Anda di halaman 1dari 11

Pengaruh Perkembangan Teknologi Terhadap Meningkatnya Kasus

Kekerasan Seksual Pada Perempuan


Opri
030441199
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Terbuka
sersan.opri@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis pengaruh perkembangan teknologi terhadap
meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Peningkatan teknologi informasi dan
komunikasi banyak memberikan dampak positif pada berbagai aspek kehidupan manusia. Namun
pada saat yang sama, kemajuan teknologi ini juga telah memberikan konsekuensi yang tidak
diinginkan, terutama dalam hal kekerasan seksual. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam
penelitian artikel ilmiah ini adalah yuridis-normatif, sedangkan metode yang digunakan pada
penulisan artikel ilmiah ini adalah metode kualitatif. Dari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
penulis paparkan terdapat tindak pidana bagi setiap pelaku kekerasan seksual sebagaimana
larangan kekerasan tersebut terdapat dalam UU No.12 Tahun 2022. Namun tindak pidana
kekerasan seksual tersebut dijelaskan dalam pasal 5, 6, 8 sampai dengan 14. Tindakan yang dapat
diambil untuk mengatasi kekerasan seksual pada perempuan pada zaman sekarang adalah dengan
cara memberikan pendidikan seksual yang komprehensif, penegakan hukum yang ketat terhadap
pelaku kekerasan seksual, dan pembangunan platform teknologi yang lebih aman dan terlindungi.

Kata kunci : Pengaruh, Teknologi, Kekerasan Seksual, Perempuan

PENDAHULUAN

Dalam rangka mengembangkan perangkat yang mendukung perkembangan teknologi


informasi, mulai dari sistem informasi hingga alat komunikasi satu arah dan dua arah,
perkembangan teknologi informasi berkembang pesat seiring dengan penemuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang informasi dan komunikasi (Rusman & Riyana. 2011).
Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin hari semakin banyak
digunakan diberbagai instansi pemerintahan dan masyarakat luas. (Ika Menarianti, Arif Wibisono.
2013) Definisi teknologi informasi dan komunikasi secara luas yaitu segala kegiatan yang terkait
dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolalaan, pemindahan informasi antar media .
Oleh karena itu penyalahgunaan teknologi tersebut menjadi penyebab banyak munculnya
perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum diluar jangkauan atau kendali peraturan hukum di
Indonesia. Hal tersebut membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kekerasan seksual yang
banyak terjadi sekarang dan yang banyak menjadi korban dari perlakuan tersebut adalah kaum
perempuan. Teknologi komunikasi merupakan suatu media daring yang dapat mempermudahkan
dalam melakukan interaksi sosial jarak jauh yang terhubung secara online dengan bantuan internet.
Yang mana pengguna teknologi informasi dan komunikasi tersebut bisa berkomunikasi satu sama
lain dengan mudah dan nyaman. Dengan berbagai fitur kemudahan yang ditawarkan, kemajuan
teknis ini memungkinkan orang untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain melalui pesan
suara, gambar, atau lebih sering dikenal sebagai panggilan video. Berbagai perkembangan di
bidang informasi dan teknologi tidak diragukan lagi memiliki pengaruh yang luar biasa dalam
kehidupan kita sehari-hari. Namun juga terdapat banyak dampak negatif dari penyalahgunaan
media sosial tersebut salah satunya pelecehan/kekerasan seksual yang meningkat. Kecanggihan
tersebut juga membuat banyak situs-situs yang mengarah pada pornografi dan sejenisnya, dan
terjadinya kekerasan atau kejahatan-kejahatan yang fatal. Namun banyak yang jadi korban dari
kekerasan tersebut yaitu kaum perempuan berupa kekerasan yang dalam bentuk pelecehan seksual.
Menurut John Galtung (B. Rudi Harnoko, 2010), kekerasan memiliki situasi di mana
manifestasi fisik dan mentalnya yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kekerasan
dalam arti luas tidak hanya meliputi kekerasan fisik (pembunuhan dan penganiayaan), tetapi juga
kebohongan, indoktrinasi, tekanan, ancaman, dan bentuk pemaksaan lainnya, serta penelantaran
yang bertujuan mencegah seseorang mengembangkan potensi dirinya secara utuh sebagai seorang
anak. pemikir. (Judith Davidson dalam bukunya Sexting Gender and Teens, 2014) menjelaskan
bahwa sexting merupakan aktifitas mengirim pesan atau gambar seksual secara eksplisit, atau
menonjolkan materi seksual melalui produk teknologi yang terhubung jaringan internet (dalam hal
ini smartphone). (Karliana, Prabowo. 2014), dalam jurnalnya mengemukakan bahwa
Kekerasan/pelecehan seksual adalah setiap jenis perilaku yang mengarah pada tindakan seksual
yang dilakukan secara sepihak bertentangan dengan keinginan orang yang menjadi sasaran dan
mengakibatkan emosi yang tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, penyesalan, kebencian,
ketersinggungan, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi pelakunya korban pelecehan.
Kekerasan seksual merupakan masalah serius yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan
merugikan banyak wanita di seluruh dunia, termasuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan yang
melanggar dan menciptakan ketidaknyamanan, baik dalam bentuk tindakan fisik, gerakan seksual,
atau perilaku sugestif seksual lainnya yang mempermalukan, menghina, atau bahkan menakut-
nakuti target tindakan.

Bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi antara lain ajakan, ejekan, penghinaan, dan
fitnah yang memasukkan aspek bahasa yang tidak sopan. Langkah apa yang harus diambil
pemerintah untuk mengurangi jumlah kasus pelecehan mengingat isu pelecehan seksual terhadap
perempuan yang terjadi secara online banyak mendapat perhatian dari berbagai kelompok sosial
dan undang-undang yang ada saat ini dianggap kurang menakutkan. dan efek jera bagi
pelanggarnya? pelecehan seksual terhadap perempuan secara online dan di media sosial, serta
langkah-langkah untuk mencegah insiden di masa mendatang. Maka dalam konteks ini, penulis
tertarik untuk membahas artikel dengan judul “pengaruh teknologi terhadap meningkatnya kasus
kekerasan seksual pada perempuan”. Dan penulis akan membahas tentang bentuk-bentuk
kekerasan seksual terhadap perempuan, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta tindak pidana
yang ditetapkan bagi pelakunya.

METODE PENELITIAN
Penelitian normatif hukum adalah jenis penelitian yang penulis gunakan dalam atrikel
ilmiah ini. Penelitian yuridis-normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan sesuai dengan
norma dan peraturan perundang-undangan dan menganalisis berbagai studi literatur yang berasal
dari jurnal online serta hasil pengumpulan data dari jurnal dan artikel yang kemudian diolah
berdasarkan pemikiran penulis. pikiran sendiri. Penulis penelitian ini menggunakan metodologi
kualitatif, yang biasanya digunakan untuk menjelaskan bagaimana masalah atau fenomena
memanifestasikan dirinya pada subjek penelitian dalam bentuk perilaku, sikap, motivasi, dan lain-
lain yang kemudian disajikan pada subjek secara deskriptif dengan menggunakan kata-kata. dan
bahasa. Karena digunakannya penelitian hukum normatif dalam penelitian ini, hukum.
PEMBAHASAN
Teknologi merupakan sebuah wadah yang banyak menciptakan kemudahan-kemudahan
bagi penggunanya dalam mengakses informasi dan komunikasi dengan sangat cepat. Akibat
kesalahan dalam penerapannya, telah terjadi beberapa kasus kekerasan seksual yang kini cukup
mengkhawatirkan, dan berita tentang jenis kejahatan ini terus beredar hampir setiap hari. Artinya,
baik pemerintah maupun kelompok lokal terus meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual
sebagai masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan perilaku kekerasan seksual
sebagai setiap perilaku di mana seksualitas atau organ seksual seseorang menjadi sasaran yang
tidak diizinkan orang tersebut, serta setiap tindakan pemaksaan atau ancaman.
15 kategori kekerasan seksual yang berbeda ditentukan oleh Komisi Nasional Perempuan
(Komnas). Banyaknya jenis kekerasan seksual tersebut terdiri dari:
 Permerkosaan.
 Intimidasi seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan.
 Pelecehan seksual.
 Eksploitasi seksual.
 Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual.
 Prostitusi paksa.
 Perbudakan seksual.
 Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung.
 Pemaksaan kehamilan.
 Pemaksaan aborsi.
 Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi.
 Penyiksaan seksual.
 Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.
 Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan.
 Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.
Daftar ini belum lengkap, menurut Komnas Perempuan, karena jenis pelecehan seksual
yang baru dan berbeda mungkin terus ada. Jenis-jenis kejahatan berikut diklasifikasikan sebagai
kejahatan penyerangan seksual menurut UU TPKS:
 Pelecehan seksual yang tidak bersifat fisik
 Pelecehan seksual bersifat fisik
 Penggunaan kontrasepsi secara paksa
 Pemaksaan sterilisasi
 Perkawinan secara paksaan
 Penyiksaan seksual
 Penganiayaan seksual
 Perbudakan atas seksualitas
 Kekerasan seksual berbasis media sosial

Menurut berbagai pandangan tentang banyaknya manifestasi kekerasan seksual terhadap


perempuan, manifestasi yang diakibatkan oleh pengaruh teknologi informasi dan komunikasi
adalah:
1. Kekerasan seksual akibat teknologi
Dalam hal ini, pelaku terlibat dalam serangan seksual online real-time (pemerkosaan,
kecabulan, siksaan seksual, dan eksploitasi tubuh) terhadap individu lain. Pertukaran ini
dikompensasi dan pribadi. Salah satu contoh yang terjadi di Aceh. Sekelompok remaja
ditipu untuk memposting gambar telanjang mereka di media sosial oleh organisasi
kriminal. kemudian didorong ke prostitusi di dunia nyata setelah dilecehkan secara online.
2. Penyebaran konten bersifat seksual
Menyebarkan gambar, video, dan tangkapan layar dari diskusi pelaku dan korban
merupakan perbuatan ini. Detail intim dan seksual tentang korban disertakan dalam konten
yang dirilis. pertama berteman dengan pelaku di media sosial, diikuti dengan ancaman dan
tekanan untuk mengambil gambar telanjang. Tujuan dari perilaku dan ancaman ini adalah
untuk menggunakan korban demi keuntungan finansial dan seksual.
3. Pembalasan pornografi
Hubungan intim antar pihak terlibat dalam jenis kekerasan ini. Untuk mendiskreditkan
korban, membalas dendam, atau keuntungan finansial, pelaku mempublikasikan informasi
pribadi tentang korban.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Prilaku Kekerasan Seksual
Keinginan pelaku dan kesempatan untuk melecehkan umumnya berujung pada
penyerangan seksual. Stimulus dari korban yang memicu perilaku pelecehan juga dapat
menyebabkan aktivitas ini terjadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kekerasan seksual, adalah sebagai
berikut :

 Korban mudah dikendalikan. Biasanya, pelaku percaya bahwa korbannya tidak


berdaya dan akan mudah jatuh ke dalam perangkap mereka.

 Nafsu: Ketika hasrat seksual tidak dikendalikan, hal itu dapat menyebabkan
pelecehan seksual.

 Telah menjadi penderita. Pemicu lain mungkin riwayat pelecehan seksual saat masih
muda.

 Bertindak sebagai saksi. Pelaku memiliki pengalaman langsung dengan pelecehan


seksual.

 Otoritas sendiri. Kekuasaan atas korban adalah milik pelaku.

 Ketergantungan. Kecanduan narkoba dan alkohol dapat berdampak pada pikiran dan
perilaku pelakunya.

 Mimpi tentang seks. Mereka yang melakukan kejahatan sering kali memiliki fantasi
kekerasan atau melecehkan.

 Biasa menonton film porno. Perilaku ini memicu imajinasi erotis yang berujung pada
serangan seksual.

Tindakan Pidana Untuk Pelaku Kekerasan Seksual

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang kurang tepat atau kurang tepat oleh
sebagian masyarakat menyebabkan tumbuhnya perilaku menyimpang, seperti kekerasan seksual
yang saat ini marak terjadi. Pelecehan seksual adalah tindakan kriminal. Sanksi pidana dijatuhkan
kepada mereka yang melakukan kegiatan yang dilarang, sedangkan larangan ditujukan kepada
perbuatan itu sendiri. Menurut pengertian ini, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
karena bertentangan dengan undang-undang. Korban sering dituduh melakukan kekerasan seksual
di sebagian besar kasus ketika hal itu terlihat oleh publik.
Hak asasi manusia dilanggar oleh kekerasan seksual. Bahkan kejahatan terhadap martabat
manusia, seperti penyerangan seksual, harus dilarang. Penulis akan menguraikan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 yang mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Salah
satu penyebab keberadaan undang-undang tersebut adalah karena belum berhasil memberikan
perlindungan, akses, dan pemulihan bagi kekerasan seksual.
Tindak pidana kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 adalah semua perbuatan yang memenuhi kriteria tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, serta tindak kekerasan seksual tambahan yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini sepanjang masih diputuskan dalam Undang-Undang ini.
Dari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah dipaparkan di atas berikut tindak pidana
yang diterapkan bagi setiap pelaku kekerasan seksual terdapat larangannya dalam UU No.12
Tahun 2022 yaitu :
 Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual nonfisik yang diarahkan pada tubuh,
hasrat seksual, atau alat reproduksi dengan maksud untuk merendahkan martabat seseorang
berdasarkan orientasi dan/atau kesusilaan seksual, dipidana karena pelecehan seksual
nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Menurut Pasal 5, pelecehan seksual non
fisik merupakan pelanggaran yang dapat diadukan. Korban yang cacat atau anak di bawah
umur tidak dicakup oleh peraturan ini.
 Prilaku kekerasan seksual fisik tindakan pidana ini dijelaskan dalam pasal 6 berikut
penjelasannya
a. Setiap individu yang melakukan tindakan seksual fisik dengan maksud untuk
menurunkan martabat seksual atau kesusilaan orang lain, yang tidak diatur oleh
hukuman pidana yang lebih serius, dapat dikenai hukuman penjara hingga 4 tahun
atau denda maksimal Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
b. Setiap orang yang sudah dalam perkawinan atau belum dalam perkawinan
perbuatan jasmani yang berorientasi seksual yang ditujukan pada anggota badan,
keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi yang bertujuan untuk menundukkan
seseorang secara paksa, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun. dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
c. Pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) berlaku bagi setiap orang yang
menggunakan jabatan, wewenang, kepercayaan, atau perilakunya secara tidak jujur
atau berkaitan dengan keadaan, memanfaatkan kelemahan, perbedaab status sosial,
atau ketergantungan seseorang, memaksa atau membujuknya atau mengizinkan
untuk terlibat dalam aktivitas seksual dengannya atau dengan individu lain melalui
penipuan.
 Paksaan dalam penggunaan kontrasepsi, tindakan yang melibatkan kekerasan, diuraikan
dalam pasal 8 sebagai berikut: "Siapapun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, atau memanfaatkan keadaan
ketidakberdayaan yang dapat menyebabkan sementara hilangnya fungsi reproduksinya,
memaksa orang lain untuk menggunakan alat kontrasepsi, akan dihukum dengan penjara
selama maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)”.
 Pemaksaan sterilisasi, tindakan pidana ini dijelaskan dalam pasal 9 yaitu “Setiap individu
yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,
penyesatan, penipuan, atau memanfaatkan kondisi orang lain yang tidak berdaya untuk
memaksa penggunaan alat kontrasepsi yang mengakibatkan kehilangan kemampuan
reproduksi secara permanen akan dihukum dengan sterilisasi paksa. Pelaku dapat dikenai
hukuman penjara maksimal selama 9 tahun dan/atau denda maksimal sebesar
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
 Pemaksaan perkawinan tindakan pidana ini dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) yaitu
“Seseorang yang secara melanggar hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah
pengaruhnya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau
memungkinkan terjadinya perkawinan dengannya atau dengan orang lain, akan dikenakan
hukuman atas tindakan pemaksaan perkawinan. Hukuman ini dapat berupa penjara dengan
durasi maksimal 9 (sembilan) tahun dan/atau denda maksimal sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)”.
 Pasal 11 Konstitusi memberikan definisi kejahatan penyiksaan seksual sebagai berikut:
“Pejabat mana pun, siapa pun yang melakukan tindakan dalam peran atau fungsi resmi,
seseorang yang melakukan karena seorang penguasa sedang memikirkan atau menyadari
serangan seksual, bermaksud untuk:
a. Ancaman atau memaksa orang tersebut atau pihak ketiga untuk membocorkan
informasi atau membuat pengakuan.
b. Penganiayaan atau menjatuhkan hukuman untuk pelanggaran yang dicurigai atau yang
sebenarnya.
c. Ancaman hukuman maksimal untuk penyerangan seksual adalah 12 (dua belas) tahun
penjara dan/atau denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika
menghina atau menghina karena diskriminasi dan/atau seksualitas dalam semua
bentuknya.
 “Setiap individu yang menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau
menyalahgunakan kekuasaan, posisi, kepercayaan, atau kepemilikan yang diperoleh
melalui penipuan atau dalam konteks hubungan yang tidak seimbang, rentan, tidak adil,
atau didasarkan pada ketergantungan seseorang, penjebakan utang, atau memberikan
pembayaran atau manfaat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau
menggunakan organ seksual atau organ lain dari individu tersebut untuk memuaskan nafsu
seksualnya," demikian pasal 12 mendefinisikan eksploitasi seksual sebagai tindak pidana.
 Perbudakan seksual tindakan pidana ini dijelaskan dalam pasal 13 yaitu “Setiap orang
secara melawan hukum memberinya wewenang atas dirinya atau membuatnya tidak
berdaya untuk melecehkan individu lain secara seksual, dipidana karena perbudakan
seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/ atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
 Kekerasan seksual dengan memanfaatkan teknologi informasi tindakan pidana ini
dijelaskan dalam pasal 14 ayat (1) yaitu : Setiap orang yang tanpa hak:
a. Merekam audio dan video yang eksplisit secara seksual tanpa sepengetahuan atau
izin subjek, atau mengambil tangkapan layar pornografi tanpa persetujuan mereka
b. Mengirimkan materi atau dokumen eksplisit seksual secara elektronik bertentangan
dengan keinginan penerima dengan maksud untuk membangkitkan hasrat seksual;
c. Jika terbukti bersalah melakukan tindakan kekerasan seksual secara elektronik,
Anda dapat menghadapi hukuman penjara selama 4 (empat) tahun dan/atau denda
sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) karena menguntit dan/atau
melacak seseorang yang menjadi subjek kejahatan elektronik. informasi atau
dokumen untuk seks.
Pasal 17 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa, “selain dipidana, pelaku tindak pidana kekerasan
seksual dapat ditindak dalam bentuk rehabilitasi”. Selain dipidana atas tindak pidana yang
tercantum dalam Pasal 5, 6, 8, dan 14 sampai dengan Pasal 17. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis menurut ayat (2).

KESIMPULAN
Pengaruh penggunaan teknologi informasi dan komunikasi masa sekarang cukup tinggi,
dan teknologi ini sebenarnya dibutuhkan di banyak organisasi pemerintah maupun di masyarakat,
yang berdampak pada meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan. Hal tersebut dapat
berdampak pada memicunya kejahatan ataupu kekerasan, salah satunya kekerasan seksual. Ini
terjadi karena pengguna teknologi tersebut menempatkan penggunaannya secara negatif ataupun
tidak ada bimbingan dari yang lebih mengetahui teknologi tersebut. Bisa juga terjadi karena
keinginan atau dorongan hati seseorang akan hal-hal yang berbau kejahatan. Ada beberapa macam
bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat, sebagaimana perbuatan kekerasan
seksual tersebut terdapat larangannya dalam UU No.12 Tahun 2022. Perbuatan tindak pidana yang
menjelaskan tentang hal tersebut tercantum dalam pasal 5,6, 8 sampai dengan pasal 14, dan
tindakan rehabilitasi diterangkan dalam pasal 17.

SARAN
Adapun saran yang penulis ambil dari pembahasan pengaruh teknologi terhadap meningkatnya
kekerasan seksual pada wanita yaitu :
1. Perkembangan teknologi telah berdampak signifikan pada meningkatnya kasus kekerasan
seksual terhadap perempuan. Maka, perlu adanya tindakan yang efektif untuk mengatasi
masalah ini. Langkah-langkah yang mungkin diambil termasuk pendidikan seksual yang
komprehensif, penegakan hukum yang ketat terhadap pelaku kekerasan seksual online, dan
pembangunan platform online yang lebih aman dan terlindungi.
2. Sebaiknya penggunaan teknologi berupa teknologi informasi dan komunikasi dilakukan
pengawasan agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang mengakibatkan kekerasan terutama
pada perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Butje Tampi, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam Hukum Pidana Indonesia”
2010

Harnoko, B. R. (2010). Dibalik tindak kekerasan terhadap perempuan. Muwazah, 2(1).

Judith Davidson. “Sexting Gender and Teens”. 2014

Menarianti & Wibisono. “Teknologi Informasi dan Komunikasi”. 2013

Purwanti, A., & Hardiyanti, M. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual
Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual. Masalah-Masalah
Hukum, 47(2), 138-148.
Rusman, D. K., & Riyana, C. (2011). Konsep Dasar Teknologi Informasi Dan
Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sumera, M. (2013). Perbuatan kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan. Lex et


Societatis, 1(2).

UU No.12 Tahun 2022 “Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”

https://katadata.co.id/agung/berita/632daf96781b7/pengertian-kekerasan-seksual-dan-ketentuan-
hukumnya-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai