PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sexual harassment ?
2. Apa saja aspek dari sexual harassment ?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi sexual harassment ?
4. Apa saja bentuk dari sexual harassment ?
5. Bagaimana dampak dari sexual harassment ?
6. Apa saja perilaku dari sexual harassment ?
7. Apa saja hukum yang membahas tentang sexual harassment ?
8. Bagaimana usaha untuk mencegah terjadinya sexual harassment ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari sexual harassment.
2. Untuk mengetahui aspek-aspek dari sexual harassment.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi sexual harassment.
4. Untuk mengetahui bentuk dari sexual harassment.
5. Untuk mengetahui dampak dari sexual harassment.
6. Untuk mengetahui perilaku dari sexual harassment.
7. Untuk mengetahui hukum yang membahasa tentang sexual harassment.
8. Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya sexual harassment.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Sexual Harassment
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang terhadap
orang lain yang melibatkan rangsangan seksual dan dapat menyebabkan gangguan baik fisik
maupun psikis. Kekerasan seksual tidak hanya menyebabkan gangguan fisik dan psikis tetapi
juga mengakibatkan gangguan sosial bahkan dapat merusak masa depan (Wulandari &
Suteja, 2019). Pelecehan seksual merupakan epidemi di seluruh sistem pendidikan tinggi
global dan berdampak besar pada individu, kelompok, dan seluruh organisasi (Bondestam &
Lundqvist, 2020).
Pelecehan seksual merupakan istilah hukum dan konstruksi psikologis untuk
menggambarkan suatu rangkaian perilaku. Secara hukum, pelecehan seksual adalah salah
satu bentuk diskriminasi gender yang ilegal. Pelecehan seksual adalah ilegal jika sering
terjadi atau cukup parah sehingga menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat atau
mengakibatkan keputusan kerja yang merugikan. Insiden tersendiri seperti lelucon yang
jarang terjadi atau komentar yang tidak disengaja bukanlah tindakan ilegal. (Aycock et al,
2019)
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya (Fernet, 2019). Bentuknya
dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
Aktivitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-
unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku,
kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan
mengakibatkan penderitaan pada korban (Widiyanti et al, 2023).
Kekerasan seksual merupakan kenyataan yang menakutkan dan tidak menyenangkan
karena dampaknya yang bisa menghancurkan masa depan. Pelecehan seksual (SH) terjadi
ketika orang menjadi sasaran komentar, gerak tubuh, atau tindakan seksual yang tidak
diinginkan karena gender, ekspresi gender, atau seksual mereka yang sebenarnya atau yang
dirasakan orientasi. Meskipun tempat kerja SH yang menerima paling banyak Perhatian
peneliti psikologi, SH juga terjadi di angkutan umum dan di tempat umum lainnya, di bidang
pendidikan dan pengaturan atletik, di rumah, di pertemuan sosial, dan online kelompok. Hal
3
ini dapat disampaikan melalui berbagai cara termasuk interaksi tatap muka; melalui telepon,
SMS, media sosial, atau email; melalui pemajangan bahan atau benda; atau dengan merusak
dengan wilayah dan harta benda pribadi (Shawn Meghan, 2019).
4
1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sexual Harassment
Menurut Neherta (2017:3) banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan seksual, diantaranya (Ahyun et al, 2022):
a. Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah.
b. Nutrisi fisik yaitu hormon yang terkandung dalam makanan masa kini semakin
membuat individu anak matang sebelum waktunya, yang sudah matang menjadi lebih
tinggi dorongan seksualnya.
c. Nutrisi psikologis yaitu tayangan kekerasan, seks dan pornografi.
d. Perkembangan internet dan gadget yang memungkinkan transfer dan transmisi materi
porno semakin cepat.
e. Fungsi otak manusia yang khas, neurotransmitter, kapasitas luhur manusia telah
membuat individu menjadi kecanduan seks, terutama pada individu di bawah 25
tahun dalam masa perkembangan mereka.
