Anda di halaman 1dari 3

Nama : Marvellano Junico Runtuwene

NIM : 220711010664

Pelecehan Seksual Era Digital

Pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin


meningkat. Dari Tahun 2020 kasus pelecehan terhadap perempuan yang
terjadi dalam 3 tahun terakhir yaitu pada tahun 2017 tercatat ada
348.446 kasus, kemudian pada 2018 tercatat ada 406.178 kasus, dan
pada 2019 tercatat ada 431.471 kasus.

Peningkatan kasus pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan


yang tiap tahun semakin meningkat menunjukkan bahwa perlindungan
serta keamanan perempuan di Indonesia masih rendah

Di era digital seperti sekarang ini kasus pelecehan seksual terhadap


perempuan tidak cuman terjadi secara langsung, bisa pula terjadi
melalui dunia digital. Pelecehan seksual kepada perempuan dalam dunia
digital lebih dengan dikenal istilah Kekerasan Berbasis Gender Siber
atau KBGS.

Salah satu dari Kekerasan Berbasis Gender Siber yang sering terjadi di
Indonesia adalah Revenge porn (balas dendam porno). Revenge
porn merupakan kegiatan pendistribusian atau penyebaran gambar /
video yang mengandung konten seksual tanpa persetujuan dari pihak
yang bersangkutan. Penyebaran konten seksual tersebut biasanya
dilakukan oleh kekasih, mantan kekasih, atau siapa saja yang memiliki
niat mengancam korban yang terlibat di dalam konten tersebut.

Pembuatan konten foto / video porno juga dapat dilakukan dengan


sengaja atau tidak sengaja, secara sukarela atau dalam paksaan.
Beberapa kasus foto / video telanjang direkam secara diam-diam.
Dalam pemuatan konten, korban ada di bawah ancaman bahwa pelaku
telah diam-diam memiliki foto telanjang korban kemudian memaksa
korban untuk melakukannya lagi atau foto sebelumnya akan disebar.
Sehingga korban merasa takut dan khawatir atas ancaman tersebut dan
terpaksa mematuhinya
Hal ini pun melanggar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.” Pengertian dari korban itu sendiri menuju Pasal 1
angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana.

Akibat dari revenge porn ini dinilai cukup serius bagi korban karena
dapat mengakibatkan disfungsi kehidupan sosial dan dapat
menghancurkan kehidupan korban. Dalam hal yang lain juga dapat
mempengaruhi mental korban sampai bisa melakukan bunuh diri,
mengubah identitasnya, mengalami depresi, dan lainnya.

Para pengguna media sosial yang mengetahui adanya konten seksual


seringkali bukan membela atau berada di pihak korban namun
menyalahkan dan menyudutkan korban dengan menghina,
mempermalukan dan melecehkan korban berkali-kali. Hal ini semakin
membuat korban trauma dan enggan untuk bercerita atau
mengadukannya kepada pihak penegak hukum.

Seringkali korban menyalahkan korban dalam melaporkan kekerasan


seksual yang dialaminya. Hal tersebut biasa di lakukandengan
menanyakan “apa korban menikmatinya saat beradegan didalam video?”
Perlakuan tersebut dapat diakibatkan kurangnya pengetahuan dari pihak
penegak hukum dalam menangani korban kekerasan seksual.

Jikalau mengacu pada asas persamaan dihadapan hukum yang


tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945
perlakuan yang terjadi tersebut bertentangan dengan konstitusi Negara
Republik Indonesia. Rendahnya perhatian masyarakat terhadap korban
juga menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang sadar akan
pentingnya hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi di
negara berbasis hukum seperti Indonesia.

Peraturan yang sudah mengatur tindakan revenge porn sekarang ini


dinilai hanya berfokus pada usaha pembalasan dendam kepada pelaku.
Pelaku yang sudah melakukan kejahatan harus dijatuhi hukuman pidana
penjara serta denda seberat-beratnya agar jera. Hal ini bertentangan
ultimum remidium yaitu hukum pidana hendaklah dijadikan upaya
terakhir dalam penegakan hukum.

Sehingga tindakan pelaku kemungkinan dapat terulang kembali. Serta


peraturan yang sudah ada kurang memperhatikan hak-hak korban,
dimana dalam kasus kekerasan seksual terutama revenge porn dampak
yang paling besar dari diri korban adalah keadaan psikologis korban
tersebut yang harus dipulihkan dengan terapi atau tindakan tertentu. Hal
tersebut kurang diperhatikan oleh peraturan yang ada sekarang ini.

Komnas Perempuan mengusulkan adanya pembaaruan hukum


mengenai tindak pidana kekerasan seksual yaitu dengan adanya RUU
PKS. Keberadaan RUU PKS ini sampai sekarang belum mendapatkan
pengesahan oleh DPR RI dan sempat dikeluarkan dari Prolegnas
Prioritas Tahun 2020. Akan tetapi, beberapa hari yang lalu sempat ada
kabar bahwa RUU PKS ini pun masuk kembali dalam daftar Prolegnas
Tahun 2021.

Alasan harus disahkannya RUU PKS, karena pendefinisian terkait


kekerasan seksual lebih utuh tidak hanya menyangkut fisik namun juga
nonfisik dengan mempertimbangkan adanya ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender yang sekarang ini juga sering terjadi di Indonesia.
Korban pun mendapatkan hak atas pemulihan yang meliputi pemulihan
fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya serta ganti kerugian.
Dimana peraturan yang ada sekarang masih banyak kelemahannya, jika
mengacu pada Pasal 14c KUHP, penetapan ganti rugi dijatuhkan jika
hakim ingin menjatuhkan pidana bersyarat bukan atas kehendak atau
permintaan dari pihak korban.

Dari alat bukti juga RUU PKS terlihat lebih mengaturnya secara detail
daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Pronografi. Dari
hal aparat penegak hukumnya juga diatur bahwa penyidik, penuntut
umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual harus
memiliki pengetahuan dan keahlian tetang Penanganan Korban yang
berprespektif Hak Asasi Manusia dan gender, dan harus telah mengikuti
pelatihan terkait penanganan perkara kekerasan seksual.

Anda mungkin juga menyukai