Anda di halaman 1dari 7

Rayhan Rajendra Irawan

2106734820
Kelompok 36 (Force Majeure)

Unsur-Unsur dan Urgensi Pengurangan Tindakan Kekerasan Seksual

Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 memaparkan bahwa


terdapat 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan 58% dari
kasus tersebut meliputi kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual,
dan pencabulan.1 Angka tersebut juga merupakan peningkatan sebesar 6% dari
tahun sebelumnya.2 Komnas Perempuan juga mengatakan bahwa setiap hari
sebanyak 35 perempuan mengalami kekerasan seksual.3 Pada ruang lingkup
dunia, PBB melaporkan bahwa terdapat 55.273 kekerasan yang terjadi kepada
perempuan dan sebanyak 41% di antaranya termasuk kekerasan seksual.4 Pandemi
Covid-19 yang memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan lockdown juga
berkontribusi terhadap peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. 5
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual, yang mayoritas
menyasar pada perempuan, masih marak terjadi.
Menurut Pasal 1 Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual, kekerasan seksual adalah perbuatan yang merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, dengan dilakukan secara paksa dan
bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi
kuasa dan/atau relasi gender yang mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan
secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
politik.6 Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa pemberian persetujuan
secara bebas adalah unsur penting dari kekerasan seksual. Ketimpangan relasi
kuasa antara seseorang dengan orang lain dan relasi gender yang tercakup dalam
pengertian kekerasan seksual tersebut juga berperan pada terjadinya kekerasan
seksual.

1
Sekretariat Jenderal DPR RI, “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat, RUU PKS
Perlu Segera Disahkan,”
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32059/t/Kekerasan+Terhadap+Perempuan+Meningkat
%2C+RUU+PKS+Perlu+Segera+Disahkan, diakses 11 Agustus 2021z
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Definisi diambil dari Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual.
Persetujuan atau consent adalah suatu kesepakatan antara kedua pihak
untuk melakukan suatu aktivitas, termasuk aktivitas seksual.7 Consent dapat
diberikan dalam wujud berupa persetujuan verbal seperti lisan dan tulisan maupun
non-verbal seperti menganggukkan kepala.8 Salah satu pihak harus memberikan
consent tanpa tekanan atau paksaan dari pihak lain dan tanpa pengaruh hal-hal
lain seperti minuman keras dan obat-obatan tertentu.9 Consent juga bersifat
reversible, yaitu dapat ditarik kembali kapan saja jika merasa tidak nyaman pada
saat melakukan suatu aktivitas, termasuk aktivitas seksual.10 Consent harus dilihat
dari antusiasme pihak, yaitu melakukan suatu aktivitas dengan memastikan suatu
pihak menyetujui tentang hal yang akan dilakukan dan bukan dari kepasifan pihak
tersebut.11 Salah satu pihak juga harus menginformasikan secara jelas dan spesifik
tentang suatu kegiatan yang disetujui dan pihak lain dilarang untuk melakukan
kegiatan di luar batas consent tersebut.12 Consent ini bersifat penting karena tanpa
adanya consent, segala kegiatan yang bersifat seksual merupakan bentuk dari
kekerasan seksual.13 Dari penjabaran consent tersebut, dapat diketahui bahwa
keterpaksaan atau kepasifan suatu pihak bukan berarti pihak tersebut memberikan
consent. Keterpaksaan dan kepasifan suatu pihak tersebut banyak ditemukan pada
kasus kekerasan seksual yang disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017, relasi kuasa
adalah suatu relasi yang melibatkan dua pihak yang mempunyai sifat hierarkis
yang menimbulkan penguasaan satu pihak terhadap pihak lain sehingga
merugikan pihak yang berada di posisi lebih rendah.14 Contoh dari relasi kuasa
adalah seperti hubungan antara bos dengan karyawan dan dosen dengan
mahasiswa.

