Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian
Sekian banyak permasalahan pada perempuan, isu kekerasan terhadap
perempuan menjadi sorotan penting karena kasus kekerasan ini terjadi secara berulang
dan semakin meningkat sepanjang tahun. Dilihat dari jenis kelaminnya, perempuan
adalah orang yang paling rentan mengalami kekerasan, hal ini dikarenakan dalam
kehidupan sehari-hari perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut dan
budaya patriarki yang masih sangat kuat di dalam masyarakat. Sehingga dirasa
“pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual dan psikologi termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Deklarasi anti kekerasan
terhadap perempuan, Pasal 1 dalam komnas Perempuan).

Kekerasan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang


berkonotasi seksual yang dilakukan sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang
menjadi sasaran. Kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual sampai memaksa
untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau melakukan
hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar, tidak disukai korban, atau
menjauhkannya dari kebutuhan seksualnya. Tindakan kekerasan seksual cenderung
menyalahkan perempuan sebagai korban yang menjadi penyebab kekerasan seksual
yang terjadi pada dirinya, sementara dalam tindakan kekerasan seksual ini perempuan
sebenaranya adalah korban kekerasan dari laki-laki yang berusaha untuk memaksa
perempuan dalam memenuhi dan memuaskan keinginan dan kebutuhan seksual dari
pelaku tersebut. Kenyataan ini diperkuat stereotype (pelabelan negatif) masyarakat
bahwa perempuan dan anak adalah makhluk lemah. Oleh karena itu anggapan dan
stereotype yang ada di masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah
mahluk yang lemah dan memposisikan perempuan selalu berada di bawah laki-laki,
seakan membuat tindakan kekerasaan seksual ini semakin banyak terjadi di
masyarakat. Terlebih lagi perempuan selalu disalahkan atas tindakan kekerasan

1
seksual yang terjadi pada dirinya, meskipun hal tersebut bukanlah atas keinginannya
sendiri (Mufidah, 2008).

Selanjutnya Anisa (dalam Setyowati,2005, h.8) mendefinisikan kekerasan


seksual sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah dan tersinggung pada
korban perilaku seksual.
Agama manapun tidak ada yang membenarkan tentang adanya kekerasan
seksual. Kekerasan seksual sendiri dipahami secara islam bahwa suatu nilai-nilai
budaya dan latar belakang sosial yang menyimpang dari segi kemanusiaan. Maka dari
itu beberapa tokoh agama, tokoh intelektual, dan akademisi mengatakan bahwa
kekerasan seksual harus segera diberantas dengan alasan yang sudah sangat jelas
bahwa kejahatan seperti itu merusak sisi kemanusiaan baik bagi perempuan maupun
anak-anak.
Pasal 82 dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
menyatakan: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membuju anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan yang sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Collier (1998,) menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan
kendala bagi perkembangan kepribadian baik secara fisik maupun psikis.
Kekerasan seksual bisa mengancam jati diri korban, membuat sulit
berkonsentrasi dan tidak percaya diri. Kekerasan seksual yang terjadi ketika masa
anak-anak pastinya juga akan memiliki pengaruh ketika sesorang menginjak umur
remaja.
Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus tentang pelecehan seksual terhadap anak
dimana pelakunya adalah orang dewasa dan kebanyakan adalah yang telah dikenal
korban. Pada 07 Mei 2014 di Sukabumi, seorang pemuda bernama Emon dijerat pasal
berlapis tentang perlindungan anak dan pelecehan seksual karena menyodomi 18
anak. Pada 05 Maret 2014 salah satu siswa TK Jakarta Internasional School (JIS) di
Pondok Indah, Jakarta Selatan, mendapat kekerasan seksual dari petugas kebersihan
disekolahnya.

2
Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam mengatasi atau bangkit
kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan disebut dengan kemampuan
resiliensi. Resiliensi dapat terjadi pada masa dewasa dimana seseorang memiliki
banyak kesempatan, sumber-sumber, dan perubahan-perubahan sosial. (Parton dan
Wattam, 1999).
Pembentukan resilensi akan menghasilakan 3 aspek
utama, yakni “ I have”, I can”, dan “I am” (Grotberg, 1999).
Setiap orang pasti mempunyai faktor resiliensi dalam dirinya tetapi
terkadang faktor resiliensi tidak mencukupi atau individu tersebut tidak
mengetahuui bagaimana cara menggunakan faktor-faktor tersebut untuk
berdamai dengan kondisi yang tidak menyenagkan. Ada juga individu yang
mampu untuk resilien pada suatu situasi tapi tidak bisa untuk situasi yang lain
(Grotberg, 2003).
Berangkat dari masalah di atas, dibutuhkan suatu penelitian yang
memberikan gambaran bagaimana kondisi resiliensi remaja subjek pelecehan seksual
yang utamanya dari sisi psikologisnya yang ketika masa kanak-kanak menjadi korban
kekerasan seksual. Penelitian ini penting dilakukan karena setelah mengalami tindak
kekerasan seksual, anak yang sejatinya belum mandiri dalam menyelesaikan masalah
yang di alaminya perlu difasilitasi untuk menangani kondisi psikologis dan sosialnya
supaya dapat berfungsi kembali seperti semula. Untuk itu di perlukan resiliensi pada
anak korban kekerasan seksual. Resiliensi berupaya untuk mengatasi atau bangkit
kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan meningkatkan keberfungsian
pikiran dan kejiwaan serta hubungan yang positif antara korban dengan lingkunganya.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari titik permasalahan yang dimiliki, tentang resiliensi perempuan
korban kekerasan seksual, yaitu resiliensi remaja dalam menangani dampak psiklogis
yang menjadi korban pelecehan seksual ketika anak-anak. Penelitian ini berfokus
dalam upaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana resiliensi remaja yang pernah
mengalami kekerasan seksual ketika masa anak-anak ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan focus penelitian diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk menggambarkan resiliensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan
seksual.
D. Manfaat penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, maka di harapkan mampu memberikan
sumbangan terhadap kajian keilmuan tentang profesi pekerja sosial mengenai isu-isu

3
korban kekerasan seksual dan resiliensi terhadap perempuan yang pernah mengalami
kekerasan seksual sehingga dapat menjadi acuan bagi para mahasiswa maupun
masyarakat secara umum.
Diantara beberapa keguaan penelitian yang diharapkan oleh peneliti nantinya
adalah:
1. Sebagai rujukan bagi praktisi sosial dalam mengadakan resiliensi terhadap
remaja korban kekerasan seksual.
2. Sebagai bahan evaluasi khususnya untuk keluarga atau orang terdekat dan
umumnya untuk praktisi sosial dalam meresiliensi perempuan korban kekerasan
seksual.
3. Sebagai referensi karya ilmiah, khususnya dalam kajian Psikologi seputar
resiliensi.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS DAN KAJIAN PUSTAKA

1. Tinjauan Teoritis
a. Tinjauan Resiliensi
1) Pengertian Resiliensi

4
Secara etimologis Resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris
resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk
semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) Resiliensi
merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan
dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara
sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang
diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa Resiliensi adalah
kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun
mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena
setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada
seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Jadi, dapat
disimpulkan dalam penelitian ini resilience adalah suatu kemampuan untuk
bertahan dan bangkit dalam menghadapi trauma pelecehan seksual yang pernah
dialaminya.
2) Faktor Pembentuk Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk Resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme,
empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.
a) Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan. Greef (dalam Reivich dan Shatte, 2002)
menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur
emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki
self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
b) Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul
dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls
yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan
perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku
agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di
sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya
hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).
c) Optimisme

5
Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita
cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich
& Shatte, 2002).
Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan
dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu.
d) Empati
Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef,
2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain
(Reivich & Shatte, 2005).
Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh
orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan
mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh
karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung
memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).
e) Analisis Penyebab Masalah
Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus
menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002).
f) Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi
diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte,
2002). Efikasi diri adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia.
Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang efikasi diri,
karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata.
g) Reaching Out
Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau
mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin
menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah
individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar
6
dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan
resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat.
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan
aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula
keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang
mengancam dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002).
b. Tinjauan Perempuan
1) Pengertian Perempuan
Dalam Ensiklopedi Islam, wanita atau Perempuan berasal dari bahasa
Arab al-Mar’ah, jamaknya al-Nisa sama dengan wanita, Perempuan dewasa
atau putri dewasa yaitu lawan jenis pria. Hal senada diungkapkan oleh
Nasaruddin Umar, kata an-Nisa berarti gender Perempuan, sepadan dengan
kata arab ar-Rijal yang berarti gender laki-laki. Padanannya dalam bahasa
Inggris adalah woman (bentuk jamaknya women) lawan dari kata man.
Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia wanita diartikan sebagai
seorang perempuan (lebih halus), atau kaum putri.
Perempuan adalah kata yang kurang halus (kasar) dari Bahasa
Indonesia untuk kata wanita dalam Bahasa Melayu. Kaum feminis Indonesia
tidak suka menggunakan kata wanita, mereka lebih suka menggunakan kata
perempuan. Adapun nama yang dimaksud dengan wanita atau perempuan
sama saja. Yaitu jenis makhluk yang berjasa bagi spesiesnya secara biologis.
Wanita atau perempuanlah yang memungkinkan manusia bisa bertambah
banyak dan berganti generasi. Ironisnya keunggulan secara biologis ini sering
dilupakan lawan jenisnya yang cenderung memperalat mereka untuk dijadikan
mesin reproduksi manusia.
Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang
didasarkan pada kajian medis, psikologis dan sosial, terbagi atas dua faktor,
yaitu faktor fisik dan psikis. Secara biologis dari segi fisik, perempuan
dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki-laki, suaranya lebih halus,
perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak
sekuat laki-laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan
yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan
apabila menghadapi persoalan berat.
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa perbedaan fisiologis
yang alami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur
kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial-ekonomi
7
serta pengaruh pendidikan. Kalangan feminis dalam konsep gendernya
mengatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-
laki maupun perempuan hanya sebagai bentuk stereotipe gender.
Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang,
anggun, cantik, sopan,emosional, Sementara laki-laki dianggap kuat, keras,
rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat-sifat tersebut
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah
kemudian muncul berbagai ketimpangan di antara laki-laki dan perempuan.
Seorang tokoh feminisme, Broverman mengatakan bahwa manusia baik laki-
laki maupun perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu.
Manusia jenis laki-laki adalah manusia yang berkumis, memiliki dada yang
datar, memiliki penis, memiliki jakala (Jawa: kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan
saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, mempunyai
alat menyusui (payudara), mengalami haid dan menopause. Alat-alat tersebut
secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan
selamanya dan tidak bisa ditukar.
2) Permasalahan Perempuan
Hampir tiap hari kita membaca, dalam media cetak, berita mengenai
perempuan dibunuh pasangannya, anak tiri, seorang istri luka parah
menyusul suatu perdebatan sengit dengan suami, perempuan muda dipaksa
menggugurkan kandungan oleh pacarnya dan lain sebagainya. Meski kita
semua memperoleh pesan bahwa yang berbahaya orang asing di luar rumah,
fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering dilakukan
oleh orang dekat yang mereka cintai.
Konsep kekerasan dalam arti luas yaitu untuk mencakup segala
ancaman atau paksaan (upaya mengendalikan perilaku pihak lain), agresi
(upaya melukai pihak lain) dan adanya (akibat) kerusakan baik pada orang
lain atau pun barang milik orang lain itu, yang kesemuanya tidak
dikehendaki oleh sang korban. Di sini ada tiga aspek terkait, yakni
pengendalian paksa, keinginan melukai dan luka sebagai hasil akhir yang
dapat termanifestasi dalam bentuk fisik, emosional dan seksual. (Wohrell dan
Remer, 1992).

8
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya berada di
bawah laki-laki yakni hanya melayani dan menjadikan perempuan sebagai
properti ( barang ) milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-
mena termasuk dengan cara kekerasan. Ada beberapa pandangan feminisme
yang melihat kekerasan yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah
pandangan feminisme psikoanalisis, feminisme marxis, feminisme liberal dan
feminisme radikal.

Aliran feminisme psikoanalisis mengemukakan bahwa kekerasan


terhadap perempuan terjadi sebagai hasil sosialisasi yang dialami oleh seorang
laki-laki semenjak masih kanak-kanak. Dalam hal ini, anak laki-laki selalu
dituntut untuk memainkan perannya sebagai seseorang yang jantan dan secara
tidak langsung mempelajari mengenai kekerasan semenjak masih kecil, hal
ini dapat terlihat pada permainan perang - perangan yang sering dimainkan
oleh anak laki-laki dalam proses sosialisasinya yang mana dalam permainan
tersebut mengandung unsur kekerasan.

Dalam hal ini, feminisme psikoanalisis memberikan kontribusi


terhadap gagasan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan
kemaskulinitasan seseorang merupakan hasil dari sosialisasi semenjak
masih kanak-kanak. Sedangkan fokus kajian dari perspektif marxis adalah
analisa kelas yang menempatkan laki-laki masuk sebagai kelas borjuis dan
perempuan dalam kelas proletariat. Dalam kondisi kekuasaan yang timpang
tersebut maka sangat memungkinkan jika laki-laki melakukan kekerasan
terhadap perempuan, alasannya jelas yakni karena kekerasan terjadi pada saat
ada ketimpangan kekuasaan dimana seseorang merasa lebih berkuasa atau
lebih kuat dari orang lain.

Lain halnya dengan feminisme liberal yang menyoroti masalah


otonomi individu perempuan sebagai warga negara dan hak perempuan yang
terpenggal. Mengenai teori liberal klasik yang melihat negara sebagai
pelindung warga negaranya dianggap gagal memberikan perlindungan
terhadap warganya, negara melalui kebijakan dan fungsi hukumnya tidak
efisien dan gagal mengatasi kesulitan hal-hal teknis dalam mengatasi tindak
kekerasan terhadap perempuan.

9
Akibatnya terjadi kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi
oleh negara, hal ini dapat dilihat dari kegagalan negara untuk mengadili dan
memberikan hukuman terhadap pemerkosa atau pelaku kekerasan dalam
berpacaran karena terjadi dalam ranah privasi yang tidak memiliki landasan
hukum yang jelas.

Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh aliran feminisme radikal


yang melihat bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental opresi
terhadap perempuan yang secara historis merupakan kelompok tertindas yang
pertama dalam sistem sosial. Penindasan perempuan tidak hanya terjadi dalam
konteks pekerjaan, pendidikan dan media akan tetapi terjadi dalam hubungan
personal yang lebih intim dimana perempuan hanya menjadi objek seksual
bagi laki-laki.

Mengacu pada pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan


sebagai perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antarmanusia baik
individu maupun kelompok yang dirasakan oleh salah satu pihak sebagai satu
situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan dan tidak
bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain
sakit baik secara fisik maupun psikis serta rohani, dan individu atau kelompok
yang sakit ini sulit untuk bebas dan merdeka.

c. Tinjauan Kekerasan Seksual

Kekerasan atau bahasa Inggris : violence berasal dari bahasa Latin :


violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti (kekuasaan atau
berkuasa). Dalam bahasa sehari-hari konsep kekerasan meliputi pengertian
yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda, pemerkosaan,
pemukulan, perusakan yang bersifat ritual, penyiksaan dan bahkan sampai
pada pembunuhan. Menurut asal katanya, kekerasan ( violence ) berasal dari
gabungan kata latin yakni vis dan latus. Vis berarti daya dan kekuatan
sedangkan latus berarti membawa. Jadi secara sosiologis, kekerasan
merupakan konflik sosial yang tidak terkendali oleh masyarakat dengan
mengabaikan norma dan nilai sosial sehingga menimbulkan tindakan merusak.

Dalam hubungan masyarakat seperti ini, kelompok yang berada


diposisi atas sangat potensial melakukan tindakan kekerasan atau menindas
10
kelompok yang ada dibawahnya. Struktur dominasi ini terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan seperti dalam aspek ekonomi ( kaya-miskin, majikan-buruh ),
aspek sosial politik ( pemerintah-rakyat ), aspek sosial budaya ( priayi-kaum
papa, pandai-bodoh ), aspek religius ( agamawan-awam ), aspek umur ( tua-
muda ) dan aspek jenis kelamin. ( Murniati, 2004:223 )

Dilihat dari aspek jenis kelamin perempuan bisa dikatakan rentan


terhadap semua bentuk kekerasan atau penindasan, hal ini terjadi karena
posisinya yang lemah atau karena sengaja dilemahkan baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Namun bukan berarti laki-laki juga tidak mengalami
kekerasan, kekerasan dapat terjadi pada siapa saja selama ada salah satu pihak
yang lebih mendominasi.

Oleh karena itulah, ketimpangan yang ada antara laki-laki dan


perempuan bukanlah masalah seks atau jenis kelamin yang berbeda melainkan
ada konstruksi dalam pikiran tentang realitas laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan. Karena itulah, dalam hal ini disepakati bahwa harus dibedakan
antara seks dan jender dalam rangka melihat hubungan antara laki-laki dan
perempuan serta untuk memandang posisi dan perannya di masyarakat.

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau


kontak seksual pada orang lain yang tidak menghendakinya (Murray, 2007).
Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita. Menurut
Murray (2007) sexual abuse terdiri dari:

1) Perkosaan

Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata


lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya mereka tidak mengetahui apa
yang akan dilakukan pelaku pada saat itu.

2) Sentuhan yang tidak diinginkan

Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan, sentuhan ini kerap kali


terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya.

3) Ciuman yang tidak diinginkan

11
Mencium tanpa persetujuan, hal ini bisa terjadi di area publik atau di
tempat yang tersembunyi.

BAB III

METODE

A. Metode Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yang


menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari subjek penelitian. Penelitian ini
bersifat deskriptif mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran yang cermat, tepat dari
sifat individu-individu, keadaan, gejala atau fenomena tertentu untuk menentukan frekuensi
atau penyebaran suatu gejala atau fenomena yang mempunyai hubungan antara gejala dengan
faktor-faktor lain dalam masyarakat.

B. Definisi Konseptual dan Operasional

1. Definisi Konseptual

12
Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan
menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara
sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan
untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, mempunyai alat menyusui
(payudara), mengalami haid dan menopause. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada
perempuan selamanya dan tidak bisa ditukar.

Kekerasan seksual sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan


dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap perempuan yang dijadikan
sebagai objek seksualnya.

2. Definisi Operasional

Resiliensi perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran adalah kemampuan


seorang perempuan untuk bertahan dengan kondisi apapun dan berusaha bangkit dari
kekerasan yang dialami, ini dapat dilihat dari 7 aspek sebagai berikut yaitu :

a) Regulasi Emosi yaitu Kemampuan untuk bisa tenang dalam kondisi dan situasi
yang menekan atau dalam kondisi yang sulit dari pacarnya.
b) Pengendalian Impuls yaitu Kemampuan untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam dirinya agar bisa mengatur
emosi nya dengan baik.
c) Optimisme yaitu Keyakinan bahwa kekerasan yang dilakukan pacarnya akan
berubah dan pacarnya bisa membahagiakannya di masa yang akan datang.
d) Causal Analysis yaitu Kemampuan untuk mencari tahu akar dari masalah yang
sering muncul dari kekerasan yang dialaminya.
e) Empati yaitu Kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan pacarnya dan
peduli dengan kondisi sosial maupun psikologis pacarnya.
f) Self Efficacy yaitu keyakinan bahwa ia bisa menyelesaikan masalahnya dan
berusaha meyakinkan pacarnya untuk berdiskusi atau memusyawarahkan apa yang
menyebabkan pacarnya melakukan kekerasan.

