Anda di halaman 1dari 8

DARURAT KEKERASAN SEKSUAL DALAM DUNIA

DIGITAL DAN PENGATURANNYA DALAM UU TPKS

TIM DREAM

FADIA ZAHRA HANAN (205220309)


SALFANINDITA AISKHA D. (205220145)
ZULAYKA NURUL IZZATI A. (205220283)
RISKA AMELIA PUTRI (205220314)

Lomba Menulis Esai


Tarumanagara Internal Law Cup

TAHUN 2022
PENDAHULUAN

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, kekerasan seksual


didefinisikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas
atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan, dengan unsur paksaan atau ancaman,
termasuk perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.
Berita mengenai kekerasan seksual di Indonesia sudah tidak asing lagi terdengar di
telinga masyarakat. Masalah kekerasan seksual di Indonesia telah menjadi
pemberitaan yang sering diperbincangkan. Kasus ini semakin banyak bertambah,
misalnya dengan melakukan perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan atau
menyerang tubuh serta fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa
atau gender yang dapat berakibat penderitaan psikis atau fisik. Selain itu, kekerasan
dapat berupa paksaan atau ancaman-ancaman yang jika ajakan tersebut tidak dipenuhi
pelaku akan melakukan kekerasan sehingga korban merasa malu, marah, tersinggung,
atau membenci hal tersebut. Kekerasan seksual dapat terjadi tidak memandang usia
bahkan gender. Kekerasan seksual dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki.
Namun, kekerasan seksual pada umumnya lebih sering terjadi pada perempuan.
Dalam dunia digital, kasus kekerasan seksual sudah seringkali diekspos oleh
media massa, namun dalam masyarakat masih banyak yang belum sepenuhnya
menyadari bahwa mereka sebenarnya telah menjadi korban kekerasan seksual atau
menganggap masalah ini sebagai sesuatu yang tidak serius untuk ditanggapi. Dalam
banyak kasus, pelaku pengirim lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang
bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya membuat korban memilih diam dan
menganggap biasa perlakuan yang diterima. Melihat maraknya kekerasan seksual
yang terus-menerus terjadi sangatlah membuat keresahan di masyarakat. Namun, ada
yang mengatakan bahwa justru korbanlah yang memberikan peluang kepada para
pelaku untuk dapat melakukan kekerasan seksual tersebut.
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Kekerasan seksual mempunyai dampak yang besar. Tidak hanya memberikan
dampak pada fisik korban, namun juga memberikan dampak secara mental atau
psikis. Untuk dampak yang secara fisik memang dalam tahap pemulihannya tidak
terlalu membutuhkan waktu yang lama, namun pada dampak mental ini
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya. Secara psikologis,
korban akan merasa malu, kaget, menyalahkan diri sendiri, marah, frustasi, bingung,
depresi, mengisolasi, dan lain-lain. Bahkan ada juga yang sampai menderita masalah
kejiwaan sampai memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri karena tidak kuat
menahan penderitaan dan rasa malu yang dideritanya.
Meski ada aturan hukum mengenai kekerasan seksual, kaum lelaki tetap merasa
berkuasa di banding perempuan dan kondisi perempuan menjadi makhluk yang
lemah. Terbukti dari kasus-kasus kekerasan yang nyata ada dimana-mana. Hal ini
menambah keresahan orang tua terhadap anak perempuannya. Padahal apabila hal ini
tidak segera diselesaikan, maka akan menjadi peristiwa traumatis. Semakin lambat
keadaan ini tidak di tanganin maka akan semakin susah ditangani, karena akan
semakin banyak kasus-kasus atau kejadian-kejadian yang timbul. Sebagai manusia
yang hidup berdampingan dengan manusia lain, kita tidak selalu bisa menaruh
prasangka baik terhadap orang lain. Bisa saja orang tersebut dapat menjadi orang
yang melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain.
Sampai saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
beberapa bentuk kekerasan seksual, narnun sangat terbatas bentuk dan lingkupnya.
Peraturan perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespons
fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di Masyarakat. Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga
masih belum memperhatikan Hak Korban dan cenderung menyalahkan Korban.
Selain itu, masih diperlukan upaya Pencegahan dan keterlibatan Masyarakat agar
terwujud kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Oleh karena itu,
diperlukan Undang-Undang khusus tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang
mampu menyediakan landasan hukum materiel dan formil sekaligus sehingga dapat
menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
ISI