7
Rape, Abuse and Incest National Network, “What Consent Looks Like,”
https://www.rainn.org/articles/what-is-consent, diakses 12 Agustus 2021.
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Tabayyun Pasinringi, “Magdalene Primer: Apa yang Perlu Diketahui tentang
‘Consent’,” https://magdalene.co/story/magdalene-primer-apa-yang-perlu-diketahui-tentang-
consent, diakses 12 Agustus 2021.
14
Riki Perdana Raya Waruwu, “Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan
Seksual”,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-relasi-
kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/?page=1, diakses 11 Agustus
2021.
Pelecehan seksual hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk
kekerasan seksual.15 Komnas Perempuan menjabarkan tentang bentuk-bentuk
kekerasan seksual sebanyak 15 buah, yaitu perkosaan, intimidasi seksual termasuk
ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual,
perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan
seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan,
pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual,
praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi, dan
kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralaskan moralitas atau agama.16
Kekerasan berbasis gender online atau KBGO adalah salah satu bentuk
dari kekerasan seksual. KBGO adalah kekerasan berbasis teknologi yang
ditujukan kepada seseorang yang bertujuan untuk melecehkan korban dengan
beralaskan seks atau gender.17 Karena mayoritas korban KBGO adalah
perempuan, Komnas Perempuan menyebut KBGO sebagai kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) berbasis siber, yaitu bentuk kejahatan dalam dunia maya dengan
korban perempuan yang menjadikan tubuh mereka sebagai objek pornografi. 18
Dari laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2020 terdapat lonjakan kasus
pelecehan seksual berbasis siber sebesar 348%.19 Terdapat 6 bentuk KBGO yang
dikategorikan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network atau
SAFEnet, yaitu pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan
reputasi, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, dan serangan kepada
komunitas tertentu.20
Dikutip dari perkataan Theresia Iswarini selaku Komisioner Komnas
Perempuan, dampak-dampak kekerasan seksual pada korban adalah dampak
psikologis, fisik, dan sosial.21 Korban dapat mengalami dampak psikologis seperti
15
Komnas Perempuan, “15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan,”
https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-
kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan, diakses 11 Agustus 2021.
16
Ibid.
17
Restu Adya dan Mustaghfiri Asror, “Krisis Pandemi dan Maraknya Kekerasan Berbasis
Gender Online (KBGO),” https://rhknowledge.ui.ac.id/id/articles/detail/krisis-pandemi-dan-
maraknya-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-002f98, diakses 12 Agustus 2021.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Putu Elmira, “Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Korban, dari Psikologis hingga
Sosial,” https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampak-kekerasan-seksual-terhadap-
korban-dari-psikologis-hingga-sosial, diakses 13 Agustus 2021.
gangguan jiwa, depresi, dan gangguan psikotik.22 Dampak fisik yang dapat
dirasakan korban adalah penyakit dan nyeri kronis dan penyakit menular seksual
atau PMS seperti herpes, HIV, infeksi pada vagina atau anus, serta nyeri saat
berhubungan seksual.23 Selain itu, terdapat juga dampak sosial seperti mendapat
stigma buruk dan pengucilan dari masyarakat. 24 Stigma negatif dari masyarakat ini
juga dapat mengarah ke perbuatan victim blaming.
Victim blaming adalah perilaku yang terjadi ketika korban disalahkan dan
diminta pertanggungjawaban atas kejahatan yang menimpa dirinya. 25 Bentuk-
bentuk tindakan victim blaming yaitu tidak percaya pada cerita korban,
menyalahkan korban, menyepelekan dampak yang diterima korban, dan perlakuan
tidak sesuai oleh pihak berwenang.26 Kerap kali victim blaming dilakukan oleh
berbagi pihak kepada korban. Hal ini disebut viktimisasi sekunder atau
reviktimisasi.27 Normalisasi dari victim blaming harus diberhentikan karena
berdampak serius pada korban, antara lain korban merasa bahwa kekerasan yang
terjadi kepadanya adalah sebuah aib, enggan melapor kepada pihak berwenang,
trauma masa depan, dan depresi hingga menghasilkan percobaan bunuh diri.28
Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk membantu korban
kekerasan seksual. Untuk kekerasan seksual yang terjadi di kehidupan sehari-hari
di ruang publik, kita dapat menerapkan prinsip 5D, yaitu distract, delay, delegate,
dokumentasi, dan direct atau konfrontasi langsung.29 Distract dapat dilakukan
dengan mengalihkan perhatian agar suatu kekerasan seksual tidak terjadi. Delay di
sini dilakukan ketika kekerasan seksual sudah terjadi, yaitu dengan menghampiri
korban dan menanyakan kondisi korban serta menawarkan bantuan. Delegate
merupakan permintaan bantuan kepada pihak lain yang mempunyai otoritas,
seperti satpam atau dosen di sekitar tempat kejadian. Tindakan dokumentasi bisa
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Erika Putri Wulandari dan Hetty Krisani, “Kecenderungan Menyalahkan Korban
(Victim Blaming) dalam Kekerasan Seksual terhadap Perempuan sebagai Dampak Kekeliruan
Atribusi,” Social Work Journal 10, (2020), hlm. 189.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Bunga Suci Shopiani, Wilodati, dan Udin Supriadi, “Fenomena Victim Blaming pada
Mahasiswa terhadap Koban Pelecehan Seksual,” Sosietas 11, (Juli 2021), hlm 949-952.
29
Siti Ferdianti, “Bagaimana Cara Kita Membantu Korban Kekerasan Seksual,”
https://ketik.unpad.ac.id/posts/1100/bagaimana-cara-kita-membantu-korban-kekerasan-seksual
%C2%A0-1, diakses 13 Agustus 2021.
berupa merekam atau mengambil foto saat kejadian kekerasan seksual
berlangsung dan dokumentasi berupa foto atau video hanya boleh dipublikasi atas
consent korban. Konfrontasi dilakukan dengan cara mengonfrontasi langsung
pelaku kekerasan seksual dan berkata bahwa tindakannya adalah perbuatan buruk.
Pada kejadian kekerasan seksual di media sosial, bisa dilakukan tindakan delay
dan konfrontasi dengan me-reachout korban di kolom komentar atau pada fitur
direct message dan bisa mengonfrontasi pelaku dengan cara yang sama.
Sebagai mahasiswa, tentunya terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan
untuk mengurangi tindakan kekerasan seksual di dalam lingkungan kampus. Di
lingkungan Universitas Indonesia sendiri terdapat suatu organisasi bernama
HopeHelps UI, yaitu organisasi yang bergerak pada layanan pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan seksual di UI.30 Mahasiswa UI bisa bergabung dan
berkontribusi pada penanganan kasus korban kekerasan seksual dan
meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang kekerasan seksual melalui berbagai
platform digital untuk mencegah dan mengurangi kekerasan seksual. HopeHelps
UI memiliki layanan seperti pendampingan hukum, pendampingan psikologis, dan
pelaporan ke pihak universitas maupun penjemputan korban. Mahasiswa UI yang
mengetahui kejadian kekerasan seksual maupun korban kekerasan seksual dapat
menggunakan layanan-layanan tersebut dengan menghubungi HopeHelps UI
melalui email dan hotline WhatsApp. Namun, perlu diingat bahwa seseorang yang
melihat atau mendengar kejadian kekerasan seksual dan ingin melaporkan
kejadian tersebut harus mendapatkan consent atau persetujuan korban karena
consent dan keputusan korban adalah hal yang paling utama dalam pelaporan
kasus kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan hina yang sangat
merugikan korban. Titik berat kekerasan seksual juga terdapat pada korban dan
bukan pelaku. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berupaya mengurangi
tindakan kekerasan seksual yairu dengan mengimplementasikan cara-cara untuk
mengurangi tindakan kekerasan seksual dan melindungi serta membantu korban
kekerasan seksual agar dapat kembali bermasyarakat dengan aman dan seperti
keadaan semula.
30
HopeHelps Universitas Indonesia, “Ringkasan Tahunan HopeHelps Universitas
Indonesia 2021: Dunia Anomie di Tengah Pandemi,” hlm. 6.
Daftar Pustaka

Sekretariat Jenderal DPR RI. “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat, RUU


PKS Perlu Segera Disahkan.”
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32059/t/Kekerasan+Terhadap+Pere
mpuan+Meningkat%2C+RUU+PKS+Perlu+Segera+Disahkan.

Indonesia. Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Rape, Abuse and Incest National Network. “What Consent Looks Like.”
https://www.rainn.org/articles/what-is-consent.

Pasinringi, Tabayyun. “Magdalene Primer: Apa yang Perlu Diketahui tentang


‘Consent’.” https://magdalene.co/story/magdalene-primer-apa-yang-perlu-
diketahui-tentang-consent.

Waruwu, Riki Perdana Raya. “Menyelami Frasa “Relasi Kuasa Dalam Kekerasan
Seksual”.”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-
frasa-relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-
waruwu/?page=1.

Komnas Perempuan. “15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan.”


https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-
detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan.

Asror, Restu Adya dan Mustaghfiri. “Krisis Pandemi dan Maraknya Kekerasan
Berbasis Gender Online (KBGO).”
https://rhknowledge.ui.ac.id/id/articles/detail/krisis-pandemi-dan-
maraknya-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-002f98.
Elmira, Putu. “Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Korban, dari Psikologis
hingga Sosial.” https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampak-
kekerasan-seksual-terhadap-korban-dari-psikologis-hingga-sosial.

Wulandari, Erika Putri dan Hetty Krisani. “Kecenderungan Menyalahkan Korban


(Victim Blaming) dalam Kekerasan Seksual terhadap Perempuan sebagai
Dampak Kekeliruan Atribusi.” Social Work Journal 10, (2020). Hlm. 187-
197.

Shopiani, Bunga Suci, Wilodati dan Udin Supriadi. “Fenomena Victim Blaming
pada Mahasiswa terhadap Koban Pelecehan Seksual.” Sosietas 11. (Juli
2021). Hlm. 940-955.

Ferdianti, Siti. “Bagaimana Cara Kita Membantu Korban Kekerasan Seksual.”


https://ketik.unpad.ac.id/posts/1100/bagaimana-cara-kita-membantu-
korban-kekerasan-seksual%C2%A0-1.

HopeHelps Universitas Indonesia. “Ringkasan Tahunan HopeHelps Universitas


Indonesia 2021: Dunia Anomie di Tengah Pandemi.”

Anda mungkin juga menyukai