Anda di halaman 1dari 19

Penyebab Enggannya Korban untuk Melaporkan Kasus Pelecehan Seksual di

Indonesia dan Keterkaitannya Dengan RUU PKS

Hurin Zahiraa, Miranda Adiva b, Andi Muhammad Z. c, Yoga Christantod, Osmond


Willyandoe, Nabila Putri R.f, M. Farras Arira g
a. hurinzhr@gmail.com
b. miranda.adiva@gmail.com
c. amzulqarnain@gmail.com
d. yogaarenbe10@gmail.com
e. willyandoosmond@gmail.com
f. nabilaputri2210@gmail.com
g. mfarrasa01@gmail.com

Fakultas Seni Rupa dan Desain


Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesa 10, Bandung, Indonesia, 40132

ABSTRAK

Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang berkaitan dengan seks


yang tidak diinginkan khususnya oleh korban. Pelecehan seksual dapat berupa tindakan
fisik maupun verbal yang dapat terjadi dan dilakuan oleh siapa saja tanpa memandang
pendidikan, agama, ras, budaya, usia, jenis kelamin, atau status sosial. Mirisnya
pelecehan seksual masih marak terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh enggannya
para korban untuk speak up atas kejadian yang mereka alami. Selain itu, lemahnya
instrument hukum untuk melindungi korban disinyalir juga menjadi salah satu penyebab
kasus pelecehan seksual masih marak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, adanya kajian
untuk mengetahui apa saja bentuk pelecehan seksual yang diterima korban, faktor-faktor
yang mempengaruhi korban enggan untuk melapor kepada penegak hukum, serta solusi
untuk mengatasi korban pelecehan seksual yang enggan untuk melaporkan pelecehan
yang dialaminya sangatlah diperlukan. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif,
metode survei, dan kajian literasi. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, masyarakat
lebih sadar dan peduli terhadap permasalahan pelecehan seksual sehingga dapat
mengetahui, menghindari, dan mencegah tindakan tersebut, korban dapat lebih berani dan
percaya diri untuk melawan tindak pelecehan seksual, serta dapat mendorong pengesahan
RUU PKS sebagai landasan hukum yang diharapkan dapat memberikan hukuman yang
setimpal bagi pelaku.

KATA KUNCI: RUU PKS, Pelecehan seksual, Speak up

ABSTRACT

Sexual harassment is an act related to sexual approace that is unwanted, especially from victims
affected by it. Sexual harassment might be conducted physically and verbally. In cases of sexual
harassment, the harasser could vary from any kind of background of education, religion, race,
culture, age, gender, and social status. Sadly, sexual harassment is still common in countries like
Indonesia. One of the issues related to why sexual harassment happens frequently is the inability
of victims to speak up to prevent and to be enforced by the law. This is due to the ineffectiveness
of Indonesia’s law in protecting and aiding victims of sexual harassment. Subsequently, there is a
need to discuss this matter in terms of the types of sexual harassment victims experience, reasons
why victims hesitate to speak up, and the solution for victims to get help from law enforcers. The
methods used in this research consist of descriptive method, survei, and study of literature. With
this research, we aim to raise awareness within our society of sexual harassment including
identifying, preventing, and solving its cases. We also hope our research may help encouragethe
legalization of RUU PKS in which may help reduce and control sexual harassment cases in
Indonesia.

KEY WORDS: RUU PKS, sexual harassment, speak up


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang berkaitan dengan


seks yang tidak diinginkan khususnya oleh korban. Pelecehan seksual tidak terbatas pada
tindakan saja, melainkan juga dapat terjadi secara verbal atau perkataan. Pelecehan seksual
dapat terjadi di berbagai tempat baik di tempat umum maupun tempat pribadi. Pelaku dan
korban pelecehan bisa siapa saja dan dapat berasal dari latar belakang pendidikan, agama,
ras, budaya, usia, jenis kelamin, dan status sosial manapun. Hingga saat ini, kasus pelecehan
seksual masih marak terjadi di Indonesia, bahkan angkanya kian bertambah. Hal ini dapat
disebabkan oleh minimnya pemberian sanksi kepada pelaku pelecehan sehingga pelaku tidak
merasa enggan.

Besar kemungkinan hal tersebut juga disebabkan oleh keengganan para korban untuk
speak up dan melaporkan kejadian yang ia alami kepada pihak berwajib agar dapat
ditindaklanjuti. Keengganan ini dapat disebabkan oleh sebab-sebab tertentu seperti,
kurangnya wadah untuk melaporkan, minimnya peran pihak berwajib dalam
menindaklanjuti, dll.

Sampai saat ini juga, belum ada dasar hukum jelas yang melindungi para korban
pelecehan seksual tersebut sehingga belum tercipta rasa aman bagi para korban.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk pelecehan seksual yang sering terjadi di Indonesia?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan korban pelecehan seksual enggan untuk melaporkan
kasus pelecehan?
3. Apa solusi yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual?

1.3 Tujuan Penelitian


Sehubungan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di Indonesia.
2. Mengetahui faktor dan penyebab korban pelecehan seksual enggan untuk melaporkan
pelecehan yang terjadi.
3. Mendapatkan solusi untuk mengatasi masalah korban pelecehan seksual yang enggan
untuk melaporkan pelecehan yang dialaminya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini bagi ilmu/masyarakat di antaranya adalah:
1. Dapat meningkatkan kesadaran dan keacuhan masyarakat perihal pelecehan seksual
sehingga dapat mengetahui dan menghindari atau mencegah tindakan pelecehan
seksual.
2. Dapat menanamkan keberanian dan kepercayaan diri pada masyarakat yang pernah
menjadi korban pelecehan seksual untuk dapat bertindak melawan tindak pelecehan
seksual.
3. Dapat mendorong pengesahan RUU PKS sebagai landasan hukum yang diharapkan
dapat menegakkan permasalahan pelecehan seksual.

1.5 Ruang Lingkup Kajian

Dalam kajian ini, bahasan yang akan dikaji dibatasi di lingkup kasus pelecehan seksual
yang terjadi di Indonesia dengan responden terkait berjumlah dan berasal dari berbagai latar
belakang.

1.6 Hipotesis

Kasus pelecehan seksual di Indonesia masih terus eksis hingga saat ini. Tentu terdapat
beberapa alasan atau penyebab maraknya kasus ini di Indonesia. Maraknya kasus pelecehan
seksual di Indonesia dapat disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan pengertian,
bentuk, dan jenis pelecehan seksual. Selain itu, dapat pula diakibatkan oleh ketiadaan
perlindungan hukum yang pasti bagi korban pelecehan seksual serta memberi jeratan hukum
kepada pelaku pelecehan seksual.
1.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan survei deskriptif yang
dilaksanakan melalui kuisioner online serta dilakukan pula kajian literatur dari penulis atau
peneliti yang dapat memberi tinjauan akan topik yang akan dibahas ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kuantitatif
berupa survei dan kuesioner serta teknik pengumpulan data kualitatif berupa kajian literasi.

BAB II

DASAR TEORI
2.1. Pelecahan Seksual

Pelecahan Seksual adalah tindakan seksual berupa sentuhan fisik maupun nonfisik
dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang meliputi pelecehan
seksual termasuk siulan, main mata, ucapan yang bernuansa seksual, sentuhan di tubuh
yang tidak diinginkan, gerakan yang bersifat seksual sehingga menyebabkan rasa tidak
nyaman, tersinggung, direndahkan, sampai terkena masalah kesehatan mental, jasmani,
dan rohani, serta keselamatan korban.

