Dosen Pengampu:
Wandi, S.Kep., Ners., M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Nama Anggota :
Anugrah Maulida Pratiwi ( P17311173051 )
Natasya Cindy Saraswati ( P17311173052 )
Arifatul Maghfiroh Z.M ( P17311174054 )
Desy Nurrista Ningrum ( P17311174056 )
Fadliyah Nikmatul Izza ( P17311174071 )
Dwi Ajeng Ayu R. ( P17311174074 )
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul "Peran Pesantren dalam Meningkatkan Kesehatan Reproduksi Remaja"
dengan semaksimal mungkin.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta
membantu tersusunnya makalah ini. Kepada teman-teman serta dosen pembimbing kami
ucapkan banyak terima kasih.
Karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini. Kami mohon maaf atas segala kekurangan
yang ada, baik isi maupun penulisan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang
membangun agar kami lebih baik lagi dalam meyusun makalah.
Akhir kata kami berharap makalah ini bisa memberi manfaat untuk para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a. Lk
b. Lk
c. Lk
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
a. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna
baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari
penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem
reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Sedangkan kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan
fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi,
fungsi serta prosesnya. Atau suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati
kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses
reproduksinya secara sehat dan aman.
Definisi kesehatan reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah
keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata
ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan
sistem reproduksi dan fungsi dan proses.
b. Remaja
Remaja pada umumnya didefinisikan sebagai orang-orang yang
mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut
WHO, remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara dalam
terminologi lain PBB menyebutkan anak muda untuk mereka yang berusia 15-
24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam sebuah terminologi kaum muda yang
mencakup 10-24 tahun. Sementara itu dalam program BKKBN disebutkan
bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 10-24 tahun.
6
Perubahan yang terjadi pada masa remaja pada saat seorang anak
memasuki usia remaja antara lain dapat di lihat dari 3 dimensi yaitu dimensi
biologis, dimensi kognitif dan dimensi sosial.
Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai
dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun mimpi basah pada
remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar.
Pubertas menjadikan seorang anak memiliki kemampuan untuk
bereproduksi. Pada saat memasuki masa pubertas, anak perempuan akan
mendapat menstruasi sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah
aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik lainnya. Bentuk fisik mereka
akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka
pada dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Remaja dalam pandangan Jean Piaget (2007) (seorang ahli
perkembangan kognitif) merupakan periode akhir dan tertinggi dalam
tahap pertumbuhan operasi formal. Pada periode ini, idealnya para remaja
sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-
masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berfikir para remaja
berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta
kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan
abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berfikir multi
dimensi seperti ilmuwan.
Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar pembentukan nilai diri mereka. Para remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang
berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya : politik, kemanusiaan,
perang keadaan sosial, dan sebagainya. Remaja tidak lagi menerima hasil
pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka
selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan
pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak alternatif
lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan
7
keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan
dan ditanamkan kepadanya.
BAB III
PEMBAHASAN
8
mulai dari teman sebaya, buku-buku, film, video, bahkan dengan mudah membuka
situs-situs lewat internet.
Sumber informasi yang pernah didapatkan santri/santriwati tentang kesehatan
reproduksi yaitu dari pelajaran biologi, teman-teman, orang tua, internet dan TV yang
dia dapatkan diluar lingkungan pondok pesantren. Dan informasi yang dibutuhkan
oleh santri/santriwati meliputi alat-alat reproduksi, pencegahan dan pengobatan
penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, jenis-jenis penyakit akibat
reproduksi yang tidak sehat serta segala hal yang mencakup masalah reproduksi
seperti masalah menstruasi, serta masalah pergaulan bebas.
Faisal (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sebenarnya, membahas
masalah pendidikan kesehatan reproduksi dikalangan pondok pesantren tentu bukan
hal yang asing lagi. Sebab, tidak sedikit ayat maupun hadits serta pemikiran ulama
yang berhubungan dengan hal tersebut dipelajari dalam kitab-kitab kuning khususnya
kitab-kitab fiqih, yang menjadi basis keilmuan pondok pesantren. Ilmu fiqih
memberikan bimbingan, petunjuk, tuntunan, pengetahuan dan nilai bagaimana
seorang muslim harus bersikap dan mengambil keputusan berkaitan dengan kesehatan
reproduksi.
Selain pengetahuan dan kebiasaan santri/santriwati sebagai upaya pencegahan
penyakit reproduksi, hal lain yang menyangkut masalah budaya adalah aturan-aturan
yang berlaku di pondok pesantren yang secara tidak langsung berhubungan dengan
masalah kesehatan reproduksi.
Aturan-aturan yang terdapat di pondok pesantren yang berhubungan dengan
masalah kesehatan khususnya kesehatan reproduksi adalah aturan tentang laki-laki
dan perempuan yang dibatasi, dalam hal ini santri dan santriwati dilarang berpacaran.
Hal ini dilakukan agar santri/santriwati bisa terhindar dari hal-hal yang tidak baik
menurut agama, walaupun sebenarnya banyak diantara mereka yang tetap pacaran
tanpa sepengatuan dari pihak pondok pesantren. Selain itu, santri/santriwati juga
dilarang memiliki HP khususnya HP yang berkamera, laptop, TV, serta alat-alat
komunikasi lain. Aturan ini diberlakukan karena pihak pondok pesantren takut jika
santri/santriwati terpengaruh dengan informasi yang mereka dapat dan tidak sesuai
dengan ajaran agama. Padahal sebenarnya media komunikasi juga sangat berperan
penting dalam memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi, meskipun pada
kenyataannya media komunikasi dan informasi tersebut juga dapat disalahgunakan
untuk mengakses informasi salah.
9
4.2 Pengaruh Lingkungan dalam Kesehatan Reproduksi Remaja
Pada hakikatnya masalah kesehatan reproduksi tidak hanya menyoal tentang
kehamilan dan kelahiran tetapi menyangkut keseluruhan hidup manusia. Masalah
kesehatan yang biasa terjadi di lingkungan pondok adalah persoalan kebersihan
lingkungan, gaya hidup, permasalahan pemenuhan gizi, dan permasalan kespro dan
seksualitas. Masalah kesehatan reproduksi di pondok pesantren masih harus mendapat
perhatian dari beberapa pihak yang terkait, baik dalam akses pelayanan kesehatan,
perilaku sehat, maupun kesehatan lingkungan. Kebih dari 50 juta wanita di seluruh
dunia mempunyai penyakit atau kecacatan yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksinya. Pada 6 pondok pesantren di Jawa Timur memberikan hasil 64,20%
santri menderita penyakit skabies atau yang biasa disebut kudis, dan 73,70% santri
memiliki personal hygiene yang buruk, salah satunya dengan memakai baju atau
handuk secara bergantian dengan teman, dan masih banyak ditemukan sanitasi
lingkungan pondok yang kurang baik sehingga hal itu sangat berpengaruh pada
kesehatan reproduksi pada remaja. Perilaku santri seperti menjemur pakaian di
jendela, menjemur pakaian dalam di dalam kamar yang tidak ada ventilasi sehingga
pakaian basah akan sulit kering karena tidak ada panas secara langsung dari matahari
juga sangat berpengaruh pada kesehatan reproduksi pada remaja. Hampir 68% remaja
perempuan memiliki masalah berupa siklus haid yang tidak teratur, keputihan dan
gatal – gatal pada area kelamin.
Di lingkungan sekolah atau pondok, peranan guru dengan praktik kespro remaja
tidak mempunyai hubungan yang signifikan, dikarenakan pada guru atau yang biasa
disebut ustad/ustadzah memiliki jarak karena ada adab atau sopan santun tersendiri
yang berlaku dalam hubungan mereka seperti yang dijelaskan di kitab Ta’lim
Muta’alim yang selalu dibahas dan diterapkan dalam pondok pesantren. Berbeda
dengan di lingkungan teman sebaya, ternyata remaja lebih nyaman dan juga terbuka
bila mendiskusikan permasalahan seperti perilaku seksual dan kespro dengan teman
sebaya dari pada orang tua atau para guru yang ada di lingkungan tersebut.
