ABSTRAK
ABSTRACT
Sexual harassment is an act related to sexual approace that is unwanted, especially from victims
affected by it. Sexual harassment might be conducted physically and verbally. In cases of sexual
harassment, the harasser could vary from any kind of background of education, religion, race,
culture, age, gender, and social status. Sadly, sexual harassment is still common in countries like
Indonesia. One of the issues related to why sexual harassment happens frequently is the inability
of victims to speak up to prevent and to be enforced by the law. This is due to the ineffectiveness
of Indonesia’s law in protecting and aiding victims of sexual harassment. Subsequently, there is a
need to discuss this matter in terms of the types of sexual harassment victims experience, reasons
why victims hesitate to speak up, and the solution for victims to get help from law enforcers. The
methods used in this research consist of descriptive method, survei, and study of literature. With
this research, we aim to raise awareness within our society of sexual harassment including
identifying, preventing, and solving its cases. We also hope our research may help encouragethe
legalization of RUU PKS in which may help reduce and control sexual harassment cases in
Indonesia.
Besar kemungkinan hal tersebut juga disebabkan oleh keengganan para korban untuk
speak up dan melaporkan kejadian yang ia alami kepada pihak berwajib agar dapat
ditindaklanjuti. Keengganan ini dapat disebabkan oleh sebab-sebab tertentu seperti,
kurangnya wadah untuk melaporkan, minimnya peran pihak berwajib dalam
menindaklanjuti, dll.
Sampai saat ini juga, belum ada dasar hukum jelas yang melindungi para korban
pelecehan seksual tersebut sehingga belum tercipta rasa aman bagi para korban.
Dari latar belakang masalah tersebut, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk pelecehan seksual yang sering terjadi di Indonesia?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan korban pelecehan seksual enggan untuk melaporkan
kasus pelecehan?
3. Apa solusi yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual?
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini bagi ilmu/masyarakat di antaranya adalah:
1. Dapat meningkatkan kesadaran dan keacuhan masyarakat perihal pelecehan seksual
sehingga dapat mengetahui dan menghindari atau mencegah tindakan pelecehan
seksual.
2. Dapat menanamkan keberanian dan kepercayaan diri pada masyarakat yang pernah
menjadi korban pelecehan seksual untuk dapat bertindak melawan tindak pelecehan
seksual.
3. Dapat mendorong pengesahan RUU PKS sebagai landasan hukum yang diharapkan
dapat menegakkan permasalahan pelecehan seksual.
Dalam kajian ini, bahasan yang akan dikaji dibatasi di lingkup kasus pelecehan seksual
yang terjadi di Indonesia dengan responden terkait berjumlah dan berasal dari berbagai latar
belakang.
1.6 Hipotesis
Kasus pelecehan seksual di Indonesia masih terus eksis hingga saat ini. Tentu terdapat
beberapa alasan atau penyebab maraknya kasus ini di Indonesia. Maraknya kasus pelecehan
seksual di Indonesia dapat disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan pengertian,
bentuk, dan jenis pelecehan seksual. Selain itu, dapat pula diakibatkan oleh ketiadaan
perlindungan hukum yang pasti bagi korban pelecehan seksual serta memberi jeratan hukum
kepada pelaku pelecehan seksual.
1.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan survei deskriptif yang
dilaksanakan melalui kuisioner online serta dilakukan pula kajian literatur dari penulis atau
peneliti yang dapat memberi tinjauan akan topik yang akan dibahas ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kuantitatif
berupa survei dan kuesioner serta teknik pengumpulan data kualitatif berupa kajian literasi.
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Pelecahan Seksual
Pelecahan Seksual adalah tindakan seksual berupa sentuhan fisik maupun nonfisik
dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang meliputi pelecehan
seksual termasuk siulan, main mata, ucapan yang bernuansa seksual, sentuhan di tubuh
yang tidak diinginkan, gerakan yang bersifat seksual sehingga menyebabkan rasa tidak
nyaman, tersinggung, direndahkan, sampai terkena masalah kesehatan mental, jasmani,
dan rohani, serta keselamatan korban.
Dampak individual dari pelecehan seksual terdiri dari fisik hingga psikologis.
Dampak psikologis meliputi perasaan terhina, putus asa, marah, dikucilkan, dikhianati,
kesepian, perasaan terintimidasi, frustasi, risih, degradasi dan bersalah (Zastrow dan
Ashman, 1989; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999). Dampak yang berasal dari psikologis
menimbulkan gangguan fisik seperti sakit kepala, kehilangan berat badan, maag, tidak
ada nafsu makan, susah tidur, dan kelelahan yang berlebih sehingga membutuhkan
perawatan untuk membantu korban melepaskan diri dari gangguan tersebut (Allgeier dan
Allgeier, 1991; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999).