Dampak individual dari pelecehan seksual terdiri dari fisik hingga psikologis.
Dampak psikologis meliputi perasaan terhina, putus asa, marah, dikucilkan, dikhianati,
kesepian, perasaan terintimidasi, frustasi, risih, degradasi dan bersalah (Zastrow dan
Ashman, 1989; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999). Dampak yang berasal dari psikologis
menimbulkan gangguan fisik seperti sakit kepala, kehilangan berat badan, maag, tidak
ada nafsu makan, susah tidur, dan kelelahan yang berlebih sehingga membutuhkan
perawatan untuk membantu korban melepaskan diri dari gangguan tersebut (Allgeier dan
Allgeier, 1991; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999).

2.2. Pancasila

Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia. Menurut Muhammad Yamin,


Pancasila berasal dari kata ‘panca’ yang berarti lima dan ‘sila’ yang berarti sendi, dasar,
atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah
laku yang penting dan baik. Dalam berkehidupan, seorang warga negara Indonesia sudah
seharusnya mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Mulai
dari percaya kepada Tuhan YME, menolong teman yang sedang susah, bermain bersama,
mengungkapkan pendapat dan berdiskusi bersama, sampai berbagi dengan orang lain.
Pengimplikasian nilai-nilai pancasila yang bermulai dari hal-hal kecil bisa menuntun
melakukan hal besar lainnya yang bermanfaat dan bermakna.

2.3. RUU PKS


RUU PKS adalah rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang
berisi tentang legislasi yang disusun untuk mencegah, melindungi, memulihkan, dan
memberdayakan korban kekerasan dan pelecehan seksual serta menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan dan pelecahan
seksual.

Dalam proses pengesahannya, banyak pihak pro dan kontra dari RUU PKS
dikarenakan beberapa hal. Pihak pro menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan
karena kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, banyak korban kekerasan
seksual adalah anak perempuan, korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum
yang memberi rasa keadilan, dan korban kekerasan butuh perlindungan. Sedangkan
disatu sisi, pihak kontra menentang karena menganggap sejumlah frasa bertentangan
dengan keyakinan dan ideologi mereka. Hal tersebut dirasa tidak akan menjawab
permasalahan yang ada, tetapi malah menambah masalah dari kekerasan seksual.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil survei

Pada survei yang kami lakukan, 91 responden telah mengisi survei kami. Sebaran
umur responden adalah di umur remaja sampai dewasa, lebih spesifiknya adalah umur
jenjang SMA sampai dengan jenjang mahasiswa. Pada survei ini 33% (30 orang)
memiliki jangkauan umur dewasa, yaitu umur 20 hingga 60 tahun, dan 67% (61 orang)
adalah range umur remaja, yaitu berumur 11 hingga 19 tahun. Jangkauan umur tersebut
berdasarkan klasifikasi umur menurut World Health Organization (WHO). Pengisi survei
tersebut merupakan 50,5% (46 orang) wanita dan 49,5% (45 orang) pria.

3.1.1. Apakah Responden Pernah Mengalami Pelecehan Seksual

Dari 91 responden, 35 orang pernah mengalami pelecehan seksual,


sementara 56 responden lainnya hanya pernah melihat atau menyaksikan kejadian
pelecehan seksual.

Grafik 1. Kasus Pelecehan Seksual Pada Pria dan Wanita

Dari 45 orang pria yang mengisi survei, 22,2% (10 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual sedangkan sisanya, 77,8% (35 orang) tidak pernah
mengalami pelecehan seksual.
Grafik 2. Kasus Pelecehan Seksual pada Pria

Dari 46 orang wanita yang mengisi survei, 54,3% (25 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual sedangkan sisanya, 45,7% (21 orang) tidak pernah
mengalami pelecehan seksual.