13
g) Reaching Out yaitu Kemampuan untuk bisa bangkit dari trauma kekerasan yang
dilakukan pacarnya. Mahasiswa tersebut meyakini bahwa ada hikmah disetiap
peristiwa kekerasan yang terjadi.
C. Instrumen Penggalian Data

Teknik pengumpulan data sebagai salah satu bagian penelitan merupakan unsur yang
sangat penting. Data yang dikumpulkan dalam rangka penelitian ini adalah data tentang
kekerasan seksual di Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Berdasarkan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka
teknik pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut :

1. Observasi

Pada penelitian ini, metode pengamatan yang dilakukan oleh peneliti adalah
metode observasi langsung di lapangan, dengan menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis observasi ini dengan tujuan untuk mengetahui resilience
pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Pada penelitian ini peneliti
mengamati fenomena kekerasan seksual yang sering terjadi. Peneliti menangkap
realitas yang banyak terjadi pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Teknik observasi ini turut melibatkan peneliti dalam berbicara dan menyimak perihal
yang dibicarakan atau diucapkan oleh sasaran pengamatan.

2. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam terhadap informan ini dimaksud untuk memperoleh


data dan informasi dengan bertanya langsung kepada perempuan korban kekerasan
seksual. Melalui wawancara, maka peneliti mampu memperoleh data yang tidak dapat
ditemukan hanya dengan observasi. Selain itu, peneliti dapat mengetahui hal-hal yang
lebih mendalam tentang kasus kekerasan seksual dalam menginterpretasikan situasi
dan fenomena yang terjadi pada perempuan korban kekerasan seksual.

D. Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian ini akan dilihat dengan menggunakan analisis kualitatif. Hal
ini dilihat dari pendapat Miles dan Huberman (1984) mengatakan, dalam penelitian kualitatif,
data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang
bermacam-macam (triangulasi) dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh.

14
Tujuan analisis data adalah untuk mengungkapkan data apa saja yang perlu dicari,
pertanyaan apa saja yang harus dijawab dan metode apa yang akan digunakan untuk
penelitian. penelitian kulaitatif pada dasranya bertumpu pada cara kualitatif yang berbentuk
simbolik berupa pertanyaan-pertanyaan, tafsiran- tafsiran, tanggapan lisan. Sehingga dengan
metode kualitatif yang digunakan ini memungkinkan diperolehnya gambaran secara objektif
tentang faktor perempuan menerima dan bertahan dengan kekerasan dalam pacaran.

Langkah yang ditempuh dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data
Jika dalam penelitian ada bentuk angka-angka, maka sebaiknya angka-angka
itu jangan dipisahkan dari kata-katanya secara konstektual, sehingga tidak mengurangi
maknanya. Data yang didapat di lapangan bisa langsung diketik atau ditulis dengan
rapi, terperinci serta sistematis setiap selsesai mengumpulkan data. Oleh sebab itu
laporan penelitian harus dianalisis sejak dimulainya penelitian. Hasilnya perlu
direduksi supaya bisa memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan dan mempermudah peneliti untuk menyadarinya jika sewaktuwaktu
diperlukan.

2. Display data

Merupakan penyajian data dalam bentuk grafik, matrik, chart dan sebagainya.
Bertujuan untuk menghindari penumpukan data dan berfungsi memberikan data secara
menyeluruh.

3. Pengambilan keputusan dan verifikasi

Sejak semula peneliti berusah mencari makna dari data yang diperoleh dengan
berusaha membuat pola, model, tema, hubungan persamaan atau hal-hal yang sering
muncul. Dari data yang didapat peneliti mencoba membuat kesimpulan. Mula-mula
kesimpulan itu masih kabur, tetapi lama- kelamaan semakin jelas karena data yang
diperoleh semakin banyak dan semakin mendukung. Verifikasi dapat dilakukan
dengan singkat yaitu dengan mengumpulkan data baru, penelitian kualitatif dikatakan
ilmiah jika persyaratan validitas (sifatnya benar menurut bahan bukti yang ada, logika
berfikir, dan kekuatan hukumnya sah), reliabilitas (sesuai dengan ketelitian dan teknik
penelitian ) dan ojektivitas (jujur dan tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan

15
pribadi/golongan dalam mengambil keputusan tapi benar-benar berdasarkan hasil
penelitian ) dapat terpenuhi.

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

A. Jalannya Penelitian

Penelitian ini berlangsung pada periode dua minggu pertama bulan November dengan
intensitas pertemuan dua kali untuk subjek I dan satu kali pertemuan untuk subjek II. Dua
orang subjek tersebut bertempat tinggal di wilayah regional kota Semarang, meskipun
terletak di dua kecamatan yang berbeda. Subjek I bertempat tinggal di Kecamatan Ngaliyan
dan Subjek II bertempat tinggal di Kecamatan Tembalang. Pemilihan subjek tersebut
menggunakan teknik purposive sampling di mana peneliti menentukan beberapa kriteria

16
dalam menentukan subjek penelitian, yaitu subjek berjenis kelamin perempuan dengan
rentang usia 18-22 tahun, berikutnya subjek pernah mengalami kekerasan seksual di masa
lalu.

Pertemuan pertama dengan subjek I berlangsung pada hari Sabtu, 3 November 2018
selama 120 menit di salah satu kafe di Ngaliyan. Pada pertemuan ini peneliti berusaha untuk
mendapatkan gambaran kekerasan seksual yang pernah dialami subjek, apa penyebabnya,
kapan kekerasan terhadap subjek dilakukan dan bagaimana reaksi subjek pada saat itu.
Subjek cukup terbuka dalam menceritakan bagaimana pengalaman buruk yang menimpanya
pada saat itu. Subjek juga tidak sungkan untuk menceritakan detail kejadian yang telah
menimpa subjek kurang lebih 7 tahun yang lalu. Peneliti lalu mencatat bagaimana respon
perilaku subjek melalui behavioral checklist yang telah disusun sebelumnya. Pertemuan
kedua dengan subjek I berlangsung pada hari Minggu pagi tanggal 4 November di tempat
kediaman subjek dan berlangsung selama kurang lebih 60 menit. Pada pertemuan kedua
peneliti menggali bagaimana upaya subjek untuk bangkit dari pengalaman buruk yang
menimpanya.

Selanjutnya peneliti melakukan observasi dan wawancara terhadap subjek II pada hari
Sabtu 10 November 2018 di sebuah Warung Burjo di Tembalang. Peneliti melakukan
penggalian data dengan pola yang sama dengan subjek I, peneliti menanyakan kronologis
peristiwa yang menimpa subjek, bagaimana bentuk pengalaman traumatik yang menimpanya,
dan juga resiliensi subjek dalam menghadapi permasalahan tersebut. Peneliti juga
mengobservasi perilaku subjek selama jalannya wawancara.

B. Paparan Data

Subjek Pengalaman Traumatik Pelaku


Subjek I Dicium, Dihisap payudara, diperkosa, Pacar
dipaksa memenuhi hasrat seksual dari
pelaku
Subjek II Diremas payudara, disingkap rok, disentuh Teman
bokong

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pengalaman traumatik subjek 1 dan 2


dialami oleh orang terdekat subjek sendiri. Subjek 1 mengalami pengalaman traumatis

17
tersebut pada kelas 9 SMP di rumah subjek, sedangkan subjek 2 mengalami pengalaman
traumatis pada kelas 6 SD di sekolah. Kejadian tersebut dialami oleh subjek saat berada di
usia anak-anak menginjak remaja. Sehingga pengalaman tersbut sangat membekas dalam
ingatan subjek dan mempengaruhi kondisi psikologis subjek. Terlebih lagi kejadian tersebut
menimpa kedua subjek dalam lingkungan yang seharusnya aman bagi, yaitu di rumah dan di
sekolah.

C. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara terdapat beberapa dampak yang mempengaruihi


dinamika psikologis subjek setelah mengalami pengalaman traumatis tersebut, diantaranya
yaitu

1. Malu
Berdasarkan hasil penelitian anak yang mengalami kekerasan seksual yang
dialami oleh anak cenderung membuatnya menjadi malu bahkan dalam hal ini akan
membuatnya menjauhi lingkungan sekitarnya. Padahal peran keluarga sangatlah
penting untuk membantu dan melindungi anak namun sebaliknya fungsi di dalam
keluarga sudah tidak seutuhnya berjalan sebagai mana seharusnya. Dari peristiwa
tersebut mereka anak yang mengalami kekerasan seksual akan sulit untuk biasa
beradaptasi kembali seperti biasanya karena malu yang di rasakan.

2. Takut
Rasa takut menjadi korban kekerasan seksual juga akan melahirkan masalah
baru di dalam kehidupan masyarakat seperti takut melihat orang asing, berada
dirumah sendiri, ataupun menjadi takut apabila berpergian keluar rumah seorang diri,
sehingga ruang gerak seseorangpun menjadi sempit. Karena, bahaya akan menjadi
korban kekerasan seksual akan dialami oleh siapapun dan dimana saja.

Yuwono (2015) menyatakan kekerasan seksual pada anak dapat terjadi di mana
saja dan kapan saja serta dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu anggota keluarga,
pihak sekolah, maupun orang lain. Kasus kekerasan seksual yang di alami oleh anak
tentunya akan membuatnya menjadi takut untuk bertemu dengan keluarga, lingkungan
sekitarnya. Karena hal ini sangat sensitive untuk bagi anak jika di pertanyakan
mengenai pengalaman yang telat membuatnya menjadi takut.

3. Tidak Percaya Diri

18
Anak yang mengalami kekerasan seksual akan membuat dirinya tidak percaya
diri,cenderung menyalahkan dirinya dan merasa tidak berguna lagi. Perasaan tidak
percaya diri dengan keadaan sekarang sering kali lingkungan yang justru membuat
anak semakin trauma dengan keadaanya karena seringkali anak malah sering
disalahkan walaupun anak yang menjadi korban. Keadaan inilah yang membuat anak
menjadi semakin trauma dengan dirinya.

4. Minder
Seseorang yang mengalami perasaan minder cenderung merasa tidak lebih baik
daripada orang lain. Rasa ini tentu saja tidak baik untuk perkembangan mental.
Seseorang yang punya tingkat rasa minder yang tinggi akan sangat sulit berkembang.
5. Putus asa

Putus asa yang di alami oleh anak akan menyebabkan putusnya harapan untuk
mencapai cita-cita yang seharusnya anak memiliki cita-cita yang tinggi. Hal ini akan
merusak generasi bangsa apabila perasaan putus asa yang di rasakan oleh anak sudah
di tanamkan sejak umurnya yang kecil.

Terdapat beberapa macam upaya yang dimunculkan oleh kedua subjhekj penyintas
kekerasan seksual, diantaranya yaitu :

1. Bimbingan Konseling.
Dalam hasil penelitian yang telah di lakukan maka anak yang mengalami
tindakan kekerasan seksual akan sangat membantu menghilangkan perasaan takut
yang di alami. Peran pekerja sosial dalam memberikan bimbingan konseling mampu
mengatasi anak yang mengalami trauma karena dalam kasus tersebut anak sering di
berikan motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik, selain itu adanya pengasuh
di panti dapat membantu untuk merawat dan melindungi anak selama berada di panti.

2. Bimbingan Mental dan Spiritual


Pentinya peran pekerja sosial dalam membantu anak memperoleh pendidikan
agama akan sangat membantu anak untuk menjadi anak yang biasa mandiri dan
berpegang teguh pada agama akan membuat anak menjadi sadar bahwa anak aan
patuh dengan ajaran agama yang di pegang selain itu peran pekerja sosial akan dapat
membantu anak untuk menerima keradaan dirinya sebagaimana adanya, baik
buruknya, kekuatan-kelemahan sebagai suatu yang telah di tetapkan oleh Tuhan, tetap

19
juga harus berikhtiar, sehingga tidak perlu disesali, dengan begitu anak akan bisa
tumbuh dan berkembang dengan kondisi yang sewajarnya.

3. Bimbingan Kreatifitas

Kreatifitas dalam perkembangannya pada dasarnya anak memiliki potensi


untuk kreatifitas, walaupun tingkat kreatifitasnya berbeda-beda. Kreatifitas seperti
halnya setiap potensi lain, perlu diberikan kesempatan dan rangsangan oleh
lingkungan sekitarnya. Untuk membantu anak mengembangkan kreatifitasnya, anak
perlu dilatih dalam keterampilan tertentu sesuai engan minat pribadinya dan diberi
kesempatan untuk mengembangkan bakat atau telanta mereka.

Kemudian berikut ini adalah beberapa upaya yang diharapkan oleh subjek penyintas
kekerasan seksual, yaitu :

1. Identitas Dapat Disembuyikan


Penyediaan pelayanan rehabilitasi kepada anak korban kekerasan seksual
merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Makna rehabilitasi dalam ketentuan ini
bukan hanya sekedar pemulihan nama baik, namun juga meliputi tindakan pemulihan
psikis dalam bentuk konseling dan bimbingan keagamaan. Seorang anak korban
kekerasan seksual bisa dipastikan akan terganggu secara fisik dan psikis. Tidak
terlindunginya identitas korban akan berdampak pada semakin tingginya beban
mental korban.

2. Keberadaan Pekerja Sosial Perempuan


Peran dari pendamping anak korban kekerasan sangat penting dalam mencapai
tujuan pendamping yang diinginkan. Pendamping harus dapat menempatkan diri pada
posisi yang sama atau sejajar dengan anak korban kekerasan seksual agar terjalain
interaksi yang baik dan dekat. Peran pendamping anak korban kekerasan seksual
meluputi peran pembela, mediator, pembiri motivasi.

3. Dapat Diterima di Llingkungan Tempat Tinggal Korban


Peran lingkungan masyarakat dalam proses pemulihan masalah kekerasan
seksual juga sangat dibutuhkan Seringkali lingkungan sekitarnya, termasuk keluarga
kurang memberikan motivasi kepada anak sehingga anak yang telah menjadi korban
kekerasan seksual dengan mengucilkannya dari pergaulan atau bahkan terusir dari
kampung karena dianggap sebagai pembawa masalah, aib dan dosa.

20
D. Analisis Data

Fenomena kekerasan seksual berdasarkan asumsi Weber maka tindakan kekerasan


seksual lebih relevan menggunakan asumsi tindakan afektif karena tindakan ini berbeda
dengan tindakan rasional instrumental dan tindakan rasionalitas berorientasi nilai, tindakan
afektif tidak memalui pertimbangan yang sadar tindakan ini tercipta dengan spontan karena
pengaruh emosi dan perasaan seseorang. Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan
atau emosi tanpa reflek intektual dan perencanaan sadar. seseorang yang sedang mengalami
perasaan kecewa dalam kasus kekerasan seksual akan membuatnya menjadi malu, takut,
kecewa, minder bahkan putus asa pada dirinya. Tindakan ini benar-benar tidak rasional
karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasional lainnya (Haryanto,
2012).

Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional
dari individu. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi dan perasaan seseorang contohnya dalam
kasus kekerasan seksual adanya emosi ketika anak yang menjadi korban kekerasan seksual
di ketahui oleh keluarga besarnya tentu hal itu akan membuat emosi di dalam suatu keluarga
muncul, karena tidak menerima dengan apa yang terjadi pada diri anak yang menjadi korban.
Para Korban melakukan tindakan emosi setelah terpengaruh emosi dan perasaan. Maksudnya
tindakan atau prilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu., yaitu anak yang
menjadi korban, pelaku melakukan peristiwa tersebut secara sadar. Para pelaku dalam
melakukan tindakan atau prilaku itu sadar akan apa yang dilakukannya, tetapi tidak
memikirkan konsekuensi yang akan mereka dapatkan. Jika dihubungkan dengan kasus ini,
jenis tindakan afektif merupakan salah satu jenis tindakan sosial yang cocok untuk
menganalisis kasus kekerasan seksual pada anak perempuan dalam perspektif tindakan
sosial.

21
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini marak terjadi dalam hal
ini perempuan sering dipaksa untuk memenuhi hasrat seksual dari pelaku yang dalam
hasil penelitian ini perempuan sering kali dipaksa untuk dicium, diperkosa oleh pelaku.
Hal ini tentunya akan menimbulkan trauma bagi anak terhadap laki-laki pentingnya bagi
anak untuk memulihkan rasa trauma yang dialami dirinya.

2. Upaya yang dilakukan oleh kedua subjek dalam mengatasi trauma yang dimilikinya
yaitu dengan melakukan bimbingan konseling, bimbingan spiritual dan pengembangan
22
bakat yang diberikan sebagai salah satu solusi untuk anak agar anak bisa kembali pulih
setelah kejadian di masa lalu yang telah membuatnya menjadi trauma.
3. Harapan yang di inginkan oleh subjek korban kekerasan seksual yakni identitasnya
dapat disembunyian, pekerja sosialnya perempuan, dan dapat di terima dilingkungan
tempat tinggalnya maka proses resilisensi bisa dioptimalisasikan untuk perempuan
korban kekerasan seksual.
B. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu hendaknya peneliti dapat menggali lebih
dalam lagi proses resiliensi yang dilakukan oleh subjek korban kekerasan seksual, hambatan
yang dialami, dan tekanan baik itu berupa dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan
keluarga dan masyarakat bila kondisi subjek diketahui oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2016. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial dari Klasik hingga Modern. Yogyakarta :
Ruzz Media.
Hasyim, Syafiq. 1999. Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak
Reproduksi Perempuan dalam Islam. Bandung : Penerbit Mizan, cet.I.
Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.I.

Huang dan Palar. 2016. Pemulihan Traumatik Terhadap Penyintas Yang Mengalami
Pelecehan Seksual di Masa Kanak-Kanak di Sekolah Tinggi Theologia Jaffaray.
Makasar : Jurnal penelitian pengambdian pada masyarakat. Volume 31, No. 1, Juli
2013.
23
Kejaksaan Negri Kota Mataram. 2016. Data Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Perempuan. Kantor Kejaksaan Negri Mataram.
Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Barat. 2016. Data Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Perempuan. Kantor LPA NTB
Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Yogyakarta: UIN-Malang
Press, cet. I.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung:
Mizan Pustaka.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. PSMP. 2016. Data Kekerasan Seksual Terhadap Anak Perempuan. Kota
Mataram PSMP. 2016. Profil Panti.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2016. Data Kekerasan Seksual pada anak Daerah
Nusa Tenggara Barat. Resor Mataram
Tambunan, Emil H. 2005. Mengatasi Masalah Keluarga. Jakarta : Indonesia Publishing
House
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Yogyakarta : Yustisia.

24

Anda mungkin juga menyukai