2.2. Pancasila
Dalam proses pengesahannya, banyak pihak pro dan kontra dari RUU PKS
dikarenakan beberapa hal. Pihak pro menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan
karena kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, banyak korban kekerasan
seksual adalah anak perempuan, korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum
yang memberi rasa keadilan, dan korban kekerasan butuh perlindungan. Sedangkan
disatu sisi, pihak kontra menentang karena menganggap sejumlah frasa bertentangan
dengan keyakinan dan ideologi mereka. Hal tersebut dirasa tidak akan menjawab
permasalahan yang ada, tetapi malah menambah masalah dari kekerasan seksual.
BAB III
Pada survei yang kami lakukan, 91 responden telah mengisi survei kami. Sebaran
umur responden adalah di umur remaja sampai dewasa, lebih spesifiknya adalah umur
jenjang SMA sampai dengan jenjang mahasiswa. Pada survei ini 33% (30 orang)
memiliki jangkauan umur dewasa, yaitu umur 20 hingga 60 tahun, dan 67% (61 orang)
adalah range umur remaja, yaitu berumur 11 hingga 19 tahun. Jangkauan umur tersebut
berdasarkan klasifikasi umur menurut World Health Organization (WHO). Pengisi survei
tersebut merupakan 50,5% (46 orang) wanita dan 49,5% (45 orang) pria.
Dari 45 orang pria yang mengisi survei, 22,2% (10 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual sedangkan sisanya, 77,8% (35 orang) tidak pernah
mengalami pelecehan seksual.
Grafik 2. Kasus Pelecehan Seksual pada Pria
Dari 46 orang wanita yang mengisi survei, 54,3% (25 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual sedangkan sisanya, 45,7% (21 orang) tidak pernah
mengalami pelecehan seksual.
Dari hasil survei pria yang pernah mengalami kekerasan seksual, 46,7%
mengalami pelecehan seksual secara fisik, 33,3% mengalami pelecehan seksual
secara verbal, 13,3% mengalami pelecehan seksual secara daring, dan 6,7 %
mengalami pelecehan seksual berupa kekerasan.
Grafik 4. Bentuk Pelecehan Seksual pada Pria
Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami kekerasan seksual, 41,5%
mengalami pelecehan seksual secara verbal, 31,7% mengalami pelecehan seksual
secara fisik, 24,4% mengalami pelecehan seksual secara daring, dan 2,4 %
mengalami pelecehan seksual berupa kekerasan.
Dari hasil survei pria yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 33,3% merasa marah, 20,0% merasa takut, 20,0%
merasa malu, 13,3% merasa sedih, dan 13,3% merasa biasa saja.
Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 29,6% merasa marah, 27,8% merasa takut, 20,4%
merasa sedih, 18,5% merasa malu, dan 3,7% merasa biasa saja.
Grafik 7. Perasaan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Wanita)
Dari hasil survei pria yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 50% memilih untuk diam saja, 40% memilih
untuk menceritakan ke orang terdekat, sedangkan 10% melakukan perlawanan
terhadap pelaku.
Grafik 8. Tindakan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Pria)
Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 44,8% memilih untuk diam saja, 44,8% memilih
untuk menceritakan ke orang terdekat, sedangkan 6,9% melakukan perlawanan
terhadap pelaku dan 3,4% melaporkan kejadian pada pihak berwenang.
3.1.5. Tindakan untuk Melaporkan Pelecehan yang Dialami kepada Pihak yang
Berwenang
Pada survei yang sama, kami juga meminta pendapat responden mengenai
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dari 91 responden,
30,8% (28 orang) percaya bahwa RUU PKS dapat memberantas kasus pelecehan
seksual, 7,7% (7 orang) tidak percaya bahwa RUU PKS dapat memberantas kasus
pelecehan seksual, sedangkan 61,5% (56 orang) ragu-ragu apakah RUU PKS dapat
memberantas kasus pelecehan seksual.
Grafik 11. Pendapat Responden Survei Mengenai RUU PKS
Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.1 serta grafik 1, 2 dan 3, kami
melihat bahwa dari 45 responden pria, 22,2% (10 orang) pernah mengalami
pelecehan seksual. Sedangkan dari 46 responden wanita, 54,3% (25 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pelecehan
seksual lebih banyak terjadi pada wanita daripada pada pria dengan perbandingan
kasus 2:1.
Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.2 serta grafik 4 dan 5, kami
melihat bahwa bentuk pelecehan seksual yang terjadi pria yang paling banyak
berupa pelecehan secara fisik, kedua adalah secara verbal, dan selanjutnya berupa
daring dan kekerasan
Pada data yang kami peroleh pada bagian 3.1.4 serta grafik 8 dan 9,
diamati bahwa pada umumnya korban pelecehan seksual bertindak pasif atau diam
saja. Sebagian kecil dari responden melakukan tindakan berupa perlawanan
terhadap pelaku ataupun melaporkan ke pihak yang berwenang. Hal ini
menunjukkan minimnya upaya untuk berani bertindak atau speak up dari korban
dalam isu pelecehan seksual.
Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.5 serta grafik 10, terlihat
bahwa kebanyakan korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak berwenang
dengan alasan tidak tahu harus melapor kepada siapa, tidak percaya terhadap pihak
tersebut, serta merasa kasus akan diremehkan oleh pihak berwenang. Hal tersebut
menunjukkan minimnya peran pihak berwenang, contohnya seperti penegak
hukum, untuk memfasilitasi dan menangani kasus pelecehan seksual. Adapun
alasan yang sifatnya berasal dari faktor internal korban seperti rasa malu, malas,
dan dirasakan tidak perlunya dilaporkan.
Berdasarkan data pada bagian 3.1.6 dan grafik 11, sebanyak 30,8% dari 91
orang percaya bahwa pengesahan RUU PKS dapat memberantas pelecehan seksual
di Indonesia. Namun, mayoritas responden ragu bahwa pengesahan RUU PKS
dapat berdampak efektif dalam memberantas kasus pelecehan seksual di Indonesia.
Menurut kami, keraguan tersebut dapat didasari atas kurangnya pengetahuan
mengenai isi RUU PKS, ketidakpercayaan responden pada penegak hukum
ataupun pihak berwenang, ataupun asumsi bahwa pengesahan RUU PKS hanya
akan meningkatkan penanganan kasus pelecehan seksual namun belum tentu dapat
mencegah kasus atau mengurangi pelaku dari pelecehan seksual.
Pengesahan RUU PKS sendiri merupakan suatu langkah menuju Indonesia yang
tanggap dan efektif dalam memberantas pelecehan seksual. Pengesahannya sendiri akan
dipengaruhi oleh keinginan masyarakat, apalagi pada negara Indonesia yang sifatnya
menganuti demokrasi. Namun, keraguan atau tidak percayanya masyarakat bahwa RUU
PKS dapat berdampak efektif terhadap penanganan pelecehan seksual di Indonesia
dapat menghambat pengesahan RUU tersebut. Maka, diperlukan suatu cara untuk
mengenalkan dan membuka mata masyarakat akan potensi pengesahan RUU PKS
terhadap penanganan pelecehan seksual.
3.4. Solusi
4.1. Simpulan
Dari penelitian yang kami lakukan, kami dapat simpulkan beberapa hal yang sesuai
dengan tujuan penelitian kami. Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di
Indonesia adalah pelecehan secara fisik, kemudian diikuti oleh pelecehan verbal, dan
terakhir secara daring. Lalu berdasarkan survei yang kami lakukan, korban pelecehan
seksual pada umumnya enggan untuk melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya
karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternalnya sendiri berupa kurangnya
peran pihak berwenang dalam menanggapi kasus pelecehan seksual. Faktor internal berupa
rasa malu, malas, dan tidak diperlukannya laporan dari korban. Sebagai solusi atas hal
tersebut, kami ajukan dua hal. Pertama, yaitu mengadakannya kajian, sosialisasi, serta
pencerdasan intensif, sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan apabila menjadi
korban. Kedua, yaitu mendorong pengesahannya RUU PKS sehingga dapat lebih
mendukung dan melindungi korban pelecehan seksual. Diharapkan kedua solusi tersebut
dapat menjawab isu tentang pelecehan seksual secara umum dan agar korban lebih
terdukung dan terlindungi saat melakukan laporan.
4.2 Saran
Setelah melakukan penelitian ini, kami telah melalui beberapa pengalaman dan
tantangan dalam menulis karya ini. Dari pengalaman dan tantangan yang kami hadapi, kami
ajukan beberapa saran kepada peneliti dengan fokus penelitian yang serupa. Yang pertama,
kami sarankan penelitian selanjutnya melakukan kajian mengenai lingkup penelitian yang
lebih spesifik. Pada penelitian kami, lingkup penelitiannya sangat luas sehingga sulit untuk
mendapatkan hasil survei yang dapat dikatakan representatif pada suatu populasi. Yang
kedua, kami sarankan untuk mempertimbangkan mencari tahu tentang data penelitian
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini ataupun data dari pihak yang bersangkutan
dengan isu pelecehan seksual dengan tujuan agar dapat memberi gambaran luas tentang
kondisi isu pelecehan seksual di masyarakat umum.
REFERENSI
https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf
(2020). Apa sih perbedaan Kekerasan Seksual & Pelecehan Seksual? [Slides].
Http://Mappifhui.Org/.
http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2018/10/MaPPI-FHUI-kekerasan-seksual.pdf
5. Nugroho, F. T. (2020, December 1). Pengertian Pancasila, Ketahui Tujuan dan Makna
https://www.bola.com/ragam/read/4422173/pengertian-pancasila-ketahui-tujuan-dan-mak
na-masing-masing-lambangnya#:%7E:text=Menurut%20Muhammad%20Yamin,laku%2
0yang%20penting%20dan%20baik
6. S. (2020, November 12). Empat Urgensi Pengesahan RUU PKS •. Amnesty Indonesia.
https://www.amnesty.id/empat-urgensi-pengesahan-ruu-pks/
7. Sitti dan Uswatun. (2018). Kajian Literatur dan Teori Sosial dalam Penelitian. Sorong:
Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong