Anda di halaman 1dari 3

Nama : Adillah Salma Tsamarafatin

NIM : 07011282025120
Kelas : C Indralaya
Tugas UTS Metode Penelitian
HUBUNGAN ANTARA PAKAIAN KORBAN TERHADAP PELECEHAN SEKSUAL
A. Latar Belakang
Menurut Winarsunu (2008) pelecehan seksual adalah segala macam bentuk
perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki
oleh korbannya. Sedangkan menurut Collier (1998), pelecehan seksual merupakan
segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat
perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua
perempuan. Bentuk pelecehan seksual dapat berupa verbal, non verbal atau fisik. Segala
aktivitas yang memiliki konotasi seksual merupakan bentuk pelecehan apabila
dilakukan atas dasar pemaksaan, tanpa persetujuan kedua belah pihak, adanya indikasi
pemaksaan dan menimbulkan penderitaan terhadap salah satu pihak (korban) di
kemudian hari.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah
pelecehan seksual, KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul. Perbuatan cabul di
sini dimaknai sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin (R. Soesilo,
1991). Dalam pasal 290 KUHP terdapat setidaknya pelaku perbuatan cabul dengan
seseorang akan dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Untuk pelecehan seksual
terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak Pasal 76D dan 76E, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain” dan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Sebuah pelecehan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk, setidaknya ada
5 bentuk dalam pelecehan seksual yakni fisik, menyangkut sentuhan yang tidak
dikehendaki seperti mencium, memeluk, mengelus tengkuk; lisan, dalam bentuk
ucapan yang tidak diinginkan korban dalam ranah seksual; non-verbal (isyarat) yaitu
bahasa tubuh yang bertujuan ke arah seksual seperti menatap tubuh penuh nafsu dan
menggigit bibir; visual, menunjukkan atau mempertontonkan pornografi ke orang lain
tanpa persetujuan orang tersebut, dan psikologis yaitu sebuah permintaan atau ajakan
terus menerus yang tidak diinginkan salah satu pihak yang memiliki sifat seksual.
Bentuk-bentuk pelecehan di atas tadi dapat terjadi di mana saja, seperti tempat
umum, tempat kerja hingga tempat tidak berpenghuni sekalipun. Terhadap dan oleh
siapa saja tanpa mengenal gender, status sosial serta pendidikan, dan usia. Baik
terhadap laki-laki, perempuan, oleh seorang pemuka agama, orang terpelajar yang
memiliki status sebagai pengajar, orang terdekat seperti orang tua sendiri hingga orang
yang baru pertama kali ditemui atau tidak pernah ditemui sama sekali. Bahkan sebuah
pelecehan seksual mungkin terjadi oleh dan terhadap anak-anak di bawah umur.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual?
2. Apakah pakaian yang dikenakan korban merupakan faktor utama terjadinya
pelecehan seksual?

C. Kesenjangan Teoretis
Seperti yang sudah dijabarkan bahwasanya pelecehan seksual dapat terjadi
kepada siapa saja tanpa mengenal gender dan usia, maka faktor-faktor yang
membelakangi terjadinya pelecehan sangatlah beragam. Faktor tersebut terbagi
menjadi faktor eksternal dan internal yang keduanya dianggap sangat berpengaruh atas
terjadinya pelecehan seksual terhadap orang lain maupun sanak saudara atau keluarga
sendiri selama ini.
Faktor internal merupakan sebuah faktor yang muncul dari keinginan diri sendiri
atas dasar perlakuan tidak menyenangkan yang didapat di masa lalu serta ekspektasi
diri serta beban besar dari masyarakat sebagai pihak laki-laki yang mendominasi (tidak
menutup kemungkinan laki-laki menjadi korban pelecehan seksual, namun konstruksi
masyarakat membentuk stigma bahwa laki-laki selalu mendominasi dan menjadi pihak
yang berkemungkinan besar melakukan perbuatan jahat dalam sebuah kejahatan) serta
pihak perempuan adalah pihak yang wajib melayani seringkali menjadi alasan utama
sebuah pelecehan seksual terjadi karena objektifikasi pihak perempuan oleh laki-laki.
Sebuah hasrat seksual dan pemikiran erotis (kondisi biologis) untuk melakukan
hal dewasa yang tidak mampu dicapai melaku juga termasuk ke dalam faktor internal
dalam pelecehan seksual terhadap anak-anak. Ketidakmampuan pelaku dalam menarik
seusianya akan memberikan dorongan terhadap dirinya untuk melampiaskan hasrat
tersebut kepada anak yang dinilai tidak berdaya dalam lingkungan.
Tidak adanya kontrol diri dalam diri pelaku juga merupakan faktor internal
dalam sebuah pelecehan seksual. Setiap manusia dilahirkan dengan hawa dan nafsu
namun tidak lupa dengan adanya akal sehat pula, apabila seseorang tidak memiliki
kontrol atas dirinya sendiri maka seringkali hawa dan nafsu akan mengambil alih
seluruh logika mereka.
Selain faktor internal terdapat pula faktor eksternal yang memungkinkan sebuah
pelecehan seksual terjadi. Kebanyakan masyarakat tidak menyadari tetapi lingkungan
baik digital maupun nyata seperti lingkungan teman sepermainan dapat mempengaruhi
pola pikir seseorang tentang segala sesuatu. Informasi yang terkadang tidak diketahui
kebenarannya, masih simpang-siur buktinya akan membuat seseorang tertarik dan
penasaran yang pada akhirnya menjadikan orang tersebut sebagai pelaku pelecehan
seksual.
Tingkat pendidikan yang rendah serta ekonomi yang sulit akan memicu
seseorang bergerak melawan logika dan etika yang ada. Mereka akan cenderung
berlaku kriminal dengan dasar pendidikan dan ekonomi yang kurang memadai. Pun
dari sisi korban pelecehan seksual, tingkat pendidikan serta ekonomi yang rendah
menjadikan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri, tentang haknya
sebagai manusia yang setara dan tidak seharusnya diperlakukan rendahan dan dianggap
sebagai objek semata.
Pelecehan seksual tidak mungkin terjadi apabila tidak adanya faktor-faktor
tersebut. Pakaian yang dikenakan korban tidaklah mungkin menjadi sebuah faktor
dalam sebuah pelecehan seksual, mengingat bahwa korban pelecehan bisa datang dari
mana saja, tidak memandang gender serta usia. Anyaman benang yang dijahit
sedemikian rupa sehingga memperlihatkan lekuk tubuh seseorang bukanlah sebuah
faktor yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi, bahkan di Aceh sekalipun
dengan peraturan Islam yang mandarah daging terlapor sebanyak 202 kasus pelecehan
terhadap perempuan dan anak terjadi sepanjang triwulan I dan triwulan II tahun 2021.

Referensi
Dewi, I. A. (2019). Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Acta Comitas: Jurnal
Hukum Kenotariatan, 4, 198-212.
Dwiyanti, F. (2014). Pelecehan Seksual Pada Perempuan di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta). Jurnal Kriminologi, 10, 29-36.
Farid, M. R. (2019). Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi Kuasa: Studi
Kasus di Rifka Annisa Women's Crisis Center. Jurnal Studi Gender, 14, 175-190.
Hidayat, A., & Setyanto, Y. (2019). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual
Secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi, 3, 485-492.
Legoh, N. (2018). Pelecehan Seksual terhadap Anak Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014. Lex Crimen, VII, 47-54.
Sari, R. N., Setiati, L. D., & Indriani, A. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Hukum & Pelecehan Seksual pada Anak.
Sari, R., Nulhaqim, S. A., & & Irfan, M. (2016). Pelecehan Seksual terhadap Anak.
PROSIDING KS: RISET & PKM, 2.
Setiawan, I. P., & Purwanto, I. W. (2019). Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda
Bali). Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 8, 1-16.
Utami, S. W. (2016). Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Pelecehan Seksual pada Remaja
di Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhamadiyah Purwokerto.
Retrieved Oktober 10, 2021, from
http://repository.ump.ac.id/3830/3/SUSI%20WIJI%20UTAMI%20-
%20BAB%20II.pdf
Wahyuni, S. (2016). Perilaku Pelecehan Seksual dan Pencegahan Secara Dini Terhadap Anak.
RAUDHAH, IV.

Anda mungkin juga menyukai