Grafik 3. Kasus Pelecehan Seksual pada Wanita

3.1.2. Bentuk Pelecehan Seksual yang Dialami

Dari hasil survei pria yang pernah mengalami kekerasan seksual, 46,7%
mengalami pelecehan seksual secara fisik, 33,3% mengalami pelecehan seksual
secara verbal, 13,3% mengalami pelecehan seksual secara daring, dan 6,7 %
mengalami pelecehan seksual berupa kekerasan.
Grafik 4. Bentuk Pelecehan Seksual pada Pria

Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami kekerasan seksual, 41,5%
mengalami pelecehan seksual secara verbal, 31,7% mengalami pelecehan seksual
secara fisik, 24,4% mengalami pelecehan seksual secara daring, dan 2,4 %
mengalami pelecehan seksual berupa kekerasan.

Grafik 5. Bentuk Pelecehan Seksual pada Wanita


3.1.3. Perasaan Responden setelah Mengalami Pelecehan Seksual

Dari hasil survei pria yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 33,3% merasa marah, 20,0% merasa takut, 20,0%
merasa malu, 13,3% merasa sedih, dan 13,3% merasa biasa saja.

Grafik 6. Perasaan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Pria)

Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 29,6% merasa marah, 27,8% merasa takut, 20,4%
merasa sedih, 18,5% merasa malu, dan 3,7% merasa biasa saja.
Grafik 7. Perasaan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Wanita)

3.1.4. Tindakan yang Dilakukan setelah Mengalami Pelecehan Seksual

Dari hasil survei pria yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 50% memilih untuk diam saja, 40% memilih
untuk menceritakan ke orang terdekat, sedangkan 10% melakukan perlawanan
terhadap pelaku.
Grafik 8. Tindakan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Pria)

Dari hasil survei wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual, setelah
mendapatkan pelecehan seksual, 44,8% memilih untuk diam saja, 44,8% memilih
untuk menceritakan ke orang terdekat, sedangkan 6,9% melakukan perlawanan
terhadap pelaku dan 3,4% melaporkan kejadian pada pihak berwenang.

Grafik 9. Tindakan Korban setelah Mengalami Pelecehan Seksual (Wanita)

3.1.5. Tindakan untuk Melaporkan Pelecehan yang Dialami kepada Pihak yang
Berwenang

Dari 35 orang yang mengalami pelecehan seksual, hanya 1 orang yang


melaporkan ke pihak yang berwenang, sedangkan 34 orang sisanya memilih untuk
tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya ke pihak yang berwenang.
Dari 34 orang yang tidak melaporkan mereka memiliki beberapa alasan yang
dideskripsikan pada grafik di bawah ini.
Grafik 10. Alasan Korban tidak Melaporkan ke Pihak Berwenang

3.1.6. Pendapat Mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual


(RUU PKS)

Pada survei yang sama, kami juga meminta pendapat responden mengenai
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dari 91 responden,
30,8% (28 orang) percaya bahwa RUU PKS dapat memberantas kasus pelecehan
seksual, 7,7% (7 orang) tidak percaya bahwa RUU PKS dapat memberantas kasus
pelecehan seksual, sedangkan 61,5% (56 orang) ragu-ragu apakah RUU PKS dapat
memberantas kasus pelecehan seksual.
Grafik 11. Pendapat Responden Survei Mengenai RUU PKS

3.2. Analisis Hasil survei


3.2.1. Pengalaman Pelecehan Seksual

Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.1 serta grafik 1, 2 dan 3, kami
melihat bahwa dari 45 responden pria, 22,2% (10 orang) pernah mengalami
pelecehan seksual. Sedangkan dari 46 responden wanita, 54,3% (25 orang) pernah
mengalami pelecehan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pelecehan
seksual lebih banyak terjadi pada wanita daripada pada pria dengan perbandingan
kasus 2:1.

3.2.2. Bentuk Pelecehan Seksual

Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.2 serta grafik 4 dan 5, kami
melihat bahwa bentuk pelecehan seksual yang terjadi pria yang paling banyak
berupa pelecehan secara fisik, kedua adalah secara verbal, dan selanjutnya berupa
daring dan kekerasan

3.2.3. Perasaan Responden setelah Mengalami Pelecehan Seksual


Pada data yang telah dipaparkan di atas pada bagian 3.1.2 serta grafik 6
dan 7, kami amati bahwa mayoritas responden merasa marah setelah mengalami
pelecehan seksual. Setelah itu, respon yang dirasakan akibat pelecehan seksual
berupa rasa takut, sedih, dan malu. Selain itu, didapatkan bahwa sebagian pria
(13,3%) serta sebagian wanita (3,7%) merasa biasa saja dengan hal tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa terdampak secara
negatif akibat pelecehan seksual.

3.2.4. Tindakan yang Dilakukan setelah Mengalami Pelecehan Seksual

Pada data yang kami peroleh pada bagian 3.1.4 serta grafik 8 dan 9,
diamati bahwa pada umumnya korban pelecehan seksual bertindak pasif atau diam
saja. Sebagian kecil dari responden melakukan tindakan berupa perlawanan
terhadap pelaku ataupun melaporkan ke pihak yang berwenang. Hal ini
menunjukkan minimnya upaya untuk berani bertindak atau speak up dari korban
dalam isu pelecehan seksual.

3.2.5. Alasan tidak Melaporkan ke Pihak Berwenang

Pada data yang dipaparkan pada bagian 3.1.5 serta grafik 10, terlihat
bahwa kebanyakan korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak berwenang
dengan alasan tidak tahu harus melapor kepada siapa, tidak percaya terhadap pihak
tersebut, serta merasa kasus akan diremehkan oleh pihak berwenang. Hal tersebut
menunjukkan minimnya peran pihak berwenang, contohnya seperti penegak
hukum, untuk memfasilitasi dan menangani kasus pelecehan seksual. Adapun
alasan yang sifatnya berasal dari faktor internal korban seperti rasa malu, malas,
dan dirasakan tidak perlunya dilaporkan.

3.2.6. Pendapat Mengenai Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Berdasarkan data pada bagian 3.1.6 dan grafik 11, sebanyak 30,8% dari 91
orang percaya bahwa pengesahan RUU PKS dapat memberantas pelecehan seksual
di Indonesia. Namun, mayoritas responden ragu bahwa pengesahan RUU PKS
dapat berdampak efektif dalam memberantas kasus pelecehan seksual di Indonesia.
Menurut kami, keraguan tersebut dapat didasari atas kurangnya pengetahuan
mengenai isi RUU PKS, ketidakpercayaan responden pada penegak hukum
ataupun pihak berwenang, ataupun asumsi bahwa pengesahan RUU PKS hanya
akan meningkatkan penanganan kasus pelecehan seksual namun belum tentu dapat
mencegah kasus atau mengurangi pelaku dari pelecehan seksual.

3.3. Pentingnya RUU PKS

Pengesahan RUU PKS sendiri merupakan suatu langkah menuju Indonesia yang
tanggap dan efektif dalam memberantas pelecehan seksual. Pengesahannya sendiri akan
dipengaruhi oleh keinginan masyarakat, apalagi pada negara Indonesia yang sifatnya
menganuti demokrasi. Namun, keraguan atau tidak percayanya masyarakat bahwa RUU
PKS dapat berdampak efektif terhadap penanganan pelecehan seksual di Indonesia
dapat menghambat pengesahan RUU tersebut. Maka, diperlukan suatu cara untuk
mengenalkan dan membuka mata masyarakat akan potensi pengesahan RUU PKS
terhadap penanganan pelecehan seksual.

3.4. Solusi

Kami merumuskan sebuah solusi yang harapannya dapat membantu korban


pelecehan seksual untuk berani menanggapi dan melawan pelecehan yang dialaminya.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan kajian dan sosialisasi intensif
mengenai pelecehan seksual dan juga pencerdasan bagaimana untuk bertindak ketika
mengalami pelecehan seksual. Lalu, berhubung hukum yang mengatur penanganan
pelecehan seksual sekarang kurang mendukung sang korban untuk melakukan laporan
(contohnya seperti dibutuhkan bukti-bukti tertentu agar kasus dapat ditangani dan
contoh lain apabila melaporkan pelaku, justru pelaku dapat melaporkan kembali korban
dengan hukum lain, contohnya UU ITE), solusi lainnya adalah mendorong pengesahan
RUU PKS yang diharapkan dapat lebih mendukung dan melindungi korban untuk
melakukan pelaporan kasus.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Dari penelitian yang kami lakukan, kami dapat simpulkan beberapa hal yang sesuai
dengan tujuan penelitian kami. Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di
Indonesia adalah pelecehan secara fisik, kemudian diikuti oleh pelecehan verbal, dan
terakhir secara daring. Lalu berdasarkan survei yang kami lakukan, korban pelecehan
seksual pada umumnya enggan untuk melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya
karena faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternalnya sendiri berupa kurangnya
peran pihak berwenang dalam menanggapi kasus pelecehan seksual. Faktor internal berupa
rasa malu, malas, dan tidak diperlukannya laporan dari korban. Sebagai solusi atas hal
tersebut, kami ajukan dua hal. Pertama, yaitu mengadakannya kajian, sosialisasi, serta
pencerdasan intensif, sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan apabila menjadi
korban. Kedua, yaitu mendorong pengesahannya RUU PKS sehingga dapat lebih
mendukung dan melindungi korban pelecehan seksual. Diharapkan kedua solusi tersebut
dapat menjawab isu tentang pelecehan seksual secara umum dan agar korban lebih
terdukung dan terlindungi saat melakukan laporan.

4.2 Saran

Setelah melakukan penelitian ini, kami telah melalui beberapa pengalaman dan
tantangan dalam menulis karya ini. Dari pengalaman dan tantangan yang kami hadapi, kami
ajukan beberapa saran kepada peneliti dengan fokus penelitian yang serupa. Yang pertama,
kami sarankan penelitian selanjutnya melakukan kajian mengenai lingkup penelitian yang
lebih spesifik. Pada penelitian kami, lingkup penelitiannya sangat luas sehingga sulit untuk
mendapatkan hasil survei yang dapat dikatakan representatif pada suatu populasi. Yang
kedua, kami sarankan untuk mempertimbangkan mencari tahu tentang data penelitian
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini ataupun data dari pihak yang bersangkutan
dengan isu pelecehan seksual dengan tujuan agar dapat memberi gambaran luas tentang
kondisi isu pelecehan seksual di masyarakat umum.
REFERENSI

1. DPR Republik Indonesia. (2017). Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor... Tahun … tentang Penghapusan Kekerasan Seksual [E-book].

https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf

2. Farida, Nugrahani. (2014). Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan


Bahasa. Solo.
3. Kurnianingsih, S. (n.d.). Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja
(Buletin Psikologi, Tahun XI ed., Vol. 2) [E-book].
https://core.ac.uk/download/pdf/304224619.pdf
4. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

(2020). Apa sih perbedaan Kekerasan Seksual & Pelecehan Seksual? [Slides].

Http://Mappifhui.Org/.

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2018/10/MaPPI-FHUI-kekerasan-seksual.pdf

5. Nugroho, F. T. (2020, December 1). Pengertian Pancasila, Ketahui Tujuan dan Makna

Masing-Masing Lambangnya. bola.com.

https://www.bola.com/ragam/read/4422173/pengertian-pancasila-ketahui-tujuan-dan-mak

na-masing-masing-lambangnya#:%7E:text=Menurut%20Muhammad%20Yamin,laku%2

0yang%20penting%20dan%20baik

6. S. (2020, November 12). Empat Urgensi Pengesahan RUU PKS •. Amnesty Indonesia.

https://www.amnesty.id/empat-urgensi-pengesahan-ruu-pks/

7. Sitti dan Uswatun. (2018). Kajian Literatur dan Teori Sosial dalam Penelitian. Sorong:
Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong

Anda mungkin juga menyukai