Anda di halaman 1dari 7

Memberantas Kekerasan Seksual Di Lingkungan Kampus

Andini Safitri
B011221292
Kelompok 9
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Fenomena kekerasan seksual di kampus bukanlah merupakan hal yang
baru lagi. Kekerasan seksual ini kerap dilakukan oleh kalangan terpelajar baik,
mahasiswa itu sendiri, tenaga pendidik, staf, maupun semua yang berada dalam
lingkup kampus tersebut. Namun, dibeberapa kasus kebanyakan pelakunya
adalah tenaga pendidik dan korbannya adalah mahasiswanya sendiri. Di awal
November 2021 di Universitas Riau, ada sebuah pengakuan dari mahasiswi
bahwa ia telah dilecehkan oleh Dekan FISIP. Dan ditahun yang sama, terjadi
juga kasus kekerasan seksual di Universitas Sriwijaya yang pelakunya
merupakan dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dan
contoh kasus yang terakhir yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum
dosen Universitas Negeri Makassar terhadap mahasiswi UNM.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perempuan, bahwa
kekerasan seksual dilingkungan Pendidikan antara tahun 2015-2021 paling
banyak terjadi di perguruan tinggi atau Universitas. Ada 35 laporan kekerasan
seksual di perguruan tinggi yang masuk ke Komnas Perempuan pada periode
tersebut. Ini membuktikan bahwa kasus kekerasakan seksual di dunia
Pendidikan terkhusus di lingkungan kampus masih rentan terjadi.
Dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual juga sangat
berpengaruh pada Kesehatan fisik dan mentalnya. Korban bukan hanya
mengalami luka pada fisiknya, namun berpengaruh juga pada kondisi mental
korban. Kekerasan seksual dapat menyebabkan depresi pada korban. Korban
yang mengalami kekerasan seksual biasanya mengalami trauma berat yang
menyebabkan gangguan stress pasca trauma. Gangguan ini membuat korban
memiliki rasa takut, cemas, dan stres berlebihan.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi lagi kasus seperti ini, kita harus berani
untuk bicara dan mengambil tindakan sebagai dukungan kepada sesama karena
dalam kasus ini membutuhkan banyak orang. Kita berharap korban, saksi, dan
sesama, khususnya yang terlibat di lingkup universitas mau turut terlibat dalam
mengurangi kekerasan seksual di kampus dan menyadari bahwa kasus ini
banyak terjadi di sekitar kita.
2. Rumusan Masalah
i. Bagaimana hukum bisa memberi efek jera kepada para pelaku kekerasan
seksual?
ii. Bagaimana sikap kita sebagai orang yang bersuara dan menolak keras
terhadap kekerasan seksual?
II. ISI
i. Bagaimana hukum bisa memberi efek jera kepada para pelaku kekerasan
seksual?
Di Indonesia, kekerasan seksual dapat dijerat menggunakan pasal
pencabulan yakni Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP, dengan tetap
memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing.
Sebagai contoh, bunyi pasal pelecehan seksual pada Pasal 289 KUHP :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Adapun UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual. Di dalam undang-undang ini ada 9 tindak pidana kekerasan seksual
yang diatur diantaranya, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik,
pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strelisasi, pemaksaan perkawinan,
penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan
seksual berbasis elektronik. Di antata tindak pidana tersebut, yang sering terjadi
dalam dunia Pendidikan terkhususnya di lingkup kampus ialah pelecehan
seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik. Dalam pasal 5 UU No.12 Tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu pelecehan nonfisik
disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara
nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ
reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seorang
berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaan, dipidana karena pelecehan seksual
nonfisik, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan dan/atau pidana
denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dan pada Pasal 6
tentang pelecehan seksual fisik disebutkan bahwa : (a) setiap orang yang
melakukan perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan
seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan
martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaan yang tidak
termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah), (b) Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual
secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ
reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya
secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), (c) Setiap orang yang
menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang
timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan
kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau
dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Namun dengan adanya Undang-Undang tersebut, ternyata belum cukup
membuat berkurangnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Pemerintah
seharusnya lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi terhadap para pelaku.
Sanksi kebiri merupakan sanksi yang patut dijatuhkan kepada para pelaku.
Walaupun kebiri memang diberlakukan di Indonesia, namun itu hanya berlaku
untuk kekerasan seksual terhadap anak, seharusnya hukuman tersebut juga
berlaku kepada pelaku kekerasan seksual terhadap orang dewasa, bahkan
hukuman kebiri tersebut belum bisa sebanding dengan trauma yang didapatkan
oleh korban kekerasan seksual. Menurut Dokter Umum dan Konsultasi
Seksologi Oka Negaram pelaksaan hukum kebiri memiliki efek negative
lantaran penyuntikan zat anti testosterone ini bisa menurunkan dorongan
seksual untuk sementara waktu saja.
Contoh kasus Drs. Syaiful Hamali M.Kom.I Bin H.M Ali, ia dinyatakan
bersalah karena telah melakukan perbuatan cabul terhadap seorang mahasiswi
sampai korban pingsan dan tidak berdaya. Karena perbuatannya tersebut ia
divonis penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan denga perintah terdakwa tetap ditahan. Melihat
hukum yang terlalu lemah terhadap pelaku kekerasan seksual, pemerintah
seharusnya memikirkan kembali mengenai hukuman yang lebih pantas untuk
pelaku kekerasan seksual dan membuat pelaku jera.

ii. Bagaimana sikap kita sebagai orang yang bersuara dan menolak keras terhadap
kekerasan seksual?
Bukan lagi suatu hal yang mengejutkan jika banyak pemberitaan
mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi di negara ini. Pelaku kekerasan
seksual seakan menjadikan tindakan kurang ajarnya ini sebagai kebutuhan.
Bahkan ada pelaku yang sudah diberikan sanksi namun masih saja mengulangi
tindakan tercela tersebut. Ini membuktikan bahwa memang hukum dinegara kita
tentang kekerasan seksual masih sangat lemah.
Namun entah mengapa orang-orang justru menimpakan kesalahan pada
korban dan malah bersikap pasif terhadap korban. Bukankah korban yang harus
kita beri keadilan? Mengapa kita justru menyalahkan korban dan terus
mempermalukannya? Kita tahu penderitaan yang dihadapi korban ke depannya
sangat berat. Rasa trauma dan depresi yang dirasakan akibat kelakuan pelaku
yang telah melanggar norma kesusilaan. Dengan trauma yang sangat besar itu
mempengaruhi cara pandang korban terhadap dunia, sedangkan pelaku
kekerasan seksual bebas berkeliaran tanpa beban untuk mencari korban baru.
Dapat dibayangkan, berapa banyak kekerasan seksual yang benar-benar
dapat dilaporkan dan ditindaklanjuti hingga ke ranah hukum? Namun begitu
banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir senyap, karena korban diancam
untuk tidak melapor, atau dimintai berdamai dengan pelaku. Bahkan sampai ada
korban yang dipaksa menikah dengan pelaku.
Melihat bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang yang
dikenal korban, orang yang harus ditaati dan dihormati, sehingga korban hanya
mampu diam dan tidak berani untuk melaporkannya.
Tentu sangat penting bagi kita untuk belajar bagaimana kita
menghormati tubuh kita sendiri dan tubuh orang lain. Dan untuk membantu
korban kita harus memberikan keadilan dan perhatian khusus untuk mereka
bukan hanya menyalahkan mereka karena pakaian mereka yang seharusnya
tidak mereka pakai misalnya.
Untuk mengurangi terjadinya kasus kekerasan seksual ini, kita juga
perlu melakukan penyuluhan atau edukasi kepada para pelajar ataupun
masyarakat mengenai kekerasan seksual agar tidak adanya korban maupun
bibit-bibit pelaku kekerasan seksual.
Pemerintah juga dapat membentuk Lembaga khusus untuk kekerasan
seksual disetiap daerah agar kasus kekerasan seksual ini lebih terkordinir. Dan
untuk pelaku di berikan hukuman atau sanksi yang lebih berat lagi sampai para
pelaku kekerasan seksual jera.