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, gadget merupakan elektronik yang
sudah menjadi kebutuhan sekunder tiap orang. Mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa sudah terbiasa memakai gadget dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal
yang dapat diakses melalui gadget, seperti informasi terkini, kebutuhan finansial,
media pembelajaran, dan lain-lain. Tetapi, jika penggunaan gadget disalahgunakan,
banyak dampak negatif yang akan timbul, salah satu contohnya yaitu terciptanya
kekerasan seksual dalam dunia digital. Kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi
seperti :
(penyebaran konten seksual)
Tindakan ini berupa peneyebaran foto, video, dan tangkap layar percakapan
anatara pelaku dengan korban. Konten yang disebarkan mengandung unsur intim dan
pornografi korban.
(balas dendam dengan pornografi)
Bentuk kekerasan ini melibatkan para pihak yang memiliki relasi intim. Pelaku
menyebarluaskan konten intimnya dengan korban dengan dalam rangka
mencemarkan nama baik korban, membalas dendam, atau memperoleh keuntungan
finansial. Salah satu contoh kasusnya adalah penyebaran foto intim selingkuhan yang
dilakukan mahasiswa di Banyumas, Jawa tengah.
Setelah kita amati contoh kasus diatas Pelakunya biasanya adalah suami, mantan
suami, mantan pacar, selingkuhan maupun atasan korban.
Perkembangan teknologi informasi memang tidak hanya membawa perubahan
positif, namun juga pergeseran ruang terjadinya kekerasan seksual yang awalnya
jamak terjadi di ruang fisik sekarang juga terjadi di ruang digital.
Dalam dunia digital, setiap individu dapat bertemu dan berinteraksi dengan
orang-orang dari berbagai kultur berbeda. Kekerasan seksual dalam dunia digital
dapat terjadi melalui mengirimkan pesan seksual atau sexting, dan lain-lain.
Minimnya pemahaman etika, privasi yang tidak terbatas, dan literasi digital yang
terbatas menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual di dunia digital.
Kekerasan seksual merupakan kasus yang menyita perhatian banyak orang.
Permasalahan ini perlu diatasi secepat mungkin karena sudah banyak korban yang
berjatuhan akibat dari tindakan kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual enggan
melapor kepada pihak berwenang bahkan orang terdekat seperti keluarga. Bukan
tanpa alasan, korban memilih diam karena pelaku tidak segan untuk mengancam
korban jika melaporkan kejadian bejatnya. Hal ini menjadi penghalang bagi korban
untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami.
Hukum yang berlaku di dunia luring juga berlaku pada dunia daring.
Meningkatnya tindak kekerasan seksual pada beberapa tahun terakhir ini
menyebabkan banyak pihak mengusulkan perlunya sebuah undang-undang yang
mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual seperti UU TPKS. Salah satu
muatan isi yang menarik dalam UU TPKS adalah pengaturan tentang tindak pidana
kekerasan seksual berbasis elektronik.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik tersebut juga telah
diadopsi dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS yang berbunyi:1
1. Setiap Orang yang tanpa hak:
a. melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan
layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan
orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan
layar;
b. mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan
terhadap keinginan seksual; dan/atau
c. melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem
elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam
informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena
melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

1
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-12-2022-tpks
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
maksud:
a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau
b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan,
membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Menurut Komnas Perempuan, bentuk kasus kekerasan seksual terbanyak yang


diadukan adalah ancaman dan intimidasi penyebaran konten seksual korban, baik
berupa foto maupun video. Pengaturan tentang kekerasan seksual berbasis
elektronik yang terdapat dalam UU TPKS memang mampu untuk menjadi
upaya untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat serta korban kekerasan
seksual di ruang digital. Namun, ketentuan tersebut riskan dipertentangkan
dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (1) UU
ITE memuat ketentuan tentang larangan penyebaran konten yang melanggar
kesusilaan. Namun, terdapat beberapa kasus yang malah menjerat korban
kekerasan seksual berbasis online dengan menggunakan pasal tersebut. Ketika
korban mencoba untuk mencari pertolongan kepada orang lain dengan
mengirimkan bukti berupa foto maupun tangkapan layar, maka pelaku dapat
melaporkan korban dengan alasan telah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1)
UU ITE. UU TPKS diharapkan mampu untuk berjalan dengan efektif untuk
memberikan perlindungan paripurna kepada korban kekerasan seksual berbasis
elektronik. Jangan sampai ada lagi kasus kekerasan seksual yang malah
menghukum korban. Agar hal tersebut dapat tercapai, maka terdapat beberapa
hal yang harus dilakukan yaitu DPR bersama dengan Pemerintah selaku
pembentuk undang-undang perlu mengevaluasi Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Ketentuan tersebut memiliki definisi sempit terkait dengan konten yang
melanggar kesusilaan, sehingga dapat digunakan oleh pelaku untuk
memenjarakan korban kekerasan seksual berbasis elektronik. 2
UU TPKS ini merupakan angin segar bagi perempuan dan anak Indonesia yang
paling rentan menjadi korban kekerasan seksual karena merupakan UU lex specialist
yang dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban kekerasan
seksual dari hulu hingga ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum
dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.3

PENUTUP

Dengan adanya kasus seperti ini, diharapkan dapat mendorong masyarakat


menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Pihak berwajib
perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan
internet secara positif, kritis, dan kreatif.
Dengan adanya kasus seperti ini, diharapkan dapat mendorong masyarakat
menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Pemerintah wajib
mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan
internet secara positif, kritis, dan kreatif. Hal penting yang harus dilakukan adalah
memeriksa pengaturan privasi gadget, pikirkan berkali-kali sebelum mengirim foto
dan video, memblokir pesan dari akun mengganggu, dan hindari konten yang
berkaitan dengan pornografi. Jika menjadi korban, tindakan yang bisa dilakukan yaitu
meminta pelaku kekerasan seksual berhenti, putuskan komunikasi dengan pelaku,
lakukan konsultasi psikologis, dan laporkan platform digital terkait.

2
https://advokatkonstitusi.com/pengaturan-kekerasan-seksual-berbasis-elektronik-dalam-uu-tpks/
3
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4015/uu-tpks-wujud-kehadiran-negara-
lindungi-korban-kekerasan-seksual
DAFTAR PUSTAKA

https://www.detik.com/bali/nusra/d-6381307/polisi-ancam-pidana-warga-yang-sebar-
vcs-mahasiswi-lombok
https://www.detik.com/jabar/berita/d-6375612/penyebab-banyak-korban-kekerasan-
seksual-belum-berani-melapor
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6375135/ternyata-ini-alasan-banyak-
korban-kekerasan-seksual-takut-melapor
https://advokatkonstitusi.com/darurat-kekerasan-seksual-penanganan-aparat-penegak-
hukum-perlu-diperkuat/
https://advokatkonstitusi.com/pengaturan-kekerasan-seksual-berbasis-elektronik-
dalam-uu-tpks/
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-12-2022-tpks
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4015/uu-tpks-wujud-
kehadiran-negara-lindungi-korban-kekerasan-seksual

Anda mungkin juga menyukai