Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belakangan ini, kita sering mendengar kasus-kasus kejahatan yang menyangkut tentang
tindak pelecehan seksual. Pelecehan seksual sebagai tindakan melecehkan kehormatan orang
lain, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok kepada seseorang yang berkaitan
langsung dengan jenis kelamin pihak yang bersangkutan tersebut.
Pelecehan seksual ini kini telah menjadi masalah sosial yang cukup serius dan
memprihatinkan di Indonesia. Tindak kejahatan ini seringkali dialami oleh kaum wanita.
Namun belakangan ini, pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh wanita dewasa saja, tetapi
juga banyak dialami oleh anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Seperti beberapa
waktu lalu, masyarakat dibuat geger dengan salah satu peristiwa yang dialami anak laki-laki
di salah satu Taman Kanak-kanak ternama di Jakarta yang dilakukan oleh seorang laki-laki
penderita pedofilia.
Kemajuan teknologi yang semakin pesat, teknologi yang seharusnya menadi mmedia
yang bernilai positif, sekarang menjadi salah satu media bagi tindak pelecehan seksual,
seperti Internet. Semakin hari pemikiran para generasi muda sekarang juga sudah
terpengaruh oleh budaya berpakaian bangsa Barat yang suka mempertontonkan bagian-
bagian tubuh mereka yang menjadi salah satu faktor terjadinya tindakan peleccehan seksual.
Pelecehan seksual ini tidak hanya menimbulkan dampak yang secara fisik, tetapi juga
dampak secara mental. Dampak secara fisik tidak membutuhkan waktu yang terlalau lama
untuk mengobatinya, tetapi dampak secara mental bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun
agar dapat pulih seperti sedia kala. Bahkan, ada juga yang sampai menderita masalah
kejiwaan bahkan sampai memutuskan melakukan bunuh diri, karena tidak kuat menahan
penderitaan dan rasa malu akibat pelecehan seksual yang dialaminya.
Oleh karena itu pelecehan seksual ini merupakan masalah sosial serius yang segera
membutuhkan penyelesain, agar tidak ada lagi korban akibat pelecehan seksual ini. Selain
pihak pemerintah, kita terutama kaum wanita yang lebih rentan terhadap tindak kejahatan
pelecehan seksual ini, juga harus lebih waspada dan menghindari gaya berbusana yang dapat
mengundang terjadinya tindak pelecehan seksual.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sexual harassment ?
2. Apa saja aspek dari sexual harassment ?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi sexual harassment ?
4. Apa saja bentuk dari sexual harassment ?
5. Bagaimana dampak dari sexual harassment ?
6. Apa saja perilaku dari sexual harassment ?
7. Apa saja hukum yang membahas tentang sexual harassment ?
8. Bagaimana usaha untuk mencegah terjadinya sexual harassment ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari sexual harassment.
2. Untuk mengetahui aspek-aspek dari sexual harassment.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi sexual harassment.
4. Untuk mengetahui bentuk dari sexual harassment.
5. Untuk mengetahui dampak dari sexual harassment.
6. Untuk mengetahui perilaku dari sexual harassment.
7. Untuk mengetahui hukum yang membahasa tentang sexual harassment.
8. Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya sexual harassment.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Sexual Harassment
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang terhadap
orang lain yang melibatkan rangsangan seksual dan dapat menyebabkan gangguan baik fisik
maupun psikis. Kekerasan seksual tidak hanya menyebabkan gangguan fisik dan psikis tetapi
juga mengakibatkan gangguan sosial bahkan dapat merusak masa depan (Wulandari &
Suteja, 2019). Pelecehan seksual merupakan epidemi di seluruh sistem pendidikan tinggi
global dan berdampak besar pada individu, kelompok, dan seluruh organisasi (Bondestam &
Lundqvist, 2020).
Pelecehan seksual merupakan istilah hukum dan konstruksi psikologis untuk
menggambarkan suatu rangkaian perilaku. Secara hukum, pelecehan seksual adalah salah
satu bentuk diskriminasi gender yang ilegal. Pelecehan seksual adalah ilegal jika sering
terjadi atau cukup parah sehingga menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat atau
mengakibatkan keputusan kerja yang merugikan. Insiden tersendiri seperti lelucon yang
jarang terjadi atau komentar yang tidak disengaja bukanlah tindakan ilegal. (Aycock et al,
2019)
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya (Fernet, 2019). Bentuknya
dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
Aktivitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-
unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku,
kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan
mengakibatkan penderitaan pada korban (Widiyanti et al, 2023).
Kekerasan seksual merupakan kenyataan yang menakutkan dan tidak menyenangkan
karena dampaknya yang bisa menghancurkan masa depan. Pelecehan seksual (SH) terjadi
ketika orang menjadi sasaran komentar, gerak tubuh, atau tindakan seksual yang tidak
diinginkan karena gender, ekspresi gender, atau seksual mereka yang sebenarnya atau yang
dirasakan orientasi. Meskipun tempat kerja SH yang menerima paling banyak Perhatian
peneliti psikologi, SH juga terjadi di angkutan umum dan di tempat umum lainnya, di bidang
pendidikan dan pengaturan atletik, di rumah, di pertemuan sosial, dan online kelompok. Hal

3
ini dapat disampaikan melalui berbagai cara termasuk interaksi tatap muka; melalui telepon,
SMS, media sosial, atau email; melalui pemajangan bahan atau benda; atau dengan merusak
dengan wilayah dan harta benda pribadi (Shawn Meghan, 2019).

1.2 Aspek-Aspek Sexual Harassment


Mayer (1987) menyatakan secara umum dua aspek penting dalam pelecehan seksual,
yaitu aspek perilaku dan aspek situasional. (Choirunnisa,2021).
a. Aspek Perilaku
Pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya,
dimana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar,
terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk umum dari pelecehan
seksual adalah verbal dan godaan secara fisik dimana pelecehan secara verbal lebih
banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan dalam bentuk
verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual
yang terus-menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak, pesan
yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan
sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau aktivitas seksual perempuan,
permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman tidak langsung
maupun terbuka (Salmani, 2021).
b. Aspek Situasional
Pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi tertentu.
Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur,
karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan
pendapatan (Minnotte & Legerski, 2019). .

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek pelecehan seksual


adalah aspek perilaku dan aspek situasional.

4
1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sexual Harassment
Menurut Neherta (2017:3) banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan seksual, diantaranya (Ahyun et al, 2022):

a. Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah.
b. Nutrisi fisik yaitu hormon yang terkandung dalam makanan masa kini semakin
membuat individu anak matang sebelum waktunya, yang sudah matang menjadi lebih
tinggi dorongan seksualnya.
c. Nutrisi psikologis yaitu tayangan kekerasan, seks dan pornografi.
d. Perkembangan internet dan gadget yang memungkinkan transfer dan transmisi materi
porno semakin cepat.
e. Fungsi otak manusia yang khas, neurotransmitter, kapasitas luhur manusia telah
membuat individu menjadi kecanduan seks, terutama pada individu di bawah 25
tahun dalam masa perkembangan mereka.
f. Lack Of Safety dan Security System yang tidak benar-benar melindungi anak dan
perempuan bersamaan dengan memudarnya pendidikan nilai-nilai pekerti dan
karakter anak Indonesia.
g. Gaya hidup dan kesulitan ekonomi.
h. Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya
perlindungan diri cenderung ditolak, diterjemahkan sederhana sebagai pendidikan
seks dan bahkan diabaikan yang pada akhirnya justru menghambat proses persiapan
perlindungan anak.
i. Sistem sosial masyarakat yang masih banyak mengandung kekerasan

Sedangkan menurut Yatimin (2001:84-88) mengemukakan bahwa faktor faktor


terjadinya pelecehan seksual adalah sebagai berikut (Alifia, 2021):

1) Faktor Psikologis
Merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
seseorang yang bisa merasakan senang dan tidak, yang disebabkan oleh latar
belakang si penderita, dikarenakan pernah mengalami pelecehan seksual pada
masa kanak-kanaknya.

5
2) Faktor Sosiokultural (sosial budaya)
Faktor sosial dan kebudayaan ini dapat mempengaruhi tingkah laku
seseorang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, menyebabkan
informasi baik dan buruk tidak dapat kita tahan. Sehingga informasi negatif dan
positif dapat diakses secara mudah, termasuk situs-situs porno yang tidak layak
ditonton tapi sangat mudah diakses oleh berbagai kalangan.
3) Faktor Pendidikan dan Keluarga
Pendidikan dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
dan pembentukan seseorang. Karena keluarga merupakan tempat pertama
meletakan dasar kepribadian anak. Sikap dan tindakanan apapun yang dilakukan
oleh orang tua dijadikan contoh anak dalam bersikap dan berperilaku
4) Faktor Fisiologis (biologis)
Faktor fisiologis ini juga sangat berpengaruh dalam menentukan perilaku
seseorang. Kondisi jasmani yang tidak sehat akan berpengaruh terhadap
perkembangan seseorang, termasuk kebutuhan biologis dalam memenuhi nafsu
seksualnya yang tinggi.

Di samping adanya faktor-faktor di atas yang menyebabkan terjadinya pelecehan


seksual, juga adanya pengaruh lingkungan, diantaranya adalah banyaknya video-video
dan gambar-gambar serta film porno yang beredar bebas di kalangan masyarakat.
Dengan beredarnya media-media porno tersebut, berakibat banyak terjadinya pelecehan
seksual. Faktor-faktor terjadinya pelecehan seksual juga dapat dibagi menjadi dua
(Keplinger, 2019) :

1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor pelecehan seksual yang berasal dari dalam diri
pelaku. Adanya gangguan kejiwaan yang mempengaruhi pelaku, misalnya adalah
pelaku mengalami gangguan kejiwaan seks yang abnormal. Dengan adanya
gangguan tersebut maka akan mendorong pelaku melakukan kejahatan seksual
kepada orang lain. Seseorang pelaku yang mengalami kelainan jiwa dapat
melakukan perbuatan-perbuatan kriminal seperti pemerkosaan dan hal-hal lain yang
menimbulkan kejahatan seksual kepada siapa saja (Azis, & Arif, 2023).

6
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Tingginya
kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau pemerkosaan yang terjadi di sekeliling kita,
menunjukan bahwa faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap moral seseorang.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tanpa batas menyebabkan dampak
yang negatif bagi manusia. Selain itu keadaan ekonomi seseorang juga dapat
menyebabkan seseorang melakukan kejahatan seksual. Adanya uang dan jabatan
memudahkan pelaku untuk berlaku semena-mena. Pengaruh pola asuh dalam
keluarga serta lingkungan seseorang juga dapat berpengaruh pada pribadi pelaku
yang mendorong untuk melakukan pelecehan seksual (Iqbal & Fawzea, 2020).

Faktor-faktor di atas sangat berpengaruh terhadap perkembangan keperibadian


seseorang, orang yang pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kecil
menyebabkan mereka mengalami gangguan mental dan fisik dari apa yang mereka
alami dulu. Ketika dewasa cenderung melakukan perbuatan yang sama pada orang lain.

1.4 Bentuk-Bentul Sexual Harassment


Secara umum, pelecehan seksual ada 5 bentuk, yaitu :
a. Pelecehan Fisik
Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah keperbuatan seksual seperti mencium,
menepuk, memeluk, mencubit, mengelus, memijat tengkuk, menempelkan tubuh atau
sentuhan fisik lainnya. Sentuhan seksual yang tidak diinginkan, seperti meraih, mencubit,
merabaraba, dengan sengaja menyentuh orang lain secara seksual, juga dianggap sebagai
perhatian seksual yang tidak diinginkan (Diehl, 2018).
b. Pelecehan Lisan
Ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau
bagian tubuh atau penampilan seseorang, termasuk lelucon dan komentar bermuatan
seksual. Pelecehan lisam termasuk yang menunjukkan sikap menghina, bermusuhan, dan
merendahkan gender, identitas gender, atau orientasi seksual seseorang (Choi &
Kulkarni, (2020).

7
c. Pelecehan Non-Verbal/ isyarat
Bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan
berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat bibir,
atau lainnya. (Putri, 2019).
d. Pelecehan Visual
Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun,
screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media lainnya.
e. Pelecehan Psikologis/Emosional
Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak
diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat
seksual. Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam berbagai
bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik secara
tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh tertentu) hingga ajakan yang
dilakukan secara terang-terangan dan serangan seksual (Santrock, 2007).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual


adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-verbal/isyarat, pelecehan visual, dan
pelecehan psikologis/emosional

1.5 Dampak Sexual Harassment


Menurut Neherta (2017:5) kekerasan seksual berdampak pada psikologis, fisik dan
tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan. Berikut ini dampak
dari kekerasan seksual :
1. Dampak Psikologis
a. Depresi
Menyalahkan diri sendiri erat kaitannya dengan depresi. Depresi adalah gangguan
mood yang terjadi ketika perasaan yang diasosiasikan dengan kesedihan dan
keputusasaan terus terjadi berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama hingga
mengganggu pola pikir sehat.

8
b. Sindrom Trauma Perkosaan
Sindrom trauma perkosaan (Rape trauma syndrome) adalah bentuk turunan dari
PTSD (gangguan stres pasca trauma) sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi
korban. Pasca kejadian korban sering mengalami insomnia, mual dan muntah, respon
mudah kaget dan terkejut, sakit kepala, agitasi, isolasi, mimpi buruk serta
peningkatan rasa takut dan cemas.
c. Disosiasi
Disosiasi isilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas.
Disosiasi merupakan salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk mengatasi trauma kekerasan seksual.

2. Dampak Fisik
a. Gangguan Makan
Kekerasan seksual sangat mempengaruhi fisik korban seperti mempengaruhi
persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan.
Beberapa korban akan menggunakan makan sebagai pelampiasan dalam mengatasi
trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
b. Hypoactive Sexual Desire Disorder
Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD/IDD) adalah kondisi media yang
menandakan hasrat seksual yang rendah. Kondisi ini juga umum disebut apatisme
seksual atau tidak adanya keinginan seksual.
c. Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan
seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan pada
wanita.
d. Vaginismus
Ketika seorang wanita memiliki vaginismus, otot-otot vaginanya mengejang
dengan sendirinya saat sesuatu memasukinya seperti tampon atau penis. Hal ini dapat
terasa tidak nyaman atau sangat menyakitkan.

9
e. Diabetes Type 2
Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive Medicine,
peneliti menyelidiki hubungan antara kekerasan seksual yang dialami oleh anak atau
remaja dan diabetes tipe 2, hasil penelitian melaporkan bahwa 34% dari 67.853
partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami
kekerasan seksual.

1.6 Perilaku Sexual Harassment


Pelaku Kekerasan Seksual menurut (Suwandi et al, 2019) hubungan korban dengan
perilaku dipetakan menjadi beberapa kategori, yaitu :
a. Intra Familial Abuse
Intra familial abuse, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang
yang masih memiliki hubungan darah dengan korban atau yang merupakan bagian
dari keluarga inti dari korban seperti ayah, paman, kakek, atau saudara kandung.
Intra familial abuse ini termasuk didalamnya kategori incest.
b. Extra Familial Abuse
Extra familial abuse, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain
diluar dari keluarga korban. Pada kasus kekerasan seksual yang pelakunya dari luar
keluarga korban ini biasanya dilakukan oleh teman sebaya, tetangga, pacar, bahkan
sampai orang asing.

Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun
2018, menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah
mengalami kekerasan seksual. Hasil SNPHAR 2018 juga menunjukkan anak tidak hanya
menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya pelaku kekerasan
baik baik fisik maupun non fisik paling banyak dilaporkan adalah teman sebayanya (47%-
73%) (Kemenpan, 2019). Hasil penelitian lain juga mengatakan bahwa 40% pelaku
kekerasan seksual adalah temannya sendiri. (Neherta, 2017) Seorang pelaku kekerasan
seksual yang berasal dari luar keluarga korban biasanya pintar dalam merayu korban. Pelaku
melakukan pendekatan dengan baik yang bertujuan agar korban mempercayai segala ucapan

10
yang dikatakannya. Pelaku melakukan rencananya secara bertahap dari awal hingga akhir
hingga tujuan utamanya yaitu melakukan kekerasan seksual pada anak berjalan dengan
sempurna.

1.7 Hukum Tentang Sexual Harassment


Secara garis besar, pelecehan seksual dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu:
pelecehan seksual secara fisik atau non verbal dan verbal. Pelecehan seksual fisik atau non
verbal dapat berupa menyentuh, meraba, memegang anggota tubuh korban dan korban
dipermalukan dan terintimidasi atas tindakan tersebut. Tindakan pelecehan seksual ini
kemudian berlanjut dengan mencium atau bahkan memperkosa korban. Pelecehan seksual
dengan verbal, kalimat atau kata-kata yang dialamatkan kepada korban sehingga korban
dipermalukan dan terintimidasi. Selain itu juga tindakan siul dari seseorang tak dikenal
kepada wanita yang lewat dimuka publik dan tindakantindakan lainnya yang dilakukan
dengan katakata/verbal.
Berbagai dampak yang diterima oleh wanita ketika menjadi korban catcalling,
dintaranya adalah terganggunya kesehatan mental dan rasa takut untuk menghadapi
lingkungan. Kesehatan mental dapat terganggu karena wanita yang diberi komentar
mengania fisik atau bagian tubuh yang tidak dapat dikatakan sebagai salah satu pujian
melainkan sebuah gangguan. Karena catcalling memiliki pengaruh buruk pada penurunan
tingkat self-esteem atau harga diri wanita.7 Wanita dapat merasa tidak percaya diri lagi,
dapat merasa dirinya tidak terlalu bernilai dimata orang lain dan kemungkinan memikirkan
hal tersebut secara berlebih atau overthinking. Tingkat keparahan pada penurunan dari self-
esteem dapat berujung pada penyebab dari depresi, karena rasa kurang percaya diri dapat
membatasi ruang untuk berekspresi. Wanita yang menjadi korban catcalling akan memiliki
waktu lebih banyak untuk menyendiri, rasa takut pada lingkungan sosial, mereka akan
merasa sebagai obyek laki-laki dan memikirkan bagaimana pandangan laki-laki tersebut
terhadap dirinya. Dari pemaparan di atas tentang pelecehan seksual verbal maka bentuk-
bentuk pelecehan seksual verbal antara lain :

11
1. Bersiul pada wanita yang tujuannya untuk menggoda wanita tersebut;
Orang yang melakukannya dapat dijerat ke dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal
296 KUHP. Pasal 289 KUHP menentukan bahwa: Barangsiapa dengan kekerasan atau
dengan ancamaan kekerasan memaksa seorang melakukan atau membiakan dilakukan
padanya perbuatan cabul, karena perbuatan yang merusak kesusilaan, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. Yang diancam hukuman dalam pasal ini
ialah orang yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa
seseorang agar ia membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan. Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang berhubungan dengan
nafsu kekelaminan, misalnya bercium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
merabaraba buah dada dan sebagainya.
2. Menggoda wanita yang tidak dikenal;
Perbuatan yang dianggap sepele dan iseng belaka dapat dijerat dengan pasalpasal
tentang Pencabulan. Pasal-pasal tentang Pencabulan di atur dalam Pasal 289 KUHP
sampai dengan Pasal 296 KUHP.
3. Memberi komentar yang berbau hal yang sensitif kepada seorang wanita;
Perbuatan yang dianggap remeh dan sekarang ini sangat sering dilakukan oleh
orang-orang yaitu memberikan komentar-komentar yang tidak mengenakkan wanita yang
mendengarnya seperti komentar yang berbau pornografi atau mengucapkan kata ‘sexy,
gede dan berbagai macam komentar yang vulgar sifatnya, akan dijerat dengan Pasal 315
KUHP tentang Penghinaan ringan.
Pasal 315 KUHP menentukan bahwa: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang
tidak bersifat mencemar atau mencemar dengan surat yang dilakukan terhadap seseorang,
baik di muka umum atau dengan lisan atau dengan surat, baik di muka orang itu sendiri
dengan lisan atau dengan perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan
kepadanya, karena bersalah melakukan penghinaan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyakbanyaknya empat ribu
lima ratus rupiah. Penjelasan pasal menyebutkan bahwa apabila penghinaan itu
dilaakukan dengan jalan menuduhkan suatu perbuatan terhadap seseorang, masuk dalam
Pasal 310 atau Pasal 311. Apabila dengan jalan lain, misalnya dengan katakata keji yang
menurut pendapat umum dapat digolongkan sebagai kata-kata penghinaan, masuk Pasal

12
315 dan disebut dengan ‘penghinaan ringan’.10 Supaya dapat ditunutut dengan Pasal 315
ini, kata-kata hinaan yang dikemukakan secara lisan atau tertulis itu harus dilakukan di
temapt umum. Dalam keadaan demikian, yang dihina tidak perlu berada di tempat itu.
4. Menceritakan sesuatu yang bersifat seksual kepada orang;
Dengan kata lain adalah bergosip, dan yang digosipkan adalah bentuk tubuh wanita
dan bagian tubuh lainnya. Perbuatan ini dapat dijerat dengan Pasal 310 KUHP karena
terkategori sebagai perbuatan pencemaran di muka umum. Pasal 310 KUHP menentukan
bahwa :
a) Barangsiapa dengans engaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan
jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan, dengan maksud yang nayata untuk
menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui umum, karena bersalah menista orang,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banykanya emapt ribu lima ratus rupiah
b) Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambaran, yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan maka karena bersalah mencemar orang dengan surat, si pembuat
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau
denda sebanyakbanykanya empat ribu lima ratus rupiah.
c) Tidak dapat dikatakan mencemar atau mencemar dengan surat jika nyata
perbuatan itu dilakukan untuk memeprtahankan kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk mempertahankan diri.

Menurut penjelasan pasal, menghina adalah ‘menyerang kehormatan’ dan ‘nama


baik’ seseorang. Akibat dari serangan ini, biasanya penderita akan merasa malu.
Kehormatan yang diserang disini bukan kehormatan dalam bidang seksual, tetapi
kehormatan yang menyangkut nama baik.

5. Menanyakan hal-hal yang bersifat seksual, membuat orang tidak nyaman;


Perbuatan ini dapat dijerat dengan Pasal 281 KUHP karena yang dibicarakan
adalah hal yang tidak disukai oleh orang yang dibicarakan. Pasal 281 KUHP menentukan
bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah:

13
1. barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di hadapan umum;
2. barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di muka orang lain hadir tidak
dengan kemauannya sendiri.

Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa yang diancam hukuman dengan pasal ini
misalnya:
a) melakukan persetubuhan di tempat yang tidak semestinya demikian rupa,
sehingga kelihatan oleh orang-orang lain yang berlalu-lintas di dekat tempat itu
dan menimbulkan rasa malu dan rasa jijik yang sangat pada mereka
b) melakukan persetubuhan di dalam kamar dengan jendela terbuka demikian rupa,
sehingga kelihatan oleh tetangga yang tinggal didekat rumah itu dan
menimbulkan rasa malu dan jijik yang sangat pada tetangga itu.

1.8 Pencegahan Sexual Harassment


Kekerasan seksual dapat diatasi dan dicegah. Pencegahan dapat dilakukan oleh diri
sendiri. Berikut hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual
(Wahyuni, 2022):
a. Mempelajari mengenai pendidikan seksual.
b. Menanamkan rasa malu seperti tidak membuka baju di tempat terbuka, juga tidak
buang air kecil selain di kamar mandi.
c. Hindari memakai pakaian yang terlalu terbuka, karena bisa menjadi rangsangan bagi
tindakan pelecehan seksual.
d. Hindari menonton tayangan pornografi baik film atau iklan.
e. Jangan mudah mempercayai orang yang baru dikenal baik secara langsung maupun
tidak langsung.
f. Jangan menghabiskan waktu dengan orang asing.
g. Tidak menerima pemberian barang atau makanan dari orang asing.
h. Menjaga komunikasi dengan orang tua, keluarga ataupun guru di sekolah.
i. Mengisi waktu luang dengan hal-hal positif yang disukai.
j. Membatasi penggunaan internet untuk hal-hal yang tidak jelas.

14
Upaya pencegahan kekerasan seksual juga dapat dibagi menjadi 3 tahapan (Rindu et al
2022).

a. Tahap pertama (primer) mencakup edukasi dan layanan proteksi sesuai usia anak,
b. Tahap kedua (sekunder) mencakup deteksi dini kasus, konseling keluarga, dan
penanganan korban
c. Tahap ketiga (tersier) mencakup rehabilitasi dan persiapan kembali ke komunitasnya

15
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Pelecehan seksual adalah perilaku yang melibatkan tindakan tidak senonoh, komentar, atau
perlakuan yang bersifat seksual tanpa persetujuan dari pihak yang disasar. Pelecehan seksual
dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pelecehan gender, perilaku menggoda,
penyuapan seksual, pemaksaan seksual, dan pelanggaran seksual lainnya. Kasus pelecehan
seksual seringkali tidak terdeteksi karena korban merasa malu untuk melaporkan atau
menanggung beban sendiri. Pelecehan seksual juga dapat menyebabkan trauma pada korban,
sehingga perlu adanya media untuk meringankan trauma dan memberikan pendidikan
pencegahan pelecehan seksual.Dengan demikian, penanganan pelecehan seksual memerlukan
pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pendidikan, penegakan
hukum, dan dukungan psikologis bagi korban

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahyun, F. Q., Solehati, S., & Prasetiya, B. (2022). Faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual
serta dampak psikologis yang dialami korban. Al-ATHFAL: Jurnal Pendidikan Anak,
3(2), 92-97.

Aleng, C. A. (2020). Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal. Lex
Crimen, 9(2).

Alifia, L. (2021). Peran Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Tasikmalaya Dalam
Menangani Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2018 (Bachelor's thesis, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Aycock, L. M., Hazari, Z., Brewe, E., Clancy, K. B., Hodapp, T., & Goertzen, R. M. (2019).
Sexual harassment reported by undergraduate female physicists. Physical Review Physics
Education Research, 15(1), 010121.

Azis, A., Rahman, S., & Arif, M. (2023). Studi Kriminologi Kejahatan Seksual Terhadap Anak
Di Kabupaten Gowa. Journal of Lex Generalis (JLG), 4(2), 715-731.

Bondestam, F., & Lundqvist, M. (2020). Sexual harassment in higher education–a systematic
review. European Journal of Higher Education, 10(4), 397-419.

Burn, S. M. (2019). The psychology of sexual harassment. Teaching of Psychology, 46(1), 96-
103.

Choi, C., & Kulkarni, M. P. (2020). In one month, STOP AAPI HATE receives almost 1500
incident reports of verbal harassment, shunning, and physical assaults. Los Angeles:
Asian Pacific Policy & Planning Council.

Choirunnisa, S. (2021). Legal Protection Against Women Victims of Sexual Harassment Through
Social Media (Cyberporn). The Indonesian Journal of International Clinical Legal
Education, 3(3), 367-380.

17
Diehl, C., Rees, J., & Bohner, G. (2018). Predicting sexual harassment from hostile sexism and
short-term mating orientation: Relative strength of predictors depends on situational
priming of power versus sex. Violence Against Women, 24, 123–143. doi:10.1002/
ab.21553

Fernet, M., Lapierre, A., Hébert, M., & Cousineau, M. M. (2019). A systematic review of
literature on cyber intimate partner victimization in adolescent girls and women.
Computers in Human Behavior, 100, 11-25.

Iqbal, M., & Fawzea, K. (2020). Psikologi pasangan: Manajemen konflik rumah tangga. Gema
Insani.

Keplinger, K., Johnson, S. K., Kirk, J. F., & Barnes, L. Y. (2019). Women at work: Changes in
sexual harassment between September 2016 and September 2018. PloS one, 14(7),
e0218313.

Minnotte, K. L., & Legerski, E. M. (2019). Sexual harassment in contemporary workplaces:


Contextualizing structural vulnerabilities. Sociology Compass, 13(12), e12755.

Neherta, M., Maisa, E. A., & Sari, Y. (2019). Intervention of sexual abuse prevention for mother
of children with mental retardation in Payakumbuh Indonesia 2016. Indian J Public
Health Res Dev, 10, 461-6.

Putri, N. W. E. (2019, March). NON VERBAL COMMUNICATION MEANS OF PROVIDING


HINDU'S PEOPLE (CASE STUDY: HARASSMENT OF HINDU CULTURAL
SYMBOLS BY YOUNG HINDU GENERATIONS THROUGH FALLING STARS
CHALLENGE). In Proceeding International Seminar (ICHECY) (Vol. 1, No. 1).

Rindu, R., Abdi, A., Afifa, A., Dewi, D., Himawati, H., Muhammad, M., ... & Suyatno, S. (2022).
Peningkatan Pengetahuan tentang Pencegahan Kekerasan Seksual pada Usia Remaja.
Jurnal Pengabdian Masyarakat Saga Komunitas, 2(1), 148-154.

Salmani Nodoushan, M. A. (2021). Demanding versus asking in Persian: Requestives as acts of


verbal harassment. International Journal of Language Studies, 15(1).

18
Suwandi, J., Chusniatun, C., & Kuswardani, K. (2019). Karakteristik Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Perempuan Di Wonogiri Dan Boyolali. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
29(1), 65-77.

Wahyuni, S., Nurbayani, S., Kesumaningsih, I., & Hargono, D. (2022). Korban Dan/Atau
Pelaku: Atribusi Victim Blaming pada Korban Kekerasan Seksual Berbasis Gender di
Lingkungan Kampus. Brawijaya Journal of Social Science, 2(1), 1-17.

Widiyanti, N. Y., Mahmud, H., & Yudanto, D. (2023). Kajian Yuridis Tindak Pidana Pelecehan
Seksual dan Ancaman Kekerasan Pada Anak (Studi Kasus Pengadilan Negeri
Karanganyar Nomor 2/Pid. Sus-Anak/2020/PN. KRG.). JURNAL BEVINDING, 1(01),
142-147.

Wulandari, R., & Suteja, J. (2019). Konseling pendidikan seks dalam pencegahan kekerasan
seksual anak (ksa). Prophetic: Professional, Empathy, Islamic Counseling Journal, 2(1),
61-82.

19

Anda mungkin juga menyukai