untuk
masyarakat.
dipercaya. Sedangkan jika korban memiliki
Menganalisis melalui teori kriminologi
kerentanan, ketidakberdayaan, ketergantungan
feminisme, dimana cenderung terjadinya bukan
korban pada pelaku, akan lebih besar kemungkinan
hanya perempuan menjadi target atau korban yang
untuk menjadi korban dan hingga disalahkan atau
‘mudah’, namun juga terkena viktimisasi. Faktor
mengalami viktimisasi.
dan situasi yang dapat memicu terjadinya
Terdapat juga rape culture yang dianut di
viktimisasi korban yakni prosedur pemeriksaan,
masyarakat, yakni seperti menyalahkan korban,
sejak pelaporan, penyidikan, penuntutan, hingga
dikarenakan perempuan ditempatkan pada posisi
pemeriksaan di pengadilan, dipenuhi dengan
yang lebih rendah dalam struktur sosial, dan
perjuangan korban untuk memperoleh haknya.
dilekatkan dengan standard moral, seperti
Diluar proses yang lama tersebut, selama proses itu
juga rentan bagi korban kekerasan seksual untuk angkot tersebut gelap sekali, disana dapat terjadinya
mendapati judgement bahwa korbanlah yang salah, potensi perempuan tersebut dibawa ke tempat sepi
menghasut, terlalu ‘lemah’ dan ‘mudah’ menjadi dan diperkosa. Maka dibutuhkannya penanaman
korban, ‘memperbolehkan’ situasi yang iman yang kuat dan juga moral bagi masyarakat
menjadikannya sebagai korban. Belum lagi agar memahami bahwa kekerasan seksual
pemulihan dan mendapatkan kompensasi yang adil, merupakan hal yang salah. Menanggapi pendapat
bagaimana kasus yang tidak dapat dihitung nilai Beliau, penulis menambahkan teori kriminologi
kerugiannya, seperti harga diri korban, martabat, yakni routine activities theory, yang menyatakan
terganggunya psikis dan mental, dapat dinilai dan bahwa kejahatan dapat terjadi jika pemenuhan 3
ditakar dengan jumlah uang, maka dari itu perlu (tiga) hal tersebut, yakni pelaku yang termotivasi,
dirumuskan dan diputuskan secara sangat bijak oleh korban/target yang cocok, dan tidak adanya
penegak hukum untuk memperhitungkan kerugian penjagaan yang cakap.
materiil maupun immateriil korban. Pendapat yang sama juga dikatakan oleh
Penanggungjawaban seperti korban perkosaan yakni pihak KemenPPPA, dimana adanya kekurangan
anak yang tidak diinginkan, hymen yang rusak, dalam bagian pelayanan (SDM) yang mendampingi
eksistensi kerugian tersebut dapat memunculkan dan membantu proses pengajuan perkara dan di
viktimisasi korban yang berkelanjutan. Lembaga pengadilan korban perkosaan dan seksual lainnya,
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), telah korban-korban tersebut cenderung menjadi lebih
merumuskan dan menjalankan beberapa solusi takut untuk melapor dikarenakan terdapat stigma
rehabilitasi dan kompensasi, terhadap beberapa hal dimana perempuan yang menjadi korban perkosaan
yang disebutkan diatas, menghitung seetis dan seadil atau kekerasan seksual adalah pihak yang bersalah
mungkin, namun kemungkinan tidak terpenuhinya dan juga terkadang dipojokkan oleh pihak aparat
hak korban akan tetap ada. penegak hukum maupun masyarakat. Maka dari itu
Terkait dengan narasumber ahli yang dibutuhkannya pencerdasan bangsa, seperti
kedua, Beliau berpendapat bahwa perlunya melihat dilakukannya sosialisasi mengenai pentingnya
dinamika dan realitas di masyarakat. Beliau beropini melaporkan segala tindakan kekerasan seksual agar
bahwa melihat pada kenyataannya, bahwa kejahatan masyarakat aware atau sadar adanya perilaku
dapat terjadi jika adanya kesempatan, dan kekerasan seksual apa saja yang di masyarakat, dan
kurangnya pendidikan pada pelaku kejahatan yang meng-encourage korban lainnya untuk lebih berani
tidak dapat mengontrol nafsu dirinya. . Jika melapor, agar korban dapat dipulihkan dan
seseorang tidak dapat menahan nafsunya, dan masyarakat bersih dari pelaku tindak kekerasan
korban juga memberikan kesempatan atau situasi seksual. Ibu Margareth merangkum dan menggaris
kondisi yang memungkinkan dapat dilaksanakannya bawahi bahwa adanya kekerasan di masyarakat
tindak kekerasan seksual, maka disitulah terjadi berarti dibutuhkannya juga hukum yang mencakup
tindak pidana kekerasan seksual. Seperti contoh jika dan menaungi larangan, serta sanksi dan
seorang perempuan menaiki angkot, penuh dengan pemberdayaan korban.
laki-laki, dan Ia perempuan sendirian, dan kaca film

SIMPULAN
Kekerasan seksual bukan hanya masalah kriminal, tetapi juga serangan terhadap hak asasi manusia
(HAM). Penting untuk memandang kekerasan seksual sebagai kejahatan yang merusak martabat dan integritas
individu, baik pria maupun perempuan. Meskipun banyak kemajuan dalam kesetaraan gender masa kini, namun
pandangan tradisional tentang perempuan sebagai pihak yang lemah dan subordinat masih mempengaruhi cara
pandang dalam masyarakat. Ini dapat memperburuk viktimisasi perempuan dan membuat penegakan hukum
menjadi lebih sulit. Maka dari itu, perlu adanya pendekatan yang inklusif untuk melibatkan pihak-pihak pria
dalam pencegahan kekerasan seksual. Teori kriminologi feminis membantu peneliti sekaligus pembaca dalam
memperluas pemahaman tentang kekerasan seksual dengan menyoroti aspek-aspek struktural dan budaya yang
mendasarinya. Pendekatan ini memperhatikan ketidaksetaraan gender dalam kebijakan penegakan hukum dan
menyuarakan suara korban yang sering kali diabaikan. Langkah-langkah pencegahan viktimisasi termasuk
pendidikan publik, akses yang lebih baik terhadap layanan dukungan, peningkatan kesadaran tentang hak-hak
korban, dan perbaikan sistem penegakan hukum yang responsif dan adil.

SARAN
Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait upaya pencegahan dan penanggulangan dari masalah ini, yakni:
1. Penguatan Kesadaran dan Pendidikan: Mendorong pendidikan seks yang inklusif dan menyeluruh di
sekolah-sekolah untuk membangun kesadaran akan hak-hak seksual, persetujuan, dan perlindungan
terhadap kekerasan. Perlu diadakannya pendidikan, baik melalui lingkup formal maupun informal,
mengenai kesetaraan gender, mengatasi stereotip berbahaya, dan mengajarkan respek terhadap hak-hak
individu merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang aman dari kekerasan seksual.
Pemikiran tabu akan seksualitas dapat menggiring anak hingga remaja kearah rentan terhadap
kekerasan seksual, terlebih melihat majunya teknologi kini, seperti child grooming, cyber-crime
menyangkut porno dan penghasutan, lebih mudah dilakukan. Dengan memperhatikan aspek-aspek
faktor, dan pencegahan, terutama menggencarkan kesadaran dan kehati-hatian atau awareness terhadap
hal–hal tersebut, demikian diharapkan kita dapat bergerak menuju sebuah lingkungan yang lebih aman,
inklusif, dan menghormati hak asasi manusia bagi semua individu, tanpa memandang gender atau
status sosial.
2. Pelatihan bagi Penegak Hukum: Memberikan pelatihan khusus kepada penegak hukum dan petugas
layanan masyarakat tentang bagaimana menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitivitas dan
memastikan akses yang adil terhadap keadilan bagi korban.
3. Penguatan Dukungan bagi Korban: Membangun jaringan dukungan yang kuat bagi korban kekerasan
seksual melalui penyediaan layanan kesehatan mental, konseling, bantuan hukum, dan pusat-pusat
krisis. Kerjasama antar organisasi dan lembaga terkait, seperti Komnas Perempuan, KemenPPPA,
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), serta polisi dan instansi kesehatan, dapat membantu
penyelenggaraan perlindungan korban yang lebih terorganisir.
4. Advokasi dan Kampanye Publik: Melakukan kampanye publik yang berkelanjutan untuk memerangi
stigma dan norma sosial yang memperkuat kekerasan seksual, serta untuk mempromosikan budaya
persetujuan dan penghormatan terhadap semua individu.
5. Kemitraan dengan Komunitas: Membangun kemitraan yang kuat dengan organisasi masyarakat,
lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi
perempuan dan anak-anak.
6. Pendekatan Teknologi: Mengembangkan platform teknologi yang aman dan terjamin privasi untuk
memberikan akses ke layanan bantuan, informasi, dan dukungan bagi korban kekerasan seksual.
7. Perubahan Kebijakan: Mengadvokasi perubahan kebijakan di tingkat pemerintah dan lembaga
internasional untuk memperkuat perlindungan hukum, meningkatkan penegakan hukum, dan
memperbaiki sistem peradilan bagi korban kekerasan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Books:
Kim, H., Sefcik, J. S. and Bradway, C. (2017) „Characteristics of Qualitative Descriptive Studies: A Systematic
Review‟, Research in Nursing and Health. John Wiley and Sons Inc., 40(1), pp. 23–42. doi:
10.1002/nur.21768.

Journals:
Salma,Oorin Aninda. (2022). Analisis Kriminologi Terhadap Kejahatan Seksual dengan Modus Child
Grooming, Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo, 1-135.
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/19550/1/1802056080_QORIN%20ANNIDA%20SALMA_LEN
GKAP%20TUGAS%20AKHIR.pdf.
Eriyanti, Linda Dwi. (2017).Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif Feminisme, Jurnal
Hubungan Internasional, Vol 6 (1), 27-37. https://doi.org/10.18196/hi.61102
Sopacua, Margie, G. (2015). Viktimisasi dalam Proses Pengadilan Pidana (Studi Kasus Perkosaan). Jurnal SASI,
Vol. 21 (2), 10-16.
https://media.neliti.com/media/publications/316072-viktimisasi-dalam-proses-peradilan-pidan-6ffae7e3.pdf

Technical and Research Reports:


Komnas Perempuan. (2023). Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan
terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan.
https://komnasperempuan.go.id/download-file/949
Simfoni-PPA. (2024). Ringkasan Sajian Data Kekerasan. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
OpenData Jabar. (2023). Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Semakin Meningkat, Bagaimana di Jabar.
https://opendata.jabarprov.go.id/id/infografik/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-semakin-meningka
t-bagaimana-di

Anda mungkin juga menyukai