Anda di halaman 1dari 6

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS)


Universitas Negeri Malang

Desinta Dwi Rapita, S.Pd.,SH.,MH


Ketua Satgas PPKS UM

Pendahuluan
Kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi perhatian kita bersama. Sepanjang tahun
2015-2021 sesuai dengan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2022, terdapat 67
kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap Perempuan di dunia pendidikan. KBG ini
terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini sampai dengan
pendidikan tinggi. Dari sebaran kasus yang ada, tampak bahwa Perguruan Tinggi menempati
urutan pertama yaitu 35 %, disusul dengan pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam
16 %, dan selanjutnya SMA/SMK 15%. Kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi juga
marak diberitakan di berbagai sosial media. Dengan kondisi ini maka bisa disebut bahwa di
lingkungan Perguruan Tinggi telah terjadi darurat kekerasan seksual. Maka upaya
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sangat penting dilakukan. Lahirnya Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30
Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut
Permendikbudristek PPKS) memberikan angin segar bagi kita semua di lingkungan
Perguruan Tinggi untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman.
Sebagai pelaksana teknis tugas pencegahan dan penanganan di lingkungan kampus, di dalam
Permendikbudristek PPKS diatur tentang Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Satgas PPKS UM bertugas memberikan pelayanan
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap seluruh civitas kampus, baik dosen,
tenaga kependidikan, mahasiswa dan warga kampus.

Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual apa pun yang dilakukan oleh
satu (atau lebih) orang atas orang lain tanpa persetujuan. Kata kunci disebut sebagai
kekerasan itu jika ada ‘paksaan’ sari satu (atau lebih pihak) yang bertujuan untuk memiliki
kuasa atas pihak yang dipaksa. Kegiatan apapun yang menganduk paksaan adalah kekerasan.
Kemudian jika kita menelaah lagi secara mendalam, kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi diatur tersendiri dalam Permendikbud ristek No 30 Tahun 2023
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS). Pasal 1
Permendikbud PPKS disebutkan bahwa kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan
merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi
seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang berakibat atau dapat
berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan
reproduksi seseorang dan menghilangkan kesempatan seseorang untuk melaksanakan
pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Kemudian disana bisa kita pahami bahwa ruang
lingkup terjadinya di Perguruan Tinggi, sehingga kata kunci berikutnya tindak kekerasan
seksual itu masih dalam lingkungan kampus dan terjadi pada civitas kampus, antara lain
dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa dan warga kampus. Namun disaat proses penanganan
maka kita tetap harus melibatkan peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan
kekerasan seksual. Yang perlu diperhatikan juga disaat kita membahas kekerasan seksual
yang bisa ditangani oleh satuan tugas PPKS berarti yang berada di lingkup kampus dimana
tujuan utamanya adalah jangan sampai mereka yang menjadi korban menjadi juga kehilangan
kesempatan untuk melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Kekerasan seksual biasanya dikarenakan karena adanya ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender. Maksudnya adalah sebuah keadaan terlapor menyahgunakan sumber daya
dan pengetahuannya, ekonomi dan/atau penerimaan Masyarakat atau status sosialnya untuk
mengendalikan korban (Komnas Perempuan, 2017). Apabila ini di lingkungan kampus bisa
jadi contohnya dosen terhadap mahasiswa, atasan terhadap bawahan, senior terhadap junior,
mahsiswa angkatan atas terhadap adik kelas, dan sebagainya. Seringkali karena relasi kuasa
inilah korban enggan dan takut untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual
yang dilakukan secara; verba, non fisik, fisik dan daring atu melalui teknologi informasi dan
komunikasi. Berdasarkan Permendikbudristek PPKS, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual di
lingkungan perguruan tinggi antara lain:
1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi
tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa
seksual pada Korban;
4. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
5. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual
kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
6. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau
visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
7. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual
tanpa persetujuan Korban;
8. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual
tanpa persetujuan Korban;
9. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan
secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
10. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk
melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
11. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau
menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
13. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
14. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
15. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan
yang bernuansa Kekerasan Seksual;
16. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
17. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat
kelamin;
18. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
19. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
20. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
21. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

Secara umum yang memberdakan kekerasan seksual dengan jenis kekerasan yang
lainnya adalah dampaknya yang amat besar dan mendalam bagi korban, tetapi dianggap
paling sulit dibuktikan. Ada beberapa konsep dasar yang perlu kita pelajari supaya dapat
lebih memahami mengapa kasus kekerasan seksual lebih sulit diproses dibandingkan jenis
kekerasan lainnya. Beriku tini beberapa konsep khas yang ada dalam kekerasan seksual:
1. Tonic immobility (kelumpuhan sementara)
Tonic immbobility merupakan keadaan lumpuh semenara yang tidak sengaja, diaman
seseorang individu tidak dapat bergerak, atau dalam banyak kasus, bahkan tak dapat
mengeluarkan suara (Molle, 2017). Korban kekerasan seksual seringkali
dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saar mengalami kekerasan,
padalah saat itu mereka masih mengalami tonic immobility.
2. Vicitim blaming (menyalahkan korban)
Victim blaming merupakan sikap yang menunjukkan bahwa korbanlah yang
bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang dialaminya, bukan pelaku.
Menyalahkan korban terjadi Ketika korban diasumsikan melakukan sesuatu untuk
memprovokasi atau menyebabkan kekerasans eksual melalui tindakan, akta0kata, atau
pakainnya. Salah satu penyebab minimnya pelapotan korban kekerasan seksual atas
kejadian yang dialimya adalah victim blaming yang dilakukan oleh bermacam pihak,
baik itu dari aparat penegak hukum, lingkungan tempat kerja maupun pendidikan,
atau bahkan angora keluaga korban sendiri. Biasanya, bentuk victim blaming yang
dilakukan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia berkisar pada cara
berpakaian korban yang dianggap “mengundang”, kata-kata dan perilaku korban yang
dianggap “provokatif”, dan respons korban yang tidak melawan pelaku. Oleh karena
itu, bila konsep tonic immobility tadi tidak dipahami, dampaknya akan terjadi pada
dua tingkat: a) Internal: menyalahkan diri sendiri atau self-blaming yang dilakukan
oleh korban terhadap dirinya sendiri; b)Eksternal: pihak lain menyalahkan korban
atau victim blaming yang dilakukan oleh orang lain terhadap korban.
3. False Accusation (Tuduhan Palsu)
Tuduhan palsu ini sering terjadi pada korban kekerasan seksual dan menyebabkan
mereka enggan untuk melapor. Tidak hanya itu banyak korban kekerasan seksual yang
kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena
dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.
4. Pembebanan Pembuktian
Pembebanan pembuktian pada kasus kekerasan seksual seolah menjadi
‘tanggungjawab’ pihak korban untuk membuktikan keabsahan kasus yang
dilaporkannya tidak jarang, saat melaporkan ke pihak berwenang, pihak korban yang
ditutut utnuk mencari identitas dan data lengkap pelaku hingga memberikan rujukan
pasal ddalam aturan hukum yang bisa digunakan oleh aparat untuk memproses
kasusnya lebih lanjut.

Pencegahan Kekerasan Seksual


Pada kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, tidak hanya perguruan tinggi yang
harus melakukan pencegahan, namun semua civitas akademik, yaitu dosen, tenaga
kependidikan dan mahasiswa harus mengambil peran. Perguruan tinggi wajib melakukan
pencegahan kekerasan seksual melalui: 1) pembelajaran; 2) penguatan tata kelola; 3)
penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan.
1. Pencegahan melalui pembelajaran dapat dilakukan oleh Pimpinan Perguruan Tinggi
dengan mewajibkan mahasiswa, pendidikan dan tenaga kependidikan untuk
mempelajari Modul PPKS yang ditetapkan Kementerian.
2. Penguatan tata kelola paling sedikit terdiri atas: merumuskan kebijakan yang
mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi;
membentuk Satuan Tugas; menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual; membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik
dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area
kampus; menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual; melatih mahasiswa,
pendidik, dan tenaga kependidikan dan warga kampus terkait upaya pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual; melakukan sosialisasi berkala terkait kekerasan
seksual; memasang tanda informasi; menyediakan akomodasi yang layak bagi
penyandang disabilitas; melakukan Kerjasama dengan instansi terkait untuk
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
3. Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidikan dan
tenaga kependidikan dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi mengenai
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada kegiatan: pengenalan
kehidupan kampus; organisasi kemahasiswaan; dan/atau jaringan komunikasi
informal mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan.

Sedangkan pencegahan kekerasan seksual oleh pendidik dan tenaga kependidikan dapat
dilakukan dengan membatasi pertemuan antara mahasiswa secara individu di luar area
kampus, di luar jam operasional kampus dan untuk penetinga lainnya tanpa persetujuan
kepala/ketua program studi atau ketua jurusan. Pencegahan juga bisa dilakukan dengan ikut
aktif berperan dalam semua kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kekerasan
seksual. Pencegahan kekerasan seksual oleh mahasiswa juga bisa dilakukan dengan
membatasi pertemuan dengan pendidik dan tenaga kependidikan secara individu di luar area
kampus, di luar jam operasional kampus dan untuk kepentingan lain selain proses
pembelajaran tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.
Penanganan Kekerasan Seksual
Perguruan Tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui: 1) pendampingan,
2) pelindungan, 3) pengenaan sanksi administratif dan 4) pemulihan korban.
1. Pendampingan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa,
pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus. Pendampingan berupa konseling,
layanan Kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan Rohani.
2. Pelindungan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa,
pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus. Pelindungan kepada korban atau
saksi ini berupa: jaminan keberlanjutan untuk menyelesaiak pendidikan bagi
mahasiswa, jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai pendidik dan/atau tenaga
kependidikan pada perguruan tinggi yang bersangkutan, jaminan pelindungan dari
ancaman fisik dan non fisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan kekerasan
seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik
kepada aparat penegak hukum, pelindungan atas kerahasiaan identitas, penyedia
informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan, penyedia akses terhadap informasi
penyelenggara pelindungan, pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak
hukum yg merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban, pelindungan
korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana, gugatan perdata atas peristiwa
kekerasan seksual yang dilaporkan, penyediaan rumah aman, dan/atai pelindungan
atas keamanan dan bebas dari ancaman yang bernaan dengan kesaksian yang
diberikan.
3. Pengenaan sanksi adminstrasi dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan
kekerasan seksual. Sanksi ini ditetapkan dengan keputusan pemimpin perguruan
tinggi berdasarkan rekomendasi satuan tugas PPKS.

Mekanisme penangan kasus kekerasan seksual di Universitas Negeri Malang dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
Hotline Pelaporan dan Informasi tentang Satgas PPKS UM

Informasi mengenai kekerasan seksual, info tentang kegiatan Satgas PPKS dan juga Hotline
Pelaporan dapar diakses melalui Instagram Satgas PPKS: @satgasppks_um.

Anda mungkin juga menyukai