Materi/Topik :
Menyoal Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren : Sudahkah tercipta Ruang Aman bagi kita
semua?
KS ADALAH adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya,
terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat
penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik.
BENTUKNYA :
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan sterilisasi;
e. pemaksaan perkawinan;
f. penyiksaan seksual;
g. eksploitasi seksual;
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
terhadap Anak;
eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas
perundang-undangan.
PS ADALAH tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau
seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa
seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian
tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman,
tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan
dan keselamatan.
2. Kekerasan seksual dalam kacamata hukum Indonesia dan fenomena kekerasan seksual di pesantren
(dapat menyebutkan sederet contoh kasus yang berkaitan);
A. Penanganan kasus tindak kekerasan seksual mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan
UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Namun sejak disahkannya RUU TPKS oleh DPR tertanggal 12 April 2022, akhirnya ada hukum
positif yang mengatur soal legalitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.
Sejarah :
Adapun yang mengusulkan adalah Komnas Perempuan. Dilansir dari Kompas.com, 24 Juni 2021, RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012. Komnas
Perempuan terus mendesak RUU PKS segera disahkan agar menjadi perlindungan bagi para korban
kekerasan seksual. Akan tetapi, sejak digagas Komnas Perempuan pada tahun 2012, pembahasan RUU
PKS tak kunjung selesai, bahkan berulang kali ditunda.
dari Komnas Perempuan, penyusunan draf RUU PKS dilakukan sejak tahun 2014 serta disusun melalui
berbagai rangkaian diskusi, dialog dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori. Komnas
Perempuan mengamati kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi dalam Catatan Tahunan Komnas
Perempuan 2001-2010. Hasilnya terdapat 15 jenis kekerasan seksual. Hal tersebut menjadi landasan
dalam kajian tentang ketersediaan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat
memberikan perlindungan bagi korban dari setiap jenis kekerasan seksual. Sejak 2014, RUU
Penghapusan Kekerasan seksual diusulkan dalam Prolegnas melalui berbagai dialog baik dengan
Pemerintah, DPR RI, maupun DPD RI.
B. Korban dari kejahatan seksual di lingkungan pesantren adalah para santriwati, yang mana usianya
masih sangat muda sekitar 14 hingga 20 tahun. Korban dari pelaku tersebut bahkan mencapai belasan,
Pelaku dari kejahatan itu sendiri tak lain adalah salah satu guru yang mengajar di sana. Pelaku
melakukan aksi bejatnya sejak tahun 2016 lalu, yang kini telah memakan 13 korban santriwati dan 8
santri diantaranya telah melahirkan 9 bayi. Kejahatan ini mulai terbongkar padaa saat Kepolisian Daerah
Jawa Barat (Polda Jabar) mendapatkan laporan dari salah satu orang tua korban. Saat itu orang tua
korban mencurigai sesuatu pada anaknya ketika pulang ke rumah. Orang tua korban menyadari bahwa
anaknya tengah hamil lalu ditemani oleh Kepala Desa, orang tua korban segera melaporkan kejadian
yang dialami anaknya ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A). Polisi berhasil menelusuri bahwa terdapat 13 santriwati yang menajdi korban kejahatan Herry
Wirawan. P2TP2A mengungkapan bahwa 11 dari 13 korban adalah orang garut. Berdasarkan
perkembangan terbaru, total korban pemerkosaan Hery Wirawan berjumlah 13.
Di Jombang, ada kasus kekerasan seksual terhadap santriwati oleh tersangka MSAT (42), putra KH
Muhammad Mukhtar Mu’thi, Pimpinan Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah, Ploso. MSAT akhirnya
menyerahkan diri kepada pihak kepolisian pada Kamis malam, 7 Juli 2022, sekitar pukul 23.35 WIB.
JOMBANG
Mas bechi Ternyata Mas Bechi diduga melakukan tindakan pelecehan seksual atas dugaan pencabulan,
pemerkosaan hingga kekerasan seksual pada tiga santriwati dengan beberapa modus.
Mulai tahun 2017 Mas Bechi telah melancarkan aksi dengan modus bejatnya.
Berdasarkan laporan-laporan dari para korban, Mas Bechi mengundang sejumlah santriwati untuk
mengikuti seleksi tenaga kesehatan untuk kliniknya.
namun, ditengah proses seleksi, para santriwati mendapat pelecehan seksual dari Mas Bechi.
Mendapati perlakuan tidak senonoh dari Mas Bechi, terdapat santriwati yang berani melapor ke Polres
Jombang dengan laporan atas dugaan pencabulan, pemerkosaan, hingga kekerasan seksual pada tiga
santriwati.
Tahun 2019:
Pada Oktober 2019, Polres Jombang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan karena pelapor
dianggap tidak memiliki bukti yang lengkap.
Setelah menolak laporan korban yang dianggap tak memiliki bukti yang lengkap, terdapat laporan lain
dari santriwati lain yang merupakan korban pelecehan seksual Mas Bechi kepada Polres Jombang.
Laporan ini dianggap memperkuat bukti oleh Polres Jombang, hingga pada Januari 2020, penyidikan
kasus pelecehan seksual oleh Mas Bechi resmi diambil alih Polda Jatim.
Pada Sabtu, 15 Februari 2020 pihak kepolisian melakukan upaya penjemputan paksa pada Mas Bechi.
Namun upaya tersebut mendapat penghadangan dan perlawanan dari pihak Pondok Pesantren
Majma'al Bahroin Hubbul Wathon minal Iman Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Menurut Kabid Humas Polda Jatim Kombes Trunoyudo Wisnu, polisi memilih untuk mundur agar situasi
kembali kondusif.
Jaksa menolak berkas kasus dugaan pelecehan seksual oleh Mas Bechi sebanyak 7 kali. Pada saat itu
pihak kepolisian sempat mempertanyakan sikap kejaksaan. Polisi menilai penolakan itu membuat
penanganan kasus jadi lambat.
Tahun 2022:
Mas Bechi resmi masuk ke dalam DPO. Penerbitan DPO karena Mas Bechi kerap mangkir dalam
panggilan polisi.
Prinsip patuh terhadap guru, merupakan hal yang penting dalam adab. Tetapi jika
disalahgunakan oleh pengasuh, maka akan menjadi celah untuk melakukan keburukan,
salah satunya adalah kekerasan dan pelecehan seksual.
2. Menggunakan dogma agama sebagai alat untuk mendominasi Tidak sedikit santri yang di
doktrin oleh para pengasuhnya, bahwa hal yang dilakukan tersebut merupakan sebuah
keharusan yang dilakukan santri pada pengasuhnya, terlebih jika santri diiming-imingi sebuah
ilmu atau kedudukan sebagai istri, sehingga santri tidak bisa melakukan penolakan.
3. Narasi kesetaraan dan keadilan gender yang belum sepenuhnya diterima oleh pesantren
Seringnya mengutamakan laki-laki dan melupakan peran perempuan, sehingga banyak
pesantren belum menerima adanya kesetaraan gender.
pelaku, yaitu:
a. Familial Abuse
demikian.
Upaya-upaya pencegahan agar kasus pemerkosaan di pesantren tidak terulang menurut Iva yakni :
-Edukasi tentang seksualitas harus dilakukan sejak dini, bagaimana seorang anak harus bisa menjaga
tubuhnya, menjaga pandangan, menjaga kemaluan. Edukasi ini dilakukan sebelum anak masuk ke
pesantren.
-Sadarkan keluarga terutama anak-anak untuk mengenali situasi potensial yang dapat menyeret ke
jurang pelecehan.
-Jangan segan dan sungkan membahas masalah pelecehan seksual yang muncul di pemberitaan media
massa.
-Latih diri dan anak-anak untuk dapat bersikap tegas walau mungkin itu bertentangan dengan
karakternya.
-Anak wajib dilatih keterampilan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Caranya dengan
menghadapkan anak dengan permasalahan sehari-hari, orangtua mengontrol apa saja yang akan
dilakukan anak bila menghadapi masalah.
5. Upaya penanganan atau penyelesaian secara hukum apabila terjadi kekerasan seksual di lingkungan
pesantren.
Cara melaporkan pelecehan seksual yang yang paling sering dilakukan adalah pergi ke kantor polisi
terdekat dan mendatangi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Hal ini wajar mengingat kantor polisi
mudah ditemui di mana saja.
Namun dianjurkan meminta pendampingan hukum sebelum melakukan pelaporan. Komnas Perempuan
akan mengeluarkan surat rekomendasi jika korban butuh pemantauan dalam proses pelaporan.