Anda di halaman 1dari 15

PEMERKOSAAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas


Dosen Pengampu: Masadah, M.Kep

Kelompok II:

I Nyoman Sandya Pranata


Ida Ayu Arundita Rani Putri
Ilham Haqiqi
Irwina Syafitri
Khaerul Mubarok Bafadal
Leni Maryani
Made Anandam Prasetya Adhitya
Mariati Astitu
Megawati

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Keperawatan Maternitas yang berjudul “Pemerkosaan”.
Makalah ini disususun berdasarkan hasil diskusi kelompok kerja kami dan
pengupulan data dari beberapa buku panduan  yang ada, serta dengan bantuan dari
dunia maya yaitu melalui situs internet, dan yang lainnya.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan
umumnya kepada semua pihak yang membaca makalah ini. Dalam menyelesaikan
makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari banyak pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: Masadah, M.Kep. selaku
dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Maternitas.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis
butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, Agustus 2020

Kelompok 2

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerkosaan sebagai suatu tindakan kekerasaan yang dinilai sangat
merugikan dan menggangu ketentraman dan ketertiban hidup, terutama bagi
korbannya. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang
mendapat perhatian di kalangan masyarakat, karena tindak pidana perkosaan
tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan
kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang
relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat (Hasan 2011).
Berdasarkan pernyataan yang terlansir di Kompas.com, sejak tahun 1998
sampai dengan tahun 2011, Komnas anti kekerasan terhadap perempuan
mendata bahwa telah terjadi 400.960 kasus kekerasan seksual. Secara
berurutan dari kasus terbanyak sampai terendah, kasus pemerkosaan berada
pada tingkat pertama dengan jumlah 4.845 kasus. Tingkat kedua yaitu
perdagangan perempuan dengan tujuan seksual memiliki presentase 1.359.
Berikutnya kasus pelecehan seksual memiliki jumlah 1.049, dan yang paling
rendah berada pada kasus penyiksaan seksual yaitu 672 kasus (Khaerudin,
2011).
Korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan fisik dan psikis paska
pemerkosaan yang terjadi pada dirinya seperti: Penderitaan fisik yang
mengalami pada korban paska perkosaan seperti sakit secara fisik, luka, cacat,
rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Penderitaan psikis
merupakan gejala tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang
menyebabkan korban memiliki rasa kurang percaya diri, trauma, konsep diri
yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti
jantung berdebar dan keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya peristiwa
pemerkosaan tersebut tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka
korban dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan
secara emosi yang berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan,
depresi, ketakutan dan stress akibat peristiwa yang dialami korban dan telah

iii
terjadi selama lebih dari 30 hari, kemungkinan dukungan dari semua pihak
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya PTSD (Hasan, 2011).
Ditengarai sebagian besar korban pemerkosaan lebih condong memilih
berdiam diri, pasrah menerima nasib atas penderitaan yang ditanggungnya
daripada melaporkan kejadian yang menimpanya pada aparat Kepolisian.
Angka-angka statistik jumlah pemerkosaan yang tercacat di Kepolisian besar
kemungkinan adalah angka minimal. Di luar itu, diduga masih banyak kasus-
kasus pemerkosaan lain yang tak teridentifikasi. Tindakan korban yang memilih
tidak melaporkan kasus yang dialaminya itu dapat dipahami karena di mata
mereka kalaupun mencoba menuntut keadilan, belum tentu hukum akan
memihaknya. Korban juga merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa
dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena diancam oleh
pelaku (Mertokusum, 2007).
Pihak korban masih dituntut secara detail untuk mendeskripsikan kasus
yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang
melecehkannya atau mengupas ulang tragedy yang menimpanya. Hal ini selain
disampaikan di depan pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh pers
secara detil. Penderitaan korban pemerkosaan semakin bertambah ketika dalam
proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini saksi korban.
Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam proses peradilan
pidana menurut KUHAP seolah-olah tidak memanusiakan, korban hanya
merupakan saksi yang hanya penting untuk digunakan dalam memberikan
keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku (Rena, 2010).
Faktor – faktor penyebab terjadinya pemerkosaan dapat dilihat dari dua sisi
yaitu secara internal dan secara eksternal (Saragih,2014). Secara internal
pemerkosaan terjadi karena adanya dorongan pemuasan seksual, usia yang
bertambah, moral, serta religiusitas dan sebagainya. Secara eksternal
pemerkosaan bisa terjadi karena adanya keinginan untuk mencari fantasi
seksual yang pernah dialami sebelumnya, misalkan sering terpapar oleh media
– media pornografi. Individu yang sering mengkonsumsi pornografi membuat
individu memiliki hasrat dan fantasi yang tinggi terkait dengan hubungan seksual
yang menjadikan subjektif dan tidak mampu untuk mengendalikan diri
(Sasongko,2014).