f. Lack Of Safety dan Security System yang tidak benar-benar melindungi anak dan
perempuan bersamaan dengan memudarnya pendidikan nilai-nilai pekerti dan
karakter anak Indonesia.
g. Gaya hidup dan kesulitan ekonomi.
h. Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya
perlindungan diri cenderung ditolak, diterjemahkan sederhana sebagai pendidikan
seks dan bahkan diabaikan yang pada akhirnya justru menghambat proses persiapan
perlindungan anak.
i. Sistem sosial masyarakat yang masih banyak mengandung kekerasan
1) Faktor Psikologis
Merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
seseorang yang bisa merasakan senang dan tidak, yang disebabkan oleh latar
belakang si penderita, dikarenakan pernah mengalami pelecehan seksual pada
masa kanak-kanaknya.
5
2) Faktor Sosiokultural (sosial budaya)
Faktor sosial dan kebudayaan ini dapat mempengaruhi tingkah laku
seseorang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, menyebabkan
informasi baik dan buruk tidak dapat kita tahan. Sehingga informasi negatif dan
positif dapat diakses secara mudah, termasuk situs-situs porno yang tidak layak
ditonton tapi sangat mudah diakses oleh berbagai kalangan.
3) Faktor Pendidikan dan Keluarga
Pendidikan dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
dan pembentukan seseorang. Karena keluarga merupakan tempat pertama
meletakan dasar kepribadian anak. Sikap dan tindakanan apapun yang dilakukan
oleh orang tua dijadikan contoh anak dalam bersikap dan berperilaku
4) Faktor Fisiologis (biologis)
Faktor fisiologis ini juga sangat berpengaruh dalam menentukan perilaku
seseorang. Kondisi jasmani yang tidak sehat akan berpengaruh terhadap
perkembangan seseorang, termasuk kebutuhan biologis dalam memenuhi nafsu
seksualnya yang tinggi.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor pelecehan seksual yang berasal dari dalam diri
pelaku. Adanya gangguan kejiwaan yang mempengaruhi pelaku, misalnya adalah
pelaku mengalami gangguan kejiwaan seks yang abnormal. Dengan adanya
gangguan tersebut maka akan mendorong pelaku melakukan kejahatan seksual
kepada orang lain. Seseorang pelaku yang mengalami kelainan jiwa dapat
melakukan perbuatan-perbuatan kriminal seperti pemerkosaan dan hal-hal lain yang
menimbulkan kejahatan seksual kepada siapa saja (Azis, & Arif, 2023).
6
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Tingginya
kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau pemerkosaan yang terjadi di sekeliling kita,
menunjukan bahwa faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap moral seseorang.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tanpa batas menyebabkan dampak
yang negatif bagi manusia. Selain itu keadaan ekonomi seseorang juga dapat
menyebabkan seseorang melakukan kejahatan seksual. Adanya uang dan jabatan
memudahkan pelaku untuk berlaku semena-mena. Pengaruh pola asuh dalam
keluarga serta lingkungan seseorang juga dapat berpengaruh pada pribadi pelaku
yang mendorong untuk melakukan pelecehan seksual (Iqbal & Fawzea, 2020).
7
c. Pelecehan Non-Verbal/ isyarat
Bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan
berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat bibir,
atau lainnya. (Putri, 2019).
d. Pelecehan Visual
Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun,
screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media lainnya.
e. Pelecehan Psikologis/Emosional
Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak
diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat
seksual. Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam berbagai
bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik secara
tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh tertentu) hingga ajakan yang
dilakukan secara terang-terangan dan serangan seksual (Santrock, 2007).
8
b. Sindrom Trauma Perkosaan
Sindrom trauma perkosaan (Rape trauma syndrome) adalah bentuk turunan dari
PTSD (gangguan stres pasca trauma) sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi
korban. Pasca kejadian korban sering mengalami insomnia, mual dan muntah, respon
mudah kaget dan terkejut, sakit kepala, agitasi, isolasi, mimpi buruk serta
peningkatan rasa takut dan cemas.
c. Disosiasi
Disosiasi isilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas.
Disosiasi merupakan salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk mengatasi trauma kekerasan seksual.
2. Dampak Fisik
a. Gangguan Makan
Kekerasan seksual sangat mempengaruhi fisik korban seperti mempengaruhi
persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan.
Beberapa korban akan menggunakan makan sebagai pelampiasan dalam mengatasi
trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
b. Hypoactive Sexual Desire Disorder
Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD/IDD) adalah kondisi media yang
menandakan hasrat seksual yang rendah. Kondisi ini juga umum disebut apatisme
seksual atau tidak adanya keinginan seksual.
c. Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan
seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan pada
wanita.
d. Vaginismus
Ketika seorang wanita memiliki vaginismus, otot-otot vaginanya mengejang
dengan sendirinya saat sesuatu memasukinya seperti tampon atau penis. Hal ini dapat
terasa tidak nyaman atau sangat menyakitkan.
9
e. Diabetes Type 2
Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive Medicine,
peneliti menyelidiki hubungan antara kekerasan seksual yang dialami oleh anak atau
remaja dan diabetes tipe 2, hasil penelitian melaporkan bahwa 34% dari 67.853
partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami
kekerasan seksual.
Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun
2018, menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah
mengalami kekerasan seksual. Hasil SNPHAR 2018 juga menunjukkan anak tidak hanya
menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya pelaku kekerasan
baik baik fisik maupun non fisik paling banyak dilaporkan adalah teman sebayanya (47%-
73%) (Kemenpan, 2019). Hasil penelitian lain juga mengatakan bahwa 40% pelaku
kekerasan seksual adalah temannya sendiri. (Neherta, 2017) Seorang pelaku kekerasan
seksual yang berasal dari luar keluarga korban biasanya pintar dalam merayu korban. Pelaku
melakukan pendekatan dengan baik yang bertujuan agar korban mempercayai segala ucapan
10
yang dikatakannya. Pelaku melakukan rencananya secara bertahap dari awal hingga akhir
hingga tujuan utamanya yaitu melakukan kekerasan seksual pada anak berjalan dengan
sempurna.
11
1. Bersiul pada wanita yang tujuannya untuk menggoda wanita tersebut;
Orang yang melakukannya dapat dijerat ke dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal
296 KUHP. Pasal 289 KUHP menentukan bahwa: Barangsiapa dengan kekerasan atau
dengan ancamaan kekerasan memaksa seorang melakukan atau membiakan dilakukan
padanya perbuatan cabul, karena perbuatan yang merusak kesusilaan, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. Yang diancam hukuman dalam pasal ini
ialah orang yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa
seseorang agar ia membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan. Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang berhubungan dengan
nafsu kekelaminan, misalnya bercium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
merabaraba buah dada dan sebagainya.
2. Menggoda wanita yang tidak dikenal;
Perbuatan yang dianggap sepele dan iseng belaka dapat dijerat dengan pasalpasal
tentang Pencabulan. Pasal-pasal tentang Pencabulan di atur dalam Pasal 289 KUHP
sampai dengan Pasal 296 KUHP.
3. Memberi komentar yang berbau hal yang sensitif kepada seorang wanita;
Perbuatan yang dianggap remeh dan sekarang ini sangat sering dilakukan oleh
orang-orang yaitu memberikan komentar-komentar yang tidak mengenakkan wanita yang
mendengarnya seperti komentar yang berbau pornografi atau mengucapkan kata ‘sexy,
gede dan berbagai macam komentar yang vulgar sifatnya, akan dijerat dengan Pasal 315
KUHP tentang Penghinaan ringan.
Pasal 315 KUHP menentukan bahwa: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang
tidak bersifat mencemar atau mencemar dengan surat yang dilakukan terhadap seseorang,
baik di muka umum atau dengan lisan atau dengan surat, baik di muka orang itu sendiri
dengan lisan atau dengan perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan
kepadanya, karena bersalah melakukan penghinaan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyakbanyaknya empat ribu
lima ratus rupiah. Penjelasan pasal menyebutkan bahwa apabila penghinaan itu
dilaakukan dengan jalan menuduhkan suatu perbuatan terhadap seseorang, masuk dalam
Pasal 310 atau Pasal 311. Apabila dengan jalan lain, misalnya dengan katakata keji yang
menurut pendapat umum dapat digolongkan sebagai kata-kata penghinaan, masuk Pasal
12
315 dan disebut dengan ‘penghinaan ringan’.10 Supaya dapat ditunutut dengan Pasal 315
ini, kata-kata hinaan yang dikemukakan secara lisan atau tertulis itu harus dilakukan di
temapt umum. Dalam keadaan demikian, yang dihina tidak perlu berada di tempat itu.
4. Menceritakan sesuatu yang bersifat seksual kepada orang;
Dengan kata lain adalah bergosip, dan yang digosipkan adalah bentuk tubuh wanita
dan bagian tubuh lainnya. Perbuatan ini dapat dijerat dengan Pasal 310 KUHP karena
terkategori sebagai perbuatan pencemaran di muka umum. Pasal 310 KUHP menentukan
bahwa :
a) Barangsiapa dengans engaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan
jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan, dengan maksud yang nayata untuk
menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui umum, karena bersalah menista orang,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banykanya emapt ribu lima ratus rupiah
b) Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambaran, yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan maka karena bersalah mencemar orang dengan surat, si pembuat
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau
denda sebanyakbanykanya empat ribu lima ratus rupiah.
c) Tidak dapat dikatakan mencemar atau mencemar dengan surat jika nyata
perbuatan itu dilakukan untuk memeprtahankan kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk mempertahankan diri.
13
1. barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di hadapan umum;
2. barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di muka orang lain hadir tidak
dengan kemauannya sendiri.
Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa yang diancam hukuman dengan pasal ini
misalnya:
a) melakukan persetubuhan di tempat yang tidak semestinya demikian rupa,
sehingga kelihatan oleh orang-orang lain yang berlalu-lintas di dekat tempat itu
dan menimbulkan rasa malu dan rasa jijik yang sangat pada mereka
b) melakukan persetubuhan di dalam kamar dengan jendela terbuka demikian rupa,
sehingga kelihatan oleh tetangga yang tinggal didekat rumah itu dan
menimbulkan rasa malu dan jijik yang sangat pada tetangga itu.
14
Upaya pencegahan kekerasan seksual juga dapat dibagi menjadi 3 tahapan (Rindu et al
2022).
a. Tahap pertama (primer) mencakup edukasi dan layanan proteksi sesuai usia anak,
b. Tahap kedua (sekunder) mencakup deteksi dini kasus, konseling keluarga, dan
penanganan korban
c. Tahap ketiga (tersier) mencakup rehabilitasi dan persiapan kembali ke komunitasnya
15
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Pelecehan seksual adalah perilaku yang melibatkan tindakan tidak senonoh, komentar, atau
perlakuan yang bersifat seksual tanpa persetujuan dari pihak yang disasar. Pelecehan seksual
dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pelecehan gender, perilaku menggoda,
penyuapan seksual, pemaksaan seksual, dan pelanggaran seksual lainnya. Kasus pelecehan
seksual seringkali tidak terdeteksi karena korban merasa malu untuk melaporkan atau
menanggung beban sendiri. Pelecehan seksual juga dapat menyebabkan trauma pada korban,
sehingga perlu adanya media untuk meringankan trauma dan memberikan pendidikan
pencegahan pelecehan seksual.Dengan demikian, penanganan pelecehan seksual memerlukan
pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pendidikan, penegakan
hukum, dan dukungan psikologis bagi korban
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahyun, F. Q., Solehati, S., & Prasetiya, B. (2022). Faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual
serta dampak psikologis yang dialami korban. Al-ATHFAL: Jurnal Pendidikan Anak,
3(2), 92-97.
Aleng, C. A. (2020). Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal. Lex
Crimen, 9(2).
Alifia, L. (2021). Peran Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Tasikmalaya Dalam
Menangani Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2018 (Bachelor's thesis, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Aycock, L. M., Hazari, Z., Brewe, E., Clancy, K. B., Hodapp, T., & Goertzen, R. M. (2019).
Sexual harassment reported by undergraduate female physicists. Physical Review Physics
Education Research, 15(1), 010121.
Azis, A., Rahman, S., & Arif, M. (2023). Studi Kriminologi Kejahatan Seksual Terhadap Anak
Di Kabupaten Gowa. Journal of Lex Generalis (JLG), 4(2), 715-731.
Bondestam, F., & Lundqvist, M. (2020). Sexual harassment in higher education–a systematic
review. European Journal of Higher Education, 10(4), 397-419.
Burn, S. M. (2019). The psychology of sexual harassment. Teaching of Psychology, 46(1), 96-
103.
Choi, C., & Kulkarni, M. P. (2020). In one month, STOP AAPI HATE receives almost 1500
incident reports of verbal harassment, shunning, and physical assaults. Los Angeles:
Asian Pacific Policy & Planning Council.
Choirunnisa, S. (2021). Legal Protection Against Women Victims of Sexual Harassment Through
Social Media (Cyberporn). The Indonesian Journal of International Clinical Legal
Education, 3(3), 367-380.
17
Diehl, C., Rees, J., & Bohner, G. (2018). Predicting sexual harassment from hostile sexism and
short-term mating orientation: Relative strength of predictors depends on situational
priming of power versus sex. Violence Against Women, 24, 123–143. doi:10.1002/
ab.21553
Fernet, M., Lapierre, A., Hébert, M., & Cousineau, M. M. (2019). A systematic review of
literature on cyber intimate partner victimization in adolescent girls and women.
Computers in Human Behavior, 100, 11-25.
Iqbal, M., & Fawzea, K. (2020). Psikologi pasangan: Manajemen konflik rumah tangga. Gema
Insani.
Keplinger, K., Johnson, S. K., Kirk, J. F., & Barnes, L. Y. (2019). Women at work: Changes in
sexual harassment between September 2016 and September 2018. PloS one, 14(7),
e0218313.
Neherta, M., Maisa, E. A., & Sari, Y. (2019). Intervention of sexual abuse prevention for mother
of children with mental retardation in Payakumbuh Indonesia 2016. Indian J Public
Health Res Dev, 10, 461-6.
Rindu, R., Abdi, A., Afifa, A., Dewi, D., Himawati, H., Muhammad, M., ... & Suyatno, S. (2022).
Peningkatan Pengetahuan tentang Pencegahan Kekerasan Seksual pada Usia Remaja.
Jurnal Pengabdian Masyarakat Saga Komunitas, 2(1), 148-154.
18
Suwandi, J., Chusniatun, C., & Kuswardani, K. (2019). Karakteristik Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Perempuan Di Wonogiri Dan Boyolali. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
29(1), 65-77.
Wahyuni, S., Nurbayani, S., Kesumaningsih, I., & Hargono, D. (2022). Korban Dan/Atau
Pelaku: Atribusi Victim Blaming pada Korban Kekerasan Seksual Berbasis Gender di
Lingkungan Kampus. Brawijaya Journal of Social Science, 2(1), 1-17.
Widiyanti, N. Y., Mahmud, H., & Yudanto, D. (2023). Kajian Yuridis Tindak Pidana Pelecehan
Seksual dan Ancaman Kekerasan Pada Anak (Studi Kasus Pengadilan Negeri
Karanganyar Nomor 2/Pid. Sus-Anak/2020/PN. KRG.). JURNAL BEVINDING, 1(01),
142-147.
Wulandari, R., & Suteja, J. (2019). Konseling pendidikan seks dalam pencegahan kekerasan
seksual anak (ksa). Prophetic: Professional, Empathy, Islamic Counseling Journal, 2(1),
61-82.
19