PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Sekian banyak permasalahan pada perempuan, isu kekerasan terhadap
perempuan menjadi sorotan penting karena kasus kekerasan ini terjadi secara berulang
dan semakin meningkat sepanjang tahun. Dilihat dari jenis kelaminnya, perempuan
adalah orang yang paling rentan mengalami kekerasan, hal ini dikarenakan dalam
kehidupan sehari-hari perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut dan
budaya patriarki yang masih sangat kuat di dalam masyarakat. Sehingga dirasa
“pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual dan psikologi termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Deklarasi anti kekerasan
terhadap perempuan, Pasal 1 dalam komnas Perempuan).
1
seksual yang terjadi pada dirinya, meskipun hal tersebut bukanlah atas keinginannya
sendiri (Mufidah, 2008).
2
Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam mengatasi atau bangkit
kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan disebut dengan kemampuan
resiliensi. Resiliensi dapat terjadi pada masa dewasa dimana seseorang memiliki
banyak kesempatan, sumber-sumber, dan perubahan-perubahan sosial. (Parton dan
Wattam, 1999).
Pembentukan resilensi akan menghasilakan 3 aspek
utama, yakni “ I have”, I can”, dan “I am” (Grotberg, 1999).
Setiap orang pasti mempunyai faktor resiliensi dalam dirinya tetapi
terkadang faktor resiliensi tidak mencukupi atau individu tersebut tidak
mengetahuui bagaimana cara menggunakan faktor-faktor tersebut untuk
berdamai dengan kondisi yang tidak menyenagkan. Ada juga individu yang
mampu untuk resilien pada suatu situasi tapi tidak bisa untuk situasi yang lain
(Grotberg, 2003).
Berangkat dari masalah di atas, dibutuhkan suatu penelitian yang
memberikan gambaran bagaimana kondisi resiliensi remaja subjek pelecehan seksual
yang utamanya dari sisi psikologisnya yang ketika masa kanak-kanak menjadi korban
kekerasan seksual. Penelitian ini penting dilakukan karena setelah mengalami tindak
kekerasan seksual, anak yang sejatinya belum mandiri dalam menyelesaikan masalah
yang di alaminya perlu difasilitasi untuk menangani kondisi psikologis dan sosialnya
supaya dapat berfungsi kembali seperti semula. Untuk itu di perlukan resiliensi pada
anak korban kekerasan seksual. Resiliensi berupaya untuk mengatasi atau bangkit
kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan meningkatkan keberfungsian
pikiran dan kejiwaan serta hubungan yang positif antara korban dengan lingkunganya.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari titik permasalahan yang dimiliki, tentang resiliensi perempuan
korban kekerasan seksual, yaitu resiliensi remaja dalam menangani dampak psiklogis
yang menjadi korban pelecehan seksual ketika anak-anak. Penelitian ini berfokus
dalam upaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana resiliensi remaja yang pernah
mengalami kekerasan seksual ketika masa anak-anak ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan focus penelitian diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk menggambarkan resiliensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan
seksual.
D. Manfaat penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, maka di harapkan mampu memberikan
sumbangan terhadap kajian keilmuan tentang profesi pekerja sosial mengenai isu-isu
3
korban kekerasan seksual dan resiliensi terhadap perempuan yang pernah mengalami
kekerasan seksual sehingga dapat menjadi acuan bagi para mahasiswa maupun
masyarakat secara umum.
Diantara beberapa keguaan penelitian yang diharapkan oleh peneliti nantinya
adalah:
1. Sebagai rujukan bagi praktisi sosial dalam mengadakan resiliensi terhadap
remaja korban kekerasan seksual.
2. Sebagai bahan evaluasi khususnya untuk keluarga atau orang terdekat dan
umumnya untuk praktisi sosial dalam meresiliensi perempuan korban kekerasan
seksual.
3. Sebagai referensi karya ilmiah, khususnya dalam kajian Psikologi seputar
resiliensi.
BAB II
1. Tinjauan Teoritis
a. Tinjauan Resiliensi
1) Pengertian Resiliensi
4
Secara etimologis Resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris
resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk
semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) Resiliensi
merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan
dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara
sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang
diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa Resiliensi adalah
kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun
mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena
setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada
seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Jadi, dapat
disimpulkan dalam penelitian ini resilience adalah suatu kemampuan untuk
bertahan dan bangkit dalam menghadapi trauma pelecehan seksual yang pernah
dialaminya.
2) Faktor Pembentuk Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk Resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme,
empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.
a) Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan. Greef (dalam Reivich dan Shatte, 2002)
menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur
emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki
self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
b) Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul
dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls
yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan
perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku
agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di
sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya
hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).
c) Optimisme
5
Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita
cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich
& Shatte, 2002).
Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan
dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu.
d) Empati
Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef,
2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain
(Reivich & Shatte, 2005).
Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh
orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan
mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh
karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung
memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).
e) Analisis Penyebab Masalah
Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus
menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002).
f) Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi
diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte,
2002). Efikasi diri adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia.
Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang efikasi diri,
karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata.
g) Reaching Out
Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau
mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin
menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah
individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar
6
dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan
resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat.
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan
aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula
keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang
mengancam dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002).
b. Tinjauan Perempuan
1) Pengertian Perempuan
Dalam Ensiklopedi Islam, wanita atau Perempuan berasal dari bahasa
Arab al-Mar’ah, jamaknya al-Nisa sama dengan wanita, Perempuan dewasa
atau putri dewasa yaitu lawan jenis pria. Hal senada diungkapkan oleh
Nasaruddin Umar, kata an-Nisa berarti gender Perempuan, sepadan dengan
kata arab ar-Rijal yang berarti gender laki-laki. Padanannya dalam bahasa
Inggris adalah woman (bentuk jamaknya women) lawan dari kata man.
Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia wanita diartikan sebagai
seorang perempuan (lebih halus), atau kaum putri.
Perempuan adalah kata yang kurang halus (kasar) dari Bahasa
Indonesia untuk kata wanita dalam Bahasa Melayu. Kaum feminis Indonesia
tidak suka menggunakan kata wanita, mereka lebih suka menggunakan kata
perempuan. Adapun nama yang dimaksud dengan wanita atau perempuan
sama saja. Yaitu jenis makhluk yang berjasa bagi spesiesnya secara biologis.
Wanita atau perempuanlah yang memungkinkan manusia bisa bertambah
banyak dan berganti generasi. Ironisnya keunggulan secara biologis ini sering
dilupakan lawan jenisnya yang cenderung memperalat mereka untuk dijadikan
mesin reproduksi manusia.
Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang
didasarkan pada kajian medis, psikologis dan sosial, terbagi atas dua faktor,
yaitu faktor fisik dan psikis. Secara biologis dari segi fisik, perempuan
dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki-laki, suaranya lebih halus,
perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak
sekuat laki-laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan
yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan
apabila menghadapi persoalan berat.
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa perbedaan fisiologis
yang alami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur
kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial-ekonomi
7
serta pengaruh pendidikan. Kalangan feminis dalam konsep gendernya
mengatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-
laki maupun perempuan hanya sebagai bentuk stereotipe gender.
Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang,
anggun, cantik, sopan,emosional, Sementara laki-laki dianggap kuat, keras,
rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat-sifat tersebut
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah
kemudian muncul berbagai ketimpangan di antara laki-laki dan perempuan.
Seorang tokoh feminisme, Broverman mengatakan bahwa manusia baik laki-
laki maupun perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu.
Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang berkumis, memiliki dada yang
datar, memiliki penis, memiliki jakala (Jawa: kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan
saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, mempunyai
alat menyusui (payudara), mengalami haid dan menopause. Alat-alat tersebut
secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan
selamanya dan tidak bisa ditukar.
2) Permasalahan Perempuan
Hampir tiap hari kita membaca, dalam media cetak, berita mengenai
perempuan dibunuh pasangannya, anak tiri, seorang istri luka parah
menyusul suatu perdebatan sengit dengan suami, perempuan muda dipaksa
menggugurkan kandungan oleh pacarnya dan lain sebagainya. Meski kita
semua memperoleh pesan bahwa yang berbahaya orang asing di luar rumah,
fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering dilakukan
oleh orang dekat yang mereka cintai.
Konsep kekerasan dalam arti luas yaitu untuk mencakup segala
ancaman atau paksaan (upaya mengendalikan perilaku pihak lain), agresi
(upaya melukai pihak lain) dan adanya (akibat) kerusakan baik pada orang
lain atau pun barang milik orang lain itu, yang kesemuanya tidak
dikehendaki oleh sang korban. Di sini ada tiga aspek terkait, yakni
pengendalian paksa, keinginan melukai dan luka sebagai hasil akhir yang
dapat termanifestasi dalam bentuk fisik, emosional dan seksual. (Wohrell dan
Remer, 1992).
8
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya berada di
bawah laki-laki yakni hanya melayani dan menjadikan perempuan sebagai
properti ( barang ) milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-
mena termasuk dengan cara kekerasan. Ada beberapa pandangan feminisme
yang melihat kekerasan yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah
pandangan feminisme psikoanalisis, feminisme marxis, feminisme liberal dan
feminisme radikal.
9
Akibatnya terjadi kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi
oleh negara, hal ini dapat dilihat dari kegagalan negara untuk mengadili dan
memberikan hukuman terhadap pemerkosa atau pelaku kekerasan dalam
berpacaran karena terjadi dalam ranah privasi yang tidak memiliki landasan
hukum yang jelas.
1) Perkosaan
11
Mencium tanpa persetujuan, hal ini bisa terjadi di area publik atau di
tempat yang tersembunyi.
BAB III
METODE
1. Definisi Konseptual
12
Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan
menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara
sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan
untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, mempunyai alat menyusui
(payudara), mengalami haid dan menopause. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada
perempuan selamanya dan tidak bisa ditukar.
2. Definisi Operasional
a) Regulasi Emosi yaitu Kemampuan untuk bisa tenang dalam kondisi dan situasi
yang menekan atau dalam kondisi yang sulit dari pacarnya.
b) Pengendalian Impuls yaitu Kemampuan untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam dirinya agar bisa mengatur
emosi nya dengan baik.
c) Optimisme yaitu Keyakinan bahwa kekerasan yang dilakukan pacarnya akan
berubah dan pacarnya bisa membahagiakannya di masa yang akan datang.
d) Causal Analysis yaitu Kemampuan untuk mencari tahu akar dari masalah yang
sering muncul dari kekerasan yang dialaminya.
e) Empati yaitu Kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan pacarnya dan
peduli dengan kondisi sosial maupun psikologis pacarnya.
f) Self Efficacy yaitu keyakinan bahwa ia bisa menyelesaikan masalahnya dan
berusaha meyakinkan pacarnya untuk berdiskusi atau memusyawarahkan apa yang
menyebabkan pacarnya melakukan kekerasan.
13
g) Reaching Out yaitu Kemampuan untuk bisa bangkit dari trauma kekerasan yang
dilakukan pacarnya. Mahasiswa tersebut meyakini bahwa ada hikmah disetiap
peristiwa kekerasan yang terjadi.
C. Instrumen Penggalian Data
Teknik pengumpulan data sebagai salah satu bagian penelitan merupakan unsur yang
sangat penting. Data yang dikumpulkan dalam rangka penelitian ini adalah data tentang
kekerasan seksual di Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Berdasarkan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka
teknik pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut :
1. Observasi
Pada penelitian ini, metode pengamatan yang dilakukan oleh peneliti adalah
metode observasi langsung di lapangan, dengan menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis observasi ini dengan tujuan untuk mengetahui resilience
pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Pada penelitian ini peneliti
mengamati fenomena kekerasan seksual yang sering terjadi. Peneliti menangkap
realitas yang banyak terjadi pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Teknik observasi ini turut melibatkan peneliti dalam berbicara dan menyimak perihal
yang dibicarakan atau diucapkan oleh sasaran pengamatan.
2. Wawancara Mendalam
Analisis data penelitian ini akan dilihat dengan menggunakan analisis kualitatif. Hal
ini dilihat dari pendapat Miles dan Huberman (1984) mengatakan, dalam penelitian kualitatif,
data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang
bermacam-macam (triangulasi) dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh.