iv
Mengingat betapa pentingnya hal tersebut, maka sangatlah penting
bagi kita sebagai seorang perawat memahami tentang bagaimana pemerkosaan
bisa terjadi pada perempuan serta dampaknya. Maka dari itu dalam makalah ini,
kelompok akan membahas mengenai pemerkosaan pada perempuan terjadi dan
semoga bisa untuk dipahami bersama.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari pemerkosaan?
2. Apa saja motivasi dalam melakukan pemerkosaan?
3. Apa saja jenis - jenis pemerkosaan?
4. Bagaimana mencegah pemerkosaan?
5. Apa saja tindakan yang dapat dilakukan setelah tindak pemerkosaan?
6. Apa saja penanganan yang dapat diberikan kepada korban pemerkosaan?
7. Apa saja dampak pemerkosaan pada korban pemerkosaan?
8. Apakah ada Undang-Undang yang berkaitan dengan Pemerkosaan?

C. Tujuan Makalah
1. Diharapkan mahasiswa dapat memahami definisi dari pemerkosaan.
2. Diharapkan mahasiswa dapat memahami motivasi dalam melakukan
pemerkosaan.
3. Diharapkan mahasiswa dapat memahami jenis – jenis pemerkosaan.
4. Diharapkan mahasiswa dapat memahami mencegah pemerkosaan.
5. Diharapkan mahasiswa dapat memahami tindakan yang dapat dilakukan
setelah tindak pemerkosaan.
6. Diharapkan mahasiswa dapat memahami penanganan yang dapat diberikan
kepada korban pemerkosaan.
7. Diharapkan mahasiswa dapat memahami dampak pemerkosaan pada korban
pemerkosaan.
8. Diharapkan mahasiswa dapat memahami Undang-Undang yang berkaitan
dengan tindak pemerkosaan.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Perkosaan yang dalam bahasa Inggris disebut “rape”  berasal dari kata  “rape-
re” (bahasa latin) yang berarti “to steal”, “seize” atau “carry away”. Perkosaan
didefinisikan sebagai: the use of threat, physical force, or intimidation in ob-taining
sexual relation with another person against his or her own will. Penggunaan ancaman,
kekuatan fisik, atau pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain
yang tidak mereka inginkan.

Senada dengan pengertian diatas, Kilpatrick, Thornhill dan Palmer mendefinisikan


perkosaan sebagai penggunaan kekuatan dan ancaman untuk men-dapatkan layanan
seksual (penetrasi penis pada vagina) dari perempun tan-pa kemauan korbannya
(Kilpatrick et al., Thornhill & Palmer, dalam McKibbin et al., 2008). Definisi ini juga
diamini dalam hukum di Indonesia. Di da-lam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:
barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Belakangan, definisi perkosaan diperluas tidak hanya tentang penetrasi penis


terhadap vagina. Encyclopedia of Rape mengemukakan bahwa realitas fisik perkosaan
tidak berubah dari waktu ke waktu: penetrasi dari vagina, atau lubang lainnya, dengan
penis (atau benda lain) tanpa persetujuan dari wanita atau pria yang ditembus (Smith, ed.,
2004). Polaschek, Ward & Hud-son, memberi definisi perkosaan sebagai the penetration
of the anus or va-gina by a penis, finger or object or the penetration of the mouth by a
penis. If a person is forced to penetrate someone in the anus, mouth or vagina with their
penis, this is also regarded as rape (Polaschek, Ward & Hudson dalam McCabe dan
Wauchope, 2005). Menurut definisi ini, perkosaan adalah penetrasi pada anus, vagina
oleh penis, jari atau benda lain atau penetrasi penis pada mulut. Bahkan memaksa orang
lain melakukan hal itu juga dise-but sebagai perkosaan.

Komnas Perempuan mendefiniskan perkosaan sebagai serangan yang diarahkan


pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual
(penis) ke organ seksual (vagina), ke anus atau mulut, atau de-ngan menggunakan bagian
tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau benda-benda lainnya. Serangan itu

vi
dilakukan dengan kekerasan, dengan an-caman kekerasan ataupun dengan pemaksaan
sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan,
tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan
dari ling-kungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu mem
berikan persetujuan yang sesungguhnya.

B. Motvasi dalam Melakukan Pemerkosaan


Adapun motivasi seseorang dalam melakukan tindakan pemerkosaan:
1. Pria ingin menunjukkan kekuasaan yang bertujuan untuk menguasai korban
dengan cara mengancam (dengan senjata, secara fisik menyakiti
perempuan,verbal dan menggertak) dan dengan penetrasi sebagai simbol
kemenangan.
2. Memperkokoh kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk meneror dan
menaklukkan korban karena dengan cara lain korban belum dianggap
tunduk pada pelaku. Padahal kejadian yang sesungguhnya karena adanya
perasaan lemah, tidak mampu, tidak berdaya dari pelaku. Misalnya kasus
seorang perempuan yang menolak cinta seorang pemuda, kemudian
pemuda tersebut memperkosanya agar mau dijadikan istri.
3. Sebagai cara meluapkan rasa marah, penghinaan, balas dendam,
menghancurkan lawan baik masalah individu maupun masalah kelompok
tertentu, sedangkan unsur rasa cinta ataupun kepuasaan seksual tidak
penting.
4. Luapan perilaku sadis, perilaku merasa puas telah membuat penderitaan
bagi orang lain.

C. Jenis-jenis Pemerkosaan
1. Berdasar motif perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Sadistic Rape. Perkosaan sadistis, dimana pelaku perkosaan
menikmati kesenangan erotik tidak pada hubungan seksnya, melainkan
me-lalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
b. Anger Rape. Perkosaan karena kemarahan. Perkosaan yang terjadi
dengan motif utamanya bukanlah pemenuhan kebutuhan seksual.
Perkosaan menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan ra-sa
geram dan marah yang tertahan. Korban dianggap sebagai obyek

vii
pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan
hidupnya. Dan hal ini dinyatakan sebagai motif paling sering pada
perkosaan. (Barbaree & Marshall; Barbaree, Seto, Serin, Amos &
Preston; Berlin; Groth; Groth, Burgess & Holmstrom; Hazelwood &
Burgess; Holmstrom & Burgess; Holt, Meloy & Strack; Kanin; Palmer;
Sanday dalam McCabe dan Wauchope, 2005)
c. Domination Rape atau Power Rape. Yaitu suatu perkosaan yang ter
jadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superio-ritas
terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku
menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan sek
sual.
d. Seductive Rape. Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi
yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mula-nya
korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak
sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mem-punyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak
mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim Precipitated Rape. Yaitu perkosaan yang terjadi dengan
menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation Rape. Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap
kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki
dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi
perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.
Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah
tangga yang diperkosa olehmajikannya, sedangkan pembantunya ti-dak
mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang
berwajib.Namun demikian dilihat dari perspektsif kriminologi, kekerasan
ini menunjuk kepada tingkalaku yang berbeda-beda baik mengenai
motof maupun mengenai tindakannya, seperti perkosaan dan
pembunuhan, kedua macam kejahatan ini diikuti dengan kekera-san.
2. Berdasar pelaku atau tempatnya dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Prison Rape. Perkosaan yang dilakukan dipenjara. Baik oleh sesama
narapidana maupun oleh sipir penjara (seperti yang terjadi di penja-ra
Malaysia, Aceh, Guantanamao, Abu Ghuraib-Iraq, penjara-penjara Israel

viii
sebagai contoh khusus). Dalam banyak kasus di Amerika Seri-kat,
perkosaan jenis ini (napi terhadap napi) bertujuan untuk meren-dahkan
yang bersangkutan. Juga bertujuan untuk menegakkan heirar-ki
kelompok dalam penjara. Sedang di Indonesia secara khusus, kasus ini
terjadi karena kasus perkosaan dianggap sebagai kasus yang pa-ling
keji (bahkan diantara para penjahat). Sehingga pelaku pemerkosa-an
akan dihukum oleh para napi lainnya dengan menjadikannya kor-ban
perkosaan secara beramai-ramai.
b. War Rape. Perkosaan yang terjadi dalam konteks perang atau wila-yah
konflik. Kasus yang terjadi di Rwanda, Bosnia, Palestina adalah
contohcontoh kontemporer. Perkosaan dilakukan untuk melemah-kan
mental musuh. Memberikan penghinaan pada mereka. Dan seba-gai
sebuat taktik perang. Di Rwanda dan Bosnia bahkan termasuk da-lam
kejahatan perang pemusnahan etnik. Di Indonesia terjadi saat kasus
DOM di Aceh, Timor-Timur, dan pada saat penjajahan Jepang dengan
jugun ianfu-nya. Dalam kasus konflik antar etnis terjadi saat peristiwa
Mei 1998 (walau lebih bermotif anger rape), Poso, Maluku, dan di dunia
internasional kita mendengar berita dari Myanmar.
c. Kampus Rape. Perkosaan yang terjadi antar pelajar di sekolah
menengah hingga mahasiswa. Biasanya terjadi antar teman dalam satu
kelompok.
d. Gang Rape. Perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok anggota gang
atau gerombolan. Biasanya dijadikan sebagai ajang ujian kejantanan
bagi anggota gang yang baru yang kemudian digilir oleh anggota gang
tersebut. Kasus yang sempat terjadi pada putri salah satu pejabat di
Tuban merupakan salah satu contohnya. Contoh lain adalah kasus
perkosaan dalam angkot yang sempat menghebohkan kota Depok dan
kediri. Dan kasus semacam ini semakin marak. Bahkan beberapa
pelakunya masih berstatus pelajar.
e. Date Rape. Perkosaan yang terjadi antara kekasih (saat pacaran). Pada
kasus ini bermotif seductif rape. Dan saat si perempuan menolak maka
terjadilah perkosaan. Kasus ini pun makin marak akhir-akhir ini.
Biasanya pelaku memaksa si laki-laki untuk menenggak minuman ke-ras

ix
terlebih dahulu untuk mengurangi.menghilangkan penolakan dari si
perempuan.
f. In Marital Rape. Perkosaan yang dilakukan oleh suami (bisa juga oleh
istri) kepada pasangan sahnya dalam perkawinan. Hal ini terjadi kare-na
seks dianggap sebagai kewajiban dalam pernikahan. Maka saat
pasangan tidak mau maka pelaku memaksanya.

D. Pencegahan Pemerkosaan
Secara umum ada beberapa cara agar mencegah atau terhindar dari
tindakan pemerkosaan:
1. Berpakaian santun, berprilaku, bersolek tidak mengundang perhatian pria.
2. Melakukan aktifitas secara bersamaan dalam berkelompok dengan banyak
teman, tidak berduaan.
3. Di tempat kerja bersama teman/berkelompok, tidak berduaan dengan
sesama pegawai atau atasan.
4. Tidak menerima tamu laki-laki kerumah, bila dirumah seorang diri.
5. Berjalan-jalan bersama banyak teman, terlebih di waktu malam hari.
6. Bila merasa diikuti orang, ambil jalan kearah yang berlainan, atau berbalik
dan bertanya ke orang tersebut dengan nada yang keras dan tegas, apa
maksud dia.
7. Membawa alat yang bersuara keras seperti peluit, atau alat bela diri seperti
parfum spray, bubuk cabe/merica yang bisa ditiupkan ke mata.
8. Berteriak sekencang mungkin bila diserang.
9. Jangan ragu mencegah dengan mengatakan “tidak”, walaupun pada atasan
yang punya kekuasaan atau pacar yang sangat dicintai.
10. Ketika bepergian, hindari sendirian, tidak menginap, bila orang tersebut
merayu tegaskan bahwa perkataan dan sentuhannya membuat anda
merasa risih, tidak nyaman, dan cepatlah meninggalkannya.
11. Jangan abaikan kata hati. Ketika tidak nyaman dengan suatu tindakan yang
mengarah seperti dipegang, diraba, dicium, diajak ketempat sepi.
12. Waspada terhadap berbagai cara pemerkosaan seperti: hipnotis, obat-
obatan dalam minuman, permen, snack atau hidangan makanan.
13. Saat ditempat baru, jangan terlihat bingung. Bertanya pada polisi, hansip
atau instansi.

x
14. Menjaga jarak/space interpersonal dengan lawan jenis. Di eropa space
interpersonal dengan jarak 1 meter.

Cara menghindari perkosaan dari orang yang dikenal dengan belajar


percaya pada perasaan/insting, meningkatkan kewaspadaan bila :
1. Mempunyai perasaan tidak enak bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
2. Merasa takut/khawatir atau ingin segera meninggalkannya.
3. Merasa tidak nyaman dengan kata-kata yang diucapkan oleh orang itu.
4. Merasa risih kontak fisik dengan orang tersebut.
5. Lebih baik menyakiti hati laki-laki daripada menjadi korban perkosaan.

Cara membantu anak-anak terhindar dari bahaya perkosaan:


1. Mengajari bila seseorang akan menyentuhnya yang mengarah seksual.
2. Tidak mencampur anak gadis dengan anak laki-laki.
3. Memastikan anak-anak tahu bagaimana cara mencari bantuan.
4. Mempercayai bila anak mengatakan takut dengan seseorang atau yang
lebih dewasa.

E. Tindakan Setelah Tindak Perkosaan


Respons pihak kepolisian terhadap perkosaan dan kekerasan dalam rumah
tangga sangat penting. Perlu diupayakan agar korban merasa dipercaya.
Mereka sama sekali tidak ingin merasa lebih tidak nyaman lagi. sikap ini
mendorong korban lain membuka suara dan barang kali akan membantu
mengurangi angka kejadian penganiayaan semacam ini. Bila berniat melaporkan
perkara pada polisi, jangan menunda waktu. Hindari tindakan-tindakan yang
dapat dijadikan barang bukti, sehingga tidak perlu mandi terlebih dahulu dan
membawa semua pakaian yang dipakai pada saat tindak perkosaan sebagai
bukti. Bila belum lapor polisi, datang pada tenaga kesehatan, walaupun tidak
ada cidera. Petugas kesehatan akan memeriksa tanda-tanda cidera sayatan,
robekan, memberi therapi pencegah kehamilan/kontrasepsi darurat dan
pencegahan PMS.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat lapor polisi:
1. Mendiskripsikan urutan kejadian.
2. Menunjukkan pelaku bila mengenal atau ciri-ciri orang tersebut bila tidak
kenal.

xi
3. Korban perkosaan akan dilakukan visum atas permintaan polisi.
4. Kesaksian pada saat pelaku diperiksa di kantor polisi atau dalam
persidangan.
5. Meminta penasehat hukum.

F. Penanganan yang Dapat Dilakukan Setelah kepada Korban Pemerkosaan


Saat korban perkosaan membuka rahasia mengenai apa yang menimpa
mereka, dibutuhkan penanganan yang hati-hati dan dukungan yang besar untuk
membantu mereka menghadapi masalah yang dihadapi. Penting bagi korban
perkosaan dan kekerasan untuk bisa mengendalikan diri mereka sendiri dan
sebaiknya mereka tidak di dorong untuk menjelaskan detail hal tersebut, yang
memang tidak relevan dalam waktu dekat.
Wanita korban perkosaan dan kekerasan seksual biasanya datang
ke Accident dan Emergency Department (Departemen kecelakaan dan
Kedaruratan), tempat praktik dokter, atau klinik keluarga berencana dengan
berbagai keluhan. Mereka datang sesaat setelah penyerangan atau agak lama
setelah peristiwa itu. Ada yang meminta kontrasepsi darurat, apusan serviks,
atau dirujuk ke klinik kemih kelamin. Perkosaan dapat menimbulkan dampak
jangka panjang bukan hanya pada wanita yang terlibat, tetapi juga pasangannya
dan hubungan yang mereka bina. Korban perkosaan membutuhkan layanan tim
pendukung, dan konseling serta psikoterapi dapat membantu. Seiring waktu,
dengan penanganan baik, korban secara perlahan akan mulai menata kembali
kehidupan mereka.
Tugas tenaga kesehatan dalam kasus tindak perkosaan:
1. Bersikap dengan baik, penuh perhatian dan empati.
2. Memberikan asuhan untuk menangani gangguan kesehatannya, misalnya
mengobati cidera, pemberian kontrasepsi darurat.
3. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan apa yang sebenarnya terjadi.
4. Memberikan asuhan pemenuhan kebutuhan psikologis.
5. Memberikan konseling dalam membuat keputusan.
6. Membantu memberitahukan pada keluarga.
Upaya promotif:

xii
1. Meningkatkan keterampilan bagi tenaga kesehatan pada pertolongan tindak
perkosaan untuk mengatasi masalah kesehatan dan dalam memberi
dukungan bila ingin melapor kepolisi.
2. Penguasaan seni atau keterampilan bela diri bagi para wanita.
3. Penyelenggaraan pendidikan seksual untuk remaja
4. Sosialisasi hukum yang terkait.

G. Dampak Pemerkosaan
Reaksi yang terjadi setelah kejadian perkosaan :
1. Fase akut (segera setelah serangan terjadi)
Korban mengalami syok dan rasa takut yang sangat kuat, kebingungan,
disorganisasi, lemah, lelah tidak dapat dijelaskan secara rinci/tepat apa yang
terjadi (apa,siapa, dan bagaimana ciri penyerang
2. Fase kedua (adaptasi awal)
Individu menghayati berbagai emosi negatif seperti pemberontakan,
ketakutan, terhina, malu, mual dan jijik yang pada berikutnya dapat
ditanggapi dengan represi dan pengingkaran sebagai upaya untuk mencoba
menutup pengalaman yang menyakitkan.
Bertahun-tahun ditandai dengan upaya individu untuk keluar dari trauma
yang dialami dan sungguh-sungguh menerima apa yang terjadi sebagai
sesuatu fakta yang memang terjadi. Pada fase ini tidak jarang individu
menampilkan ciri-ciri depresi, mengalami mimpi-mimpi buruk atau kilas balik
kejadian.

H. Undang-Undang yang Berkaitan dengan Tindak Pemerkosaan


Pasal dalam undang-undang yang berkaitan dengan tindak perkosaan :
1. Pasal 281-283 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesopanan.
2. Pasal 289-298 KUHP tentang Pencabulan.
3. Pasal 506 KUHP tentang Mucikari.
4. Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) no 23 tahun 2003.
5. Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT).
BAB III
PENUTUP

xiii
A. Kesimpulan
Perkosaan adalah hubungan seksual tanpa kehendak bersama, yang
dipaksakan oleh satu pihak kepada pihak lain,yang juga dapat merupakan tindak
pseudo seksual yaitu perilaku seksual yang tidak selalu di motivasi dorongan
seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan
dan dominan, agresi dan perendahan pada satu pihak (korban) oleh pihak
lainnya(pelaku). Jenis perkosaan ada 2 yaitu: perkosaan oleh orang yang
dikenal dan perkosaan oleh orang yang tidak dikenal. Wanita yang rentan
terhadap tindak perkosaan adalah wanita yang memiliki Kekurangan pada fisik
dan mental, Pengungsi, imigran, tidak mempunyai rumah, anak jalanan/
gelandangan, didaerah peperangan dan Korban tindak kekerasan suami/pacar.
Tugas tenaga kesehatan dalam kasus tindak perkosaan: bersikap dengan baik,
penuh perhatian dan empati, memberikan asuhan untuk menangani gangguan
kesehatannya, misalnya mengobati cidera, pemberian kontrasepsi darurat,
mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan apa yang sebenarnya terjadi,
memberikan asuhan pemenuhan kebutuhan psikologis, memberikan konseling
dalam membuat keputusan, membantu memberitahukan pada
keluarga.                                                                                
B. Saran
Dari hasil pembuatan makalah kami, mungkin masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran
dari pembaca demi tercapainya pembuatan makalah yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

xiv
Andrews,Gilly (2009). Kesehatan Reproduksi Wanita edisi 2. jakarta : EGC
Komnas Perempuan. (2011). LEMBAR FAKTA KEKERASAN SEKSUAL: KENALI
dan TANGANI, http: //www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2011
/11/LEMBAR-FAKTA-Kekerasan-Seksual-dan-Perkosaan.pdf. diakses pada
31 Agustus 2020.

Smith, Merril D., ed., (2004). Encyclopedia of rape, London: GREENWOOD PRESS.
Ward, Tony & Beech, Anthony. (2006). An integrated theory of sexual
offending, Aggression and Violent Behavior 11, 44–63,
http://www.bvsde.paho.org/ bvsacd/cd42/ ward.pdf , diakses pada 31 Agustus
2020.

Ward, Tony & Beech, Anthony. (2006). An integrated theory of sexual offending,
Aggression and Violent Behavior 11, 44–63, http://www.bvsde.paho.org/
bvsacd/cd42/ ward.pdf , diakses pada 31 Agustus 2020..

Widyastuti,yani, Dkk (2009).Kesehatan Reproduksi.Fitramaya


Yanti (2011). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama

xv

Anda mungkin juga menyukai