Di lingkungan pondok pesantren juga sangat terbatas terkait puskesmas atau
pelayanan kesehatan lainnya, oleh sebab itu para santri yang mengidap penyakit di
organ reproduksinya sulit sekali mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Dan
karena para santri hidup bersama di suatu pondok, tidak jarang beberapa santri lainnya
tertular penyakit tersebut karena perilaku santri seperti memakai handuk bergantian,
tidak sering mengganti pembalut, penggunaan sabun untuk daerah kemaluan yang
tidak jelas kandungannya. Tindakan dan upaya para santri untuk menjaga organ
10
reproduksinya pun terbilang belum sesuai dengan prinsip kesehatan. Diantaranya
yaitu memakai celana dalam yang ketat saat haid atau saat tidak haid, tata cara
membasuh alat kelamin yang tidak benar, penggunaan cairan pembersih untuk
kemaluan, bahkan mengoleskan salep dan bedak pada kemaluannya. Perilaku santri
yang belum sesuai dengan prinsip kesehatan disebabkan pula oleh rendahnya kualitas
air dan minimnya ketersediaan air di lingkungan pesantren, rendahnya kesadaran diri
untuk menjaga kesehatan tubuh, dan upaya pemenuhan gizi makanan di pesantren
belum maksimal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seperti pondok pesantren salafiyah
informasi yang dapat di akses oleh remaja di pondok pesantresn tersebut sangat
terbatas. Mereka tidak bebas melihat televisi, mendengarkan radio, maupun
mengakses internet. Sumber informasi yang mereka dapatkan hanya dari
ustad/ustadzah, orangtua, teman sebaya, dan kitab klasik yang diajarkan di pondok
pesantren. Dan itu menyebabkan tidak berkembangnya informasi mengenai kesehatan
reproduksi, masalah – masalah pada organ reproduksi, dan infeksi – infeksi lainnya.
Selain itu para santri juga lebih bisa menerima informasi yang berasal dari kitab
daripada yang mereka peroleh dari televisi, radio, internet atau bahkan dari sebuah
studi penelitian. Mereka beranggapan bahwa apa yang di jelaskan di kitab – kitab
merekalah yang paling benar, padahal banyak sekali informasi yang berkembang
diluaran yang kadang tidak terdapat di kitab tersebut.
Jadi, perilaku kesehatan reproduksi di kalangan pondok pesantren dipengaruhi
oleh unsur pengetahuan, nilai, keyakinan, serta norma yang ada di lingkungan
sosialnya. Pengetahuan tentang mengatasi masalah kesehatan reperoduksi oleh santri
di pondok pesantren lebih cenderung menggunakan pendekatan secara tradisional
yang terdiri dari faktor kebiasaan di daerah asal yaitu kebiasaan ajaran orangtua,
kebiasaan dari pengalama orang lain, dan pengalaman diri sendiri yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan penyakit.
11
berkeluarga dengan reproduksi yang sehat. Pembekalan pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja yang perlu dikembangkan di pesantren meliputi :
Perkembangan fisik, kejiwaan, dan kematangan seksual remaja.
Pemberian informasi tentang perubahan yang terjadi secara fisik,
kejiwaan dan kematangan seksual akan memudahkan remaja untuk
memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang membingungkannya.
Informasi tentang haid dan mimpi basah, serta tentang alat reproduksi remaja
laki-laki dan perempuan perlu diperoleh setiap remaja.
Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan seks hanya
berisi tentang pemberian informasi alat kelamin dan berbagai macam posisi
dalam berhubungan seks. Hal ini tentunya akan membuat para orang tua
merasa khawatir. Untuk itu perlu diluruskan kembali pengertian tentang
pendidikan seks. Pendidikan seks berusaha menempatkan seks pada
perspektif yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks. Dengan
pendidikan seks kita dapat memberitahu remaja bahwa seks adalah sesuatu
yang alamiah dan wajar terjadi pada semua orang, selain itu remaja juga
dapat diberitahu mengenai berbagai perilaku seksual beresiko sehingga
mereka dapat menghindarinya.
Proses reproduksi yang bertanggung jawab
Manusia secara biologis mempunyai kebutuhan seksual. Remaja perlu
mengendalikan naluri seksualnya dan menyalurkannya menjadi kegiatan
yang positif seperti olahraga dan mengembangkan hobi yang membangun.
Penyaluran yang berupa hubungan seksual dilakukan setelah berkeluarga
untuk melanjutkan keturunan.
Pergaulan yang sehat antar remaja laki-laki dan perempuan
Remaja memerlukan informasi agar selalu waspada dan berperilaku
reproduksi yang sehat dalam bergaul dengan lawan jenisnya. Di samping itu,
remaja memerlukan pembekalan tentang kiat-kiat untuk mempertahankan
diri secara fisik maupun psikis dan mental dalam menghadapi berbagai
godaan seperti ajakan untuk melakukan hubungan seksual dan penggunaan
napza
Persiapan pranikah
Informasi tentang hal ini diperlukan agar calon pengantin lebih siap
secara mental dan emosional dalam memasuki kehidupan berkeluarga
Kehamilan dan persalinan serta cara pencegahannya
12
Remaja perlu mendapat informasi tentang hal ini sebagai persiapan
bagi remaja pria dan wanita dalam memasuki kehidupan berkeluarga di masa
depan.
b. Kegiatan Konseling
Kegiatan konseling merupakan salah satu kegiatan poskestren yang sangat
diperlukan dalam meningkatkan kesehatan reproduksi remaja. Pada umumnya
remaja merasa enggan untuk mencari penjelasan tentang kesehatan reproduksinya
kepada orang tuanya. Mereka lebih senang mencari informasi dari orang-orang
yang sebaya. Kegiatan konseling kesehatan reproduksi remaja di pesantren
dilakukan oleh kader-kader yang merupakan santri dari pondok pesantren yang
bersangkutan yang telah mendapat pembinaan dari petugas kesehatan. Sehingga
diharapkan remaja yang mempunyai masalah kesehatan reproduksi tidak sungkan
13
untuk melakukan konseling karena yang melayani konseling adalah teman-teman
santri yang sebaya dan sudah dibina oleh tenaga kesehatan sebelumnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasar pada analisis yang telah dilakukan terhadap data-data lapangan di 6
pondok pesantren yang ada di jawa timur di dapatkan bahwa 64,20% santri menderita
skabies atau kudis,73,70% diantara mempunyai masalah personal hygiene yang buruk
dan 68% santriwati mempunyai masalah siklus haid tidak teratur,keputihan dan gatal
di daeran kelamin. . Pendukung upaya perealisasian pendidikan dan pelayanan
kesehatan reproduksi remaja di pesantren adalah ketersediaan santri dalam jumlah
besar, komitmen dan tanggung jawab pengelola pesantren, dan faktor waktu
pendampingan dan pengawasan oleh pengelola yang maksima Faktor penghambatnya
antara lain minimnya keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat pesantren,
keterbatasan sarana prasarana penunjang, kurangnya pemahaman menyangkut teknis
kerja sama dalam upaya merealisasikan pelayanan kesehatan reproduksi dan
kurangnya dukungan lembaga yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan kesehatan
reproduksi,
4.2 Saran
Dalam makalah ini menyarankan agar perlu tambahan pengetahuan modern
tentang kesehatan reproduksi. Sebagai upaya menciptakan alternatif pendidikan dan
pelayanan kesehatan reproduksi remaja di pesantren, maka materi perlu dipadukan
materi tentang kesehatan reproduksi yang terdapat di dalam kitab dengan materi di
luar kitab . Hasil akhirnya adalah tersedianya silabus Kespro. Metode pengajaran
dapat dilakukan berdasarkan pilihan sebagai mata pelajaran sendiri, mata pelajaran
yang diajarkan di luar jam sekolah atau membuka kelas-kelas khusus yang bersifat
optional bagi siswa. Pengajar perlu memahami materi Kespro sehingga dapat
menyampaikan secara maksimal kepada peserta didik dan mekanisme evaluasi atas
implementasi.
14
15