14
Tujuan analisis data adalah untuk mengungkapkan data apa saja yang perlu dicari,
pertanyaan apa saja yang harus dijawab dan metode apa yang akan digunakan untuk
penelitian. penelitian kulaitatif pada dasranya bertumpu pada cara kualitatif yang berbentuk
simbolik berupa pertanyaan-pertanyaan, tafsiran- tafsiran, tanggapan lisan. Sehingga dengan
metode kualitatif yang digunakan ini memungkinkan diperolehnya gambaran secara objektif
tentang faktor perempuan menerima dan bertahan dengan kekerasan dalam pacaran.
Langkah yang ditempuh dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data
Jika dalam penelitian ada bentuk angka-angka, maka sebaiknya angka-angka
itu jangan dipisahkan dari kata-katanya secara konstektual, sehingga tidak mengurangi
maknanya. Data yang didapat di lapangan bisa langsung diketik atau ditulis dengan
rapi, terperinci serta sistematis setiap selsesai mengumpulkan data. Oleh sebab itu
laporan penelitian harus dianalisis sejak dimulainya penelitian. Hasilnya perlu
direduksi supaya bisa memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan dan mempermudah peneliti untuk menyadarinya jika sewaktuwaktu
diperlukan.
2. Display data
Merupakan penyajian data dalam bentuk grafik, matrik, chart dan sebagainya.
Bertujuan untuk menghindari penumpukan data dan berfungsi memberikan data secara
menyeluruh.
Sejak semula peneliti berusah mencari makna dari data yang diperoleh dengan
berusaha membuat pola, model, tema, hubungan persamaan atau hal-hal yang sering
muncul. Dari data yang didapat peneliti mencoba membuat kesimpulan. Mula-mula
kesimpulan itu masih kabur, tetapi lama- kelamaan semakin jelas karena data yang
diperoleh semakin banyak dan semakin mendukung. Verifikasi dapat dilakukan
dengan singkat yaitu dengan mengumpulkan data baru, penelitian kualitatif dikatakan
ilmiah jika persyaratan validitas (sifatnya benar menurut bahan bukti yang ada, logika
berfikir, dan kekuatan hukumnya sah), reliabilitas (sesuai dengan ketelitian dan teknik
penelitian ) dan ojektivitas (jujur dan tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan
15
pribadi/golongan dalam mengambil keputusan tapi benar-benar berdasarkan hasil
penelitian ) dapat terpenuhi.
BAB IV
A. Jalannya Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada periode dua minggu pertama bulan November dengan
intensitas pertemuan dua kali untuk subjek I dan satu kali pertemuan untuk subjek II. Dua
orang subjek tersebut bertempat tinggal di wilayah regional kota Semarang, meskipun
terletak di dua kecamatan yang berbeda. Subjek I bertempat tinggal di Kecamatan Ngaliyan
dan Subjek II bertempat tinggal di Kecamatan Tembalang. Pemilihan subjek tersebut
menggunakan teknik purposive sampling di mana peneliti menentukan beberapa kriteria
16
dalam menentukan subjek penelitian, yaitu subjek berjenis kelamin perempuan dengan
rentang usia 18-22 tahun, berikutnya subjek pernah mengalami kekerasan seksual di masa
lalu.
Pertemuan pertama dengan subjek I berlangsung pada hari Sabtu, 3 November 2018
selama 120 menit di salah satu kafe di Ngaliyan. Pada pertemuan ini peneliti berusaha untuk
mendapatkan gambaran kekerasan seksual yang pernah dialami subjek, apa penyebabnya,
kapan kekerasan terhadap subjek dilakukan dan bagaimana reaksi subjek pada saat itu.
Subjek cukup terbuka dalam menceritakan bagaimana pengalaman buruk yang menimpanya
pada saat itu. Subjek juga tidak sungkan untuk menceritakan detail kejadian yang telah
menimpa subjek kurang lebih 7 tahun yang lalu. Peneliti lalu mencatat bagaimana respon
perilaku subjek melalui behavioral checklist yang telah disusun sebelumnya. Pertemuan
kedua dengan subjek I berlangsung pada hari Minggu pagi tanggal 4 November di tempat
kediaman subjek dan berlangsung selama kurang lebih 60 menit. Pada pertemuan kedua
peneliti menggali bagaimana upaya subjek untuk bangkit dari pengalaman buruk yang
menimpanya.
Selanjutnya peneliti melakukan observasi dan wawancara terhadap subjek II pada hari
Sabtu 10 November 2018 di sebuah Warung Burjo di Tembalang. Peneliti melakukan
penggalian data dengan pola yang sama dengan subjek I, peneliti menanyakan kronologis
peristiwa yang menimpa subjek, bagaimana bentuk pengalaman traumatik yang menimpanya,
dan juga resiliensi subjek dalam menghadapi permasalahan tersebut. Peneliti juga
mengobservasi perilaku subjek selama jalannya wawancara.
B. Paparan Data
17
tersebut pada kelas 9 SMP di rumah subjek, sedangkan subjek 2 mengalami pengalaman
traumatis pada kelas 6 SD di sekolah. Kejadian tersebut dialami oleh subjek saat berada di
usia anak-anak menginjak remaja. Sehingga pengalaman tersbut sangat membekas dalam
ingatan subjek dan mempengaruhi kondisi psikologis subjek. Terlebih lagi kejadian tersebut
menimpa kedua subjek dalam lingkungan yang seharusnya aman bagi, yaitu di rumah dan di
sekolah.
C. Hasil Penelitian
1. Malu
Berdasarkan hasil penelitian anak yang mengalami kekerasan seksual yang
dialami oleh anak cenderung membuatnya menjadi malu bahkan dalam hal ini akan
membuatnya menjauhi lingkungan sekitarnya. Padahal peran keluarga sangatlah
penting untuk membantu dan melindungi anak namun sebaliknya fungsi di dalam
keluarga sudah tidak seutuhnya berjalan sebagai mana seharusnya. Dari peristiwa
tersebut mereka anak yang mengalami kekerasan seksual akan sulit untuk biasa
beradaptasi kembali seperti biasanya karena malu yang di rasakan.
2. Takut
Rasa takut menjadi korban kekerasan seksual juga akan melahirkan masalah
baru di dalam kehidupan masyarakat seperti takut melihat orang asing, berada
dirumah sendiri, ataupun menjadi takut apabila berpergian keluar rumah seorang diri,
sehingga ruang gerak seseorangpun menjadi sempit. Karena, bahaya akan menjadi
korban kekerasan seksual akan dialami oleh siapapun dan dimana saja.
Yuwono (2015) menyatakan kekerasan seksual pada anak dapat terjadi di mana
saja dan kapan saja serta dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu anggota keluarga,
pihak sekolah, maupun orang lain. Kasus kekerasan seksual yang di alami oleh anak
tentunya akan membuatnya menjadi takut untuk bertemu dengan keluarga, lingkungan
sekitarnya. Karena hal ini sangat sensitive untuk bagi anak jika di pertanyakan
mengenai pengalaman yang telat membuatnya menjadi takut.
18
Anak yang mengalami kekerasan seksual akan membuat dirinya tidak percaya
diri,cenderung menyalahkan dirinya dan merasa tidak berguna lagi. Perasaan tidak
percaya diri dengan keadaan sekarang sering kali lingkungan yang justru membuat
anak semakin trauma dengan keadaanya karena seringkali anak malah sering
disalahkan walaupun anak yang menjadi korban. Keadaan inilah yang membuat anak
menjadi semakin trauma dengan dirinya.
4. Minder
Seseorang yang mengalami perasaan minder cenderung merasa tidak lebih baik
daripada orang lain. Rasa ini tentu saja tidak baik untuk perkembangan mental.
Seseorang yang punya tingkat rasa minder yang tinggi akan sangat sulit berkembang.
5. Putus asa
Putus asa yang di alami oleh anak akan menyebabkan putusnya harapan untuk
mencapai cita-cita yang seharusnya anak memiliki cita-cita yang tinggi. Hal ini akan
merusak generasi bangsa apabila perasaan putus asa yang di rasakan oleh anak sudah
di tanamkan sejak umurnya yang kecil.
Terdapat beberapa macam upaya yang dimunculkan oleh kedua subjhekj penyintas
kekerasan seksual, diantaranya yaitu :
1. Bimbingan Konseling.
Dalam hasil penelitian yang telah di lakukan maka anak yang mengalami
tindakan kekerasan seksual akan sangat membantu menghilangkan perasaan takut
yang di alami. Peran pekerja sosial dalam memberikan bimbingan konseling mampu
mengatasi anak yang mengalami trauma karena dalam kasus tersebut anak sering di
berikan motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik, selain itu adanya pengasuh
di panti dapat membantu untuk merawat dan melindungi anak selama berada di panti.
19
juga harus berikhtiar, sehingga tidak perlu disesali, dengan begitu anak akan bisa
tumbuh dan berkembang dengan kondisi yang sewajarnya.
3. Bimbingan Kreatifitas
Kemudian berikut ini adalah beberapa upaya yang diharapkan oleh subjek penyintas
kekerasan seksual, yaitu :
20
D. Analisis Data
Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional
dari individu. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi dan perasaan seseorang contohnya dalam
kasus kekerasan seksual adanya emosi ketika anak yang menjadi korban kekerasan seksual
di ketahui oleh keluarga besarnya tentu hal itu akan membuat emosi di dalam suatu keluarga
muncul, karena tidak menerima dengan apa yang terjadi pada diri anak yang menjadi korban.
Para Korban melakukan tindakan emosi setelah terpengaruh emosi dan perasaan. Maksudnya
tindakan atau prilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu., yaitu anak yang
menjadi korban, pelaku melakukan peristiwa tersebut secara sadar. Para pelaku dalam
melakukan tindakan atau prilaku itu sadar akan apa yang dilakukannya, tetapi tidak
memikirkan konsekuensi yang akan mereka dapatkan. Jika dihubungkan dengan kasus ini,
jenis tindakan afektif merupakan salah satu jenis tindakan sosial yang cocok untuk
menganalisis kasus kekerasan seksual pada anak perempuan dalam perspektif tindakan
sosial.
21
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini marak terjadi dalam hal
ini perempuan sering dipaksa untuk memenuhi hasrat seksual dari pelaku yang dalam
hasil penelitian ini perempuan sering kali dipaksa untuk dicium, diperkosa oleh pelaku.
Hal ini tentunya akan menimbulkan trauma bagi anak terhadap laki-laki pentingnya bagi
anak untuk memulihkan rasa trauma yang dialami dirinya.
2. Upaya yang dilakukan oleh kedua subjek dalam mengatasi trauma yang dimilikinya
yaitu dengan melakukan bimbingan konseling, bimbingan spiritual dan pengembangan
22
bakat yang diberikan sebagai salah satu solusi untuk anak agar anak bisa kembali pulih
setelah kejadian di masa lalu yang telah membuatnya menjadi trauma.
3. Harapan yang di inginkan oleh subjek korban kekerasan seksual yakni identitasnya
dapat disembunyian, pekerja sosialnya perempuan, dan dapat di terima dilingkungan
tempat tinggalnya maka proses resilisensi bisa dioptimalisasikan untuk perempuan
korban kekerasan seksual.
B. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu hendaknya peneliti dapat menggali lebih
dalam lagi proses resiliensi yang dilakukan oleh subjek korban kekerasan seksual, hambatan
yang dialami, dan tekanan baik itu berupa dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan
keluarga dan masyarakat bila kondisi subjek diketahui oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Huang dan Palar. 2016. Pemulihan Traumatik Terhadap Penyintas Yang Mengalami
Pelecehan Seksual di Masa Kanak-Kanak di Sekolah Tinggi Theologia Jaffaray.
Makasar : Jurnal penelitian pengambdian pada masyarakat. Volume 31, No. 1, Juli
2013.
23
Kejaksaan Negri Kota Mataram. 2016. Data Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Perempuan. Kantor Kejaksaan Negri Mataram.
Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Barat. 2016. Data Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Perempuan. Kantor LPA NTB
Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Yogyakarta: UIN-Malang
Press, cet. I.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung:
Mizan Pustaka.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. PSMP. 2016. Data Kekerasan Seksual Terhadap Anak Perempuan. Kota
Mataram PSMP. 2016. Profil Panti.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2016. Data Kekerasan Seksual pada anak Daerah
Nusa Tenggara Barat. Resor Mataram
Tambunan, Emil H. 2005. Mengatasi Masalah Keluarga. Jakarta : Indonesia Publishing
House
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Yogyakarta : Yustisia.
24