III. PENUTUP
1) Kesimpulan
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat
khususnya dalam lingkungan perguruan tinggi atau universitas. Korban
kekerasan seksual akan mengalami trauma dan depresi, dan akan sangat
berpengaruh untuk kehidupannya dimasa depan. Hukuman yang dijalani oleh
pelaku kekerasan seksual tidak akan sebanding dengan kondisi fisik dan mental
yang dialami oleh korban kekerasan seksual.
Hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual dalam undang-undang
masih belum kuat dilihat dari masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang
terjadi. Pemerintah perlu mempertimbangkan lagi hukuman atau sanksi yang
harus didapatkan oleh pelaku kekerasan seksual. Dan kita juga harus ikut serta
dalam mencegah adanya kekerasan seksual.
2) Saran
• Untuk korban
Kekerasan seksual baik secara fisik dan nonfisik tidak dibenarkan oleh
siapapun, maka dari itu berhati-hatilah dan selektif dalam memilih teman
bergaul, karena dengan siapun pergaulan itu dilakukan maka akan sangat
berpengaruh bagi kehidupan kita. Jangan mudah percaya dengan individu yang
baru dikenal karena individu mempunyai banyak karakteristik dalam hidupnya
jadi jangan percaya dengan janji manis yang diucapkan oleh orang terutama
yang baru dikenal. Jangan pergi sendirian, minimal harus berdua jika ingin pergi
atau bertemu dengan seseorang di suatu tempat. Tingkatkan pemahaman akan
tubuh karena pemahaman akan meningkatkan rencana apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
• Untuk orang tua
Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
Dimanapun dan kapanpun kekerasan seksual bisa saja terjadi. Siapapun bisa
menjadi pelakunya bahkan orang yang kita sendiri tidak sangka bisa menjadi
pelakunya. Orang tua harus selalu mempedulikan anaknya mengingat saat ini
era pergaulan sudah semakin bebas seiring dengan berkembangnya teknologi,
selayaknya anak harus diberi pengawasan dan pemahaman akan pergaulan dan
aturan-aturan yang berada di masyarakat. Pendidikan akan agama dan pantauan
yang konsisten akan dapat mencegah anak dari perilaku orang yang tidak
bertanggung jawab.
• Untuk pemerintah
Pemerintah wajib melakukan sosialisasi dan program edukasi kepada
semua golongan masyarakat mengenai pencegahan kekerasan seksual dan
Tindakan-tindakan serta hukuman bagi pelaku. Pemerintah wajib memberikan
perhatian pada korban kekerasan seksual, terutama pendampingan secara
psikologis sehingga memulihkan cedera mental atau trauma yang dialami oleh
korban kekerasan seksual.

Daftar Pustaka

• Friski Riana,”Deretan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus”,(2021)


1(1) Tempo.co diakses 8 oktober 2022.
• kSelema Styles,”Pandangan Hukum dalam Tindak Pelecehan
Seksual”,(2021) 1(1) Retizen Republika Blogger diakses 8 oktober 2022.
• Drs. Syaiful Hamali, M.Kom.I Bin H.M Ali, Nomor 732/Pid.B/2019/PN
Tjk, Mahkamah Agung, 12 September 2019.
• Suryani Wandari Putri Pertiwi,”Kebiri Kimia dinilai tak Efektif Beri Efek
Jera”,(2021) 1(1) Media Indonesia diakses 8 oktober 2022.
• Muhammad Genantan Saputra,”Macam-Macam Hukuman Kekerasan
Seksual dalam UU TPKS”,(2022) 1(1) Merdeka.com diakses 8 oktober
2022.
• Justika.com,”Hukum Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan
Pembuktiannya”,(2022) 1(1) Hukum Online.com diakses 8 oktober 2022.
• Kasuistika,”Saran Komnas Perempuan untuk Korban Kekerasan
Seksual”,(2017) 1(1) JawaPos.com diakses 8 oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai